1.
Asas Legalitas (Principle of Legality)
Dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dapat kita jumpai suatu dasar yang pokok dalam tindak pidanan,yaitu adanya asas legalitas (Principle of Legality). Asas ini menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, yang dalam bahasa latin berbunyi : “Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”[1].
Rumusan
Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali berasal dari
seorang sarjana hukum pidana Jerman Von Feurbach yang juga berhubungan
dengan teori Vom Psychologischen Zwang, yaitu yang menganjurkan supaya
dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam peraturan bukan saja
tentang macamnya perbuatan, akan tetapi juga tentangmacam pidana yang
diancamkan. Menurut Moeljatno, asas legalitas disini mengandung tiga pengertian
:
a.
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal
itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
b.
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi
(qiyas)
c.
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut[2]
Untuk bentuk analogi yang dilarang, Vos mengatakan bahwa penerapan
analogi tidak diisinkan setidak-tidaknya dalam hal yang depan analogi
diciptakan delik-delik dan bertentangan dengan pasal 1 ayat KUHP[3].
Akan tetapi seiring dengan perkembangan teknologi canggih sehingga perlu adanya
aplikasi yang sifatnya terbatas.
Contoh kasus, A adalah programmer komputer dan menyerahkan temuannya
pada firma B, suatu saat A mengkopy program temuannya itu dan membuat usaha
seperti firma B. dalam keputusan ditetapkan bahwa komputer dipandang dalam arti
undang-undang pindana, sehingga perbuatan A dikategorikan penggelapan.
Memang sulit memisahkan antara pengertian penafsiran ekstensif dan
aplikasi analogi seperti dalam kasus tersebut. Noyon Langerijer-Remmelink
member contoh lain diantara menyamakan pencurian dengan menyadap sesuatu benda
cair, mesin ketik dengan pena, dan lain-lain[4].
Meskipun rumusan asas legalitas ini dari bahasa latin namun bukan
ketentuannya tidak berasal dari Romawi sebab disana yang ada hanyalah kejahatan
yang dinamakan Criminal Extra Ordinari
artinya kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang[5].
Maka asas ini merupakan ajaran klasik abad XIX.
Asas Legalitas ini kemudian banyak muncul dalam KUHP Thailand, pasal 1
KUHP Turki, pasal 1 KUHP Jepang, dan lain-lain. Sedangkan KUHP yang tidak
mencamtumkan asas legalitas yaitu KUHP yang berasal dari Inggris seperti KUHP
Malaysia, KUHP Singapura, KUHP Brunei Darussalam. Sebab hukum Inggris dibentuk
secara empiris yang merupakan hasil keputusan-keputusan pengadilan terhadap
kasus-kasus dan juga Common Law[6].
Adanya asas ini, bagi bangsa Indonesia sendiri menurut Andi Hamzah
adalah dilemma sebab banyaknya hukum adat yang tidak mungkin dikodifikasi
seluruhnya. Akan tetapi jika dilihat dari sisi kepastian hukum dan perlindungan
HAM memerlukan adanya asas legalitas.
2.
Asas Retroaktif (hukum transitior)
Dalam pasal 1 ayat 2 mecamtumkan bahwa adanya
pembatasan terhadap pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : Apabila perundang-undangan diubah setelah waktu perbuatan dilakukan,
maka terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.
Hal ini dimaksudkan agar peraturan baru yang keluar dan itu lebih berat
dikenakan pada terdakwa[7].
Asas ini juga merupakan pengecualian terhadap asas yang berlaku umum yakni lex temporis delicti (undang-undang yang
diterapkan pada saat terjadinya perbuatan adalah undang-undang yang pada saat
itu berlaku).
Menurut Vos, satu problematika yang terjadi jika suatu
ketentuan yang baru sebagian menguntungkan dan sebagian lainnya tidak, atau
jika hakim tidak dapat menentukan mana yang lebih menguntungkan diantara
keduanya bagi terdakwa, maka ia harus kembali pada pasal 1 ayat 1 KUHP dan
terdakwa tidak boleh memilih. Sedang Pompe menyatakan jika ada dua undang-undang
yang sama-sama menguntungkan maka undang-undang barulah yang diterapkan sebab
adanya pengecualian tersebut. Jika tidak ada pengecualian maka undang-undang
lamalah yang harus diterapkan.
Memang sulit untuk memecahkan masalah seputar aplikasi
ayat 1 ayat 1 itu, oleh karena itu Hazewinkel-Suringa berpendapat bahwa hukum
transitoir ini dihapuskan saja. Hal sependapat juga diungkapkan oleh Jonkers
yang menyatakan bahwa penghapusan ini lebih menguntungkan.
3.
Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Green Straf Zonder Schuld : Actus Non
Facit Nisi Mens Sit Rea)
Asas ini ada dalam hukum yang tidak tertulis dan hidup dalam anggapan
masyarakat. Andaikata ada seseorang yang dipidana tanpa mempunyai kesalahan
misalnya ia melakukan perbuatan yang ia tidak tahu, bahkan tidak mungkin untuk
mengetahuinya, maka ini akan mencoreng keadilan. Hendaknya dia diberi tahu
terlebih dahulu tidak langsung dipidana.
Dalam KUHP ada beberapa aturan mengenai tidak pidananya seseorang yang
telah melakukan perbuatan pidana misalkan pasal 44 mengenai orang yang tidak
mampu bertanggungjawab atau karena adanya paksaan (overmacht).
Contoh Kasus
Dini hari tanggal 27
Januari 2013, Raffi Ahmad beserta 16 orang lainnya ditangkap oleh Badan
Narkotika Nasional (BNN) di rumahnya atas tuduhan penyalahgunaan dan pemakaian
narkoba. Raffi Ahmad, yang dicurigai oleh masyarakat setempat sering melakukan
pesta di kediamannya di Jalan Gunung Balong I No 16 I, Cilandak, Jakarta
Selatan kini tengah menjalani proses penyidikan guna memastikan apakah dirinya
ikut terlibat dalam peredaran barang haram ini atau tidak. Dari 17 tersangka, 8
orang telah dilepaskan , karena tidak tersangkut narkoba, sedangkan 10 lainnya
dikenakan perpanjangan penahanan untuk pemeriksaan selama 3x24 jam yang kedua.
Dua orang telah dinyatakan positip mengkonsumsi narkoba dan salah satu
diantaranya adalah Raffi Ahmad. Raffi Ahmad Sering Pesta Narkoba di Rumahnya
Besar Kecil Normal
TEMPO.CO, Jakarta -
Deputi Penindakan Badan Narkotika Nasional, Brigadir Jenderal Benny Joshua
Mamoto, mengatakan, bersama artis berinisial RA alias Raffi Ahmad, ia juga
menciduk tiga artis lain.
"Kami menangkap 17
orang. 13 laki-laki, empat wanita. Dan empat di antara (semua)-nya artis,"
ujar dia, Ahad, 27 Januari 2013.
Mereka ditangkap di
rumah Raffi di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan subuh tadi sekitar pukul
04.30 WIB. "Semua masih dalam
pemeriksaan," kata dia.
Benny mengamankan barang
bukti berupa dua linting ganja dan MDMA. "Dicampur dengan Sprite.
Modusnya, pil itu dimasukkan ke dalam Sprite, lalu diminum."
Untuk meyakinkan
keterlibatan mereka, kini Benny masih menunggu hasil tes urine mereka.
"Mudah-mudahan setengah jam ini hasil lab keluar."
Dia menambahkan, kawanan
ini telah lama diincar. "Sudah beberapa bulan diintai, kebiasaan lakukan
pesta-pesta narkoba," katanya. Menurut Benny, di rumah presenter
"Dahsyat" ini sering diadakan pesta narkoba. Di antara empat artis
itu diduga inisialnya adalah WH, S, dan I[8].
Analisis
Dari
17 orang yang ditangkap BNN di rumah Raffi Ahmad (RA) ternyata ada 2 orang diantaranya
yang positif mengkonsumsi turunan zat cathinone (3,4
Methylenedioxy-N-methylcathinone) dan
1 orang positif mengkonsumsi cathinone dan ganja. Zat turunan cathinone ini belum diatur dalam
UU No 35/2009 tentang Narkotika. Karena itu, secara hukum, perbuatan
mengkonsumsi cathinone tidak
boleh dipidana dengan UU Narkotika, kecuali jika UU Narkotika ini direvisi dan
inipun tidak boleh berlaku surut menjerat RA Cs.
Zat
turunan cathinone tersebut
tidak sama dengan zat catinona. Yang benar, zat turunan cathinone adalah turunan atau varian dari catinona. Berbeda dengan zatcathinone,
zat catinona sendiri telah masuk dalam nomor urut
35 dari narkotika golongan I dalam UU Narkotika tersebut di atas.
Karena
itu, jika niat sekali menghukum RA Cs maka cari dasar hukum lain, tapi bukan
memakai atau mengkonsumsi cathinone. Pasal yang mungkin diterapkan
adalah ketentuan larangan mengkonsumsi, memiliki, menyimpan, atau menguasai
ganja. Dalam hal ini harus dibuktikan unsur kesengajaan/kesadaran/pengetahuan
soal memiliki, menyimpan, menguasai ganja dst tersebut. Ini untuk membedakan
dengan orang yang difitnah tak tahu-menahu namun ada ganja di rumah, mobil, dsb
miliknya.
Bahkan,
dalam perspektif yang lebih progresif, sebenarnya para pengkonsumsi ganja dsb
itu, sebaiknya tidak perlu dihukum. Mereka adalah korban. Yang paling mendesak
diperlukan para korban demikian adalah rehabilitasi supaya sembuh. Bukan
penjara. Penjara lebih pantas pada pengedar dan bandar. Makanya ada diatur
peluang rehabilitasi terhadap pencandu narkoba.
Baik.
Kembali ke pokok soal. Dalam hukum pidana suatu perbuatan baru bisa dihukum
jika terlebih dahulu perbuatan tersebut telah ada aturan larangannya dalam
undang-undang. “Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada,” demikian jelas dan tegas
ditentukan oleh Pasal 1 ayat (1) KUHP. Menghukum perbuatan mengkonsumsi cathinone, dengan demikian, mutatis mutandis bertentangan dengan asas legalitas
dalam KUHP ini.
Berdasarkan
asas tiada pidana tanpa kesalahan tersebut di atas, ketentuan soal zat catinona tidak bisa diperluas atau dianalogikan
menjadi termasuk juga cathinone. Analogi demikian terlarang
dalam hukum pidana karena bertentangan dengan asas legalitas. Sebagai catatan
kaki, penafsiran analogis artinya adalah memberi tafsir pada suatu kata dalam
undang-undang dengan memberi ibarat (kiyas) pada istilah hukum lain yang
sebelumnya telah ada, sehingga suatu perbuatan yang sebenarnya tidak dapat
dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Apa bahayanya
memaksakan analogi demikian?
Bahayanya
adalah, pasal-pasal hukum akan menjadi “karet” dan meluas ke mana-mana. Dalam
situasi ini sangat rawan penyalahgunaan kekuasaan atau tindakan sewenang-wenang
aparat hukum kepada penduduk atau warga negara. Sementara hukum pidana itu
tidak main-main, konsekuensi hukumnya bisa luar biasa serius: dari pidana
penjara sampai pidana mati. Jadi, bahaya sekali.
Kita
ambil contoh variasi lain dari bahaya analogi demikian jika diterapkan dalam
kasus nyata. Tape atau tapai mengandung alkohol tapi tidak termasuk
perbuatan yang terlarang mengkonsumsinya; sama juga dengan durian. Tidak ada
larangan mengkonsumsi durian sekalipun di dalamnya mengandung unsur kimia
alkohol yang dalam batas berlebihan dapat memabukkan.
Andai analogi
dibolehkan maka penjual air tapai bisa kenakan Pasal 537 KUHP. Yakni, dengan
menganalogikan air tapai sebagai minuman keras, sebagaimana diatur dan diancam
pidana bagi penjualnya dalam Pasal 537 KUHP tersebut. Bahaya sekali, bukan?
Banyak lagi contoh lainnya.
Filosofi
dari kriminalisasi suatu perbuatan adalah, harus melalui persetujuan rakyat
yang akan diatur perbuatan pidananya. Persetujuan rakyat untuk dijatuhi pidana
jika melanggar aturan yang telah ditentukan direpresentasikan oleh persetujuan
wakil rakyat waktu menyetujui suatu undang-undang atau peraturan daerah yang
memuat pasal pidana. Nah, suatu perbuatan yang belum ada pidananya dalam
undang-undang, dengan demikian bertentangan secara filosofis dengan kedaulatan
rakyat ini.
Di
Indonesia hanya ada dua saja peraturan perundang-undangan yang boleh memuat
pasal pidana, yakni undang-undang (UU) dan peraturan daerah (Perda). Dimana UU
boleh memuat ancaman pidana minimal 1 hari maksimal pidana mati. Sementara
perda boleh memuat pasal pidana dengan ancaman pidana maksimal 6 bulan.
Mengapa
hanya UU dan Perda saja yang dibolehkan oleh sistem hukum memuat pasal pidana?
Bukan peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden (Keppres), peraturan meteri
(Permen), dll? Adalah karena hanya dua jenis peraturan perundang-udangan ini
saja yang perumusan dan pembuatannya atas persetujuan rakyat yang
direpresentasikan oleh wakilnya di parlemen (DPR/D, DPRD).
KESIMPULAN
1. Asas Legalitas
Seseorang tidak akan dikenakan hukuman selama berbutannya tidak terkandung dalam ketentuan undang-undang yang telah ditetapkan.
Seseorang tidak akan dikenakan hukuman selama berbutannya tidak terkandung dalam ketentuan undang-undang yang telah ditetapkan.
2. Asas Retroaktif
Sesuai
dalam pasal 1 ayat 2 mecamtumkan bahwa adanya pembatasan terhadap pasal 1 ayat
1 yang berbunyi : Apabila
perundang-undangan diubah setelah waktu perbuatan dilakukan, maka terhadap
terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.
3. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
Seseorang melakukan perbuatan yang ia tidak tahu, bahkan tidak mungkin
untuk mengetahuinya, maka ini akan mencoreng keadilan. Hendaknya dia diberi
tahu terlebih dahulu tidak langsung dipidana.
Daftar Pustaka
Hamzah, Andi,1994, Asas-asas
Hukum Pidana, Jakarta ; Renika Cipta
Moeljatno,2000, Asas-asas
Hukum Pidana, Jakarta ; Renika Cipta
http://hukum-pidana.blogspot.com/2010/12/asas-asas-hukum-pidana.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Raffi_Ahmad
[1] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum
Pidana, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994, Hlm. 39
[2] Moeljatno, Asas-Asas Hukum
Pidana, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2000, hlm. 25
[3] Andi Hamzah, op. cit.,
hlm. 45
[4] Andi Hamzah, ibid., hlm.
47
[5] Moeljatno,op. cit., hlm. 24
[6] Andi Hamzah,op. cit., hlm. 41
[7] Andi Hamzah, ibid., hlm. 54