- PENGERTIAN
HAK ASASI MANUSIA
Hak
Asasi Manusia sering dipahami sebagai hak kodrati yang sudah ada dan dibawa
oleh manusia sejak terlahir kedunia sebagai anugerah dari Tuhan yang tidak dapat
diganggu gugat oleh siapapun.[1]
Sedangkan menurut Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), menyebutkan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[2]
Tak
jauh beda dengan dua definisi diatas mengenai arti HAM, Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1999 menyatakan bahwa HAM ialah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan
universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin
kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat, yang
tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu gugat oleh siapapun.[3]
PBB (Perserikatan
Bangsa – Bangsa) sebagai badan dunia yang membidani lahirnya Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) juga menyatakan pengertian yang senada,
yaitu bahwa HAM adalah merupakan
pengakuan akan martabat yang terpadu dalam diri setiap orang akan hak–hak yang
sama dan tak teralihkan dari semua anggota keluarga manusia ialah dasar dari
kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia.
Ditinjau dari berbagai istilah yang ditemukan dalam berbagai
literature, Hak Asasi Manusia merupakan terjemahan dari “droits de I’homme”
dalam bahasa Perancis yang berarti hak manusia, atau dalam bahasa Belanda
disebut dengan “Mensenrechten” yang dalam bahasa Inggris diistilahkan
dengan “Human Rights”. Dalam literature yang lain digunakan istilah hak
– hak dasar yang merupakan terjemahan dari “Basic Rights” dalam bahasa
Inggris, dan dalam bahasa Belanda disebut dengan “Grondrechten”. Dan tak
jarang pula yang mengistilahkan dengan hak – hak fundamental sebagai terjemahan
dari “Fundamental Rechten” dalam bahasa Belanda dan “Fundamental
Rights” dalam bahasa Inggris.
Dari berbagai peristilahan di atas, perlu dibedakan
pengertian antara hak – hak asasi dengan hak – hak dasar. Perbedaan pokok
antara kedua istilah tersebut adalah bahwa hak – hak asasi menunjukkan pada hak
– hak yang memperoleh pengakuan secara internasional, sedang hak dasar diakui
melalui hokum nasional. Konotasi hak – hak asasi manusia terkait erat dengan
asas – asas idea dan politis, sedangkan hak dasar merupakan bagian dari hokum
dasar. Selanjutnya, hak – hak asasi dimuat dalam dokumen politik yang sifatnya
lebih dinamis dibandingkan dengan hak – hak dasar yang dituangkan dalam dalam
dokumen yuridis seperti UUD dan Konvensi Internasional.
Dengan mengacu pada pengertian diatas mengenai hak – hak
asasi dan hak – hak dasar, kiranya perlu dipahami bahwa pengertian hak asasi
juga bisa disamakan dengan hak dasar. Disamping itu, pembahasan tentang kedua
hak tersebut juga dilakukan secara yuridis dan moral, artinya hak – hak asasi
manusia selain diatur melalui norma – norma hokum, juga dirumuskan dalam
statement – statement polotik.[4]
- MACAM – MACAM INSTRUMENT HAM DI
INDONESIA
Sejak munculnya Deklarasi Universal
HAM, secara internasional HAM telah diatur dalam ketentuan hukum sebagai
instrumen internasional. Ketentuan hukum HAM atau disebut juga Instrumen HAM
merupakan alat yang berupa peraturan perundang – undangan yang digunakan dalam
menjamin perlindungan dan penegakan HAM. Instrumen HAM terdiri atas instrumen
nasional HAM dan instrumen internasional HAM. Instrumen nasional HAM berlaku
terbatas pada suatu negara sedangkan instrumen internasional HAM menjadi acuan
negara – negara di dunia dan mengikat secara hukum bagi negara yang telah
meratifikasinya.
Hak dan kebebasan
yang tercantum dalam DUHAM mencakup sekumpulan hak yang lengkap baik itu hak
sipil, politik, budaya, ekonomi, dan sosial tiap individu maupun beberapa hak
kolektif. Hubungan dengan kewajiban juga dinyatakan dalam Pasal 29 (1): “Semua
orang memiliki kewajiban kepada masyarakat di mana hanya didalamnya,
perkembangan kepribadiannya secara bebas dan sepenuhnya dimungkinkan”.
Di Indonesia sendiri, instrumen HAM yang membidani
lahirnya berbagai aturan mengenai penegakan HAM di Indonesia, terdiri atas
beberapa komponen, yaitu:
1.
Undang – Undang Dasar 1945 beserta amandemennya.[5]
a.
Dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 alinea satu menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala
bangsa.
b.
Dalam batang tubuh Undang – Undang Dasar 1945 pada pasal
28 A sampai J yang merupakan amandemen kedua atas Undang – Undang Dasar 1945
menyatakan bahwa:
1)
Pasal 28 A : Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
2)
Pasal 28 B :
Ayat 1 : Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah.
Ayat
2 : Setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
3)
Pasal 28 C :
Ayat 1 : Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia.
Ayat 2 : Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
4)
Pasal 28 D :
Ayat 1 : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Ayat
2 : Setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja.
Ayat 3 : Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
Ayat 4 : Setiap orang berhak atas status
kewarganegaraan.
5)
Pasal 28 E :
Ayat 1 : Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.
Ayat 2 : Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Ayat 3 : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat.
6)
Pasal 28 F :
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia
7)
Pasal 28 G :
Ayat 1 : Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Ayat 2 : Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan
yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik
dari negara lain.
8)
Pasal 28 H :
Ayat 1 : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
Ayat 2 : Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan.
Ayat 3 : Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Ayat 4 : Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
9)
Pasal 28 I :
Ayat 1 : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun.
Ayat 2 : Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.
Ayat 3 : Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Ayat 4 : Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Ayat 5 : Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
10) Pasal 28 J :
Ayat 1 : Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ayat 2 : Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
c.
Undang – Undang Dasar 1945 pasal 31 mengenai hak
mendapat pendidikan.
d.
Undang – Undang Dasar 1945 pasal 34 mengenai hak
atas jaminan sosial terutama bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar.
2.
Ketetapan MPR Nomor XVII / MPR / 1998.[6]
Ketetapan MPR ini lahir atas
desakan masyarakat mengenai sikap negara pada penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia
yang sudah disepakati oleh masyarakat dunia melalui Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM). Isi dari ketetapan ini antara lain:
a.
Pasal 1 :
Menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur
Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman
mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat.
b. Pasal 2 : Menugaskan kepada
Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk
meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak asasi
Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
c. Pasal 3 : Penghormatan,
penegakan, dan penyebarluasan hak asasi manusia oleh masyarakat dilaksanakan
melalui gerakan kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya
sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
d.
Pasal 4 :
Pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi tentang
hak asasi manusia, dilakukan oleh suatu komisi nasional hak asasi manusia yang
ditetapkan dengan Undang-undang.
e. Pasal 5 : Untuk dapat
memperoleh kebulatan hubungan yang menyeluruh maka sistematika naskah Hak
Asasi Manusia disusun sebagai berikut :
1) Pandangan dan sikap bangsa indonesia terhadap hak asasi
manusia
2) Piagam hak asasi manusia
3.
Undang –
undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang – Undang ini lahir sebagai
tindakan nyata dari pemerintah untuk peratifikasian terhadap DUHAM yang telah
disepakati bersama oleh Negara – Negara di dunia. Isi dari
Undang – Undang ini mencakup:[7]
a.
Hak untuk
hidup.
b.
Hak untuk
berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
c.
Hak untuk
mengembangkan diri.
d.
Hak untuk
memperoleh keadilan.
e.
Hak atas
kebebasan pribadi.
f.
Hak atas
rasa aman.
g.
Hak atas
kesejahteraan.
h.
Hak turut
serta dalam pemerintahan.
i.
Hak wanita.
j.
Hak anak.
Dalam
Undang – Undang ini juga dibentuk suatu aturan mengenai adanya Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), yang merupakan lembaga mandiri yang kedudukannya
setingkat dengan lembaga negara lainnya. Berfungsi melaksanakan pengkajian,
pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
4.
Undang –
Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.[8]
Undang
– Undang ini lahir sebagai bentuk realisasi terhadap adanya pasal 104 dalam
Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa:
a.
Ayat 1 : untuk mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan peradilan umum.
b.
Ayat 2 : pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
dibentuk dengan Undang – undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun.
c.
Ayat 3 : sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi
Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, maka kasus – kasus pelanggaran Hak
Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diadili oleh pengadilan yang
berwenang.
5.
Undang –
Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi Ras dan Etnis.
6.
Perarturan
perundang – undangan nasional lain yang terkait, seperti:
a. Keputusan
Presiden Nomor 181 tahun
1998 tentang Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
b. Undang – Undang nomor 19 tahun 1999
tentang konvensi ILO mengenai pengahapusan kerja paksa.
c. Undang – Undang Nomor 23 tahun 2004
tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
d. Undang – undang Nomor 11 tahun 2005
tentang Ratifikasi ICESCR mengenai pengesahan konvenan internasional tentang
hak – hak Ekosob.
e. Undang – Undang Nomor 12 tahun 2005
tentang Ratifikasi ICCPR mengenai pengesahan konvenan internasional tentang hak
– hak Sipol.
f. Undang –
Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan.
g. Undang – Undang nomor 19 tahun 2011 tentang pengesahan
konvensi mengenai hak – hak penyandang Disabilitas.
h. Undang – undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan
saksi korban.
Berbagai
instrumen HAM terus bermunculan seiring banyaknya ratifikasi DUHAM oleh
pemerintah Indonesia, namun berbagai instrumen tersebut haruslah tetap
berpegang pada prinsip – prinsip yang telah ditetapkan, yaitu:
1.
Ratifikasi
berbagai instrumen Perserikatan Bangsa – Bangsa tentang Hak Asasi Manusia hanya
dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang –
Undang Dasar 1945.
2.
Hak Asasi
Manusia dibatasi oleh hak dan kebebasan orang lain, moral, keamanan, dan
ketertiban umum.[9]
Fungsi
dari adanya instrumen HAM secara umum merupakan perwujudan dari suatu negara
yang mengakui melindungi Hak Asasi Manusia atau warga negaranya. Dan merupakan
pedoman atau dasar setiap manusia atau warga negara di dalam memperjuangkan dan
menegakkan Hak Asasi Manusia.[10]
C. HAK ASASI MANUSIA DALAM PRESPEKTIF KONSTITUSI INDONESIA
Dalam
konteks jaminan atas HAM, konstitusi memberikan arti penting tersendiri bagi
terciptanya sebuah paradigma negara hukum sebagai sebuah proses dialektika
demokrasi yang telah berjalan panjang dalam lintasan sejarah peradaban manusia.
Jaminan atas HAM mengukuhkan pendirian bahwa negara bertanggung jawab atas
tegaknya supermasi hukum. Oleh karena itu, jaminan konstitusi atas HAM penting
artinya bagi pelaksanaan ketatanegaraan sebuah negara.
Konstitusi
merupakan napas kehidupan ketatanegaraan sebuah negara, tidak terkecuali bagi
Indonesia. Konstitusi sebagai perwujudan konsensus dan penjelmaan dari kemauan
rakyat memberikan jaminan atas keberlangsungan HAM secara nyata. Dalam aturan
normatif konstitutional Indonesia, ditemukan pelbagai variasi ketentuan dari
beberapa konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia:[11]
1.
Materi
muatan HAM dalam UUD 1945.
Menyikapi
jaminan UUD 1945 atas HAM, terdapat berbagai pandangan yang beragam. Ada tiga
kelompok yang memiliki pandangan berbeda, yakni:
a.
Pandangan
sebagian kalangan yang menilai bahwa UUD 1945 tidak memberikan jaminan atas HAM
secara komprehensif. Pendapat ini didasarkan pada istilah HAM yang tidak
ditemukan secara eksplisit dalam UUD 1945. Namun hanya disebutkan sebagai hak
dan kewajiban warga negara. Bahkan UUD tidak berbicara apapun mengenai HAM
secara universal kecuali dalam dua hal, yaitu pada sila keempat dalam pancasila
dan pasal 29 yang menderivasikan jaminan
“Kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah”. Mereka
juga beralasan bahwa hak asasi warga negara yang tertuang dalam UUD maupun
amandemen – amandemennya berbeda dengan prinsip dari hak asasi manusia. Hak
asasi manusia (HAM) adalah hak kodrati, hak bawaan dan selalu ada dimanapun
seseorang itu berada. Namun, hak asasi warga negara (HAW) hanya didapat jika
seseorang itu berstatus menjadi warga negara. Hal ini dinilai memberikan kesan
bahwa UUD 1945 tidak memiliki semangat yang kuat dalam memberikan perlindungan
HAM dan memberikan pembatasan kepada HAM menjadi sekedar HAW yang itu pun harus
ditentukan oleh UU yang dibuat oleh lembaga legislatif. Disebutkan lebih
lanjut, bahwa banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi karena tidak adanya
kesungguhan konstitusi Indonesia dalam mengelaborasi perlindungan HAM di dalam
pasal – pasalnya secara eksplisit. Pandangan ini dikemukakan oleh Mahfudz MD
dan Bambang Sutiyoso.[12]
b.
Pandangan
kedua menyatakan bahwa UUD 1945 sarat muatan akan HAM. Karena dalam UUD 1945
banyak pasal yang mengangkat fenomena HAM yang hidup di kalangan masyarakat,
meskipun pengaturan tentang HAM tersebut tidak disebutkan secara eksplisit.
Namun, HAM yang tersirat dalam UUD 1945 bersumber pada falsafah dasar dan
pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila. Penegakan HAM di Indonesia yang juga
sejalan dengan implementasi dari nilai – nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara juga menunjukkan bahwa HAM sudah termaktub dalam UUD
meskipun tidak secara eksplisit. Ketentuan – ketentuan dalam UUD 1945 yang
menjelaskan sekurang – kurangnya 15 pasal sudah sangat menjamin HAM. Pendapat ini
didukung oleh Azhary, Dahlan Thaib, Soedjono Sumobroto dan Marwoto.[13]
c.
Pandangan
yang menyatakan bahwa UUD 1945 bukan tidak menjamin HAM, melainkan tidak
mencantumkannya secara sistematis. Hal ini didasarkan pada demokrasi yang
diakui sebagai pilihan terbaik bagi sistem dan arah kehidupan sebuah bangsa,
maka lahirlah suatu prinsip umum bahwa pada hakikatnya hak asasi manusia itu
haruslah mendapat jaminan sesuai dengan asas demokrasi yang berlaku dan
mendasari sistem politik dan kekuasaan yang sedang berjalan. Pendapat ini juga
menyatakan bahwa UUD 1945 tetap mengandung pengakuan dan jaminan yang luas
mengenai hak asasi manusia meskipun secara redaksional formulasi mengenai hak
asasi manusia itu sangat singkat. Pandangan ini dinyatakan oleh Kuntjoro Purbopranoto,
G. J. Wolhoff dan M. Solly Lubis.
Dalam
UUD 1945 memang tidak ditemukan secara tekstual pengaturan tentang HAM, hal ini
tentu saja berakibat pada munculnya berbagai interpretasi terhadap kualitas
muatan dan jaminan UUD atas HAM. Namun UUD 1945 pada masanya telah dapat
dikategorikan pada sebagai konstitusi modern yang didalamnya mengangkat perihal
jaminan atas HAM, lembaga – lembaga kenegaraan, serta mekanisme kenagaraan yang
diakui atau tidak lebih dahulu mencetus tentang konsep perlindungan terhadap hak
asasi, baik itu hak asasi manusia atau hak asasi warga negara dibanding DUHAM.
2.
Materi HAM
dalam konstitusi RIS 1949.
Konstitusi
RIS yang lahir pada tahun 1949 memberikan penekanan yang signifikan tentang
HAM. Hal tersebut diatur dalam bagian tersendiri yaitu dalam Bab I bagian 5 hak
– hak dan kebebasan – kebebasan dasar manusia yang terbentang dalam 27 pasal.
Tak hanya itu, konstitusi RIS juga mengatur kewajiban asasi negara dalam
hubungannya dengan upaya penegakan HAM (Bab I, Bagian 6 Asas – asas dasar) yang
tercantum pada 8 pasal. Berdasarkan hal ini, maka secara keseluruhan perihal
HAM diatur dalam 2 bagian (Bagian 5 dan 6 pada Bab I) dengan jumlah 35 pasal.
Meskipun
sama dengan Undang – Undang yang tidak menyebutkan secara tekstual kata – kata
Hak Asasi Manusia, namun setidaknya ada tiga kata yang digunakan untuk
menyiratkan adanya hak asasi manusia dalam ketentuan – ketuannya, yaitu “setiap
atau segala sekalian orang atau siapapun atau tiada seorangpun, setiap warga
negara, dan berbagai kata yang menunjukkan kewajiban asasi manusia dan negara”.
Keseluruhan kata ini dapat diinterpretasikan kepada makna dan arti HAM.
Hak
– hak asasi manusia sebagai pribadi, keluarga dan warga negara yang dicantumkan
dalam konstitusi RIS dapat dilihat dari adanya beberapa pasal berikut:[14]
1)
Pasal 7 ayat
1, ayat 2 , ayat 3 dan 4 yang menunjukkan bahwa hak setiap individu diakui oleh
Undang – undang, hak persamaan dalam hukum, hak atas bantuan hukum, dan hak
persamaan perlindungan menentang diskriminasi.
2)
Pasal 8 yang
menunjukkan setiap orang memiliki hak atas keamanan.
3)
Pasal 9 ayat
1 dan 2 menunjukkan bahwa setiap individu memiliki hak atas kebebasan bergerak
dan hak untuk meninggalkan negeri.
4)
Pasal 10, 11
dan 12 menunjukkan bahwa setiap individu memiliki hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk mendapat proses hukum, dan hak untuk tidak dianiaya.
5)
Pasal 13
ayat 1 dan 2 serta pasal 14 ayat 1, 2, dan 3 menunjukkan bahwa setiap individu
memiliki hak atas peradilan yang adil, hak atas pelayanan hukum dari para hakim
serta hak dianggap tidak bersalah.
6)
Pasal 18 dan
19 menunjukkan bahwa setiap individu memilki hak atas kebebasan berfikir dan
beragama serta hak atas kebebasan berpendapat.
7)
Pasal 21
ayat 1 dan pasal 25 ayat 1 dan ayat 2 menjelaskan bahwa setiap individu
memiliki hak atas penuntutan, hak atas kepemilikan, serta hak untuk tidak
dirampas hak miliknya.
8)
Pasal 27
ayat 2 dan pasal 28 menunjukkan bahwa setiap individu memiliki hak atas kerja
dan hak untuk membentuk serikat kerja.
9)
Pasal 37
menunjukkan bahwa setiap keluarga berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan
negara.
10)
Pasal 24
ayat 1 menunjukkan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk dilindungi oleh
negara dan penguasa.
11)
Pasal 35
menunjukkan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan jaminan
sosial.
12)
Pasal 36
ayat 1 menunjukkan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan
kemakmuran dari penguasa.
13)
Pasal 38
menunjukkan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mengusahakan
kebudayaan dan kesenian yang dilindungi oleh pemerintah dan penguasa.
14)
Pasal 39
ayat 1, 2 dan 4 menunjukkan bahwa penguasa wajib memajukan perkembangan rakyat
dalam jasmani maupun rohani serta penguasa wajib memenuhi kebutuhan pengajaran
rakyat.
15)
Pasal 40
menunjukkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan kebersihan umum serta
kesehatan.
16)
Pasal 41
ayat 1 dan 2 menunjukkan bahwa penguasa wajib memberi perlindungan yang sama
kepada segala perkumpulan dan persekutuan agama yang diakui serta penguasa
wajib mengawasi segala perkumpulan dan persekutuan agama yang patuh terhadap
undang – undang.
Dari
sekian banyaknya pasal dalam konstitusi RIS yang mengandung muatan
HAM, maka
rasanya tak berlebihan jika konstitusi RIS dinyatakan sebagai satu – satunya
konstitusi di dunia yang dapat mengadopsi muatan – muatan dalam DUHAM.
3.
Materi
muatan HAM dalam UUDS 1950.
UUDS
1950 terdiri dari 6 Bab dan 146 pasal. UUDS sendiri merupakan perubahan atas
konstitusi RIS 1949, maka tidak heran jika substansi HAM dalam UUDS hampir sama
dengan konstitusi RIS yang dilahirkan satu tahun sebelumnya. Namun, ada juga
beberapa perbedaan mendasar dalam UUDS 1950 dengan konstitusi RIS 1949.
Diantaranya adalah:
1)
Hak dasar
mengenai kebebasan beragama serta bertukar agama yang dijelaskan dalam
konstitusi RIS 1949 tidak dijelaskan lagi dalam UUDS 1950.
2)
Dalam pasal
21 UUDS 1950 diatur mengenai hak berdemonstrasi dan hak mogok, namun tidak
dijelaskan sebelumnya oleh konstitusi RIS 1949.
3)
Mengenai
pasal tentang dasar perekonomian yang dalam undang – undang telah dijelaskan
pada pasal 33 UUD 1945 diadopsi kembali oleh UUDS dalam pasal 38.
Dalam
UUDS 1950 pencantuman hak – hak asasi manusia sebagai pribadi, keluarga, warga
negara, dan kewajiban asasi, baik oleh pribadi, warga negara, maupun negara
dalam UUDS 1950 dinilai sangat sistematis.
4.
Materi
muatan HAM dalam amandemen – amandemen UUD 1945.[15]
Sebagaimana
yang telah dijelaskan bahwa UUD 1945 dinilai sangat tidak mengandung HAM, dalam
amandemen – amandemen UUD 1945 terus mengalami peningkatan hingga pada akhirnya
memasukkan perkara HAM pada satu bab, yaitu pada Bab XA dengan 10 pasal.
Hanya
saja, secara redaksional dan jangkauan lingkup HAM yang dimuat dalam amandemen
kedua UUD 1945 masih terbilang sangat sederhana. Bahkan tidak menggambarkan
secara tegas komitmen atas penegakan hukum dan HAM. Hal ini dapat dilihat dari adanya
pasal – pasal saling tumpang tindih.
Ketidakjelasan
tersebut dapat dilihat dari adanya penggabungan muatan – muatan HAM yang
sebenarnya tidak singkron dan tidak bisa digabungkan. Seperti pada pasal 28C
yang menggabungkan antara hak atas kebutuhan dasar dengan hak mendapat
pendidikan dan seni budaya.
Dalam
amandemen kedua UUD 1945 ini juga dinilai tidak konsisten karena tidak adanya
klasifikasi secara jelas mengenai hak individu, hak ekonomi, hak sosial, maupun
hak sebagai warga negara. HAM yang dijelaskan dalam amandemen kedua UUD 1945
masih terbilang konvensional karena apa yang dijelaskan didalamnya masih sangat
klasik yang setiap manusia dapat memahaminya sebagai hak universal yang memang
diakui secara universal.
5.
Materi
muatan HAM dalam Peraturan Perundang – Undangan.[16]
Sebagaimana
telah diketahui bahwa peraturan perundang – undangan lah yang telah menjelaskan
secara rinci mengenai HAM dan segala aspek yang mencakup didalamnya. Hal ini
dimulai dari lahirnya lembaga yang khusus menangani masalah HAM yang belakangan
disebut dengan KOMNAS HAM pada tahun 1993. Selanjutnya, adanya ketetapan MPR RI
No XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa penegakan HAM
dilakukan secara struktural, kultural dan institutional. Dilanjutkan dengan
lahirnya Kepres mengenai KOMNAS Anti Kekerasan Perempuan pada tahun 1998.
Menyusul kemudian ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau
merendahkan martabat manusia dalam Sidang Majelis Umum PBB yang mulai berlaku
pada tanggal 28 September 1998. Sebagai bagian dari peraturan perundang –
undangan yang mengattur juga tentang HAM, pada tanggal 26 Oktober 1998 juga
lahir UU No. 9 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Sejalan
dengan ini, pada tanggal 25 Mei 1999 pemerintah juga meratifikasi konvenan
internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial yang lahir
pada tahun 1965. Melanjutkan berbagai pangakuan dan pengokohan segala peraturan
tentang HAM, pada tanggal 23 September 1999 diberlakukanlah UU No. 39 tentang
HAM. Pada dasarnya, UU ini lah yang menjadi segala akar penting tentang segala
bentuk peraturan perundang – undangan tentang HAM. Sebagai langkah terakhir
yang juga turut menyempurnakan segala peraturan perundang – undangan tentang
HAM, maka pada tanggal 23 November tahun 2000 berlakulah Undang – undang
tentang pengadilan HAM No 26 tahun 2000 yang juga menjadi jawaban atas amanat
pasal 104 Bab IX ayat 1 UU No. 39 tahun 1999.
D. PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
Sebagaimana
yang telah dikemukakan diatas, bahwa pengadilan Hak Asasi Manusia lahir dengan
adanya Undang – undang No. 26 tahun 2000. Kelahiran UU tersebut adalah
merupakan jawaban dari amanat UU No. 39 tahun 1998 yang menuntut adanya suatu
lembaga tertentu yang bisa menyelesaikan kasus – kasus pelanggaran HAM di
Indonesia. Pembentukan pengadilan HAM di Indonesia tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan secara nasional, melainkan juga tuntutan masyarakat internasional,
mengingat berbagai langkah – langkah ratifikasi DUHAM oleh pemerintah
Indonesia.
Pembentukan
undang – undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, didasarkan pada
beberapa pertimbangan berikut:[17]
1)
Pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang berat merupakan extra ordinary crimes yang
berdampak secara luas, baik secara nasional maupun internasional dan merupakan
tindak pidana yang diatur dalam KUHP serta menimbulkan kerugian, baik materiil
maupun inmateriil yang melibatkan perasaan tidak aman, baik terhadap
perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam
mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman,
keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
2)
Terhadap
perkara pelanggaran HAM berat diperlukan langkah – langkah penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus.
Menurut
ketentuan pasal 2 undang – undang nomor 26 tahun 2000, pengadilan hak asasi
manusia merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Dengan
demikian, pengadilan hak asasi manusia bukanlah suatu lembaga pengadilan yang
berdiri sendiri, melainkan berada di bawah wewenang pengadilan umum, hanya saja
orientasi perkaranya hanya terbatas pada perkara – perkara pelanggaran HAM
saja. [18]
Pengadilan
HAM sendiri berkedudukan di setiap kabupaten atau kota, yang daerah hukumnya
meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Selanjutnya, pasal 3
ayat 2 UU No. 26 tahun 2000 menyebutkan bahwa untuk Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, pengadilan HAM berkedudukan disetiap wilayah pengadilan negeri, yaitu
pengadilan negeri Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur
dan Jakarta Barat.
Sedangkan
mengenai susunan majelis hakim pada pengadilan HAM terdiri atas 5 orang hakim
yang berasal dari hakim pada pengadilan HAM yang bersangkutan 2 orang dan 3
orang hakim ad hoc. Majelis hakim diketuai oleh seorang hakim dari pengadilan
yang bersangkutan. Untuk setiap pengadilan HAM diangkat 12 orang hakim Ad Hoc. Menurut
penjelasan pasal 28 ayat 1 UU No. 26 tahun 2000, Hakim ad hoc adalah hakim yang
diangkat dari luar hakim karir yang memenuhi persyaratan profesional,
berdedikasi dan berintegrasi tinggi, menghayati cita – cita negara hukum dan
negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, memahami dan menghormati HAM dan
kewajiban dasar manusia.[19]
Penentuan
kompetensi pengadilan hak asasi manusia dirumuskan guna mencegah terjadinya
tumpang tindih kewenangan antara pengadilan hak asasi manusia dengan pengadilan
pidana. Menurut pasal 4 UU No. 26 tahun 2000 ditentukan bahwa Pengadilan HAM
mepunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM
berat. Dalam pasal 7 UU No. 26 tahun 2000 ditentukan bahwa pelanggaran HAM
berat adalah pelanggaran HAM yang meliputi:
1)
Kejahatan
genosida.
2)
Kejahatan
terhadap kemanusiaan.[20]
Yang
dimaksud dengan kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:
a.
Membunuh
anggota kelompok.
b.
Mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota – anggota kelompok.
c.
Menciptakan
kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik
seluruh atau sebagiannya.
d.
Memaksakan
tindakan – tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok.
e.
Memindahkan
secara paksa anak – anak dari kelompok tertentu kedalam kelompok lain.
Sedangkan
yang dimaksud dengan kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, yang berupa:
a.
Pembunuhan.
b.
Pemusnahan.
c.
Perbudakan.
d.
Pengusiran
atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang – wenang yang melanggar
(asas – asas) ketentuan pokok hukum internasional.
e.
Penyiksaan.
f.
Perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
g.
Penganiayaan
terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham
politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain
yang telah diakui secara universal sebagai hal yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
h.
Penghilangan
orang secara paksa.
i.
Kejahatan
apartheid.
Untuk
membedakan antara kejahatan terhadap kemanusiaan yang dikategorikan sebagai
pelanggaran HAM, dengan tindak pidana biasa ditentukan oleh unsur – unsur
berikut:
a.
Adanya
serangan yang meluas atau sistematis.
b.
Diketahui
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil.
c.
Serangan
tersebut berupa kelanjutan kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.
Apabila
tidak memenuhi ketntuan – ketentuan diatas, maka tidak dapat dikategorikan
dengan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam konteks pelanggaran HAM, melainkan
hanya berupa tindak pidana biasa. [21]
Menurut
ketentuan UU No. 26 tahun 2000, Pengadilan HAM disamping berwenang untuk
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di teritorial
wilayah negara Indonesia, juga berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh warga negara Indonesia diluar wilayah
teritorial Indonesia. UU No. 26 tahun 2006 juga memiliki pengecualian yang tertuang
dalam pasal 6 yang menjelaskan bahwa pengadilan HAM tidak berwenang untuk
memeriksa dan memutus perkara yang dilakukan oleh seseorang yang berusia
dibawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan. [22]
Pada
dasarnya, mengenai hukum acara yang berlaku di pengadilan HAM adalah hukum
acara pidana biasa. Rangkaian acara pemeriksaan dan pemutusan perkara
pelanggaran HAM berat menurut ketentuan UU No 26 tahun 2000 terdiri atas
beberapa tahap, yaitu:[23]
1)
Tahap
penyelidikan.
Menurut
ketentuan pasal 18 UU No. 26 tahun 2006 penyelidikan pelanggaran HAM berat
dilakukan oleh KOMNAS HAM. Dalam melakukan penyelidikan, penyidik berwenang
melakukan hal – hal berikut:
a.
Melakukan
penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat
yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM
berat.
b.
Menerima
laporan atau pengaduan dari seseorang atau sekelompok orang tentang terjadinya
pelanggaran HAM berat, serta mencari keterangan dan bukti.
c.
Memanggil
pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengarkan
keterangannya.
d.
Memanggil
saksi untuk dimintai keterangannya.
e.
Meninjau dan
mengumpulkan keterangan ditempat kejadian dan ditempat lainnya yang dianggap
perlu.
f.
Memanggil
pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan
dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.
g.
Atas
perintah pemyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1.
Pemeriksaan
surat.
2.
Penggeledahan
dan penyitaan.
3.
Pemeriksaan
ditempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat – tempat lainnya yang
diduduki atau dimiliki pihak tertentu.
4.
Mendatangkan
ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
2)
Tahap
penyidikan.
Menurut
ketentuan pasal 21 UU No. 26 tahun 2000, kewenangan penyidikan perkara
pelanggaran HAM berat berada di tangan Jaksa Agung.
3)
Tahap
penuntutan.
Menurut
ketentuan pasal 23 ayat 1 UU No. 26 tahun 2000, penuntutan perkara pelanggaran
HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam pelaksanaannya, jaksa agung
dapat diangkat menjadi “penuntut umum ad hoc”.
4)
Pemeriksaan
di muka sidang pengadilan.
Perkara
pelanggaran HAM berat, diperiksa dan diputus oleh pengadilan Ham dalam waktu
paling lama 180 hari, terhitung sejak perkara dilimpahkan kepada pengadilan HAM
yang bersangkutan. Sedangkan untuk paling lamanya pemeriksaan di sidang
pengadilan HAM, dapat dilakukan penahanan terdakwa paling lama 90 hari dan
dapat diperpanjang dalam kurun waktu 30 hari. Apabila perkara pelanggaran HAM
berat dimohonkan banding, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam
waktu paling lama 90 hari terhitung sejak pelimpahan perkara. Penahan terdakwa
untuk proses banding dapat dilakukan paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang
30 hari. Selanjutnya, apabila perkara tersebut dimohonkan kasasi kepada MA,
maka harus diputus paling lama 90 hari dari sejak pelimpahan berkas perkara.
Sedangakan masa penahanan terdakwa untuk proses pemeriksaan paling lama selama
60 hari dan dapat diperpanjang 30 hari. [24]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
HAM
memiliki banyak definisi, tetapi pada hakikatnya, definisi tersebut memiliki
kesamaan. Jadi, inti definisi HAM adalah suatu hak kodrati yang tidak bisa
diganggu gugat oleh siapapun karena merupakan pemberian Tuhan yang dimilki oleh
semua umat manusia tanpa terkecuali.
Ketentuan
hokum HAM atau disebut juga dengan instrument HAM merupakan alat yang berupa
perundang – undangan yang digunakan dalam menjamin perlindungan penegakan HAM.
Di
Indonesia sendiri, instrument HAM terdiri dari:
1.
UUD 1945 beserta amandemennya.
2.
Ketetapan MPR RI Nomor XVII / MPR / 1998.
3.
UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
4.
UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
5.
UU Nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan
diskriminasi ras dan etnis.
6.
Berbagai peraturan perundang – undangan lain yang
terkait.
Konstitusi
merupakan napas kehidupan ketatanegaraan sebuah negara, tidak terkecuali bagi
Indonesia. Konstitusi sebagai perwujudan konsensus dan penjelmaan dari kemauan
rakyat memberikan jaminan atas keberlangsungan HAM secara nyata. Dalam aturan
normatif konstitutional Indonesia, ditemukan pelbagai variasi ketentuan dari
beberapa konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia:
1.
Materi
muatan HAM dalam UUD 1945.
2.
Materi HAM
dalam konstitusi RIS 1949.
3.
Materi
muatan HAM dalam UUDS 1950.
4.
Materi
muatan HAM dalam amandemen – amandemen UUD 1945.
5.
Materi
muatan HAM dalam Peraturan Perundang – Undangan.
Pengadilan
Hak Asasi Manusia lahir dengan adanya Undang – undang No. 26 tahun 2000.
Kelahiran UU tersebut adalah merupakan jawaban dari amanat UU No. 39 tahun 1998
yang menuntut adanya suatu lembaga tertentu yang bisa menyelesaikan kasus –
kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Pembentukan pengadilan HAM di Indonesia
tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan secara nasional, melainkan juga tuntutan
masyarakat internasional, mengingat berbagai langkah – langkah ratifikasi DUHAM
oleh pemerintah Indonesia.
Pembentukan
undang – undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, didasarkan pada
beberapa pertimbangan berikut:
1.
Pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang berat merupakan extra ordinary crimes yang
berdampak secara luas, baik secara nasional maupun internasional.
2.
Terhadap
perkara pelanggaran HAM berat diperlukan langkah – langkah penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus.
[1] Bahder Johan Nasution, Negara
Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 2011), 129.
[2] Undang – Undang Dasar 1945.
[3] Rozali Abdullah, Syamsir, Perkembangan
HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2004), 81.
[4]
Bahder Johan Nasution, Negara
Hukum…..,132 – 133.
[6] Rozali Abdullah, Syamsir, Perkembangan
HAM dan…, 74 – 76.
[7] Majda El –
Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007), 159 – 187.
[10]http://pknsmpkebondalem.blogspot.com/2009/03/pkn7-bab-hak-asasi-manusia.html?m=l,
diakses hari selasa tanggal 2 April 2013.
[14]
Majda El – Muhtaj, Hak Asasi Manusia....,102 – 105.
[17] Wiyono, Pengadilan
Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada media Group,
2006), 11.
Tags:
MAKALAH