A.
Asas-asas dalam ruang lingkup
berlakunya peraturan pidana
Asas
berlakunya undang-undang hukum pidana berdasarkan tempat dapat dibedakan menjadi
empat yaitu, asas teritorial ( territorialiteisbeginsel ), asas nasional aktif
( personaliteisbeginsel ), asas nasional pasif atau asas perlindungan, dan asas
universal.
Menurut pompe yang mendasarkan sifat hukum pidana adalah melindungi, maka asas perlindungan menjadi sumber dari semua asas-asas, oleh karena itu keempat asas itu dapat dipersatukan menjadi satu asas perlindungan untuk kepentingan dan kewibawaan dari setiap subjek hukum yang harus dilindungi.[3]
1.
Asas teritorial
Bahwa hukum
pidana suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Dalam pepatah adat
“Dimana ada minyak, maka disitulah dipadamkan”, artinya dimana delik dilakukan
maka disitulah diadili berdasarkan atas hukum yang berlaku didaerah itu. Asas
ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik diwilayah tempat berlakunya
hukum pidana, maka ia tunduk pada hukum pidana itu.
Prinsip ini menganggap bahwa hukum pidana
Indonesia berlaku di dalam wilayah Republik Indonesia, siapapun yang melakukan
tindak pidana. [4]Hal ini
ditagaskan dalam pasal 2 KUHP bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia
berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Negara
Indonesia. Dengan demikian orang asing yang berda dalam wilayah Indonesia
takluk pada hukum pidana di Indonesia.
Berlakunya
hukum pidana berdasarkan wilayah dibatasi oleh hukum internasional. Hal ini
tercantum pada pasal 9 KUHP: berlakunya pasal 2, 3, 4, 5, 7 dan 8 dibatasi oleh
hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum internasional.[5]
Asas
territorial lebih menitik beratkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam
wilayah Negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga Negara atau orang
asing. Asas territorial yang pada saat ini banyak diikuti oleh Negara-negara di
dunia termasuk Indonesia. Hal ini adalah wajar karena tiap-tiap orang yang
berada dalam wilayah suatu Negara harus tunduk dan patuh kepada
peraturan-peraturan hukum Negara dimana yang bersangkutan berada.
Prinsip
teritorial dalam pasal 3 KUHP diperluas sampai kapal-kapal Indonesia, meskipun
berada diluar wilayah Indonesia. Dengan demikian siapa saja baik itu orang
asing dalam kapal laut Indonesia meskipun sedang berada atau sedang berlayar
dalam wilayah Negara lain, takluk pada hukum pidana Indonesia. Jadi siapa saja
yang melakukan tindak pidana di dalam atau diatas suatu kapal Indonesia,
meskipun dalam laut wilayah Negara lain, misalnya sedang berlabuh dalam suatu
pelabuhan negara asing dapat dituntut oleh jaksa dan dihukum oleh pengadilan
Negara Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang
terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau
berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara,
sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana.
Hal ini juga tidak mengurangi kemungkinan
bahwa menurut peraturan hukum Negara asing tersebut, seseorang yang melakukan
tindak pidana tadi dapat pula dihukum oleh pengadilan dari Negara asing itu.
apabila hal tersebut terjadi maka pelanggar hukum pidana tadi tidak akan
diadili oleh hukum pidana di Indonesia sebab berdasrkan asas ne bis in idem (
pasal 76 ayat 2 KUHP ). Hal ini dapat diterima sebab dalam perturan pasal 2
KUHP apabila seseorang asing didalam kapal asing dalam suatu pelabuhan
Indonesia, malakukan tindak pidana, maka orang itu juga dapat dihukum oleh
pengadilan Negara Indonesia.
2.
Asas personal ( nasional aktif )
Terkandung
dalam pasal 5 KUHP dapat dibagi atas tiga golongan masalah yaitu:
a.
Pada ayat 1 ke-1 menentukan
beberapa perbuatan pidana yang membahayakan kepentingan nasional bagi
Indonesia, dan perbuatan-perbuatan itu tidak diharapkan dikenai pidana ataupun
sungguh-sungguh untuk dituntut oleh undang-undang hukum pidana negara asing,
oleh karena pembuat deliknya adalah warga negara Indonesia yang berada diluar
wilayah Indonesia melakukan perbuatan pidana tertentu itu berlaku KUHP.
b.
Ayat 1 ke-2 memperluas ketentuan
golongan pertama, dengan syarat-syarat bahwa 1)perbuatan-perbuatan yang terjadi
harus merupakan kejahatan menurut ketentuan KUHP, dan 2) juga harus merupakan
perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana negara
asing dimana perbuatan itu terjadi. Dua syarat itu harus terpenuhi, sebab
apabila menurut hukum pidana negara asing tidak diancam dengan pidana, maka
KUHP tidak berlaku sekalipun sebagai kejahatan (diluar golongan pertama).
Jadi semua
kejahatan yang diatur dalam KUHP praktisnya mengikuti warga negara Indonesia
diluar negeri, dengan pengecualian terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut
hukum pidana negara asing tidak dapat dipidana sama sekali. Atau dapat pula
dikatakan bahwa ketentuan pasal 5 ayat 1 ke-1 mempunyai tujuan khusus,
sedangkan pasal 5 ayat 1 ke-2 mempunyai tujuan umum bersyarat, sehingga
kedua-duanya tidak dapat meniadakan yang lain. Teoritis akan timbul persoalan
apabila warga negara Indonesia melakukan kejahatn didaerah tak bertuan (laut
bebas) didalam kapal asing atau kapal terbang, jawabannya akan terpecah seperti
halnya mengenai pasal 3 dikaitkan dengan pasal 5 KYHP.
c.
Pada ayat 2 untuk menghadapi
kejahatan yang dilakukan dengan perhitungan yang masak dan agar tidak lolos
dari tuntutan hukum, yaitu apabila orang asing diluar negeri melakukan
kejahatan (golongan kedua) dan sesudah itu melakukan naturalisasimenjadi warga
negara Indonesia, maka penuntutan atas kejahatan pasal 5 ayat 1 ke-2 masih bisa
dilaksanakan.
Asas ini
bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum Pidana Indonesia mengikuti
warganegaranya dimanapun ia berada. Inti asas tercantum dalam pasal 5 KUHP :
ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi warga
negara Indoneisa yang melakukan kejahatan di luar wilayah Indonesia. Pasal 5
ayat 1 ke 1 menentukan sejumlah pasal yang jika dilakukan orang Indonesia di
Luar Negeri, maka berlakulah hukum pidana Indonesia. Kejahatan-kejahatan itu
tercantum dalam Bab I dan II buku kedua KUHP.
Prinsip ini dinamakan nasional aktif karena
berhubungan dengan keaktifan berupa kejahatan dari seorang nasional atau warga
Negara.
Golongan kesatu dari kejahatan-kejahatan
ini adalah :
1. Dari titel 1 dan 2 buku II KUHP yang meliputi
kejahatan-kejahatan terhadap keamanan Negara, seperti pemberontakan, makar,
usaha membunuh kepala Negara, dan terhadap kedudukan kepala Negara seperti
menghina kepala Negara, menyerang kepala Negara secara fisik.
2.
Dari pasal 160 dan 161KUHP yang
berupa penghasutan untuk melakukan tindak pidana.
3.
Dari pasal 240 KUHP yang berupa tidak memenuhi
kewajiban dalam bidang pertahanan kejahatan
4.
Dari pasal 279 KUHP yang berupa tidak
memenuhi kewajiban melebihi jumlah yang diperbolehkan.
5.
Dari pasal 450-451 KUHP yang berupa turut
serta, tanpa izin pemerintah Indonesia, dalam kapal dinas Negara asing yang
melakukan pengambilan kapal-kapal lain.
Kejahatan-kejahatan ini sangat penting bagi
Negara Indonesia. Tetapi apabila tidak termuat dalam hukum pidana Negara asing,
sehingga pelakunya tidak akan dihukum apabila kejahatan tersebut dilakukan di
Negara asing tersebut. [6]Namun apabila
kejahatan tersebut dilakukan oleh warga Negara Indonesia, orang tersebut
dianggap pantas untuk dihukum juga meskipun kejahatan tersebut dilakukan di
wilayah negara asing.
Lain halnya dengan golongan kejahatan yang
tersebut dalam pasal 5 ayat 1 sub kedua. Kejahatan-kejahatan seperti ini
dihukum juga menurut hukum pidana Negara asing apabila dilakukan di Negara
asing tersebut. Apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh warga Negara
Indonesia dan orang tersebut ingin mendapatkan perlindungan hukum diwilayah
Negara Indonesia, kemungkinan besar orang tersebut oleh pemerintah Indonesia
tidak akan diserahkan kapada pemerintah Negara asing yang bersangkutan. Dengan
demikilan orang tersebut akan bebas dari hukuman pidana. Hal ini dianggap tidak
layak sehingga harus dibuka kemungkinan bahwa orang itu akan dihukum oleh
pengadilan negeri Indonesia. Penentuan ini juga berlaku juga apabila seseorang
pelaku kejahatan itu baru kemudian menjadi warga Negara Indonesia.
Akan tetapi terdapat sedikit pembatasan yang
termuat dalam pasal 6 KUHP yang menentukan bahwa hukuman mati tidak boleh
dijatuhkan oleh pengadilan di Indonesia apabila kejahatan yang bersangkutan
menurut hukum pidana negra asing yang bersangkutan tidak diancam dengan pidana
mati.
Asas ini merupakan kebalikan dari asas teritorial. Jika dalam asas
teritorial yang dilindungi adalah siapa pun dalam wilayah Indonesia, dalam asas
personalitas ini yang dilindungi adalah warga negara di mana pun ia berada.
Namun perlindungan yang dimaksud bukan perlindungan atas warga negara atas
ancaman kejahatan, akan tetapi perlindungan dalam bentuk pemberlakuan hukum
pidana Indonesia bagi si warga negara.[7]
Di dalam praktik, penggunaan asas personalitas ini tidak semudah yang
dibayangkan. Warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar negeri
sukar untuk dikembalikan ke dalam negeri karena salah satu sebabnya ketiadaan
perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara tersebut. Asas ini tidak
mungkin lagi digunakan sepenuhnya apabila warga negara berada diwilayah negara
lain yang berkedudukan gecoordinerd, artinya yang sama-sama berdaulat karena
bertentangan dengan kedaulatan negara, apabila ada orang asing didalam
wilayahnya tidak diadili menurut hukum negara itu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara asas teritorial
dengan asas personalitas. Jika asas teritorial menyatakan batas berlakunya
hukum pidana bagi wilayah negara tanpa memperhatikan kewarganegaraan pelaku,
maka asas personalitas dapat diartikan bahwa keberlakuan hukum pidana Indonesia
mengikuti keberadaan warga negara Indonesia kemana pun ia berada. Oleh karena
itu, asas personalitas disebut juga dengan asas nasional aktif. Demikianlah,
setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di mana pun berada,
ia berhak diadili menurut hukum pidana Indonesia hal mana dikenal dengan asas
nasional aktif.[8]
3.
Asas nasional pasif ( asas
perlindungan )
Sekalipun asas
personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain yang memungkinkan
diberlakukannya hukum pidana nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi di
luar wilayah Negara.
Prinsip ini memperluas berlakunya
ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia diluar wilayah Indonesia berdasarkan
atas kerugian nasional sangat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan
sehingga siapa saja termasuik orang asing yang melakukannya dimana saja, pantas
untuk dihukum di pengadilan Indonesia. [9]
Hal diatas dapat terlaksanan apabila pelaku
dibawa di wilayah Indonesia. Prinsip nasional pasif ini termuat dalam pasal 4
ke 1, 2, dan 3 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
Ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia
berlaku bagi siapa saja yang diluar wilayah Indonesia telah melakukan :
Ke-1: salah
satu dari kejahatan-kejahatan yang termuat dalam pasal-pasal 104-108, 110, 111,
bis sub 1, 127, 130-133
Ke-2 : suatu
kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas atau mengenai segel atau merek
yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia
Ke-3 : suatu
pemalsuan dalam surat-surat hutang ( scheldbrieven ) atas beban Indonesia atau
daerah dari Indonesia, atau pemalsuan dalam tanda-tanda deviden atau bunga dari
surat-surat hutang itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat-surat yang
dipalsukan itu.
Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu
melindungi kepentingan nasional dan melindungi kepentingan internasional
(universal). Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap
orang (baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing) yang di luar
Indonesia melakukan kejahatan yang disebutkan dalam pasal tersebut.
Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena pasal 4 KUHP ini
memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di
luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan
kepentingan nasional, yaitu :
a.
Kejahatan terhadap keamanan Negara
dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden Republik Indonesia dan
Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1)
b.
Kejahatan mengenai pemalsuan mata
uang atau uang kertas Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan
oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2)
c.
Kejahatan mengenai pemalsuan
surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh
Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3)
d.
Kejahatan mengenai pembajakan kapal
laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4).
Hanya ada
sedikit kejahatan yang dikenakan Prinsip nasional pasif ini, yang terberat saja
dari titel 1 dan 2 buku II KUHP, kemudian pemalsuan uang Indonesia, pemalsuan
segel dari Indonesia, dan pemalsuan surat-surat hutang atas beban Indonesia
atau daerahnya.
4.
Asas universal
Prinsip ini melihat pada suatu tata hukum
internasional, dimana terlibat kepentingan bersama dari semua Negara di dunia.
Apabila ada tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua Negara,
maka hal ini dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap Negara, dengan
tidak dipedulikan siapa yang melakukannya dan dimana ia melakukan.
Hukum pidana ini berlaku umum,
melampaui negara yang bersangkutan. Perlindungan disini untuk kepentingan
dunia. Jadi tiap-tiap negara berkewajiban untuk ikut melaksanakan tata hukum
sedunia, demikian menurut V. Hattum. Asas ini dianut dalam Undang-undang Pidana
kita, seperti yang terdapat antara lain dalam pasal 438 dan 444 KUHP yang
mengancam dengan hukuman terhadap siapa saja yang telah bersalah melakukan
pembajakan laut dengan segala akibat yang mungkin timbul dengan kegiatan
tersebut.
Berlakunya
pasal 2-5 dan pasal 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum
internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal)
adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut
melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
Dikatakan
melindungi kepentingan internasional (kepentingan universal) karena rumusan
pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan
pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai pembajakan
kapal laut dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang
kertas Negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara
mana yan dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam
pasal 4 ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan
tetapi juga mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas Negara asing.
Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4
KUHP dapat menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia, dan
mungkin juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang Negara asing.
Jika pemalsuan
mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau pesawat terbang adalah
mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas
melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif). Jika pemalsuan mata uang
atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat terbang adalah mengenai
kepemilikan Negara asing, maka asas yang berlaku adalah asas melindungi
kepentingan internasional (asas universal).
Asas ini terdapat pada pasal 4 ayat
2 dan 4 KUHP sejauh kepentingan negara-negara lain yang dilindungi oleh
kekuatan-kekuatan pidana tersebut. Pasal tersebut semula dibentuk hanya untuk
melindungi mata uang dan uang kertas yang telah dikeluarkan oleh bank
sirkulasi. Namun sejak tahun 1932 tidak hanya mata uang saja yang harus
dilindungi. Tetapi juga hal-hal lain yang menyebabkan adanya tindak pidana
berskala internasional.
Dalam pasal 4 sub 4 KUHP yang menentukan bahwa
ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, termasuk
orang-orang asing yang diluar wilayah Indonesia melakukan kejahatan-kejahatan,
termaut dalam pasal-pasal 438, 444-446 sepanjang mengenai pembajakan laut, dan
pasal 447 mengenai membawa suatu kapal ke bawah kekuasaan bajak laut.
Dewasa ini makin banyak perjanjian antara Indonesia dengan negara asing
untuk menumpas suatu tindak pidana yang dalam sistem hukum negara lain juga
dianggap sebagai tindak pidana, apalagi tindak pidana tersebut memiliki
karakteristik yang transnasional, umpamanya kejahatan narkotika, psikotropika,
perdagangan orang, perompakan di laut dan lain sebagainya.
Dewasa ini pula, asas universal banyak diterapkan dalam pemberantasan
tindak pidana terorisme. Seluruh dunia merasa berkepentingan dengan aksi-aksi
terorisme, karenanya sebagian besar negara sepakat bahwa terorisme adalah
kejahatan universal yang dengan demikian menjadi universal pula kewenangan
untuk menangani dan mengadilinya.
B. Asas be bis in
idem
Dalam pasal 76 KUHP terdapat prinsip penting
yaitu bahwa seseorang tidak dapat dituntut sekali lagi atas perbuatan yang sama
karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim telah berkekuatan
hukum tetap.[10]
Dasar pikiran atau ratio dari asas ini ialah :
a.
Untuk menjaga martabat pengadilan
(untuk tidak memerosotkan kewibawaan Negara)
b.
Untuk rasa kepastian bagi terdakwa
yang telah mendapat keputusan.
Penuntutan terhadap seseorang dapat hapus berdasar neb is in idem,
apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
Ada putusan yang berkekuatan hukum
tetap
Keputusan
hakim yang berkekuatan hukum tetap disini adalah keputusan hakim yang dapat
berupa :
1)
Pembebasan (vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP
2)
Pelepasan dari segala tuntutan
hukum (ontslag van allerechtvervolging)
pasal 191 ayat (2) KUHAP
3)
Penjatuhan pidana pasal 193 ayat
(1) KUHAP
Jadi
keputusan-keputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti tidaknya
tindak pidana atau kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem tidak berlaku untuk
keputusan hakim yang belum berhubungan dengan pokok perkara, yang biasanya
disebut “penetapan-penetapan” (beschikking),
misalnya :
1.
Tentang tidak berwenangnya hakim
untuk memeriksa perkara yang bersangkutan
2.
Tentang tidak diterimanya tuntutan
Jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan
3.
Tetang tidak diterimanya perkara
karena penuntutan sudah daluwarsa.
Jadi Apabila
misalnya seorang pengendara motor menabrak penjual soto dan dia dituntut secara
perdata untuk memberi ganti rugi, maka putusan hakim mengnai hal ini tidak
menghalangi untuk dilakukannya penuntutan dalam perkara pidananya. Jadi dalam
hal ini tidak ada neb is in idem.
b. Orang terhadap
siapun putusan itu dijatuhkan adalah sama
c. Perbuatan
(yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu
itu.
Melihat pada asas tersebut (Ne Bis
In Idem), terdakwa yang melakukan kejahatan
tersebut tidak dihukum lagi di Indoneisa. Dan ayat kedua terhadap putusan
asing: kalau putusan yang satu telah menjadi tetap itu berasal dari hakim lain,
maka penuntutan tidak dapat dilakukan dan diadakan terhadap orang itu karena
perbuatan yang sama.[11]
Dengan adanya syarat ini
berarti terhadap putusan tersebut harus sudah tidak ada alat hukum / upaya
hukum (rechtsmiddel) yang dapat
dipakai untuk merubah keputusan tersebut. Ada pendapat bahwa peninjauan kembali
(herzeining) merupakan salah satu
upaya hukum, sehingga pengecualian yang tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu
adanya herzeining merupakan
pengecualian terhadap azas ne bis in idem)
sebenarnya tidak perlu. Jadi menurut pendapat ini, dengan adanya herzeining berarti putusan itu memang
belum berkelanjutan dari tuntutan hukum yang pertama, jadi bukan merupakan
tuntutan hukum yang kedua kali.
Prinsip ini tidak hanya
mengenai hal bahwa seseorang yang telah dihukum karena telah melakukan tindak
pidana, tidak boleh dituntut kembali atas perbuatan yang sama, walaupun dalam
perkara pertama tersebut dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan (
ontslag van rechtsvervolging ), maka atas perbuatan yang sama tersebut tidak
boleh dilakukan penuntutan kembali.
Jadi apabila pembebasan
atas perkara tersebut disebabkan oleh suatu kekeliruan dalam penuntutannya,
maka hal tersebut juga tidak dapat dituntut kembali walaupun dengan maksud
ingin memperbaiki kekeliruan tersebut. Karena Adanya prinsip ini adalah
untuk kepentingan para anggota masyarakat akan adanya suatu kepastian dan
ketentraman dalam hidupnya.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kasus
Badan Narkotika Nasional (BNN) berhasil membekuk seorang
perempuan yang disebut sebagai ratu kurir narkoba, berinisial RW alias
K, alias V di Perumahan Griya Nusantara Cibubur City Blok C nomor 11, Jakarta
Timur, pada Kamis (27/6/2013).
V merupakan operator kurir penyelundupan narkoba ke Indonesia atau
negara lainnya. Bersama sang suami yang saat ini masih dalam pengejaran
petugas, V memiliki peran sentral dalam sindikat narkoba yang dikendalikan
warga Nigeria. Deputi Bidang Pemberantasan BNN, Irjen Pol Benny Mamoto,
mengatakan berdasar hasil penyelidikan V bersama suaminya yang
berkewarganegaraan Nigeria memiliki peran sentral dalam sindikat narkoba yang dikendalikan
Warga Negara Nigeria di beberapa negara, seperti Indonesia, India, Filipina,
Singapura, dan Malaysia.
Tugas V sebagai perekrut, sementara sang suami merupakan
salah seorang pengendali jaringan narkoba yang selalu
berhubungan dengan jaringan narkoba
lainnya asal Nigeria yang beroperasi di negara-negara tersebut."Keduanya
ini sangat berpengaruh. Suaminya mengendalikan jaringan Nigeria di Malay,
India, Indonesia dan negara lainnya yang selalu saling berhubungan.
Barang-barang diselundupkan dari dan untuk negara yang membutuhkan. Tersangka V
sendiri berperan sebagai operator kurir," kata Benny dalam konferensi pers
di Lapangan Parkir BNN, Jalan
MT Haryono, Jakarta Timur, Senin (1/7/2013) kemarin.[12]
Sidang Tuntutan WNA Narkoba Terdakwa warga negara asing (WNA) asal Inggris, Andrea Ruth Waldeck
(kanan) mengikuti sidang dengan agenda tuntutan di Pengadilan Negeri (PN)
Surabaya, Jatim, Senin (16/12). Dalam sidang tersebut jaksa penuntut umum
memberikan tuntutan pada terdakwa dengan 16 tahun penjara denda Rp 2 milyar subsider
enam bulan.[13]
Gugurnya Hak Menuntut (Dasar
Penghapus Pidana) “Analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor
944/K/Pid/2006 a.n Terpidana Anastasia Kusmiati yang Didakwa dengan Kasus yang
Sama pada Perkara 244/Pid .B/2009 /PN.Kbm” Riswan Suci Santo Puji Nisa
Anastasia Kusmiati Pranoto diduga mengeluarkan surat utang (promissory note)
palsu Rp 74 miliar di Bank Lippo Cabang Kebumen. Dia disangkakan telah
menerbitkan surat utang palsu yang seolah-olah dari kantor pusat Bank Lippo.
Putusan Pengadilan Negeri Kebumen No. 122/Pid.B/2005/PN.Kbm. tanggal 31 Oktober
2005: Pidana penjara selama 4 (empat) tahun dikurangi selama terdakwa berada
dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap berada dalam tahanan.
Banding, Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang mengeluarkan putusan Nomor :
265/Pid/2005/PT.Smg. tanggal 17 Januari 2006, yang membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Kebumen. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana
penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda Rp. 100.000.000,- subsidair 4 (empat)
bulan kurungan. 2005 Kasasi, MA mengeluarkan putusan dengan Nomor 944
K/Pid/2006 yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “PENCUCIAN UANG” dan dijatuhi pidana penjara
selama 7 (tujuh) tahun dan Menghukum Terdakwa dengan hukuman denda sebesar
Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). KESIMPULAN Ne Bis in Idem adalah salah
satu dasar penghapus pidana. Dalam kasus di atas, perkara yang kedua gugur
karena adanya asas Ne Bis in Idem Analisa Kasus 1. Ne Bis in Idem 2. Dasar
Hukum Pasal 76 KUHP 3. Telaah Kasus Perbuatannya sama Putusan (inkracht van
gewijsde) Orangnya sama Pada tahun 2010 Jaksa Penuntut Umum mengajukan perkara
2644 /Pid.Sus/2010 dengan Terdakwa Anastasia Kusmiati (terdakwa yang telah
menjalani hukuman berdasarkan putusan pengadilan Negeri yang telah diperkuat
oleh putusan kasasi No. 944 K/Pid/2006), dengan dakwaan alternatif Kejahatan
Perbankan dan Pemalsuan Surat. Putusan Pengadilan Negeri tanggal 25 Februari
2010 nomor :244/Pid .B/2009 /PN.Kbm adalah mengabulkan dakwaan Jaksa Penuntut
Umum. Banding, putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.185/Pid /2010 / PT.Smg.
tanggal 20 Agustus 2010. Pengadilan menerima permintaan banding dari penasihat
hukum Berlin Pandiangan & Rekan untuk dan atas nama terdakwa Dra. Anastasia
Kusmiati Pranoto alias Mei Hwa, bahwa perkara tersebut gugur demi hukum karena
ne bis in idem. Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Akan
tetapi, di tingkat kasasi dalam perkara No. 2644 K/Pid.Sus/2010, Mahkamah Agung
justru memperkuat putusan banding yang menyatakan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut
Umum adalah benar ne bis in idem” 2010[14]
B. Analisis Kasus
Dari kasus di atas
terdakwa kasus tindak pidana narkoba bernama Andrea Ruth Waldeck
berkewarganegaraan Inggris. Namun, dilihat dari perjalanan kasus di atas asas
yang cocok dengan kasus tersebut adalah asas teritorial dimana Andrea sudah
dijatuhi tuntutan pada terdakwa dengan 16 tahun penjara dan denda 2 milyar
subsider enam bulan. Asas teritorial sendiri adalah bahwa hukum pidana
suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Dalam pepatah adat “Dimana
ada minyak, maka disitulah dipadamkan”, artinya dimana delik dilakukan maka
disitulah diadili berdasarkan atas hukum yang berlaku didaerah itu. Asas ini
menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik diwilayah tempat berlakunya
hukum pidana, maka ia tunduk pada hukum pidana itu.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Asas berlakunya undang-undang hukum pidana berdasarkan tempat dapat
dibedakan menjadi empat yaitu, asas teritorial ( territorialiteisbeginsel ),
asas nasional aktif ( personaliteisbeginsel ), asas nasional pasif atau asas
perlindungan, dan asas universal.
Asas territorial menjelaskan Bahwa hukum pidana suatu negara berlaku
diwilayah negara itu sendiri. Asas ini menunjukkan bahwa siapapun yang
melakukan delik diwilayah tempat berlakunya hukum pidana, maka ia tunduk pada
hukum pidana itu.
Asas nasional aktif menjelaskna bahwa ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi warga negara Indoneisa yang
melakukan kejahatan di luar wilayah Indonesia.
Asas Nasional Pasif yakni Prinsip ini memperluas berlakunya
ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia diluar wilayah Indonesia berdasarkan
atas kerugian nasional sangat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan
sehingga siapa saja termasuik orang asing yang melakukannya dimana saja, pantas
untuk dihukum di pengadilan Indonesia.
Asas Universal
menjelaskan bahwa Prinsip ini melihat pada suatu tata hukum internasional,
dimana terlibat kepentingan bersama dari semua Negara di dunia. Apabila ada
tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua Negara, maka hal
ini dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap Negara, dengan tidak
dipedulikan siapa yang melakukannya dan dimana ia melakukan.
Asas Nebis in Idem
menyatakan bahwa bahwa seseorang tidak dapat dituntut sekali lagi atas
perbuatan yang sama karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim
telah berkekuatan hukum tetap.
B. SARAN
Demikian makalah ini penulis susun, namun masih terdapat beberapa
kekuarangan dalam penulisan makalah ini karena adanya keterbatasan referensi
dari penulis. Untuk itu diharapkan bagi penulis selanjutnya agar dapat mengkaji
pembahasan yang sama dengan lebih baik legi dengan menambah beberapa referensi
buku sehingga informasi yang diberikan akan lebih baik dan lengkap.
[1]
Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana,( Jakarta : Rineka Cipta,2009 ), hal.1
[2]Andi
Hmzah,Asas-Asas Hukum Pidana,( cet. IV, Jakarta : Rieneka Cipta, 2010), hal. 5
[3] (W.P.J. Pompe 1959: 507-508).
[4]
Wirjono prodjodikoro, asas-asas
hukum pidana di Indonesia, ( Bandung : PT Refika Aditama, 2008 ),51
[5]
Saifullah, Konsep Dasar Hukum Pidana.
[12]
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/07/02/ratu-kurir-narkoba-diduga-sindikat-nigeria 18/12/2014
10:10