Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 12 Desember 2015

MAKALAH ASAS-ASAS DALAM RUANG LINGKUP BERLAKUNYA PERATURAN PIDANA BAGIAN KE-2

Desember 12, 2015 0






A.  Asas-asas dalam ruang lingkup berlakunya peraturan pidana
Asas berlakunya undang-undang hukum pidana berdasarkan tempat dapat dibedakan menjadi empat yaitu, asas teritorial ( territorialiteisbeginsel ), asas nasional aktif ( personaliteisbeginsel ), asas nasional pasif atau asas perlindungan, dan asas universal.

Menurut pompe yang mendasarkan sifat hukum pidana adalah melindungi, maka asas perlindungan menjadi sumber dari semua asas-asas, oleh karena itu keempat asas itu dapat dipersatukan menjadi satu asas perlindungan untuk kepentingan dan kewibawaan dari setiap subjek hukum yang harus dilindungi.[3]
1.      Asas teritorial
Bahwa hukum pidana suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Dalam pepatah adat “Dimana ada minyak, maka disitulah dipadamkan”, artinya dimana delik dilakukan maka disitulah diadili berdasarkan atas hukum yang berlaku didaerah itu. Asas ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik diwilayah tempat berlakunya hukum pidana, maka ia tunduk pada hukum pidana itu.
Prinsip ini menganggap bahwa hukum pidana Indonesia berlaku di dalam wilayah Republik Indonesia, siapapun yang melakukan tindak pidana. [4]Hal ini ditagaskan dalam pasal 2 KUHP bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Negara Indonesia. Dengan demikian orang asing yang berda dalam wilayah Indonesia takluk pada hukum pidana di Indonesia.
Berlakunya hukum pidana berdasarkan wilayah dibatasi oleh hukum internasional. Hal ini tercantum pada pasal 9 KUHP: berlakunya pasal 2, 3, 4, 5, 7 dan 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum internasional.[5]
Asas territorial lebih menitik beratkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam wilayah Negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga Negara atau orang asing. Asas territorial yang pada saat ini banyak diikuti oleh Negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini adalah wajar karena tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu Negara harus tunduk dan patuh kepada peraturan-peraturan hukum Negara dimana yang bersangkutan berada.
Prinsip teritorial dalam pasal 3 KUHP diperluas sampai kapal-kapal Indonesia, meskipun berada diluar wilayah Indonesia. Dengan demikian siapa saja baik itu orang asing dalam kapal laut Indonesia meskipun sedang berada atau sedang berlayar dalam wilayah Negara lain, takluk pada hukum pidana Indonesia. Jadi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam atau diatas suatu kapal Indonesia, meskipun dalam laut wilayah Negara lain, misalnya sedang berlabuh dalam suatu pelabuhan negara asing dapat dituntut oleh jaksa dan dihukum oleh pengadilan Negara Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana.
Hal ini juga tidak mengurangi kemungkinan bahwa menurut peraturan hukum Negara asing tersebut, seseorang yang melakukan tindak pidana tadi dapat pula dihukum oleh pengadilan dari Negara asing itu. apabila hal tersebut terjadi maka pelanggar hukum pidana tadi tidak akan diadili oleh hukum pidana di Indonesia sebab berdasrkan asas ne bis in idem ( pasal 76 ayat 2 KUHP ). Hal ini dapat diterima sebab dalam perturan pasal 2 KUHP apabila seseorang asing didalam kapal asing dalam suatu pelabuhan Indonesia, malakukan tindak pidana, maka orang itu juga dapat dihukum oleh pengadilan Negara Indonesia.
2.      Asas personal ( nasional aktif )
Terkandung dalam pasal 5 KUHP dapat dibagi atas tiga golongan masalah yaitu:
a.       Pada ayat 1 ke-1 menentukan beberapa perbuatan pidana yang membahayakan kepentingan nasional bagi Indonesia, dan perbuatan-perbuatan itu tidak diharapkan dikenai pidana ataupun sungguh-sungguh untuk dituntut oleh undang-undang hukum pidana negara asing, oleh karena pembuat deliknya adalah warga negara Indonesia yang berada diluar wilayah Indonesia melakukan perbuatan pidana tertentu itu berlaku KUHP.
b.      Ayat 1 ke-2 memperluas ketentuan golongan pertama, dengan syarat-syarat bahwa 1)perbuatan-perbuatan yang terjadi harus merupakan kejahatan menurut ketentuan KUHP, dan 2) juga harus merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana negara asing dimana perbuatan itu terjadi. Dua syarat itu harus terpenuhi, sebab apabila menurut hukum pidana negara asing tidak diancam dengan pidana, maka KUHP tidak berlaku sekalipun sebagai kejahatan (diluar golongan pertama).
Jadi semua kejahatan yang diatur dalam KUHP praktisnya mengikuti warga negara Indonesia diluar negeri, dengan pengecualian terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut hukum pidana negara asing tidak dapat dipidana sama sekali. Atau dapat pula dikatakan bahwa ketentuan pasal 5 ayat 1 ke-1 mempunyai tujuan khusus, sedangkan pasal 5 ayat 1 ke-2 mempunyai tujuan umum bersyarat, sehingga kedua-duanya tidak dapat meniadakan yang lain. Teoritis akan timbul persoalan apabila warga negara Indonesia melakukan kejahatn didaerah tak bertuan (laut bebas) didalam kapal asing atau kapal terbang, jawabannya akan terpecah seperti halnya mengenai pasal 3 dikaitkan dengan pasal 5 KYHP.
c.       Pada ayat 2 untuk menghadapi kejahatan yang dilakukan dengan perhitungan yang masak dan agar tidak lolos dari tuntutan hukum, yaitu apabila orang asing diluar negeri melakukan kejahatan (golongan kedua) dan sesudah itu melakukan naturalisasimenjadi warga negara Indonesia, maka penuntutan atas kejahatan pasal 5 ayat 1 ke-2 masih bisa dilaksanakan.
     Asas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum Pidana Indonesia mengikuti warganegaranya dimanapun ia berada. Inti asas tercantum dalam pasal 5 KUHP : ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi warga negara Indoneisa yang melakukan kejahatan di luar wilayah Indonesia. Pasal 5 ayat 1 ke 1 menentukan sejumlah pasal yang jika dilakukan orang Indonesia di Luar Negeri, maka berlakulah hukum pidana Indonesia. Kejahatan-kejahatan itu tercantum dalam Bab I dan II buku kedua KUHP.
Prinsip ini dinamakan nasional aktif karena berhubungan dengan keaktifan berupa kejahatan dari seorang nasional atau warga Negara.
Golongan kesatu dari kejahatan-kejahatan ini adalah :
1.       Dari titel 1 dan 2 buku II KUHP yang meliputi kejahatan-kejahatan terhadap keamanan Negara, seperti pemberontakan, makar, usaha membunuh kepala Negara, dan terhadap kedudukan kepala Negara seperti menghina kepala Negara, menyerang kepala Negara secara fisik.
2.       Dari pasal 160 dan 161KUHP yang berupa penghasutan untuk melakukan tindak pidana.
3.       Dari pasal 240 KUHP yang berupa tidak memenuhi kewajiban dalam bidang pertahanan kejahatan
4.      Dari pasal 279 KUHP yang berupa tidak memenuhi kewajiban melebihi jumlah yang diperbolehkan.
5.        Dari pasal 450-451 KUHP yang berupa turut serta, tanpa izin pemerintah Indonesia, dalam kapal dinas Negara asing yang melakukan pengambilan kapal-kapal lain.
Kejahatan-kejahatan ini sangat penting bagi Negara Indonesia. Tetapi apabila tidak termuat dalam hukum pidana Negara asing, sehingga pelakunya tidak akan dihukum apabila kejahatan tersebut dilakukan di Negara asing tersebut. [6]Namun apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh warga Negara Indonesia, orang tersebut dianggap pantas untuk dihukum juga meskipun kejahatan tersebut dilakukan di wilayah negara asing.
Lain halnya dengan golongan kejahatan yang tersebut dalam pasal 5 ayat 1 sub kedua. Kejahatan-kejahatan seperti ini dihukum juga menurut hukum pidana Negara asing apabila dilakukan di Negara asing tersebut. Apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh warga Negara Indonesia dan orang tersebut ingin mendapatkan perlindungan hukum diwilayah Negara Indonesia, kemungkinan besar orang tersebut oleh pemerintah Indonesia tidak akan diserahkan kapada pemerintah Negara asing yang bersangkutan. Dengan demikilan orang tersebut akan bebas dari hukuman pidana. Hal ini dianggap tidak layak sehingga harus dibuka kemungkinan bahwa orang itu akan dihukum oleh pengadilan negeri Indonesia. Penentuan ini juga berlaku juga apabila seseorang pelaku kejahatan itu baru kemudian menjadi warga Negara Indonesia.
Akan tetapi terdapat sedikit pembatasan yang termuat dalam pasal 6 KUHP yang menentukan bahwa hukuman mati tidak boleh dijatuhkan oleh pengadilan di Indonesia apabila kejahatan yang bersangkutan menurut hukum pidana negra asing yang bersangkutan tidak diancam dengan pidana mati.
Asas ini merupakan kebalikan dari asas teritorial. Jika dalam asas teritorial yang dilindungi adalah siapa pun dalam wilayah Indonesia, dalam asas personalitas ini yang dilindungi adalah warga negara di mana pun ia berada. Namun perlindungan yang dimaksud bukan perlindungan atas warga negara atas ancaman kejahatan, akan tetapi perlindungan dalam bentuk pemberlakuan hukum pidana Indonesia bagi si warga negara.[7]
Di dalam praktik, penggunaan asas personalitas ini tidak semudah yang dibayangkan. Warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar negeri sukar untuk dikembalikan ke dalam negeri karena salah satu sebabnya ketiadaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara tersebut. Asas ini tidak mungkin lagi digunakan sepenuhnya apabila warga negara berada diwilayah negara lain yang berkedudukan gecoordinerd, artinya yang sama-sama berdaulat karena bertentangan dengan kedaulatan negara, apabila ada orang asing didalam wilayahnya tidak diadili menurut hukum negara itu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara asas teritorial dengan asas personalitas. Jika asas teritorial menyatakan batas berlakunya hukum pidana bagi wilayah negara tanpa memperhatikan kewarganegaraan pelaku, maka asas personalitas dapat diartikan bahwa keberlakuan hukum pidana Indonesia mengikuti keberadaan warga negara Indonesia kemana pun ia berada. Oleh karena itu, asas personalitas disebut juga dengan asas nasional aktif. Demikianlah, setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di mana pun berada, ia berhak diadili menurut hukum pidana Indonesia hal mana dikenal dengan asas nasional aktif.[8]



3.      Asas nasional pasif ( asas perlindungan )
Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain yang memungkinkan diberlakukannya hukum pidana nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Negara.
Prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia diluar wilayah Indonesia berdasarkan atas kerugian nasional sangat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan sehingga siapa saja termasuik orang asing yang melakukannya dimana saja, pantas untuk dihukum di pengadilan Indonesia. [9]
Hal diatas dapat terlaksanan apabila pelaku dibawa di wilayah Indonesia. Prinsip nasional pasif ini termuat dalam pasal 4 ke 1, 2, dan 3 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
Ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang diluar wilayah Indonesia telah melakukan :
Ke-1: salah satu dari kejahatan-kejahatan yang termuat dalam pasal-pasal 104-108, 110, 111, bis sub 1, 127, 130-133
Ke-2 : suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas atau mengenai segel atau merek yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia
Ke-3 : suatu pemalsuan dalam surat-surat hutang ( scheldbrieven ) atas beban Indonesia atau daerah dari Indonesia, atau pemalsuan dalam tanda-tanda deviden atau bunga dari surat-surat hutang itu, atau dengan sengaja mempergunakan surat-surat yang dipalsukan itu.
Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu melindungi kepentingan nasional dan melindungi kepentingan internasional (universal). Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap orang (baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing) yang di luar Indonesia melakukan kejahatan yang disebutkan dalam pasal tersebut. 
Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena pasal 4 KUHP ini memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu :
a.    Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1)
b.    Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2)
c.    Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3)
d.   Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4).
Hanya ada sedikit kejahatan yang dikenakan Prinsip nasional pasif ini, yang terberat saja dari titel 1 dan 2 buku II KUHP, kemudian pemalsuan uang Indonesia, pemalsuan segel dari Indonesia, dan pemalsuan surat-surat hutang atas beban Indonesia atau daerahnya.
4.    Asas universal
Prinsip ini melihat pada suatu tata hukum internasional, dimana terlibat kepentingan bersama dari semua Negara di dunia. Apabila ada tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua Negara, maka hal ini dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap Negara, dengan tidak dipedulikan siapa yang melakukannya dan dimana ia melakukan.
Hukum pidana ini berlaku umum, melampaui negara yang bersangkutan. Perlindungan disini untuk kepentingan dunia. Jadi tiap-tiap negara berkewajiban untuk ikut melaksanakan tata hukum sedunia, demikian menurut V. Hattum. Asas ini dianut dalam Undang-undang Pidana kita, seperti yang terdapat antara lain dalam pasal 438 dan 444 KUHP yang mengancam dengan hukuman terhadap siapa saja yang telah bersalah melakukan pembajakan laut dengan segala akibat yang mungkin timbul dengan kegiatan tersebut.
Berlakunya pasal 2-5 dan pasal 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
Dikatakan melindungi kepentingan internasional (kepentingan universal) karena rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan pasal 4   ke-4 KUHP (mengenai pembajakan kapal laut dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas Negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara mana yan dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas Negara asing. Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia, dan mungkin juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang Negara asing.
Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas yang berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional (asas universal).
Asas ini terdapat pada pasal 4 ayat 2 dan 4 KUHP sejauh kepentingan negara-negara lain yang dilindungi oleh kekuatan-kekuatan pidana tersebut. Pasal tersebut semula dibentuk hanya untuk melindungi mata uang dan uang kertas yang telah dikeluarkan oleh bank sirkulasi. Namun sejak tahun 1932 tidak hanya mata uang saja yang harus dilindungi. Tetapi juga hal-hal lain yang menyebabkan adanya tindak pidana berskala internasional.
Dalam pasal 4 sub 4 KUHP yang menentukan bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, termasuk orang-orang asing yang diluar wilayah Indonesia melakukan kejahatan-kejahatan, termaut dalam pasal-pasal 438, 444-446 sepanjang mengenai pembajakan laut, dan pasal 447 mengenai membawa suatu kapal ke bawah kekuasaan bajak laut.
Dewasa ini makin banyak perjanjian antara Indonesia dengan negara asing untuk menumpas suatu tindak pidana yang dalam sistem hukum negara lain juga dianggap sebagai tindak pidana, apalagi tindak pidana tersebut memiliki karakteristik yang transnasional, umpamanya kejahatan narkotika, psikotropika, perdagangan orang, perompakan di laut dan lain sebagainya.
Dewasa ini pula, asas universal banyak diterapkan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Seluruh dunia merasa berkepentingan dengan aksi-aksi terorisme, karenanya sebagian besar negara sepakat bahwa terorisme adalah kejahatan universal yang dengan demikian menjadi universal pula kewenangan untuk menangani dan mengadilinya.





B.  Asas be bis in idem
Dalam pasal 76 KUHP terdapat prinsip penting yaitu bahwa seseorang tidak dapat dituntut sekali lagi atas perbuatan yang sama karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim telah berkekuatan hukum tetap.[10]
Dasar pikiran atau ratio dari asas ini ialah :
a.    Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan Negara)
b.    Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan.
Penuntutan terhadap seseorang dapat hapus berdasar neb is in idem, apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.                   Ada putusan yang berkekuatan hukum tetap
                           Keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap disini adalah keputusan hakim yang dapat berupa :
1)        Pembebasan (vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP
2)        Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtvervolging) pasal 191 ayat (2) KUHAP
3)        Penjatuhan pidana pasal 193 ayat (1) KUHAP
Jadi keputusan-keputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti tidaknya tindak pidana atau kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem tidak berlaku untuk keputusan hakim yang belum berhubungan dengan pokok perkara, yang biasanya disebut “penetapan-penetapan” (beschikking), misalnya :          
1.         Tentang tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan
2.         Tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan
3.         Tetang tidak diterimanya perkara karena penuntutan sudah daluwarsa.
Jadi Apabila misalnya seorang pengendara motor menabrak penjual soto dan dia dituntut secara perdata untuk memberi ganti rugi, maka putusan hakim mengnai hal ini tidak menghalangi untuk dilakukannya penuntutan dalam perkara pidananya. Jadi dalam hal ini tidak ada neb is in idem.
b.    Orang terhadap siapun putusan itu dijatuhkan adalah sama
c.    Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Melihat pada asas tersebut (Ne Bis In Idem), terdakwa yang melakukan kejahatan tersebut tidak dihukum lagi di Indoneisa. Dan ayat kedua terhadap putusan asing: kalau putusan yang satu telah menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka penuntutan tidak dapat dilakukan dan diadakan terhadap orang itu karena perbuatan yang sama.[11]
Dengan adanya syarat ini berarti terhadap putusan tersebut harus sudah tidak ada alat hukum / upaya hukum (rechtsmiddel) yang dapat dipakai untuk merubah keputusan tersebut. Ada pendapat bahwa peninjauan kembali (herzeining) merupakan salah satu upaya hukum, sehingga pengecualian yang tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu adanya herzeining merupakan pengecualian terhadap azas ne bis in idem) sebenarnya tidak perlu. Jadi menurut pendapat ini, dengan adanya herzeining berarti putusan itu memang belum berkelanjutan dari tuntutan hukum yang pertama, jadi bukan merupakan tuntutan hukum yang kedua kali.
Prinsip ini tidak hanya mengenai hal bahwa seseorang yang telah dihukum karena telah melakukan tindak pidana, tidak boleh dituntut kembali atas perbuatan yang sama, walaupun dalam perkara pertama tersebut dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan ( ontslag van rechtsvervolging ), maka atas perbuatan yang sama tersebut tidak boleh dilakukan penuntutan kembali.
Jadi apabila pembebasan atas perkara tersebut disebabkan oleh suatu kekeliruan dalam penuntutannya, maka hal tersebut juga tidak dapat dituntut kembali walaupun dengan maksud ingin memperbaiki kekeliruan tersebut. Karena Adanya prinsip ini adalah untuk kepentingan para anggota masyarakat akan adanya suatu kepastian dan ketentraman dalam hidupnya.














BAB III
PEMBAHASAN
A.    Kasus
Badan Narkotika Nasional (BNN) berhasil membekuk seorang perempuan yang disebut sebagai ratu kurir narkoba, berinisial RW alias K, alias V di Perumahan Griya Nusantara Cibubur City Blok C nomor 11, Jakarta Timur, pada Kamis (27/6/2013).
V merupakan operator kurir penyelundupan narkoba ke Indonesia atau negara lainnya. Bersama sang suami yang saat ini masih dalam pengejaran petugas, V memiliki peran sentral dalam sindikat narkoba yang dikendalikan warga Nigeria. Deputi Bidang Pemberantasan BNN, Irjen Pol Benny Mamoto, mengatakan berdasar hasil penyelidikan V bersama suaminya yang berkewarganegaraan Nigeria memiliki peran sentral dalam sindikat narkoba yang dikendalikan Warga Negara Nigeria di beberapa negara, seperti Indonesia, India, Filipina, Singapura, dan Malaysia.
Tugas V sebagai perekrut, sementara sang suami merupakan salah seorang pengendali jaringan narkoba yang selalu berhubungan dengan jaringan narkoba lainnya asal Nigeria yang beroperasi di negara-negara tersebut."Keduanya ini sangat berpengaruh. Suaminya mengendalikan jaringan Nigeria di Malay, India, Indonesia dan negara lainnya yang selalu saling berhubungan. Barang-barang diselundupkan dari dan untuk negara yang membutuhkan. Tersangka V sendiri berperan sebagai operator kurir," kata Benny dalam konferensi pers di Lapangan Parkir BNN, Jalan MT Haryono, Jakarta Timur, Senin (1/7/2013) kemarin.[12]
Sidang Tuntutan WNA Narkoba Terdakwa warga negara asing (WNA) asal Inggris, Andrea Ruth Waldeck (kanan) mengikuti sidang dengan agenda tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jatim, Senin (16/12). Dalam sidang tersebut jaksa penuntut umum memberikan tuntutan pada terdakwa dengan 16 tahun penjara denda Rp 2 milyar subsider enam bulan.[13]
Gugurnya Hak Menuntut (Dasar Penghapus Pidana) “Analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 944/K/Pid/2006 a.n Terpidana Anastasia Kusmiati yang Didakwa dengan Kasus yang Sama pada Perkara 244/Pid .B/2009 /PN.Kbm” Riswan Suci Santo Puji Nisa Anastasia Kusmiati Pranoto diduga mengeluarkan surat utang (promissory note) palsu Rp 74 miliar di Bank Lippo Cabang Kebumen. Dia disangkakan telah menerbitkan surat utang palsu yang seolah-olah dari kantor pusat Bank Lippo. Putusan Pengadilan Negeri Kebumen No. 122/Pid.B/2005/PN.Kbm. tanggal 31 Oktober 2005: Pidana penjara selama 4 (empat) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap berada dalam tahanan. Banding, Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang mengeluarkan putusan Nomor : 265/Pid/2005/PT.Smg. tanggal 17 Januari 2006, yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Kebumen. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda Rp. 100.000.000,- subsidair 4 (empat) bulan kurungan. 2005 Kasasi, MA mengeluarkan putusan dengan Nomor 944 K/Pid/2006 yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PENCUCIAN UANG” dan dijatuhi pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan Menghukum Terdakwa dengan hukuman denda sebesar Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). KESIMPULAN Ne Bis in Idem adalah salah satu dasar penghapus pidana. Dalam kasus di atas, perkara yang kedua gugur karena adanya asas Ne Bis in Idem Analisa Kasus 1. Ne Bis in Idem 2. Dasar Hukum Pasal 76 KUHP 3. Telaah Kasus Perbuatannya sama Putusan (inkracht van gewijsde) Orangnya sama Pada tahun 2010 Jaksa Penuntut Umum mengajukan perkara 2644 /Pid.Sus/2010 dengan Terdakwa Anastasia Kusmiati (terdakwa yang telah menjalani hukuman berdasarkan putusan pengadilan Negeri yang telah diperkuat oleh putusan kasasi No. 944 K/Pid/2006), dengan dakwaan alternatif Kejahatan Perbankan dan Pemalsuan Surat. Putusan Pengadilan Negeri tanggal 25 Februari 2010 nomor :244/Pid .B/2009 /PN.Kbm adalah mengabulkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Banding, putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.185/Pid /2010 / PT.Smg. tanggal 20 Agustus 2010. Pengadilan menerima permintaan banding dari penasihat hukum Berlin Pandiangan & Rekan untuk dan atas nama terdakwa Dra. Anastasia Kusmiati Pranoto alias Mei Hwa, bahwa perkara tersebut gugur demi hukum karena ne bis in idem. Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Akan tetapi, di tingkat kasasi dalam perkara No. 2644 K/Pid.Sus/2010, Mahkamah Agung justru memperkuat putusan banding yang menyatakan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah benar ne bis in idem” 2010[14]
B.     Analisis Kasus
Dari kasus di atas terdakwa kasus tindak pidana narkoba bernama Andrea Ruth Waldeck berkewarganegaraan Inggris. Namun, dilihat dari perjalanan kasus di atas asas yang cocok dengan kasus tersebut adalah asas teritorial dimana Andrea sudah dijatuhi tuntutan pada terdakwa dengan 16 tahun penjara dan denda 2 milyar subsider enam bulan. Asas teritorial sendiri adalah bahwa hukum pidana suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Dalam pepatah adat “Dimana ada minyak, maka disitulah dipadamkan”, artinya dimana delik dilakukan maka disitulah diadili berdasarkan atas hukum yang berlaku didaerah itu. Asas ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik diwilayah tempat berlakunya hukum pidana, maka ia tunduk pada hukum pidana itu.






















BAB IV
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Asas berlakunya undang-undang hukum pidana berdasarkan tempat dapat dibedakan menjadi empat yaitu, asas teritorial ( territorialiteisbeginsel ), asas nasional aktif ( personaliteisbeginsel ), asas nasional pasif atau asas perlindungan, dan asas universal.
Asas territorial menjelaskan Bahwa hukum pidana suatu negara berlaku diwilayah negara itu sendiri. Asas ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan delik diwilayah tempat berlakunya hukum pidana, maka ia tunduk pada hukum pidana itu.
Asas nasional aktif menjelaskna bahwa ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku bagi warga negara Indoneisa yang melakukan kejahatan di luar wilayah Indonesia.
Asas Nasional Pasif yakni Prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia diluar wilayah Indonesia berdasarkan atas kerugian nasional sangat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan sehingga siapa saja termasuik orang asing yang melakukannya dimana saja, pantas untuk dihukum di pengadilan Indonesia.
Asas Universal menjelaskan bahwa Prinsip ini melihat pada suatu tata hukum internasional, dimana terlibat kepentingan bersama dari semua Negara di dunia. Apabila ada tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua Negara, maka hal ini dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap Negara, dengan tidak dipedulikan siapa yang melakukannya dan dimana ia melakukan.
Asas Nebis in Idem menyatakan bahwa bahwa seseorang tidak dapat dituntut sekali lagi atas perbuatan yang sama karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim telah berkekuatan hukum tetap.
B.     SARAN
Demikian makalah ini penulis susun, namun masih terdapat beberapa kekuarangan dalam penulisan makalah ini karena adanya keterbatasan referensi dari penulis. Untuk itu diharapkan bagi penulis selanjutnya agar dapat mengkaji pembahasan yang sama dengan lebih baik legi dengan menambah beberapa referensi buku sehingga informasi yang diberikan akan lebih baik dan lengkap.







[1] Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana,( Jakarta : Rineka Cipta,2009 ), hal.1
[2]Andi Hmzah,Asas-Asas Hukum Pidana,( cet. IV, Jakarta : Rieneka Cipta, 2010), hal. 5
[3]  (W.P.J. Pompe 1959: 507-508).
[4] Wirjono prodjodikoro, asas-asas hukum pidana di Indonesia, ( Bandung : PT Refika Aditama, 2008 ),51
[5] Saifullah, Konsep Dasar Hukum Pidana.

[6] Wirjono prodjodikoro, asas-asas hukum pidana di Indonesia,53-54
[7] Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, PT. Refika Aditama, 2011), 81.
[8] Ibid, 82.
[9] Wirjono prodjodikoro, asas-asas hukum pidana di Indonesia, 56
[10] Wirjono prodjodikoro, asas-asas hukum pidana di Indonesia, 159-160
[11] Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2007), hlm. 86.
[12] http://www.tribunnews.com/metropolitan/2013/07/02/ratu-kurir-narkoba-diduga-sindikat-nigeria 18/12/2014 10:10
[13] http://www.antaranews.com/foto/57538/sidang-tuntutan-wna-narkoba18/12/2014
[14] http://prezi.com/ejd_r-yseugm/contoh-kasus-ne-bis-in-idem/
Read More

Makalah Asas Legalitas, Asas Retroaktif, Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan

Desember 12, 2015 0


1.    Asas Legalitas (Principle of Legality)

Dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dapat kita jumpai suatu dasar yang pokok dalam tindak pidanan,yaitu adanya asas legalitas (Principle of Legality). Asas ini menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, yang dalam bahasa latin berbunyi : “Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali[1].

Rumusan Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali berasal dari seorang sarjana hukum pidana Jerman Von Feurbach yang juga berhubungan dengan teori Vom Psychologischen Zwang, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan, akan tetapi juga tentangmacam pidana yang diancamkan. Menurut Moeljatno, asas legalitas disini mengandung tiga pengertian :
a.       Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
b.      Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas)
c.       Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut[2]
Untuk bentuk analogi yang dilarang, Vos mengatakan bahwa penerapan analogi tidak diisinkan setidak-tidaknya dalam hal yang depan analogi diciptakan delik-delik dan bertentangan dengan pasal 1 ayat KUHP[3]. Akan tetapi seiring dengan perkembangan teknologi canggih sehingga perlu adanya aplikasi yang sifatnya terbatas.
Contoh kasus, A adalah programmer komputer dan menyerahkan temuannya pada firma B, suatu saat A mengkopy program temuannya itu dan membuat usaha seperti firma B. dalam keputusan ditetapkan bahwa komputer dipandang dalam arti undang-undang pindana, sehingga perbuatan A dikategorikan penggelapan.
Memang sulit memisahkan antara pengertian penafsiran ekstensif dan aplikasi analogi seperti dalam kasus tersebut. Noyon Langerijer-Remmelink member contoh lain diantara menyamakan pencurian dengan menyadap sesuatu benda cair, mesin ketik dengan pena, dan lain-lain[4].
Meskipun rumusan asas legalitas ini dari bahasa latin namun bukan ketentuannya tidak berasal dari Romawi sebab disana yang ada hanyalah kejahatan yang dinamakan Criminal Extra Ordinari artinya kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang[5]. Maka asas ini merupakan ajaran klasik abad XIX.
Asas Legalitas ini kemudian banyak muncul dalam KUHP Thailand, pasal 1 KUHP Turki, pasal 1 KUHP Jepang, dan lain-lain. Sedangkan KUHP yang tidak mencamtumkan asas legalitas yaitu KUHP yang berasal dari Inggris seperti KUHP Malaysia, KUHP Singapura, KUHP Brunei Darussalam. Sebab hukum Inggris dibentuk secara empiris yang merupakan hasil keputusan-keputusan pengadilan terhadap kasus-kasus dan juga Common Law[6].
Adanya asas ini, bagi bangsa Indonesia sendiri menurut Andi Hamzah adalah dilemma sebab banyaknya hukum adat yang tidak mungkin dikodifikasi seluruhnya. Akan tetapi jika dilihat dari sisi kepastian hukum dan perlindungan HAM memerlukan adanya asas legalitas.

2.    Asas Retroaktif (hukum transitior)
Dalam pasal 1 ayat 2 mecamtumkan bahwa adanya pembatasan terhadap pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : Apabila perundang-undangan diubah setelah waktu perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya. Hal ini dimaksudkan agar peraturan baru yang keluar dan itu lebih berat dikenakan pada terdakwa[7]. Asas ini juga merupakan pengecualian terhadap asas yang berlaku umum yakni lex temporis delicti (undang-undang yang diterapkan pada saat terjadinya perbuatan adalah undang-undang yang pada saat itu berlaku).
Menurut Vos, satu problematika yang terjadi jika suatu ketentuan yang baru sebagian menguntungkan dan sebagian lainnya tidak, atau jika hakim tidak dapat menentukan mana yang lebih menguntungkan diantara keduanya bagi terdakwa, maka ia harus kembali pada pasal 1 ayat 1 KUHP dan terdakwa tidak boleh memilih. Sedang Pompe menyatakan jika ada dua undang-undang yang sama-sama menguntungkan maka undang-undang barulah yang diterapkan sebab adanya pengecualian tersebut. Jika tidak ada pengecualian maka undang-undang lamalah yang harus diterapkan.
Memang sulit untuk memecahkan masalah seputar aplikasi ayat 1 ayat 1 itu, oleh karena itu Hazewinkel-Suringa berpendapat bahwa hukum transitoir ini dihapuskan saja. Hal sependapat juga diungkapkan oleh Jonkers yang menyatakan bahwa penghapusan ini lebih menguntungkan.

3.    Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Green Straf Zonder Schuld : Actus Non Facit Nisi Mens Sit Rea)
Asas ini ada dalam hukum yang tidak tertulis dan hidup dalam anggapan masyarakat. Andaikata ada seseorang yang dipidana tanpa mempunyai kesalahan misalnya ia melakukan perbuatan yang ia tidak tahu, bahkan tidak mungkin untuk mengetahuinya, maka ini akan mencoreng keadilan. Hendaknya dia diberi tahu terlebih dahulu tidak langsung dipidana.
Dalam KUHP ada beberapa aturan mengenai tidak pidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana misalkan pasal 44 mengenai orang yang tidak mampu bertanggungjawab atau karena adanya paksaan (overmacht).

Contoh Kasus  
Dini hari tanggal 27 Januari 2013, Raffi Ahmad beserta 16 orang lainnya ditangkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) di rumahnya atas tuduhan penyalahgunaan dan pemakaian narkoba. Raffi Ahmad, yang dicurigai oleh masyarakat setempat sering melakukan pesta di kediamannya di Jalan Gunung Balong I No 16 I, Cilandak, Jakarta Selatan kini tengah menjalani proses penyidikan guna memastikan apakah dirinya ikut terlibat dalam peredaran barang haram ini atau tidak. Dari 17 tersangka, 8 orang telah dilepaskan , karena tidak tersangkut narkoba, sedangkan 10 lainnya dikenakan perpanjangan penahanan untuk pemeriksaan selama 3x24 jam yang kedua. Dua orang telah dinyatakan positip mengkonsumsi narkoba dan salah satu diantaranya adalah Raffi Ahmad. Raffi Ahmad Sering Pesta Narkoba di Rumahnya Besar Kecil Normal
TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Penindakan Badan Narkotika Nasional, Brigadir Jenderal Benny Joshua Mamoto, mengatakan, bersama artis berinisial RA alias Raffi Ahmad, ia juga menciduk tiga artis lain.
"Kami menangkap 17 orang. 13 laki-laki, empat wanita. Dan empat di antara (semua)-nya artis," ujar dia, Ahad, 27 Januari 2013.
Mereka ditangkap di rumah Raffi di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan subuh tadi sekitar pukul 04.30 WIB. "Semua masih dalam
 pemeriksaan," kata dia.
Benny mengamankan barang bukti berupa dua linting ganja dan MDMA. "Dicampur dengan Sprite. Modusnya, pil itu dimasukkan ke dalam Sprite, lalu diminum."
Untuk meyakinkan keterlibatan mereka, kini Benny masih menunggu hasil tes urine mereka. "Mudah-mudahan setengah jam ini hasil lab keluar."
Dia menambahkan, kawanan ini telah lama diincar. "Sudah beberapa bulan diintai, kebiasaan lakukan pesta-pesta narkoba," katanya. Menurut Benny, di rumah presenter "Dahsyat" ini sering diadakan pesta narkoba. Di antara empat artis itu diduga inisialnya adalah WH, S, dan I[8].

Analisis
Dari 17 orang yang ditangkap BNN di rumah Raffi Ahmad (RA) ternyata ada 2 orang diantaranya yang positif mengkonsumsi turunan zat cathinone (3,4 Methylenedioxy-N-methylcathinone) dan 1 orang positif mengkonsumsi cathinone dan ganja. Zat turunan cathinone ini belum diatur dalam UU No 35/2009 tentang Narkotika. Karena itu, secara hukum, perbuatan mengkonsumsi cathinone tidak boleh dipidana dengan UU Narkotika, kecuali jika UU Narkotika ini direvisi dan inipun tidak boleh berlaku surut menjerat RA Cs.
Zat turunan cathinone tersebut tidak sama dengan zat catinona. Yang benar, zat turunan cathinone adalah turunan atau varian dari catinona. Berbeda dengan zatcathinone, zat catinona sendiri telah masuk dalam nomor urut 35 dari narkotika golongan I dalam UU Narkotika tersebut di atas.
Karena itu, jika niat sekali menghukum RA Cs maka cari dasar hukum lain, tapi bukan memakai atau mengkonsumsi cathinone. Pasal yang mungkin diterapkan adalah ketentuan larangan mengkonsumsi, memiliki, menyimpan, atau menguasai ganja. Dalam hal ini harus dibuktikan unsur kesengajaan/kesadaran/pengetahuan soal memiliki, menyimpan, menguasai ganja dst tersebut. Ini untuk membedakan dengan orang yang difitnah tak tahu-menahu namun ada ganja di rumah, mobil, dsb miliknya.
Bahkan, dalam perspektif yang lebih progresif, sebenarnya para pengkonsumsi ganja dsb itu, sebaiknya tidak perlu dihukum. Mereka adalah korban. Yang paling mendesak diperlukan para korban demikian adalah rehabilitasi supaya sembuh. Bukan penjara. Penjara lebih pantas pada pengedar dan bandar. Makanya ada diatur peluang rehabilitasi terhadap pencandu narkoba.
Baik. Kembali ke pokok soal. Dalam hukum pidana suatu perbuatan baru bisa dihukum jika terlebih dahulu perbuatan tersebut telah ada aturan larangannya dalam undang-undang. “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada,” demikian jelas dan tegas ditentukan oleh Pasal 1 ayat (1) KUHP. Menghukum perbuatan mengkonsumsi cathinone, dengan demikian, mutatis mutandis bertentangan dengan asas legalitas dalam KUHP ini.
Berdasarkan asas tiada pidana tanpa kesalahan tersebut di atas, ketentuan soal zat catinona tidak bisa diperluas atau dianalogikan menjadi termasuk juga cathinone. Analogi demikian terlarang dalam hukum pidana karena bertentangan dengan asas legalitas. Sebagai catatan kaki, penafsiran analogis artinya adalah memberi tafsir pada suatu kata dalam undang-undang dengan memberi ibarat (kiyas) pada istilah hukum lain yang sebelumnya telah ada, sehingga suatu perbuatan yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Apa bahayanya memaksakan analogi demikian?
Bahayanya adalah, pasal-pasal hukum akan menjadi “karet” dan meluas ke mana-mana. Dalam situasi ini sangat rawan penyalahgunaan kekuasaan atau tindakan sewenang-wenang aparat hukum kepada penduduk atau warga negara. Sementara hukum pidana itu tidak main-main, konsekuensi hukumnya bisa luar biasa serius: dari pidana penjara sampai pidana mati. Jadi, bahaya sekali.
Kita ambil contoh variasi lain dari bahaya analogi demikian jika diterapkan dalam kasus nyata. Tape atau tapai mengandung alkohol tapi tidak termasuk perbuatan yang terlarang mengkonsumsinya; sama juga dengan durian. Tidak ada larangan mengkonsumsi durian sekalipun di dalamnya mengandung unsur kimia alkohol yang dalam batas berlebihan dapat memabukkan.
Andai analogi dibolehkan maka penjual air tapai bisa kenakan Pasal 537 KUHP. Yakni, dengan menganalogikan air tapai sebagai minuman keras, sebagaimana diatur dan diancam pidana bagi penjualnya dalam Pasal 537 KUHP tersebut. Bahaya sekali, bukan? Banyak lagi contoh lainnya.
Filosofi dari kriminalisasi suatu perbuatan adalah, harus melalui persetujuan rakyat yang akan diatur perbuatan pidananya. Persetujuan rakyat untuk dijatuhi pidana jika melanggar aturan yang telah ditentukan direpresentasikan oleh persetujuan wakil rakyat waktu menyetujui suatu undang-undang atau peraturan daerah yang memuat pasal pidana. Nah, suatu perbuatan yang belum ada pidananya dalam undang-undang, dengan demikian bertentangan secara filosofis dengan kedaulatan rakyat ini.
Di Indonesia hanya ada dua saja peraturan perundang-undangan yang boleh memuat pasal pidana, yakni undang-undang (UU) dan peraturan daerah (Perda). Dimana UU boleh memuat ancaman pidana minimal 1 hari maksimal pidana mati. Sementara perda boleh memuat pasal pidana dengan ancaman pidana maksimal 6 bulan.
Mengapa hanya UU dan Perda saja yang dibolehkan oleh sistem hukum memuat pasal pidana? Bukan peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden (Keppres), peraturan meteri (Permen), dll? Adalah karena hanya dua jenis peraturan perundang-udangan ini saja yang perumusan dan pembuatannya atas persetujuan rakyat yang direpresentasikan oleh wakilnya di parlemen (DPR/D, DPRD).



KESIMPULAN

Dalam hukum Pidana terkandung asas-asas menurut tempat dan waktu. Dan diantara asas-asas tersebut yaitu, asas legalitas, dan Retroaktif dan Tiada Pidana Tanpa Kesalahan.
1.  Asas Legalitas
Seseorang tidak akan dikenakan hukuman selama berbutannya tidak terkandung dalam ketentuan undang-undang yang telah ditetapkan. 
2.  Asas Retroaktif
Sesuai dalam pasal 1 ayat 2 mecamtumkan bahwa adanya pembatasan terhadap pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : Apabila perundang-undangan diubah setelah waktu perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.
3.  Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
Seseorang melakukan perbuatan yang ia tidak tahu, bahkan tidak mungkin untuk mengetahuinya, maka ini akan mencoreng keadilan. Hendaknya dia diberi tahu terlebih dahulu tidak langsung dipidana.



Daftar Pustaka
Hamzah, Andi,1994, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta ; Renika Cipta
Moeljatno,2000, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta ; Renika Cipta
http://hukum-pidana.blogspot.com/2010/12/asas-asas-hukum-pidana.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Raffi_Ahmad





[1] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994, Hlm. 39
[2] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2000, hlm. 25
[3] Andi Hamzah, op. cit., hlm. 45
[4] Andi Hamzah, ibid., hlm. 47
[5] Moeljatno,op. cit., hlm. 24
[6] Andi Hamzah,op. cit., hlm. 41
[7] Andi Hamzah, ibid., hlm. 54
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Raffi_Ahmad
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot