Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 12 Desember 2015

Makalah Hak Asasi Manusia secara yuridis dalam pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Desember 12, 2015 0




  1. PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA
Hak Asasi Manusia sering dipahami sebagai hak kodrati yang sudah ada dan dibawa oleh manusia sejak terlahir kedunia sebagai anugerah dari Tuhan yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.[1]

Sedangkan menurut Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), menyebutkan bahwa HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[2]

Tak jauh beda dengan dua definisi diatas mengenai arti HAM, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1999 menyatakan bahwa HAM ialah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu gugat oleh siapapun.[3]
PBB (Perserikatan Bangsa – Bangsa) sebagai badan dunia yang membidani lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) juga menyatakan pengertian yang senada, yaitu bahwa HAM adalah merupakan pengakuan akan martabat yang terpadu dalam diri setiap orang akan hak–hak yang sama dan tak teralihkan dari semua anggota keluarga manusia ialah dasar dari kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia.
Ditinjau dari berbagai istilah yang ditemukan dalam berbagai literature, Hak Asasi Manusia merupakan terjemahan dari “droits de I’homme” dalam bahasa Perancis yang berarti hak manusia, atau dalam bahasa Belanda disebut dengan “Mensenrechten” yang dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan “Human Rights”. Dalam literature yang lain digunakan istilah hak – hak dasar yang merupakan terjemahan dari “Basic Rights” dalam bahasa Inggris, dan dalam bahasa Belanda disebut dengan “Grondrechten”. Dan tak jarang pula yang mengistilahkan dengan hak – hak fundamental sebagai terjemahan dari “Fundamental Rechten” dalam bahasa Belanda dan “Fundamental Rights” dalam bahasa Inggris.
Dari berbagai peristilahan di atas, perlu dibedakan pengertian antara hak – hak asasi dengan hak – hak dasar. Perbedaan pokok antara kedua istilah tersebut adalah bahwa hak – hak asasi menunjukkan pada hak – hak yang memperoleh pengakuan secara internasional, sedang hak dasar diakui melalui hokum nasional. Konotasi hak – hak asasi manusia terkait erat dengan asas – asas idea dan politis, sedangkan hak dasar merupakan bagian dari hokum dasar. Selanjutnya, hak – hak asasi dimuat dalam dokumen politik yang sifatnya lebih dinamis dibandingkan dengan hak – hak dasar yang dituangkan dalam dalam dokumen yuridis seperti UUD dan Konvensi Internasional. 
Dengan mengacu pada pengertian diatas mengenai hak – hak asasi dan hak – hak dasar, kiranya perlu dipahami bahwa pengertian hak asasi juga bisa disamakan dengan hak dasar. Disamping itu, pembahasan tentang kedua hak tersebut juga dilakukan secara yuridis dan moral, artinya hak – hak asasi manusia selain diatur melalui norma – norma hokum, juga dirumuskan dalam statement – statement polotik.[4]

  1. MACAM – MACAM INSTRUMENT HAM DI INDONESIA
Sejak munculnya Deklarasi Universal HAM, secara internasional HAM telah diatur dalam ketentuan hukum sebagai instrumen internasional. Ketentuan hukum HAM atau disebut juga Instrumen HAM merupakan alat yang berupa peraturan perundang – undangan yang digunakan dalam menjamin perlindungan dan penegakan HAM. Instrumen HAM terdiri atas instrumen nasional HAM dan instrumen internasional HAM. Instrumen nasional HAM berlaku terbatas pada suatu negara sedangkan instrumen internasional HAM menjadi acuan negara – negara di dunia dan mengikat secara hukum bagi negara yang telah meratifikasinya.
Hak dan kebebasan yang tercantum dalam DUHAM mencakup sekumpulan hak yang lengkap baik itu hak sipil, politik, budaya, ekonomi, dan sosial tiap individu maupun beberapa hak kolektif. Hubungan dengan kewajiban juga dinyatakan dalam Pasal 29 (1): “Semua orang memiliki kewajiban kepada masyarakat di mana hanya didalamnya, perkembangan kepribadiannya secara bebas dan sepenuhnya dimungkinkan”.
Di Indonesia sendiri, instrumen HAM yang membidani lahirnya berbagai aturan mengenai penegakan HAM di Indonesia, terdiri atas beberapa komponen, yaitu:
1.      Undang – Undang Dasar 1945 beserta amandemennya.[5]
a.       Dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 alinea satu  menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa.
b.      Dalam batang tubuh Undang – Undang Dasar 1945 pada pasal 28 A sampai J yang merupakan amandemen kedua atas Undang – Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa:
1)      Pasal 28 A       : Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
2)      Pasal 28 B       : 
Ayat 1 : Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Ayat 2 : Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
3)      Pasal 28 C       :
Ayat 1 : Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Ayat 2 : Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
4)      Pasal 28 D       :
Ayat 1 : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Ayat 2 : Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Ayat 3 : Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Ayat 4 : Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
5)      Pasal 28 E       :
Ayat 1 : Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Ayat 2 : Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Ayat 3 : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
6)      Pasal 28 F        : Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia
7)      Pasal 28 G       :
Ayat 1 : Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Ayat 2 : Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
8)      Pasal 28 H       :
Ayat 1 : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Ayat 2 : Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Ayat 3 : Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Ayat 4 : Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
9)      Pasal 28 I        :
Ayat 1 : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Ayat 2 : Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Ayat 3 : Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Ayat 4 : Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Ayat 5 : Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
10)  Pasal 28 J        :
Ayat 1 : Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ayat 2 : Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
c.       Undang – Undang Dasar 1945 pasal 31 mengenai hak mendapat pendidikan.
d.      Undang – Undang Dasar 1945 pasal 34 mengenai hak atas jaminan sosial terutama bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar.
2.      Ketetapan MPR Nomor XVII / MPR / 1998.[6]
Ketetapan MPR ini lahir atas desakan masyarakat mengenai sikap negara pada penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia yang sudah disepakati oleh masyarakat dunia melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Isi dari ketetapan ini antara lain:
a.       Pasal 1 : Menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. 
b.      Pasal 2 : Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.   
c.       Pasal 3 : Penghormatan, penegakan, dan penyebarluasan hak asasi manusia oleh masyarakat dilaksanakan melalui gerakan kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 
d.      Pasal 4 : Pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi tentang hak asasi manusia, dilakukan oleh suatu komisi nasional hak asasi manusia yang ditetapkan dengan Undang-undang.
e.       Pasal 5 : Untuk dapat memperoleh kebulatan hubungan yang menyeluruh maka  sistematika naskah Hak Asasi Manusia disusun sebagai berikut : 
1)      Pandangan dan sikap bangsa indonesia terhadap hak asasi manusia 
2)      Piagam hak asasi manusia
3.      Undang – undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang – Undang ini lahir sebagai tindakan nyata dari pemerintah untuk peratifikasian terhadap DUHAM yang telah disepakati bersama oleh Negara – Negara di dunia. Isi dari Undang – Undang ini mencakup:[7]
a.       Hak untuk hidup.
b.      Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
c.       Hak untuk mengembangkan diri.
d.      Hak untuk memperoleh keadilan.
e.       Hak atas kebebasan pribadi.
f.       Hak atas rasa aman.
g.      Hak atas kesejahteraan.
h.      Hak turut serta dalam pemerintahan.
i.        Hak wanita.
j.        Hak anak.
Dalam Undang – Undang ini juga dibentuk suatu aturan mengenai adanya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), yang merupakan lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya. Berfungsi melaksanakan pengkajian, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
4.      Undang – Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.[8]
Undang – Undang ini lahir sebagai bentuk realisasi terhadap adanya pasal 104 dalam Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa:
a.       Ayat 1 : untuk mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan peradilan umum.
b.      Ayat 2 : pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk dengan Undang – undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun.
c.       Ayat 3 : sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, maka kasus – kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diadili oleh pengadilan yang berwenang.
5.      Undang – Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi Ras dan Etnis.
6.      Perarturan perundang – undangan nasional lain yang terkait, seperti:
a.       Keputusan Presiden Nomor 181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
b.      Undang – Undang nomor 19 tahun 1999 tentang konvensi ILO mengenai pengahapusan kerja paksa.
c.       Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
d.      Undang – undang Nomor 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR mengenai pengesahan konvenan internasional tentang hak – hak Ekosob.
e.       Undang – Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR mengenai pengesahan konvenan internasional tentang hak – hak Sipol.
f.        Undang – Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan.
g.      Undang – Undang nomor 19 tahun 2011 tentang pengesahan konvensi mengenai hak – hak penyandang Disabilitas.
h.      Undang – undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi korban.
Berbagai instrumen HAM terus bermunculan seiring banyaknya ratifikasi DUHAM oleh pemerintah Indonesia, namun berbagai instrumen tersebut haruslah tetap berpegang pada prinsip – prinsip yang telah ditetapkan, yaitu:
1.      Ratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa – Bangsa tentang Hak Asasi Manusia hanya dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945.
2.      Hak Asasi Manusia dibatasi oleh hak dan kebebasan orang lain, moral, keamanan, dan ketertiban umum.[9]
Fungsi dari adanya instrumen HAM secara umum merupakan perwujudan dari suatu negara yang mengakui melindungi Hak Asasi Manusia atau warga negaranya. Dan merupakan pedoman atau dasar setiap manusia atau warga negara di dalam memperjuangkan dan menegakkan Hak Asasi Manusia.[10]

C.    HAK ASASI MANUSIA DALAM PRESPEKTIF KONSTITUSI INDONESIA
Dalam konteks jaminan atas HAM, konstitusi memberikan arti penting tersendiri bagi terciptanya sebuah paradigma negara hukum sebagai sebuah proses dialektika demokrasi yang telah berjalan panjang dalam lintasan sejarah peradaban manusia. Jaminan atas HAM mengukuhkan pendirian bahwa negara bertanggung jawab atas tegaknya supermasi hukum. Oleh karena itu, jaminan konstitusi atas HAM penting artinya bagi pelaksanaan ketatanegaraan sebuah negara.
Konstitusi merupakan napas kehidupan ketatanegaraan sebuah negara, tidak terkecuali bagi Indonesia. Konstitusi sebagai perwujudan konsensus dan penjelmaan dari kemauan rakyat memberikan jaminan atas keberlangsungan HAM secara nyata. Dalam aturan normatif konstitutional Indonesia, ditemukan pelbagai variasi ketentuan dari beberapa konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia:[11]
1.      Materi muatan HAM dalam UUD 1945.
Menyikapi jaminan UUD 1945 atas HAM, terdapat berbagai pandangan yang beragam. Ada tiga kelompok yang memiliki pandangan berbeda, yakni:
a.       Pandangan sebagian kalangan yang menilai bahwa UUD 1945 tidak memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif. Pendapat ini didasarkan pada istilah HAM yang tidak ditemukan secara eksplisit dalam UUD 1945. Namun hanya disebutkan sebagai hak dan kewajiban warga negara. Bahkan UUD tidak berbicara apapun mengenai HAM secara universal kecuali dalam dua hal, yaitu pada sila keempat dalam pancasila dan pasal 29 yang menderivasikan jaminan  “Kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah”. Mereka juga beralasan bahwa hak asasi warga negara yang tertuang dalam UUD maupun amandemen – amandemennya berbeda dengan prinsip dari hak asasi manusia. Hak asasi manusia (HAM) adalah hak kodrati, hak bawaan dan selalu ada dimanapun seseorang itu berada. Namun, hak asasi warga negara (HAW) hanya didapat jika seseorang itu berstatus menjadi warga negara. Hal ini dinilai memberikan kesan bahwa UUD 1945 tidak memiliki semangat yang kuat dalam memberikan perlindungan HAM dan memberikan pembatasan kepada HAM menjadi sekedar HAW yang itu pun harus ditentukan oleh UU yang dibuat oleh lembaga legislatif. Disebutkan lebih lanjut, bahwa banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi karena tidak adanya kesungguhan konstitusi Indonesia dalam mengelaborasi perlindungan HAM di dalam pasal – pasalnya secara eksplisit. Pandangan ini dikemukakan oleh Mahfudz MD dan Bambang Sutiyoso.[12]
b.      Pandangan kedua menyatakan bahwa UUD 1945 sarat muatan akan HAM. Karena dalam UUD 1945 banyak pasal yang mengangkat fenomena HAM yang hidup di kalangan masyarakat, meskipun pengaturan tentang HAM tersebut tidak disebutkan secara eksplisit. Namun, HAM yang tersirat dalam UUD 1945 bersumber pada falsafah dasar dan pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila. Penegakan HAM di Indonesia yang juga sejalan dengan implementasi dari nilai – nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga menunjukkan bahwa HAM sudah termaktub dalam UUD meskipun tidak secara eksplisit. Ketentuan – ketentuan dalam UUD 1945 yang menjelaskan sekurang – kurangnya 15 pasal sudah sangat menjamin HAM. Pendapat ini didukung oleh Azhary, Dahlan Thaib, Soedjono Sumobroto dan Marwoto.[13]
c.       Pandangan yang menyatakan bahwa UUD 1945 bukan tidak menjamin HAM, melainkan tidak mencantumkannya secara sistematis. Hal ini didasarkan pada demokrasi yang diakui sebagai pilihan terbaik bagi sistem dan arah kehidupan sebuah bangsa, maka lahirlah suatu prinsip umum bahwa pada hakikatnya hak asasi manusia itu haruslah mendapat jaminan sesuai dengan asas demokrasi yang berlaku dan mendasari sistem politik dan kekuasaan yang sedang berjalan. Pendapat ini juga menyatakan bahwa UUD 1945 tetap mengandung pengakuan dan jaminan yang luas mengenai hak asasi manusia meskipun secara redaksional formulasi mengenai hak asasi manusia itu sangat singkat. Pandangan ini dinyatakan oleh Kuntjoro Purbopranoto, G. J. Wolhoff dan M. Solly Lubis.
Dalam UUD 1945 memang tidak ditemukan secara tekstual pengaturan tentang HAM, hal ini tentu saja berakibat pada munculnya berbagai interpretasi terhadap kualitas muatan dan jaminan UUD atas HAM. Namun UUD 1945 pada masanya telah dapat dikategorikan pada sebagai konstitusi modern yang didalamnya mengangkat perihal jaminan atas HAM, lembaga – lembaga kenegaraan, serta mekanisme kenagaraan yang diakui atau tidak lebih dahulu mencetus tentang konsep perlindungan terhadap hak asasi, baik itu hak asasi manusia atau hak asasi warga negara dibanding DUHAM.
2.      Materi HAM dalam konstitusi RIS 1949.
Konstitusi RIS yang lahir pada tahun 1949 memberikan penekanan yang signifikan tentang HAM. Hal tersebut diatur dalam bagian tersendiri yaitu dalam Bab I bagian 5 hak – hak dan kebebasan – kebebasan dasar manusia yang terbentang dalam 27 pasal. Tak hanya itu, konstitusi RIS juga mengatur kewajiban asasi negara dalam hubungannya dengan upaya penegakan HAM (Bab I, Bagian 6 Asas – asas dasar) yang tercantum pada 8 pasal. Berdasarkan hal ini, maka secara keseluruhan perihal HAM diatur dalam 2 bagian (Bagian 5 dan 6 pada Bab  I) dengan jumlah 35 pasal.
Meskipun sama dengan Undang – Undang yang tidak menyebutkan secara tekstual kata – kata Hak Asasi Manusia, namun setidaknya ada tiga kata yang digunakan untuk menyiratkan adanya hak asasi manusia dalam ketentuan – ketuannya, yaitu “setiap atau segala sekalian orang atau siapapun atau tiada seorangpun, setiap warga negara, dan berbagai kata yang menunjukkan kewajiban asasi manusia dan negara”. Keseluruhan kata ini dapat diinterpretasikan kepada makna dan arti HAM.
Hak – hak asasi manusia sebagai pribadi, keluarga dan warga negara yang dicantumkan dalam konstitusi RIS dapat dilihat dari adanya beberapa pasal berikut:[14]
1)      Pasal 7 ayat 1, ayat 2 , ayat 3 dan 4 yang menunjukkan bahwa hak setiap individu diakui oleh Undang – undang, hak persamaan dalam hukum, hak atas bantuan hukum, dan hak persamaan perlindungan menentang diskriminasi.
2)      Pasal 8 yang menunjukkan setiap orang memiliki hak atas keamanan.
3)      Pasal 9 ayat 1 dan 2 menunjukkan bahwa setiap individu memiliki hak atas kebebasan bergerak dan hak untuk meninggalkan negeri.
4)      Pasal 10, 11 dan 12 menunjukkan bahwa setiap individu memiliki hak untuk tidak diperbudak, hak untuk mendapat proses hukum, dan hak untuk tidak dianiaya.
5)      Pasal 13 ayat 1 dan 2 serta pasal 14 ayat 1, 2, dan 3 menunjukkan bahwa setiap individu memiliki hak atas peradilan yang adil, hak atas pelayanan hukum dari para hakim serta hak dianggap tidak bersalah.
6)      Pasal 18 dan 19 menunjukkan bahwa setiap individu memilki hak atas kebebasan berfikir dan beragama serta hak atas kebebasan berpendapat.
7)      Pasal 21 ayat 1 dan pasal 25 ayat 1 dan ayat 2 menjelaskan bahwa setiap individu memiliki hak atas penuntutan, hak atas kepemilikan, serta hak untuk tidak dirampas hak miliknya.
8)      Pasal 27 ayat 2 dan pasal 28 menunjukkan bahwa setiap individu memiliki hak atas kerja dan hak untuk membentuk serikat kerja.
9)      Pasal 37 menunjukkan bahwa setiap keluarga berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara.
10)  Pasal 24 ayat 1 menunjukkan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk dilindungi oleh negara dan penguasa.
11)  Pasal 35 menunjukkan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan jaminan sosial.
12)  Pasal 36 ayat 1 menunjukkan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan kemakmuran dari penguasa.
13)  Pasal 38 menunjukkan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mengusahakan kebudayaan dan kesenian yang dilindungi oleh pemerintah dan penguasa.
14)  Pasal 39 ayat 1, 2 dan 4 menunjukkan bahwa penguasa wajib memajukan perkembangan rakyat dalam jasmani maupun rohani serta penguasa wajib memenuhi kebutuhan pengajaran rakyat.
15)  Pasal 40 menunjukkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan kebersihan umum serta kesehatan.
16)  Pasal 41 ayat 1 dan 2 menunjukkan bahwa penguasa wajib memberi perlindungan yang sama kepada segala perkumpulan dan persekutuan agama yang diakui serta penguasa wajib mengawasi segala perkumpulan dan persekutuan agama yang patuh terhadap undang – undang.
Dari sekian banyaknya pasal dalam konstitusi RIS yang mengandung muatan
HAM, maka rasanya tak berlebihan jika konstitusi RIS dinyatakan sebagai satu – satunya konstitusi di dunia yang dapat mengadopsi muatan – muatan dalam DUHAM.
3.      Materi muatan HAM dalam UUDS 1950.
UUDS 1950 terdiri dari 6 Bab dan 146 pasal. UUDS sendiri merupakan perubahan atas konstitusi RIS 1949, maka tidak heran jika substansi HAM dalam UUDS hampir sama dengan konstitusi RIS yang dilahirkan satu tahun sebelumnya. Namun, ada juga beberapa perbedaan mendasar dalam UUDS 1950 dengan konstitusi RIS 1949. Diantaranya adalah:
1)      Hak dasar mengenai kebebasan beragama serta bertukar agama yang dijelaskan dalam konstitusi RIS 1949 tidak dijelaskan lagi dalam UUDS 1950.
2)      Dalam pasal 21 UUDS 1950 diatur mengenai hak berdemonstrasi dan hak mogok, namun tidak dijelaskan sebelumnya oleh konstitusi RIS 1949.
3)      Mengenai pasal tentang dasar perekonomian yang dalam undang – undang telah dijelaskan pada pasal 33 UUD 1945 diadopsi kembali oleh UUDS dalam pasal 38.
Dalam UUDS 1950 pencantuman hak – hak asasi manusia sebagai pribadi, keluarga, warga negara, dan kewajiban asasi, baik oleh pribadi, warga negara, maupun negara dalam UUDS 1950 dinilai sangat sistematis.

4.      Materi muatan HAM dalam amandemen – amandemen UUD 1945.[15]
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa UUD 1945 dinilai sangat tidak mengandung HAM, dalam amandemen – amandemen UUD 1945 terus mengalami peningkatan hingga pada akhirnya memasukkan perkara HAM pada satu bab, yaitu pada Bab XA dengan 10 pasal.
Hanya saja, secara redaksional dan jangkauan lingkup HAM yang dimuat dalam amandemen kedua UUD 1945 masih terbilang sangat sederhana. Bahkan tidak menggambarkan secara tegas komitmen atas penegakan hukum dan HAM. Hal ini dapat dilihat dari adanya pasal – pasal saling tumpang tindih.
Ketidakjelasan tersebut dapat dilihat dari adanya penggabungan muatan – muatan HAM yang sebenarnya tidak singkron dan tidak bisa digabungkan. Seperti pada pasal 28C yang menggabungkan antara hak atas kebutuhan dasar dengan hak mendapat pendidikan dan seni budaya.
Dalam amandemen kedua UUD 1945 ini juga dinilai tidak konsisten karena tidak adanya klasifikasi secara jelas mengenai hak individu, hak ekonomi, hak sosial, maupun hak sebagai warga negara. HAM yang dijelaskan dalam amandemen kedua UUD 1945 masih terbilang konvensional karena apa yang dijelaskan didalamnya masih sangat klasik yang setiap manusia dapat memahaminya sebagai hak universal yang memang diakui secara universal.
5.      Materi muatan HAM dalam Peraturan Perundang – Undangan.[16]
Sebagaimana telah diketahui bahwa peraturan perundang – undangan lah yang telah menjelaskan secara rinci mengenai HAM dan segala aspek yang mencakup didalamnya. Hal ini dimulai dari lahirnya lembaga yang khusus menangani masalah HAM yang belakangan disebut dengan KOMNAS HAM pada tahun 1993. Selanjutnya, adanya ketetapan MPR RI No XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa penegakan HAM dilakukan secara struktural, kultural dan institutional. Dilanjutkan dengan lahirnya Kepres mengenai KOMNAS Anti Kekerasan Perempuan pada tahun 1998. Menyusul kemudian ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dalam Sidang Majelis Umum PBB yang mulai berlaku pada tanggal 28 September 1998. Sebagai bagian dari peraturan perundang – undangan yang mengattur juga tentang HAM, pada tanggal 26 Oktober 1998 juga lahir UU No. 9 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Sejalan dengan ini, pada tanggal 25 Mei 1999 pemerintah juga meratifikasi konvenan internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial yang lahir pada tahun 1965. Melanjutkan berbagai pangakuan dan pengokohan segala peraturan tentang HAM, pada tanggal 23 September 1999 diberlakukanlah UU No. 39 tentang HAM. Pada dasarnya, UU ini lah yang menjadi segala akar penting tentang segala bentuk peraturan perundang – undangan tentang HAM. Sebagai langkah terakhir yang juga turut menyempurnakan segala peraturan perundang – undangan tentang HAM, maka pada tanggal 23 November tahun 2000 berlakulah Undang – undang tentang pengadilan HAM No 26 tahun 2000 yang juga menjadi jawaban atas amanat pasal 104 Bab IX ayat 1 UU No. 39 tahun 1999.

D.    PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, bahwa pengadilan Hak Asasi Manusia lahir dengan adanya Undang – undang No. 26 tahun 2000. Kelahiran UU tersebut adalah merupakan jawaban dari amanat UU No. 39 tahun 1998 yang menuntut adanya suatu lembaga tertentu yang bisa menyelesaikan kasus – kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Pembentukan pengadilan HAM di Indonesia tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan secara nasional, melainkan juga tuntutan masyarakat internasional, mengingat berbagai langkah – langkah ratifikasi DUHAM oleh pemerintah Indonesia.
Pembentukan undang – undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut:[17]
1)      Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat merupakan extra ordinary crimes yang berdampak secara luas, baik secara nasional maupun internasional dan merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP serta menimbulkan kerugian, baik materiil maupun inmateriil yang melibatkan perasaan tidak aman, baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
2)      Terhadap perkara pelanggaran HAM berat diperlukan langkah – langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus.
Menurut ketentuan pasal 2 undang – undang nomor 26 tahun 2000, pengadilan hak asasi manusia merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Dengan demikian, pengadilan hak asasi manusia bukanlah suatu lembaga pengadilan yang berdiri sendiri, melainkan berada di bawah wewenang pengadilan umum, hanya saja orientasi perkaranya hanya terbatas pada perkara – perkara pelanggaran HAM saja. [18]
Pengadilan HAM sendiri berkedudukan di setiap kabupaten atau kota, yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Selanjutnya, pasal 3 ayat 2 UU No. 26 tahun 2000 menyebutkan bahwa untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pengadilan HAM berkedudukan disetiap wilayah pengadilan negeri, yaitu pengadilan negeri Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Jakarta Barat.
Sedangkan mengenai susunan majelis hakim pada pengadilan HAM terdiri atas 5 orang hakim yang berasal dari hakim pada pengadilan HAM yang bersangkutan 2 orang dan 3 orang hakim ad hoc. Majelis hakim diketuai oleh seorang hakim dari pengadilan yang bersangkutan. Untuk setiap pengadilan HAM diangkat 12 orang hakim Ad Hoc. Menurut penjelasan pasal 28 ayat 1 UU No. 26 tahun 2000, Hakim ad hoc adalah hakim yang diangkat dari luar hakim karir yang memenuhi persyaratan profesional, berdedikasi dan berintegrasi tinggi, menghayati cita – cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati HAM dan kewajiban dasar manusia.[19]
Penentuan kompetensi pengadilan hak asasi manusia dirumuskan guna mencegah terjadinya tumpang tindih kewenangan antara pengadilan hak asasi manusia dengan pengadilan pidana. Menurut pasal 4 UU No. 26 tahun 2000 ditentukan bahwa Pengadilan HAM mepunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat. Dalam pasal 7 UU No. 26 tahun 2000 ditentukan bahwa pelanggaran HAM berat adalah pelanggaran HAM yang meliputi:
1)      Kejahatan genosida.
2)      Kejahatan terhadap kemanusiaan.[20]
Yang dimaksud dengan kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:
a.       Membunuh anggota kelompok.
b.      Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota – anggota kelompok.
c.       Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.
d.      Memaksakan tindakan – tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok.
e.       Memindahkan secara paksa anak – anak dari kelompok tertentu kedalam kelompok lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, yang berupa:
a.       Pembunuhan.
b.      Pemusnahan.
c.       Perbudakan.
d.      Pengusiran atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang – wenang yang melanggar (asas – asas) ketentuan pokok hukum internasional.
e.       Penyiksaan.
f.       Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
g.      Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
h.      Penghilangan orang secara paksa.
i.        Kejahatan apartheid.
Untuk membedakan antara kejahatan terhadap kemanusiaan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, dengan tindak pidana biasa ditentukan oleh unsur – unsur berikut:
a.       Adanya serangan yang meluas atau sistematis.
b.      Diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil.
c.       Serangan tersebut berupa kelanjutan kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.
Apabila tidak memenuhi ketntuan – ketentuan diatas, maka tidak dapat dikategorikan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam konteks pelanggaran HAM, melainkan hanya berupa tindak pidana biasa. [21]
Menurut ketentuan UU No. 26 tahun 2000, Pengadilan HAM disamping berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di teritorial wilayah negara Indonesia, juga berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh warga negara Indonesia diluar wilayah teritorial Indonesia. UU No. 26 tahun 2006 juga memiliki pengecualian yang tertuang dalam pasal 6 yang menjelaskan bahwa pengadilan HAM tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara yang dilakukan oleh seseorang yang berusia dibawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan. [22]
Pada dasarnya, mengenai hukum acara yang berlaku di pengadilan HAM adalah hukum acara pidana biasa. Rangkaian acara pemeriksaan dan pemutusan perkara pelanggaran HAM berat menurut ketentuan UU No 26 tahun 2000 terdiri atas beberapa tahap, yaitu:[23]
1)      Tahap penyelidikan.
Menurut ketentuan pasal 18 UU No. 26 tahun 2006 penyelidikan pelanggaran HAM berat dilakukan oleh KOMNAS HAM. Dalam melakukan penyelidikan, penyidik berwenang melakukan hal – hal berikut:
a.       Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM berat.
b.      Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau sekelompok orang tentang terjadinya pelanggaran HAM berat, serta mencari keterangan dan bukti.
c.       Memanggil pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengarkan keterangannya.
d.      Memanggil saksi untuk dimintai keterangannya.
e.       Meninjau dan mengumpulkan keterangan ditempat kejadian dan ditempat lainnya yang dianggap perlu.
f.       Memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.
g.      Atas perintah pemyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1.      Pemeriksaan surat.
2.      Penggeledahan dan penyitaan.
3.      Pemeriksaan ditempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat – tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu.
4.      Mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
2)      Tahap penyidikan.
Menurut ketentuan pasal 21 UU No. 26 tahun 2000, kewenangan penyidikan perkara pelanggaran HAM berat berada di tangan Jaksa Agung.
3)      Tahap penuntutan.
Menurut ketentuan pasal 23 ayat 1 UU No. 26 tahun 2000, penuntutan perkara pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam pelaksanaannya, jaksa agung dapat diangkat menjadi “penuntut umum ad hoc”.
4)      Pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Perkara pelanggaran HAM berat, diperiksa dan diputus oleh pengadilan Ham dalam waktu paling lama 180 hari, terhitung sejak perkara dilimpahkan kepada pengadilan HAM yang bersangkutan. Sedangkan untuk paling lamanya pemeriksaan di sidang pengadilan HAM, dapat dilakukan penahanan terdakwa paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang dalam kurun waktu 30 hari. Apabila perkara pelanggaran HAM berat dimohonkan banding, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 hari terhitung sejak pelimpahan perkara. Penahan terdakwa untuk proses banding dapat dilakukan paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang 30 hari. Selanjutnya, apabila perkara tersebut dimohonkan kasasi kepada MA, maka harus diputus paling lama 90 hari dari sejak pelimpahan berkas perkara. Sedangakan masa penahanan terdakwa untuk proses pemeriksaan paling lama selama 60 hari dan dapat diperpanjang 30 hari. [24]


















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
            HAM memiliki banyak definisi, tetapi pada hakikatnya, definisi tersebut memiliki kesamaan. Jadi, inti definisi HAM adalah suatu hak kodrati yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun karena merupakan pemberian Tuhan yang dimilki oleh semua umat manusia tanpa terkecuali.
            Ketentuan hokum HAM atau disebut juga dengan instrument HAM merupakan alat yang berupa perundang – undangan yang digunakan dalam menjamin perlindungan penegakan HAM.
            Di Indonesia sendiri, instrument HAM terdiri dari:
1.      UUD 1945 beserta amandemennya.
2.      Ketetapan MPR RI Nomor XVII / MPR / 1998.
3.      UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
4.      UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
5.      UU Nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis.
6.      Berbagai peraturan perundang – undangan lain yang terkait.
Konstitusi merupakan napas kehidupan ketatanegaraan sebuah negara, tidak terkecuali bagi Indonesia. Konstitusi sebagai perwujudan konsensus dan penjelmaan dari kemauan rakyat memberikan jaminan atas keberlangsungan HAM secara nyata. Dalam aturan normatif konstitutional Indonesia, ditemukan pelbagai variasi ketentuan dari beberapa konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia:
1.      Materi muatan HAM dalam UUD 1945.
2.      Materi HAM dalam konstitusi RIS 1949.
3.      Materi muatan HAM dalam UUDS 1950.
4.      Materi muatan HAM dalam amandemen – amandemen UUD 1945.
5.      Materi muatan HAM dalam Peraturan Perundang – Undangan.
Pengadilan Hak Asasi Manusia lahir dengan adanya Undang – undang No. 26 tahun 2000. Kelahiran UU tersebut adalah merupakan jawaban dari amanat UU No. 39 tahun 1998 yang menuntut adanya suatu lembaga tertentu yang bisa menyelesaikan kasus – kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Pembentukan pengadilan HAM di Indonesia tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan secara nasional, melainkan juga tuntutan masyarakat internasional, mengingat berbagai langkah – langkah ratifikasi DUHAM oleh pemerintah Indonesia.
Pembentukan undang – undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut:
1.      Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat merupakan extra ordinary crimes yang berdampak secara luas, baik secara nasional maupun internasional.
2.      Terhadap perkara pelanggaran HAM berat diperlukan langkah – langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus.





[1] Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 2011), 129.
[2] Undang – Undang Dasar 1945.
[3] Rozali Abdullah, Syamsir, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), 81.
[4] Bahder Johan Nasution, Negara Hukum…..,132 – 133.
[5] Dokumen Undang – Undang Dasar 1945.
[6] Rozali Abdullah, Syamsir, Perkembangan HAM dan…, 74 – 76.
[7] Majda El – Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), 159 – 187.
[8] Majda El – Muhtaj, Hak Asasi Manusia...., 211 – 234.
[9] Rozali Abdullah, Syamsir, Perkembangan HAM dan…, 16.
[10]http://pknsmpkebondalem.blogspot.com/2009/03/pkn7-bab-hak-asasi-manusia.html?m=l, diakses hari selasa tanggal 2 April 2013.
[11] Majda El – Muhtaj, Hak Asasi Manusia....,60.
[12] Majda El – Muhtaj, Hak Asasi Manusia....,94 – 96.
[13] Majda El – Muhtaj, Hak Asasi Manusia....,96 – 98.
[14] Majda El – Muhtaj, Hak Asasi Manusia....,102 – 105.
[15] Majda El – Muhtaj, Hak Asasi Manusia....,110 – 117.
[16] Majda El – Muhtaj, Hak Asasi Manusia....,118 – 126.
[17] Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2006), 11.
[18] Rozali Abdullah, Syamsir, Perkembangan HAM...., 36 – 40.
[19] Rozali Abdullah, Syamsir, Perkembangan HAM...., 41 – 42 .
[20] Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia...., 13.
[21] Rozali Abdullah, Syamsir, Perkembangan HAM...., 59 – 60.
[22] Rozali Abdullah, Syamsir, Perkembangan HAM...., 46.
[23] Rozali Abdullah, Syamsir, Perkembangan HAM...., 48 – 56.

Read More

Makalah Konsep Hak Asasi Manusia MENURUT ISLAM DAN BARAT

Desember 12, 2015 0




KONSEP HAM MENURUT ISLAM DAN BARAT

Konsep HAM menurut persepsi islam dan Barat adalah suatu pandangan islam, yang menganggap manusia sebagai mahkluk Allah secara kodrati di anugerahi hak dasar yang disebut dengan hak asasi. Dan hak asasi ini kemudian di kenal sebagai HAM yang merupakan suatu hak dasr yang melekat pada diri manusia untuk dapat mengembangkan diri pribadi serta peranan dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia.


Adapun perbedaan prinsip antara pandangan Barat 
dengan islam tentang HAM adalah semata-mata hanya bersifat antroposentris (segala sesuatu berpusat pada manusia).
Dikarenakan manusia yang menjadi pusat segala sesuatu, dan bangsa Barat beranggapan bahwa kebebasan manusia itu merupakan suatu hak asasi. Sedangkan bagi pandanagan islam sendiri bahwa HAM itu bersifat teosentris yaitu segala sesuatu berpusat kepada Allah SWT.
·         Sebutkan macam-macam HAK dalam islam.
Macam-macam HAK dalam islam adalah   :
v  Hak-hak allah
v  Hak-hak diri sendiri
v  Hak-hak orang lain
v  Dan hak-hak semua mahluk 
Jelaskan pengertian hukum islam.
Hukum islam adalah suatu hukum yang di dalamnya menunjukkan dua bangian penting dan aturan-aturan perundang-undangan dalam islam yakni syari’ah dan fiqih. Adapun yang di maksud dari kedua kata tersebut yaitu : 
ü  Syari’ah adalah suatu makna kata yang disebut dengan jalan menuju air yang secara sederhana bahwa setiap orang harus menempuh jalan itu untuk dapat hidup, sebab air merupkan unsur yang sangat penting di dalam menompang kehidupan.jadi secara  analog dapat di simpulkan bahwa kehidupan ini sangat membutuhkan syari’ah sebagai unsur yang sangat vital untuk dapat berjalan dengan baik. Dan secara terminologi, bahwa istila syari’ah islam memiliki makna yaitu aturan undang-undang yang di turunkan allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan tuhannya yaitu manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam.
Sebagai mana di firman kan Allah dalam (QS. Al-Maidah: 48)
Artinya :

    “Dan kami telah menurunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelum-Nya, yaitu kitab-kitab (yang di turunkan sebelum-Nya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan jangalah kamu mengikuti hawa nafsu mereka denga meninggalkan kebenaran yang telah dating kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu kami jadikan aturan dan jalan terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu di jadikanya satu umat (saja), tetapi allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, berlombah-lombahlah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kembali kamu semua, lalu diberikan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihakan itu

ü  Sedangkan fiqih adalah suatu makna kata yang asal katanya paham atau pengertian yaitu merupakan yang mendalami pemahaman atau uraian terhadap syari’ah dan disebut ilmu fiqih, sedangkan orang yang mempelajarinya dan mendalaminya di kenal dengan sebutan fiqih (bentuk tunggal), atau fuqaha (bentuk jamak), istilah yang kemudian diadaptasikan ke Bahasa Indonesia sebagai ahli hukum islam. Denga demikian fiqih merupakan pemahaman para ulama terhadap rumusan teknis dan pelaksanaan syari’ah yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan dikondifikasi agar mudah di pahami.

4. Cirri-ciri hukum islam  adalah sbb :

1.     Merupakan bagian dan bersumber dan Agama islam
2.    Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat di pisahkan dan aqidah dan akhlak.
3.    Mempunyai dua istila kunci.
4.    Tediri atas dua bidang utama.
5.    Strukturnya berlapis.

5. Jelaskan fungsi dan tujuan hokum islam dalam masyarakat.

    Fungsi dan tujuan hukum islam dalam masyarakat adalah untuk mengatur hubungan manusia dengan penciptanya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan ciptaan lainnya. Sedangkan tujuannya adalah untuk menciptakan hubungan yang harmonis (seimbang) antara manusia dengan Penciptanya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan ciptaan lainnya.


6. Jelaskan pengertian demokrasi dalam piagam madinah.

    Demokrasi dalam piagam madinah adalah hubungan agama dan Negara yang telah mewariskan prinsip-prinsip yang tahan banting dalam menegahkkan masyarakat pluralistik yang harmonis. Dan piagam madinah merupakan karya besar (magnum opus) seorang Muhammad SAW. Dan Rasulullah SAW. adalah perpaduan sosok sakralitas wahyu dan profanitas dunia nyata.: sebagai nabi, negarawan, legislator, penyeru moral, pembaharu, ahli politik dan ekonomi. Dan Beliaupun berhasil menetapkan norma-norma hukum yang lebih kosmopolit dan manusiawi daripada hukum yang telah ada pada saat itu.


7. Bagaimana cara pengambilan keputusan dalam demokrasi islam.

    Cara pengambilan keputusan dalam demokrasi Islam yaitu dengan melalui suatu musyawarah untuk menyelesaikan berbagai masalah. Dan jika masalah tidak dapat di selesaikan dengan musyawarah ataupun ijtihad, maka keputusan ada di tangan khalifa.

Sebagaimana di cantum dalam QS. An-Nisaa’ : 59, di katakana bahwa khalifah dalam hal ini berkedudukan sebagai ulul amri yang wajib di ta’ati setelah Allah dan rasul-Nya. Jadi, apabila pada jalan buntu mencapai keputusan, maka penyelesaian bukan melalui pemungutan suara, melainkan khalifah untuk memutuskan pendapat mana yang akan di pakai dan di tetapkan yang nantinya akan di terapkan di khalifahan Islam untuk di ta’ati oleh seluruh rakyat termasuk khalifah dan seluruh penguasa di khalifahan Islam.
Sebagaimana yang tercantum dalam (QS. An-Nisaa’ : 59).
Artinya:

    “Hai orang-orang yang beriman ! taatilah Allah dan taatilah rasul (Muhammad), dan Ulil amri (pemegang kekuasaan), di antara kamu. Kemudian, jiak kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada allah (al-quran) dan rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih akibatnya.

8. Sebutkan perbedaan demokrasi moderen dan demokrasi Islam.

    Perbedaan demokrasi modern dengan demokrasi islam adalah sbb :

Demokrasi modern yaitu meliputi :
•    Kedaulatan yang berada di tangan rakyat.
•    Pembuatan peraturan adalah badan legislatif.
•    Keputusan ditentukan melalui musyawarah, suarah terbanyak.
•    Terdapat badan legislatif sebagai penampung aspirasi rakyat.
•    Masih terdapat revilige (hak khusus).

Sedangakan demokrasi islam terdiri atas :

•    Kedaulatan tertinggi di tangan allah SWT.
•    Pembuat peraturan hanya allah SWT.
•    Keputusan di ambil dari ijtihad, dan pada akhirnya keputusan khalifah sbg ulul amri.
•    Terdapat majelis syura sebagai badan musyawarah dalam memecahkan persoalan.
•    Tidak mengakui ada pandangan hak istimewa bagi golongan tertentu.

9. Bagaimanakah konsep demokrasi dalam piagam madinah.

    Konsep demokrasi dalam piagam madinah adalah suatu konsep yang di kembangkan untuk mengabungkan berbagai golongan, baik ras, suku, maupun agama yang tujuannya agar bisa mewariskan prinsip-prinsip dalam menegakkan masyrakat yang harmonis, agar bisa hidup dengan kongkrit tentang kerukunan dalam hidup bernegara maupun beragama.


Read More

HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN BERAGAMA

Desember 12, 2015 0






HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu konsep etika politik modem dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya manusia. Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi. Tuntutan moral itu diperlukan,

terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al-mustad’afin) dari tindakan dzalim dan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan berkuasa. Karena itu, esensi dari konsep hak asasi manusia adalah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa ada diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun; serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.
Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centred development). Konsep HAM berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan bermartabat. Konsep HAM menempatkan manusia sebagai subyek, bukan obyek dan memandang manusia sebagai makhluk yang dihargai dan dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun agamanya.
Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropolitik, hak berkumpul, serta hak beragama dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apa pun dan juga tidak boleh ada pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama.
ISU KEBEBASAN BERAGAMA DALAM DOKUMEN HAM
Isu kebebasan beragama selain tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (disingkat DUHAM), ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM, seperti dokumen Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791) dan International Bill of Rights (1966). Pasal 2 DUHAM menyatakan: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.”
Secara umum DUHAM yang diumumkan PBB tahun 1948 mengandung empat hak pokok. Pertama, hak individual atau hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak akan perdamaian, hak akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan politik, antara lain mernuat hak-hak yang telah ada dalam perundangan Indonesia seperti: hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan politik, hak seorang untuk diberi tahu alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebebasan berekspresi. Keempat, hak ekonomi, sosial dan budaya, antara lain mernuat hak untuk menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan; larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender, dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat buruh; hak untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas dari kelaparan.
Prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam dokumen HAM internasional tersebut secara jelas disebutkan dalam pasal 18: “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dimuka umum atau secara pribadi.“
Hak kebebasan beragama dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isinya sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.
DUHAM menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi manusia dasar), yaitu hak asasi manusia yang paling mendasar dan dikategorikan sebagai hak yang paling penting untuk diprioritaskan di dalam berbagai hukum dan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hak-hak asasi manusia dasar itu adalah serangkaian hak yang memastikan kebutuhan primer material dan non-material manusia dalam rangka mewujudkan eksistensi kemanusiaan manusia yang utuh, yaitu manusia yang berharga dan bermartabat. Walaupun, secara eksplisit tidak dijumpai satu ketetapan atau penjelasan yang merinci tentang hak-hak apa saja yang termasuk di dalam basic human rights ini, namun, secara umum dapat disebutkan hak-hak asasi dasar tersebut mencakup hak hidup, hak atas pangan, pelayanan medis, kebebasan dari penyiksaan, dan kebebasan beragama. Hak-hak itu, dan juga secara keseluruhan hak asasi manusia didasarkan pada satu asas yang fundamental, yaitu penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Hak kebebasan beragama digolongkan dalam kategori hak asasi dasar manusia, bersifat mutlak dan berada di dalam forum internum yang merupakan wujud dari inner freedom (freedom to be). Hak ini tergolong sebagai hak yang non-derogable. Artinya, hak yang secara spesifik dinyatakan di dalam perjanjian hak asasi manusia sebagai hak yang tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam situasi dan kondisi apa pun, termasuk selama dalam keadaan bahaya, seperti perang sipil atau invasi militer. Hak yang non-derogable ini dipandang sebagai hak paling utama dari hak asasi manusia. Hak-hak non derogable ini harus dilaksanakan dan harus dihormati oleh negara pihak dalam keadaan apapun dan dalam situasi yang bagaimanapun.
Akan tetapi, kebebasan beragama dalam bentuk kebebasan untuk mewujudkan, mengimplementasikan, atau memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang, seperti tindakan berdakwah atau menyebarkan agama atau keyakinan dan mendirikan tempat ibadah digolongkan dalam kebebasan bertindak (freedom to act). Kebebasan beragama dalam bentuk ini diperbolehkan untuk dibatasi dan bersifat bisa diatur atau ditangguhkan pelaksanaannya. Namun, perlu dicatat, bahwa penundaan pelaksanaan, pembatasan atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang. Adapun alasan yang dibenarkan untuk melakukan penundaan pelaksanaan, pembatasan, atau pengaturan itu adalah semata-mata perlindungan atas lima hal, yaitu: public safet; public order; public helth; public morals; dan protection of rights and freedom of others. Dengan demikian tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan, pengaturan atau pembatasan itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan manusia atau hak milik mereka.
Prisip kebebasan beragama di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia tidaklah berdiri sendiri melainkan selalu dikaitkan dengan kebebasan lainnya, yaitu kebebasan pikiran dan hati nurani. Pada esensinya, kebebasan beragama atau berkeyakinan mengandung paling sedikit delapan komponen, yaitu: kebebasan internal, kebebasan eksternal, non-coercion, non-discrimination, hak orang tua dan wali, kebebasan kelembagaan dan status legal, batas yang diperbolehkan bagi kebebasan eksternal dan bersifat non-derogability.
Masalahnya kemudian, apakah yang dimaksud dengan agama dalam dokumen HAM tersebut? Menarik diketahui bahwa dokumen hak asasi manusia tidak memberikan definisi yang konkret tentang apa itu agama. Alasannya, sangat jelas. Untuk menghindari kontroversi filosofis dan ideologis serta polemik yang berkepanjangan. Sebab, definisi agama sangat beragam dan amat problematik menentukan satu definisi dalam rumusan legal. Hukum hak asasi manusia internasional menemukan istilah yang tepat untuk melindungi hak-hak itu di bawah judul yang disepakati yaitu: kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama. Pada prinsipnya, kebanyakan kaidah internasional yang dikembangkan mengarah pada upaya melindungi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan. Dengan ungkapan lain, yang dilindugi dan dihormati adalah hak dan kebebasan manusia untuk memilih atau tidak memilih beragama dan berkeyakinan.
Mengapa agama tetap diperlukan manusia? Sebab, dalam menghadapi realitas hidup yang serba kompleks ini, manusia secara fisik maupun psikis selalu terhadang oleh berbagai situasi krisis, terutama tiga bentuk situasi krisis yang abadi, yaitu ketidakberdayaan, ketidakpastian, dan kelangkaan. Agama dengan wawasan supra-empirisnya dipandang sebagai satu-satunya solusi yang dapat membantu manusia menyesuaikan diri dengan situasi krisis eksistensial tersebut. Agama dapat memberikan kepada manusia kebebasan untuk mencapai niai-nilai yang mentransendensikan tuntutan dari kehadiran sosial. Karena itu, agama adalah bersifat sungguh-sungguh pribadi dan sungguh-sungguh sosial. Dalam realitas sosiologis agama sering didefinisikan sebagai sebuah sistem keyakinan dan ritual yang mengacu kepada sesuatu yang dipercayai bersifat suci yang mengikat seseorang atau kelompok, sebagaimana dinyatakan oleh Durkheim (1912). Agama juga didefinisikan sebagai rangkaian jawaban yang koheren pada dilema keberadaan manusia, berupa kelahiran, kesakitan, dan kematian, yang membuat dunia bermakna, seperti diterangkan oleh Marx Weber (1939).
Berbeda dengan pendekatan sosiologis itu, praktik empiris yang terjadi di Indonesia adalah bahwa pemerintah Indonesia merumuskan pengertian sendiri tentang agama. Agama secara sepihak oleh pemerintah (sedikitnya sebagian aparat negara) dan sebagian kelompok masyarakat diperlakukan sebagai suatu sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan kitab suci, dan oleh karena itu mengandung ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan sudah barang tentu juga kitab suci. Itulah sebabnya seringkali terdengar pendapat yang salah kaprah bahwa agama yang diakui pemerintah adalah agama-agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Lalu, sejak akhir 2006 termasuk Konghucu.
Pendekatan empiris di Indonesia itu memiliki implikasi yang merugikan masyarakat penganut kepercayaan atau agama-agama lokal yang dalam pendekatan sosiologis termasuk dalam kategori agama. Kerugian tersebut, antara lain dalam wujud tiadanya perlindungan negara terhadap hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Agama dan kepercayaan mereka tidak diakui sebagai agama yang sah dan oleh karena itu pengikutnya mendapat perlakuan yang bersifat diskriminatif, terutama dari institusi negara.
AGENDA INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAK KEBEBASAN BERAGAMA
Hal-hal apa saja sesungguhnya yang ingin dilindungi melalui agenda internasional perlindungan hak kebebasan beragama? Sebelum menjawab pertanyaan penting ini, perlu terlebih dahulu menjelaskan makna kebebasan dalam perspektif HAM.
Menurut Groome, kebebasan adalah kekuasaan atau kemampuan bertindak tanpa paksaan; ketiadaan penghalang atau hambatan; kekuasaan untuk memilih. Lebih jauh Groome membagi kebebasan dasar ke dalam dua kategori, yaitu hak-hak dan perlindungan pribadi; dan hak-hak dan perlindungan di dalam sistem keadilan. Kelompok hak dan perlindungan pribadi mencakup: kebebasan beragama; kebebasan berfikir; kebebasan berekspresi; kebebasan pers; kebebasan berserikat; kebebasan bergerak; hak untuk kehidupan pribadi; hak untuk berkumpul; hak untuk berserikat; hak atas pendidikan; dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintah. Dari sini kemudian dikenal istilah four freedom (empat kebebasan) oleh F.D. Roosevelt, yaitu: kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan berkeinginan dan kebebasan dari perasaan ketakutan.
Esensi dari kebebasan beragama atau berkeyakinan tercakup dalam delapan komponen utama, sebagai berikut.
1. Kebebasan Internal: Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama dan keyakinannya.
2. Kebebasan Eksternal: Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadahannya.
3. Tidak ada Paksaan: Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau keyakinan yang menjadi pilihannya.
4. Tidak Diskriminatif: Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk: asli atau pendatang, serta asal usulnya.
5. Hak dari Orang Tua dan Wali: Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah, jika ada untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri.
6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal: Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi komunitas keagamaan adalah untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.
7. Pembatasan yang dijinkan pada Kebebasan Eksternal: Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang, dan itupun semata-mata demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum, serta dalam rangka melindungi hak-hak asasi dan kebebasan orang lain.
8. Non-Derogability: Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apapun dan atas alasan apapun.
Bagaimana Seharusnya Bentuk Perlindungan Hak Kebebasan Beragama di Indonesia?
Prinsip kebebasan beragama di Indonesia di samping mengacu kepada instrumen internasional mengenai HAM, seperti dipaparkan sebelumnya, juga harus mengacu kepada konstitusi dan sejumlah Undang-undang lainnya yang berkaitan dengan penegakan HAM. Di antaranya, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU No. 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2003 tentang perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan Internasional tentang pemenuhan hak-hak sipil dan politik dari seluruh warga negara tanpa kecuali.
Pemaknaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia harus dimulai dari pengakuan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu selanjutnya diikuti dengan ketentuan mengenai kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kebebasan disini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat individu. Dengan ungkapan lain, agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara cukup menjamin dan menfasilitasi agar warga negara dapat menjalankan agama dan peribadatannya dengan nyaman dan aman, bukan menetapkan mana ajaran agama atau bentuk peribadatan yang harus dan tidak harus dilakukan oleh warga negara. Demikian pula, negara sama sekali tidak berhak mengakui atau tidak mengakui suatu agama; negara juga tidak berhak memutuskan mana agama resmi dan tidak resmi; tidak berhak menentukan mana agama induk dan mana agama sempalan. Negara pun tidak berhak mengklaim kebenaran agama dari kelompok mayoritas dan mengabaikan kelompok minoritas. Bahkan, negara juga tidak berhak mendefinisikan apa itu agama. Penentuan agama atau bukan hendaknya diserahkan saja sepenuhnya kepada penganut agama bersangkutan. Bahkan, menurut Agus Salim, salah satu tokoh penting the Founding Fathers Indonesia, Pancasila menjamin setiap warga negara memeluk agama apapun, bahkan juga menjamin setiap warga negara untuk memilih tidak beragama sekalipun.
Kebebasan beragama, adalah prinsip yang sangat penting dalam kehidupan bernegara dan berbangsa sehingga harus dipahami makna dan konsekuensinya, baik oleh negara maupun masyarakat. Oleh sebab itu prinsip ini perlu diwujudkan ke dalam suatu UU yang memayungi kebebasan beragama. UU ini diperlukan untuk memproteksi warga dari tindakan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan berbasis agama sekaligus juga membatasi otoritas negara sehingga tidak menimbulkan campur tangan negara dalam hal aqidah (dasar-dasar kepercayaan), ibadah, dan syari’at agama (code) pada umumnya. Tujuan lain adalah menyadarkan seluruh warga negara akan hak-hak asasinya sebagai manusia yang bermartabat dalam berpendapat, berkeyakinan dan beragama, serta potensi-potensi yang terkandung di balik hak-hak tersebut. UU semacam itu harus mendefinisikan kebebasan beragama secara lebih operasional.
Apa saja yang harus dicakup dalam prinsip kebebasan beragama? Mengacu kepada dokumen HAM internasional, konstitusi dan sejumlah undang-undang tersebut, maka kebebasan beragama harus dimaknai sebagai berikut.
Pertama, kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama dan kepercayaan yang dipeluk, serta kebebasan melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.
Kedua, kebebasan dan kemerdekaan menyebarkan agama, menjalankan misi atau berdakwah dengan syarat semua kegiatan penyebaran agama itu tidak menggunakan cara-cara kekerasan maupun paksaan secara langsung maupun tidak langsung. Demikian pula tidak mengeksploitasi kebodohan dan kemiskinan masyarakat atau bersifat merendahkan martabat manusia sehingga tidak dibenarkan melakukan pemberian bantuan apa pun, pembagian bahan makanan, pemberian beasiswa atau dana kemanusiaan kepada anak-anak dari keluarga miskin atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu.
Ketiga, kebebasan beragama seharusnya mencakup pula kebebasan untuk berpindah agama, artinya berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Setiap warga negara berhak untuk memilih agama dan kepercayaan apapun yang diyakininya dapat membawa kepada keselamatan dunia dan akhirat. Karena itu, berpindah agama hendaknya dipahami sebagai sebuah proses pencarian atau penemuan kesadaran baru dalam beragama.
Anehnya sikap umum pemerintah dan masyarakat terhadap orang-orang yang pindah agama tidak konsisten, dan cenderung diskriminatif. Sebab, jika seseorang itu berpindah ke dalam agama yang kita anut, kita cenderung menerimanya dengan sukacita atau bahkan merayakannya. Sebaliknya, jika seseorang itu berpindah dari agama kita ke agama lainnya (keluar dari agama kita), kita cenderung marah dan memandang pelakunya sebagai murtad, kafir, musyrik dan sebagainya. Hal ini sangat tidak adil. Bagaimana mungkin kita dapat menerima perpindahan seseorang ke dalam agama kita dan menolak hal yang sama. Sebab, orang yang pindah agama itu murtad dalam pandangan semua agama. Jika bisa menerima orang lain masuk ke dalam agama kita, seharusnya mudah pula menerima orang kita masuk ke agama lain. Mengapa dalam beragama ada semacam pikiran culas? Hanya mau untung tetapi takut rugi.
Keempat, kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebolehan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama atau berbeda sekte atau berbeda faham keagamaan sepanjang perkawinan itu tidak mengandung unsur pemaksaan dan eksploitasi. Artinya, perkawinan itu bukan dilakukan untuk tujuan perdagangan perempuan dan anak perempuan (trafficking in women and children) yang akhir-akhir ini menjadi isu global.
Yang penting dilindungi adalah hak warga negara untuk mencatatkan peristiwa penting tersebut, baik kepada lembaga pencatatan sipil maupun KUA. Negara berkewajiban mencatatkan peristiwa sipil warga, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian, sebaliknya warga negara berhak menerima pelayanan registrasi. Dalam hal ini negara tidak mencampuri urusan prosedur pernikahan berdasarkan ketentuan atau upacara agama apapun. Kedua calon mempelai berhak melangsungkan pernikahan berdasarkan pilihan dan kesepakatan bersama. Otoritas agama boleh saja membuat fatwa atau keputusan yang mengharamkan perkawinan lintas agama, atau keluarga dan individu boleh menganggap haram pernikahan antara pemeluk agama yang berbeda. Namun fatwa atau keputusan tersebut tidak mengikat negara dan masyarakat.
Kelima, kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebebasan mempelajari ajaran agama manapun di lembaga-lembaga pendidikan formal, termasuk lembaga pendidikan milik pemerintah. Konsekuensinya, setiap siswa atau mahasiswa berhak memilih atau menentukan agama mana yang akan dipelajarinya. Tidak boleh dibatasi hanya pada agama yang dianut peserta didik. Demikian juga, kebebasan untuk memilih tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Akan tetapi, lembaga pendidikan dapat mewajibkan peserta didiknya untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi pembentukan karakter warganegara yang baik.
Keenam, kebebasan beragama memungkinkan negara dapat menerima kehadiran sekte, paham, dan aliran keagamaan baru sepanjang tidak menggangu ketenteraman umum dan tidak pula melakukan praktek-praktek yang melanggar hukum, seperti perilaku kekerasan, penipuan atau pembodohan warga dengan kedok agama.
Ketujuh, kebebasan beragama mendorong lahirnya organisasi-organisasi keagamaan untuk maksud meningkatkan kesalehan warga, meningkatkan kualitas kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan ajaran agama tertentu selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu agama atau keyakinan sebagai syarat. Konsekuensinya, negara atau otoritas keagamaan apa pun tidak boleh membuat fatwa atau keputusan hukum lainnya yang menyatakan seseorang sebagai kafir, murtad atau berdosa. Atau memberi label terhadap suatu paham, sekte, aliran keagamaan atau kepercayaan tertentu sebagai paham sesat.
Kedelapan, kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di negara ini. Negara tidak boleh bersikap memihak terhadap kelompok keagamaan tertentu dan berbuat diskriminatif terhadap kelompok lainnya. Dalam konteks ini seharusnya tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, juga tidak ada istilah penganut agama samawi dan non-samawi. Demikian juga tidak perlu ada istilah agama induk dan agama sempalan. Jangan lagi ada istilah agama resmi dan tidak resmi atau diakui dan tidak diakui pemerintah. Setiap warga negara mendapatkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan agamanya.
Pengaturan Hak Kebebasan Beragama Dalam RUU KUHP
Mengamati RUU KUHP, khususnya berkaitan dengan pasal-pasal yang memuat soal tindak pidana terhadap agama terkesan tiga hal.
Pertama, bahwa RUU ini sangat ambisius mengatur soal agama. Pada UU KUHP sebelumnya masalah agama hanya diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 156 a tentang tindak pidana terhadap tindakan penodaan pada suatu agama yang dianut di Indonesia. RUU sekarang merumuskan soal agama dalam suatu bab khusus yang dinamakan Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, terdiri dari dua bagian. Pertama, soal tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama; dan kedua, soal tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah. Seluruhnya tercakup dalam 8 pasal, yakni pasal-pasal 341, 342, 343, 344, 345, 346, 347, dan 348.
Kedua, RUU ini sangat rinci mengatur soal kehidupan beragama. Mungkin tujuan semula dari para penyusun RUU tersebut adalah agar ketentuan dalam pasal-pasal Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama itu tidak menjadi pasal karet. Dapat ditafsirkan sesuai keinginan siapa saja sehingga menyulitkan bagi hakim atau pengambil keputusan untuk menetapkan keputusan yang adil dan diterima semua pihak. Akan tetapi, meskipun semakin rinci bunyi pasal-pasal tersebut tetap saja multi tafsir. Sebab, agama adalah hal yang sangat abstrak karena berada di wilayah yang paling privat dalam kehidupan manusia. Sebaliknya, agama sangat terbuka untuk penafsiran, tergantung siapa yang menafsirkan dan motivasi apa yang bermain di balik penafsiran itu.
Ketiga, RUU ini sangat diskriminatif terhadap agama-agama di luar agama resmi atau kelompok minoritas sehingga dapat menjadi pembenaran bagi munculnya kekerasan atas nama agama. Sebab, ada kesan mendalam bahwa pasal-pasal dalam RUU itu hanya melindungi agama, masyarakat, negara dalam konteks peraturan yang berlaku saat ini di tanah air. Dengan demikian, perlindungan dan proteksi yang dibangun dalam RUU ini hanya ditujukan kepada agama-agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah melalui berbagai peraturan, yaitu 6 agama saja: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu . Tambahan lagi, yang diproteksi dan dilindungi itu pun terbatas pada kelompok mainstream dari masing-masing agama tadi. Jadi, Ahmadiyah, meskipun termasuk rumpun Islam, yakni agama yang diakui, tetaqp tidak berhak dilindungi karena menyempal dari mainstream. Demikian, pula sekte dan aliran agama lainnya yang bukan mainstream. Fatalnya nanti, RUU ini dapat menjadi pembenaran bagi tindak kekerasan terhadap kelompok agama yang bukan dari 6 agama dimaksud atau terhadap kelompok minoritas atau kelompok sempalan dari keenam agama tersebut.
Berikut ini akan dipaparkan analisis kritis terhadap pasal-pasal dalam RUU KUHP yang berbicara soal tindak pidana terhadap agama dari perspektif HAM.
Pertama, pasal 341: “Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang sifatnya penghinaan terhadap agama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Kategori III“. Pertanyaan penting dalam pasal ini adalah apa yang dimaksudkan dengan penghinaan terhadap agama? Pasal ini mengesankan bahwa yang dilindugi adalah agama, dan tentu saja yang dikehendaki adalah terbatas pada enam agama yang “diresmikan“ pemerintah. Ini menyalahi ketentuan HAM, karena yang harus dilindungi adalah manusia yang menganut agama itu, bukan agama itu sendiri. Setiap manusia harus dilindungi dari semua bentuk penghinaan. Agama tidak perlu diberikan perlindungann dan memang bukan subyek yang butuh perlindungan.
Kedua, pasal 342: “Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“. Apa yang dimaksud dengan menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya? Pasal inipun mengesankan hal yang sama dengan pasal sebelumnya, yakni perlindugan terhadap Tuhan, firman dan sifat-Nya. Menggelikan sekali mengapa Tuhan harus dilindungi, bukan sebaliknya. Justru Tuhan yang harus melindungi manusia, makhluk ciptaan-Nya sendiri. Prinsip HAM berakar dari penghormatan dan penghargaan kepada manusia sebagai makhluk bermartabat, sehingga manusialah yang berhak mendapatkan perlindungan. Yang diperlukan dalam hal ini adalah perlindungan terhadap hak manusia, pilihan manusia, dan kebebasan manusia. Terserah pada manusia, agama atau kepercayaan apa yang dipilihnya sepanjang hal itu dilakukan secara sukarela, bukan dipaksa, ditekan atau diintimidasi.
Ketiga, pasal 343: “Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“. Apa yang dimaksud mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama atau ibadah keagamaan? Apakah melakukan kajian kritis, dalam bentuk kajian teologis, atau psikologis terhadap konsep agama, Rasul, Kitab Suci dan sebagainya juga termasuk dalam hal ini? Demikian pula, seirama dengan dua pasal sebelumnya, pasal inipun tidak relevan karena perlindungan disediakan bagi agama Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama atau ibadah keagamaan, bukan terhadap manusia yang memilih keyakinan atau agama tersebut.
Keempat, pasal 344: (1) “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan, suatu rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 341 atau pasal 343 dengan maksud agar isi tulisan, gambar atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV; (2) “Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tersebut.“ Pasal ini sangat berbahaya karena multi tafsir, bisa dimafaatkan oleh oknum tertentu untuk mencelakakan seseorang atau kelompok yang tidak sefaham dengannya.
Kelima, pasal 345: “Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“. Pasal ini aneh sekali, karena tidak jelas apa yang diinginkan dengan kata menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia. Sekilas pasal ini melarang upaya-upaya dakwah dan missionaris agama yang sering dianggap sebagai kegiatan menghasut penganut agama lain yang ujungnya akan meniadakan atau menukar agama seseorang. Dokumen HAM menjamin kebebasan setiap orang untuk menjalankan agamanya, menyebarkan ajaran agamanya sepanjang tidak melakukan upaya-upaya pembodohan secara nyata atau terselubung, tidak menggunakan pemaksaan, kekerasan dan intimidasi.
Keenam, pasal 346: (1) “Setiap orang yang menganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap jemaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Kategori IV; (2) “Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II“. Sekilas pasal 346 ini sangat memberikan pengharapan terhadap pemeluk agama yang selama ini sudah trauma dan putus asa karena tidak jelasnya sistem hukum yang berlangsung di negeri ini. Pasal ini secara konkret memberikan perlindungan dan proteksi terhadap siapa pun yang sedang menjalankan ibadahnya. Namun, dalam banyak kasus selama ini realisasinya, perlindungan dan proteksi adalah monopoli kelompok agama mayoritas dan mainstream.
Ketujuh, pasal 347: “Setiap orang yang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejek petugas agama yang sedang melaksanakan tugasnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Kategori III“. Sulit sekali melakukan kontrol atau memonitor perilaku mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah atau mengejek petugas agama yang sedang melaksanakan tugasnya. Sebab, perilaku mengejek sulit diidentifikasi secara jelas, tergantung siapa yang mendefinisikannya.
Kedelapan, pasal 348: “Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Kategori IV“. Sepintas, pasal ini amat berguna bagi penegakan hak kebebasan beragama di tanah air. Sebab, setiap orang yang melakukan penodaan dan keonaran akan dihukum sesuai peraturan yang berlaku. Namun, dalam implementasinya, pasal ini hanya ditujukan kepada kelompok penganut agama resmi dan kelompok mainstream. Mengapa? Karena logika yang umum dipakai aparat negara adalah bahwa penganut agama di luar agama resmi dan pengikut kelompok minoritas adalah orang-orang yang menyalahi hukum sehingga mereka tidak akan mendapatkan perlindungan hukum, bahkan pantas dihukum.
Secara umum pasal-pasal yang bicara soal penghinaan terhadap agama (pasal 341, 342, 343, dan 344) dan yang mengungkap soal penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama (pasal 345), serta yang menyatakan tentang gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan keagamaan (pasal 346-347-348) sangat jauh dari spirit perlindungan hak kebebasan beragama seperti ditegaskan dalam DUHAM, konstitusi, dan sejumlah UU nasional tentang HAM. Perlindungan hak kebebasan beragama dalam berbagai dokumen tersebut menekankan pada perlindungan hak asasi manusia, yaitu hak untuk menganut dan tidak menganut agama atau keyakinan tertentu, hak untuk melaksanakan ibadah atau ritual sesuai keyakinan dan agama, dan hak untuk menyiarkan atau mengajarkan tanpa mengancam kebebasan orang lain. Jadi, yang dilindungi adalah manusia, bukan agama, bukan Rasul, bukan Tuhan sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal tersebut.
Kebebasan individu adalah prisip dasar perlindungan manusia. Dalam konteks ini, harus dipastikan bahwa pemaksaan kehendak dan kekerasan apapun alasannya adalah penghinaan terhadap kebebasan individu dan karena itu harus diberangus atas dasar hak asasi manusia. Oleh karena itu, harus dicatat bahwa pengutamaan individu dalam hak asasi manusia bukalah pengutamaan yang egoistik, melainkan selalu diikuti dengan tuntutan kewajiban-kewajiban sosial. Artinya, pemenuhan hak asasi manusia selalu mempertimbangkan prasyarat-prasyarat sosial, tidak boleh diselenggarakan dengan cara-cara kekerasan apa pun alasannya. Kebebasan individu sealu berujung pada penghormatan kebebasan individu lain.
Dalam konteks perlindungan terhadap hak kebebasan beragama ini, seharusya negara bersipat netral dan tidak memihak kepada siapa pun dan kepada golongan agama manapun. Negara harus menjamin penyeleggaraan agama atas alasan sosial, yaitu sebagai hak individu dan sebagai pilihan bebas individu. Negara tidak menjamin isi sebuah agama atau keyakinan, Negara hanya menjamin hak manusia untuk beragama dan berkeyakinan secara bebas dan damai.
Mungkinkah Pembatasan Hak Kebebasan Beragama?
Hak kebebasan beragama tentulah bukan hak mutlak tanpa batas, melainkan dibatasi oleh kewajiban dan tanggung jawab seseorang untuk menghargai dan menghormati sesama manusia, apapun agamanya. Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi pemerintah memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pembatasan-pembatasan dalam kehidupan keagamaan. Akan tetapi, harus diingat bahwa semua bentuk pembatasan atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan dengan undang-undang. Alasan pembatasan tersebut harus terkait dengan upaya-upaya perlindungan atas lima hal yang akan dijelaskan nanti.
Pembatasan kebebasan beragama hanya diperlukan jika mengarah kepada pembatasan untuk mewujudkan, mengimplementasikan, atau memanifestasikan ajaran agama atau keyakinan seseorang yang termasuk kebebasan bertindak (freedom to act). Jadi, pembatasan tidak mencakup hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam pengertian freedom to be. Sebab, segaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kebebasan untuk mengimplementasikan ajaran agama atau keyakinan bersifat derogable, boleh dibatasi, diatur, atau ditangguhkan pelaksanaannya. Dengan demikian tujuan utama pembatasan itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan orang (kehidupan, integritas, kesehatan mereka) atau kepemilikan mereka. Pembatasan itu semata-mata dimaksudkan untuk melindungi keselamatan seluruh masyarakat.
Oleh karena itu, regulasi negara dalam kehidupan beragama tetap diperlukan. Regulasi dimaksud dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara, bukan intervensi. Untuk tujuan-tujuan tersebut, negara perlu menetapkan rambu-rambu agar para pemeluk agama tidak mengajarkan hal-hal yang mengganggu ketertiban masyarakat dan kesehatan mereka, tidak mengajarkan kekerasan (violence) kepada siapa pun dan dengan alasan apa pun, dan tidak melakukan penghinaan terhadap pengikut agama lain.
Pertanyaannya, elemen-elemen apa saja yang dapat dimuat di dalam pengaturan pembatasan tersebut? Pembatasan dimaksud sebagaimana terbaca dalam pasal 18, ayat (3): mencakup lima elemen berikut: keselamatan masyarakat (public savety), ketertiban masyarakat (public order), kesehatan masyarakat (public health), etik dan moral masyarakat (morals public), dan melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundemental rights and freedom of others). Secara lebih rinci diuraikan di bawah ini.
1. Restriction For The Protection of Public Safety (Pembatasan untuk Melindungi Keselamatan Masyarakat). Dibenarkan pembatasan dan larangan terhadap ajaran agama yang membahayakan keselamatan pemeluknya. Contohnya, ajaran agama yang ekstrim, misalnya menyuruh untuk bunuh diri, baik secara individu maupun secara massal. Atau ajaran agama yang melarang penganutnya memakai helm pelindung kepala dalam berkendaraan.
2. Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau masyarakat. Di antaranya, aturan tentang keharusan mendaftar ke badan hukum bagi organisasi keagamaan masyarakat; keharusan mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum; keharusan mendirikan tempat ibadat hanya pada lokasi yang diperuntukkan untuk umum; dan aturan pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi nara pidana.
3. Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijinkan berkaitan dengan kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, Pemerintah dapat mewajibkan petani yang bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah penularan penyakit berbahaya, seperti TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang vaksinasi, transfusi darah, melarang penggunaan infus dan seterusnya. Demikian pula, misalnya larangan terhadap ajaran agama yang mengharuskan penganutnya berpuasa sepanjang masa karena dikhawatirkan akan mengancam kesehatan mereka.
4. Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat). Misalnya, melarang implementasi ajaran agama yang menyuruh penganutnya bertelanjang bulat ketika melakukan ritual.
5. Restriction For The Protection of The Fundamental Rigths and Freedom of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan orang lain).
(1) Proselytism (Penyebaran Agama): Dengan adanya hukuman terhadap tindakan proselytism, pemerintah dapat mencampuri kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris di dalam rangka melindungi agar kebebasan beragama orang lain tidak terganggu atau dikonversikan.
(2) Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, hak kebebasan dari kekerasan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga eksploitasi hak-hak kaum minoritas.
Penutup dan Rekomendasi
Dokumen HAM internasional, konstitusi Indonesia dan sejumlah undang-undang secara tegas menyatakan kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar dan tidak boleh dikurangi sedikitpun (non-derogable). Negara menjamin pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan kebebasan beragama, baik sebagai hak asasi yang mendasar bagi setiap manusia, maupun sebagai hak sipil bagi setiap warga negara.
Upaya pemenuhan dan perlindungan terhadap hak kebebasan beragama di Indonesia yang masyarakatnya dikenal sangat heterogen dalam hal agama dan keyakinan menjadi sangat relevan dan signifikan. Sebab, akan membawa kepada tumbuhnya rasa saling menghargai dan menghormati di antara warga negara yang berbeda agama, dan pada gilirannya membawa kepada timbulnya sikap toleransi dan cinta kasih di antara mereka. Toleransi beragama dan perasaan cinta kasih merupakan faktor dominan bagi terwujudnya keadilan sosial seperti diamanatkan dalam Pancasila, dan terciptanya kerjasama kemanusiaan menuju perdamaian dunia, sebagaimana tercantum dalam cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.
Cita-cita luhur dan ideal inilah yang mendasari para pendiri republik ini (the founding fathers) ketika merumuskan dasar negara Pancasila dan UUD 1945, khususnya pasal 29 tentang kebebasan beragama. Spirit kebangsaan mereka hendaknya menjadi acuan dalam membangun peradaban bangsa ini ke depan sehingga tidak ada alasan untuk tidak mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana digariskan oleh para pendiri republik tercinta ini.
Akhirnya, sebagai rekomendasi untuk solusi ke depan, penulis mengajak seluruh elemen bangsa, seluruh unsur civil society: kelompok akademisi, korporasi, agamawan, dan budayawan agar membangun sinergi, bergandeng tangan, bahu membahu untuk menegakkan hak dan prinsip kebebasan beragama di negeri ini melalui upaya-upaya konkret sebagai berikut.
Pertama, melakukan upaya-upaya rekonstruksi budaya melalui jalur pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya, baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Perlu sekali mengubah budaya masyarakat yang eksklusif, intoleran, dan senang kekerasan menuju budaya inklusif, toleran, cinta damai dan pluralis.
Kedua, merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak kondusif bagi terwujudnya kebebasan beragama di tanah air, seperti RUU KUHP, khususnya bab tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama.
Ketiga, mengembangkan reinterpretasi ajaran agama yang lebih kondusif bagi pemenuhan hak kebebasan beragama. Itulah ajaran agama yang hakiki, ajaran yang membebaskan manusia dari belenggu tirani dan kebencian, ajaran yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Wa Allah a’lam bi as-shawab.



PASAL YANG MENGATUR KEBEBASAN BERAGAMA:
1.      Pasal 2 DUHAM menyatakan:
2.       PBB tahun 1948
3.      dokumen HAM internasional tersebut secara jelas disebutkan dalam pasal 18:
4.      UU No. 12 Tahun 2005.
Prisip kebebasan beragama di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia tidaklah berdiri sendiri melainkan selalu dikaitkan dengan kebebasan lainnya, yaitu kebebasan pikiran dan hati nurani. Pada esensinya, kebebasan beragama atau berkeyakinan mengandung paling sedikit delapan komponen, yaitu: kebebasan internal, kebebasan eksternal, non-coercion, non-discrimination, hak orang tua dan wali, kebebasan kelembagaan dan status legal, batas yang diperbolehkan bagi kebebasan eksternal dan bersifat non-derogability.
Hak dalam HAM
Hak seketika:
non-derogabl race: hak seketika dan tidak boleh ditunda seperti hak bernafas, hak hidup dll. Sebenarnya hak pendidikan termasuk dalam hak tersebut namun pemerintah belum bisa merealisasikan.
Hak yang dapat ditunda:

hak ekonomi, hak politik.
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot