Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 12 Desember 2015

MAKALAH DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA

Desember 12, 2015 0





A.    Demokrasi, HAM, dan Negara
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.


Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta.[3] Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.
Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis.[4] Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut  dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.
Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial,[5] untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.
Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.[6]
Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.[7]
Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebe­narnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disah­kan sebe­lum­nya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut:
1.   Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper­tahankan hidup dan kehidupannya[8].
2.   Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjut­kan keturunan melalui perkawinan yang sah[9].
3.   Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari ke­ke­rasan dan diskriminasi[10].
4.   Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskri­minatif atas dasar apapun dan berhak mendapat­kan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat dis­kri­mi­natif itu[11].
5.   Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menu­rut aga­ma­nya, memilih pendidikan dan pengajaran, me­mi­­­lih peker­jaan, memilih kewarganegaraan, memilih tem­pat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali[12].
6.   Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keperca­yaan, me­nya­takan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya[13].
7.   Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkum­pul, dan mengeluarkan pendapat[14].
8.   Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memper­oleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan ling­kungan sosial­nya serta berhak untuk mencari, mem­per­oleh, memiliki, menyim­pan, mengolah, dan menyam­pai­kan informasi dengan menggu­nakan segala jenis saluran yang tersedia[15].
9.   Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, ke­luar­ga, ke­hor­matan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekua­saannya, serta berhak atas rasa aman dan per­lindungan dari an­caman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi[16].
10.       Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak mem­peroleh suaka politik dari negara lain[17].
11.  Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, ber­tempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kese­hatan[18].
12.        Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perla­ku­an khu­sus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan[19].
13.        Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memung­kinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manu­sia yang ber­martabat[20].
14.        Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewe­nang-wenang oleh siapapun[21].
15.  Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pe­me­nuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidik­an dan memper­oleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kese­jah­teraan umat manusia[22].
16.        Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam mem­perjuangkan haknya secara kolektif untuk mem­ba­ngun ma­sya­rakat, bangsa dan negaranya[23].
17.  Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlin­dung­an, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadap­an hukum[24].
18.        Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbal­an dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja[25].
19.        Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan[26].
20. Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut[27].
21.        Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkem­bangan zaman dan tingkat peradaban bangsa[28].
22. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral ke­ma­nu­siaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan men­ja­min kemer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk me­me­luk dan menjalankan ajaran agamanya[29].
23. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, ter­utama pemerintah[30].
24. Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi ma­nusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, ma­ka pelaksanaan hak asasi manusia dija­min, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan[31].
25. Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat inde­penden menurut ketentuan yang diatur dengan undang-un­dang[32].
26. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain da­lam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber­negara.
27.       Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan de­ngan undang-undang dengan maksud semata-mata un­tuk menjamin peng­akuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertim­bangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis[33].

Jika ke-27 ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan ele­men baru yang ber­sifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka ru­mus­an hak asasi manusia dalam Un­dang-Undang Dasar da­pat mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:
1.   Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan men­jadi:
a.   Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
b.   Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
c.   Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbu­dakan.
d.   Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
e.   Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.
f.   Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di ha­dapan hukum.
g.   Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di ha­dapan hukum dan pemerintahan.
h.   Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
i.    Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melan­jutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
j.    Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.
k.   Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wi­layah negaranya, meninggalkan dan kembali ke negaranya.
l.    Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.
m.  Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perla­kuan dis­kriminatif dan berhak mendapatkan perlin­dungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskrimi­natif tersebut.
           
Terhadap hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apa­pun atau ba­gai­manapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan dalam Kelompok 1 “a” sampai dengan “h”. Namun, ke­tentuan tersebut tentu tidak di­mak­sud dan tidak dapat diartikan atau digunakan seba­gai dasar untuk membebaskan seseorang dari penun­tutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting untuk memas­tikan bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan. Justru di sini­lah letak kontro­versi yang timbul setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan beberapa waktu yang lalu.

2.  Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya
a.   Setiap warga negara berhak untuk berserikat, ber­kum­pul dan menyatakan pendapatnya secara damai.
b.   Setiap warga negara berhak untuk memilih dan di­pi­lih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.
c.   Setiap warga negara dapat diangkat untuk mendu­duki ja­batan-jabatan publik.
d.   Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih peker­jaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.
e.   Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbal­an, dan men­dapat perlakuan yang layak dalam hu­bung­an kerja yang berkeadilan.
f.   Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.
g.   Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibu­tuh­kan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang ber­martabat.
h.   Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mem­peroleh informasi.
i.    Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendi­dikan dan pengajaran.
j.    Setiap orang berhak mengembangkan dan memper­oleh man­faat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.
k.   Negara menjamin penghormatan atas identitas bu­da­ya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan per­kembangan za­man dan tingkat peradaban bangsa[34].
l.    Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebu­dayaan nasional.
m.  Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kema­nusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin ke­mer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menja­lankan ajaran agamanya[35].

3.  Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan
a.   Setiap warga negara yang menyandang masalah so­sial, terma­suk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak men­dapat kemudahan dan per­lakuan khusus untuk mem­peroleh kesempatan yang sama.
b.   Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk men­capai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.
c.   Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dika­renakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
d.   Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlin­dungan orangtua, keluarga, masyarakat dan ne­ga­ra bagi per­tumbuhan fisik dan mental serta per­kem­bangan pribadinya.
e.   Setiap warga negara berhak untuk berperan serta da­lam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.
f.   Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang ber­sih dan sehat.
g.   Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang ber­sifat sementara dan dituangkan dalam peraturan per­undangan-un­dangan yang sah yang dimaksudkan un­tuk menyetarakan tingkat perkembangan kelom­pok tertentu yang pernah me­nga­lami perlakuan dis­krimi­nasi dengan kelompok-kelompok lain dalam masya­rakat, dan perlakuan khusus sebagaimana di­ten­tukan dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pe­nger­tian diskriminasi sebagaimana ditentu­kan dalam Pasal 1 ayat (13).

4.  Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia
a.   Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b.   Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang dite­tap­kan oleh undang-undang dengan maksud semata-ma­ta untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk meme­nuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai aga­ma, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan keter­tib­an umum dalam masyarakat yang demokratis.
c.   Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pema­juan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi ma­nusia.
d.   Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pem­bentukan, susunan dan kedu­dukannya diatur dengan undang-undang.

Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konsti­tusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan diang­gap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipa­hami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung­jawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidup­nya sejak sebe­lum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki seba­gai manusia. Pembentukan negara dan pemerin­tahan, untuk alas­­an apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewa­jiban yang disandang oleh setiap ma­nu­sia. Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak diten­tukan oleh kedu­dukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di ma­na­pun ia berada harus dija­min hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagai­mana mestinya. Keseim­bangan kesadaran akan ada­nya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pan­dangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bangsa Indonesia memahami bahwa The Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan per­nyataan umat manusia yang mengan­dung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga memandang bahwa The Universal Declaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun 1997 juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi un­tuk melengkapi The Universal Declaration of Human Rights tersebut. Kesa­daran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu di­adop­sikan ke dalam rumusan Undang-Un­dang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikem­bangkan sen­diri oleh bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang Dasar ini mencakup warisan-warisan pemi­kiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan menca­kup pula pemi­kiran-pemikiran yang masih terus akan ber­kem­bang di masa-masa yang akan datang.

B.    Perkembangan Demokrasi dan HAM
Sejak awal abad ke-20, gelombang aspirasi ke arah kebe­basan dan kemerdekaan umat manusia dari penin­dasan penjajahan me­ningkat tajam dan terbuka dengan menggu­nakan pisau demokrasi dan hak asasi manusia sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan membebaskan. Puncak perjuangan kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan yang sangat luas dan mendasar pada pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang dekolonisasi di seluruh dunia dan menghasilkan berdiri dan terbentuknya negara-negara baru yang merdeka dan berdaulat di berbagai belahan dunia. Perkembangan demokratisasi kembali terjadi dan menguat pasca perang dingin yang ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini kemudian diikuti proses demokratisasi di negara-negara dunia ketiga pada tahun 1990-an.[36]
Semua peristiwa yang mendorong mun­culnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk kemerde­kaan dan hak asasi manusia pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara yang terjajah secara mudah ter­bangkitkan semangatnya untuk secara bersama-sama menya­tu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penja­jahan.
Sedangkan yang lebih menonjol selama paruh kedua abad ke-20 adalah perjuangan rakyat melawan pemerintahan yang otoriter. Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu negara, tidak mesti identik dengan gagasan rakyat di negara lain yang lebih maju dan menikmati kehidupan yang jauh lebih demokratis. Karena itu, wacana demokrasi dan hak asasi manusia di zaman sekarang juga digunakan, baik oleh kalangan rakyat yang merasa tertindas maupun oleh peme­rintahan negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk mempromosikan demo­krasi dan hak asasi manusia di negara-negara lain yang dianggap tidak demokratis.
Karena itu, pola hubungan kekuasaan antar negara dan aliansi perjuangan di zaman dulu dan sekarang mengalami perubahan struktural yang mendasar. Dulu, hubungan internasional diperan­kan oleh pemerintah dan rakyat dalam hubungan yang terbagi antara hubungan Government to Government (G to G) dan hubungan People to People (P to P). Sekarang, pola hubungan itu berubah menjadi bervariasi, baik G to G, P to P maupun G to P atau P to G. Semua kemung­kinan bisa terjadi, baik atas prakarsa institusi peme­rintahan ataupun atas prakarsa perseorangan rakyat biasa. Bahkan suatu pemerintahan negara lain dapat bertindak untuk melindungi warga-negara dari negara lain atas nama perlin­dungan hak asasi manusia.[37]
Dengan perkataan lain, masalah pertama yang kita ha­dapi dewasa ini adalah bahwa pemahaman terhadap konsep hak asasi manusia itu haruslah dilihat dalam konteks rela­tionalistic perspectives of power yang tepat. Bahkan, konsep hubungan kekuasaan itu sendiripun juga mengalami perubah­an berhubung dengan kenyataan bahwa elemen-elemen kekuasaan itu dewasa ini tidak saja terkait dengan kedudukan politik melainkan juga terkait dengan kekuasaan-ke­kuasaan atas sumber-sumber ekonomi, dan bahkan tekno­logi dan industri yang justru memperlihatkan peran yang makin penting dewasa ini. Oleh karena itu, konsep dan prosedur-pro­sedur hak asasi manusia dewasa ini selain harus dilihat dalam konteks hubungan kekuasaan politik, juga harus di­kaitkan dengan konteks hubungan kekuasaan ekonomi dan industri.[38]
Dalam kaitan dengan itu, pola hubungan kekuasaan dalam arti yang baru itu dapat dilihat sebagai hubungan produksi yang menghubungkan antara kepentingan produsen dan kepentingan konsumen. Dalam era industrialisasi yang terus meningkat dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat dewasa ini, dinamika proses produksi dan konsumsi ini terus berkembang di semua sektor kehidup­an kemasya­rakatan dan kenegaraan umat manusia dewasa ini. Kebijakan politik, misalnya, selain dapat dilihat dengan kacamata biasa, juga dapat dilihat dalam konteks produksi. Negara, dalam hal ini meru­pakan produsen, sedangkan rakyat adalah konsu­mennya. Karena itu, hak asasi manusia di zaman sekarang dapt dipahami secara konseptual sebagai hak konsumen yang harus dilindungi dari eks­ploitasi demi keuntungan dan kepentingan sepihak kalangan produsen.
Dalam hubungan ini, konsep dan prosedur hak asasi manusia mau tidak mau harus dikaitkan dengan persoalan-persoalan:[39]
1.   Struktur kekuasaan dalam hubungan antar negara yang dewasa ini dapat dikatakan sangat timpang, tidak adil, dan cenderung hanya menguntungkan negara-negara maju ataupun negara-negara yang menguasai dan mendo­minasi proses-proses pengambilan keputusan dalam berbagai forum dan badan-badan internasional, baik yang menyang­kut kepen­tingan-kepentingan politik maupun kepen­tingan-kepentingan ekonomi dan kebudayaan.
2.   Struktur kekuasaan yang tidak demokratis di lingkungan internal negara-negara yang menerapkan sistem otori­tarianisme yang hanya menguntungkan segelintir kelas pen­duduk yang berkuasa ataupun kelas penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
3.   Struktur hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara pemodal dengan pekerja dan antara pemodal beserta mana­jemen produsen dengan konsumen di setiap ling­kungan dunia usaha industri, baik industri primer, industri manufaktur maupun industri jasa.

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pola hubungan “atas-bawah”, baik pada peringkat lokal, nasional, regional maupun global antara lain adalah faktor kekayaan dan sumber-sumber ekonomi, kewenangan politik, tingkat pendidikan atau kecerdasan rata-rata, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, citra atau nama baik, dan kekuatan fisik termasuk kekuatan militer. Makin banyak faktor-faktor tersebut di atas dikuasai oleh seseorang, atau sekelom­pok orang ataupun oleh suatu bangsa, makin tinggi pula kedudukannya dalam stratifikasi atau peringkat pergaulan bersama. Di pihak lain, makin tinggi peringkat seseorang, kelompok orang ataupun suatu bangsa di atas orang lain atau kelompok lain atau bangsa lain, makin besar pula kekuasaan yang dimilikinya serta makin besar pula potensinya untuk memperlakukan orang lain itu secara sewenang-wenang demi keuntungannya sendiri. Dalam hubungan-hubungan yang timpang antara negara maju dengan negara berkembang, antara suatu pemerintahan dengan rakyatnya, dan bahkan antara pemodal atau pengusaha dengan konsumennya inilah dapat terjadi ketidakadilan yang pada gilirannya mendorong­nya munculnya gerakan perjuangan hak asasi manusia dimana-mana. Karena itu, salah satu aspek penting yang tak dapat dipungkiri berkenaan dengan persoalan hak asasi manusia adalah bahwa persoalan ini berkaitan erat dengan dinamika perjuangan kelas (meminjam istilah Karl Marx) yang menuntut keadilan.
Sering dikemukakan bahwa pengertian konseptual hak asasi manusia itu dalam sejarah instrumen hukum internasional setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi perkembangan. Ketiga generasi perkembangan konsepsi hak asasi manusia itu adalah:[40]
Generasi Pertama, pemikiran mengenai konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak era enlightenment di Eropa, meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Puncak perkembangan generasi pertama hak asasi manusia ini adalah pada persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human Rights[41] Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlin­dungan hak asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti di Inggris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat dengan Declaration of Indepen­dence, dan di Perancis dengan Decla­ration of Rights of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.
Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia Generasi Kedua, di samping adanya International Couvenant on Civil and Political Rights,[42] konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan penemuan-pene­muan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan ditanda­tanganinya International Couvenant on Eco­nomic, Social and Cultural Rights[43] pada tahun 1966.
Kemudian pada tahun 1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights to development. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pemba­ngunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Konsepsi baru inilah yang oleh para ahli disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Ketiga.
Namun demikian, ketiga generasi konsepsi hak asasi manusia tersebut pada pokoknya mempunyai karakteristik yang sama, yaitu dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan peme­rintahan dalam suatu negara. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia mulai dari generasi pertama sampai ketiga selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by government yang termasuk ke dalam pengertian political crime (kejahatan politik) sebagai lawan dari pengertian crime against government (kejahatan terhadap kekuasaan resmi). Karena itu, yang selalu dijadikan sasaran perjuangan hak asasi manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman sekarang dan di masa-masa mendatang, sebagaimana diuraikan di atas dimensi-dimensi hak asasi manusia itu akan berubah makin kompleks sifatnya.
Persoalan hak asasi manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekua­saan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok masyarakat di negara lain.
Konsepsi baru inilah yang saya sebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Keempat seperti telah saya uraikan sebagian pada bagian terdahulu. Bahkan sebagai alternatif, menurut pendapat saya, konsepsi hak asasi manusia yang terakhir inilah yang justru tepat disebut sebagai Konsepsi HAM Generasi Kedua, karena sifat hubungan kekuasaan yang diaturnya memang berbeda dari konsepsi-konsep HAM sebelumnya. Sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi Generasi Pertama bersifat vertikal, sedang­kan sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi Generasi Kedua bersifat horizontal. Dengan demikian, pengertian konsepsi HAM generasi kedua dan generasi ketiga sebelumnya cukup dipahami sebagai perkembangan varian yang sama dalam tahap pertumbuhan konsepsi generasi pertama.[44]
Menjelang berakhirnya abad ke-20, kita menyaksikan munculnya beberapa fenomena baru yang tidak pernah ada ataupun kurang mendapat perhatian di masa-masa sebelum­nya. Pertama, kita menyaksikan munculnya fenomena konglo­merasi berbagai perusahaan berskala besar dalam suatu negara yang kemudian berkembang menjadi Multi National Corporations (MNC’s) atau disebut juga Trans-National Corpo­rations (TNC’s) dimana-mana di dunia. Fenomena jaringan kekuasaan MNC atau TNC ini merambah wilayah yang sangat luas, bahkan jauh lebih luas dari jangkauan kekuasaan negara, apalagi suatu negara yang kecil yang jumlahnya sangat banyak di dunia. Dalam kaitannya dengan kekuasaan perusa­haan-peru­sahaan besar ini, yang lebih merupakan persoalan kita adalah implikasi-implikasi yang ditimbulkan oleh kekuasaan modal yang ada di balik perusa­haan besar itu terhadap kepentingan konsumen produk yang dihasilkannya. Dengan perkataan lain, hubungan kekuasaan yang dipersoalkan dalam hal ini adalah hubungan kekuasaan antara produsen dan konsumen. Masalahnya adalah bagaimana hak-hak atau kepentingan-kepentingan konsumen tersebut dapat dijamin, sehingga proses produksi dapat terus dikembangkan dengan tetap menjamin hak-hak konsumen yang juga harus dipandang sebagai bagian yang penting dari pengertian kita tentang hak asasi manusia.
Kedua, abad ke-20 juga telah memunculkan fenomena Nations without State, seperti bangsa Kurdi yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina Nasionalis yang tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa Persia (Iran), Irak, dan Bosnia yang terpaksa berkelana kemana-mana karena masalah-masalah politik yang mereka hadapi di negeri asal mereka. Persoalan status hukum kewarganegaraan bangsa-bangsa yang terpaksa berada di mana-mana tersebut, secara formal memang dapat diatasi menurut ketentuan hukum yang lazim. Misalnya, bangsa Kurdi yang tinggal di Irak Utara sudah tentu berkewar ganegaraan Irak, mereka yang hidup dan menetap di Turki tentu berkewarganegaraan Turki, dan demikian pula mereka yang hidup di negara-negara lain dapat menikmati status keawarganegaraan di negara mana mereka hidup. Akan tetapi, persoalan kebangsaan mereka tidak serta merta terpecahkan karena pengaturan hukum secara formal tersebut.
Ketiga,  dalam kaitannya dengan fenomena pertama dan kedua di atas, mulai penghujung abad ke-20 telah pula berkem­bang suatu lapisan sosial tertentu dalam setiap masya­rakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagai global citizens. Mereka ini mula-mula berjumlah sedikit dan hanya terdiri dari kalangan korps diplomatik yang membangun kelompok pergaulan tersendiri. Di kalangan mereka ini berikut keluarganya, terutama para diplomat karir yang tumbuh dalam karir diplomat yang berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, terbentuk suatu jaringan pergaulan tersendiri yang lama kelamaan menjadi suatu kelas sosial tersendiri yang terpisah dari lingkungan masya­rakat yang lebih luas. Sebagai contoh, di setiap negara, terdapat apa yang disebut dengan diplo­matic shop yang bebas pajak, yang secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk berbe­lanja. Semua ini memper­kuat kecenderungan munculnya kelas sosial tersendiri yang mendo­rong munculnya kehidupan baru di kalangan sesama diplomat.
Bersamaan dengan itu, di kalangan para pengusaha asing yang menanamkan modal sebagai investor usaha di berbagai negara, juga terbentuk pula suatu kelas sosial tersendiri seperti halnya kalangan korps diplomatik tersebut. Bahkan, banyak di antara para pekerja ataupun pengusaha asing tugasnya terus menerus di luar negeri, berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, yang jangkauan pergaulan mereka lebih cocok untuk menyatu dengan dunia kalangan diplomat seperti tersebut di atas, daripada bergaul dengan penduduk asli dari negara-negara tempat mereka bekerja ataupun berusaha. Dari kedua kelompok bisnis dan diplomatik inilah muncul fenomena baru di kalangan banyak warga dunia, meskipun secara resmi memiliki status kewarganegaraan tertentu, tetapi mobilitas mereka sangat dinamis, seakan-akan menjadi semacam global citizens yang bebas bergerak ke mana-mana di seluruh dunia.
Keempat, dalam berbagai literatur menge­nai corpo­ratisme negara, terutama di beberapa negara yang menerap­kan prosedur federal arrangement, dikenal adanya konsep corporate federalism sebagai sistem yang mengatur prinsip representasi politik atas dasar pertimbangan-pertimbangan ras tertentu ataupun pengelom­pokan kultural penduduk. Pem­bagian kelompok English speaking community dan French speaking community di Kanada, kelompok Dutch speaking community dan German speaking community di Belgia, dan prinsip representasi politik suku-suku tertentu dalam kamar parlemen di Austria, dapat disebut sebagai corporate federalism dalam arti luas. Kelompok-kelompok etnis dan kultural tersebut diperlakukan sebagai suatu entitas hukum tersendiri yang mempunyai hak politik yang bersifat otonom dan karena itu berhak atas representasi yang demo­kratis dalam institusi parlemen. Pengaturan entitas yang bersifat otonom ini, diperlukan seakan-akan sebagai suatu daerah otonom ataupun sebagai suatu negara bagian yang bersifat tersendiri, meskipun komunitas-komunitas tersebut tidak hidup dalam suatu teritorial tertentu. Karena itu, pengaturan demikian ini biasa disebut dengan corporate federalism.
Keempat fenomena yang bersifat sosio-kultural tersebut di atas dapat dikatakan bersifat sangat khusus dan membang­kitkan kesadaran kita mengenai keragaman kultural yang kita warisi dari masa lalu, tetapi sekaligus menimbulkan persoalan mengenai kesadaran kebangsaan umat manusia yang selama ini secara resmi dibatasi oleh batas-batas teoritorial satu negara. Sekarang, zaman sudah berubah. Kita memasuki era globalisasi, di mana ikatan batas-batas negara yang bersifat formal itu berkembang makin longgar. Di samping ikatan-ikatan hukum kewarganegaraan yang bersifat formal tersebut, kesadaran akan identitas yang dipengaruhi oleh faktor-faktor historis kultural juga harus turut dipertimbangkan dalam memahami fenomena hubungan-hubungan kema­nusiaan di masa mendatang. Oleh karena itu, dimensi-dimensi hak asasi manusia di zaman sekarang dan apalagi nanti juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari perubahan corak-corak pengertian dalam pola-pola hubungan yang baru itu.
Dengan perkataan lain, hubungan-hubungan kekuasaan di zaman sekarang dan nanti, selain dapat dilihat dalam konteks yang bersifat vertikal dalam suatu negara, yaitu antara peme­rintah dan rakyatnya, juga dapat dilihat dalam konteks hubung­an yang bersifat horizontal sebagaimana telah diuraikan pada bagian pertama tulisan ini. Konteks hubungan yang bersifat horizontal itu dapat terjadi antar kelompok masyarakat dalam satu negara dan antara kelompok masya­rakat antar negara. Di zaman industri sekarang ini, corak hubungan yang bersifat horizontal tersebut untuk mudahnya dapat dilihat sebagai proses produksi dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu mencakup pula pengertian produksi dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, dimana setiap kebijakan pemerintahan dapat disebut sebagai produk yang dikeluarkan oleh pemerintah yang merupakan produsen, sedangkan rakyat banyak merupakan pihak yang mengkon­sumsinya atau konsumennya. Demikian pula setiap perusa­haan adalah pro­dusen, sedangkan produk dibeli dan dikon­sumsi oleh masya­rakat konsumennya. Dengan perkataan lain, hak konsumen  dalam arti yang luas ini dapat disebut sebagai dimensi baru hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilin­dungi dari kemungkinan penyalahgunaan atau tindakan-tindakan sewe­nang-wenang dalam hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara pihak produsen dengan konsu­mennya.
Perkembangan konsepsi yang terakhir ini dapat disebut sebagai perkembangan konsepsi hak asasi manusia generasi kelima dengan ciri pokok yang terletak dalam pemahaman mengenai struk­tur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen yang memiliki segala potensi dan peluang untuk melakukan tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil. Kita semua harus menyadari perubahan struktur hubungan kekuasaan ini, sehingga tidak hanya terpaku pada kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam pengertian konvensional saja. Hanya dengan menyadari perubahan ini kita dapat menawarkan pemecahan dalam perjuangan kolektif untuk menegakkan dan memajukan hak asasi manusia di masa yang akan datang.

C.    Kewajiban Perlindungan dan Pemajuan HAM
Konsepsi HAM yang pada awalnya menekankan pada hubungan vertikal, terutama dipengaruhi oleh sejarah pelanggaran HAM yang terutama dilakukan oleh negara, baik terhadap hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai konsekuensinya, disamping karena sudah merupakan tugas pemerintahan, kewajiban utama perlindungan dan pemajuan HAM ada pada pemerintah. Hal ini dapat kita lihat dari rumusan-rumusan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta  Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang merupakan pengakuan negara terhadap hak asasi manusia sebagaimana menjadi substansi dari ketiga instrumen tersebut. Konsekuensinya, negara-lah yang terbebani kewajiban perlindungan dan pemajuan HAM. Kewajiban negara tersebut ditegaskan dalam konsideran “Menimbang” baik dalam Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam hukum nasional, Pasal 28I ayat (4) UUD 1945[45]  menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.
Dengan berkembangnya konsepsi HAM yang juga meliputi hubungan-hubungan horisontal mengakibatkan perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor pelanggarnya. Hak atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak hanya menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab korporasi-korporasi yang dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan perusahaan-perusahaan mau tidak mau membawa dampak dalam kehidupan masyarakat yang sering kali mengakibatkan berkurangnya hak asasi manusia.
Persinggungan antara Korporasi dengan Hak Asasi Manusia paling tidak terkait dengan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, hak atas ketersediaan dan aksesibilitas terhadap sumber daya alam dan hak-hak pekerja. Secara lebih luas struk­tur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen juga memiliki potensi dan peluang terjadinya tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil.
Maka pelanggaran HAM tidak hanya dapat dilakukan oleh negara. Dalam pola relasi kekuasaan horisontal peluang terjadinya pelanggaran HAM lebih luas dan aktor pelakunya juga meliputi aktor-aktor non negara, baik individu maupun korporasi. Karena itulah memang sudah saatnya kewajiban dan tanggungjawab perlindungan dan pemajuan HAM juga ada pada setiap individu dan korporasi. Hal ini juga telah dinyatakan dalam “Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom”[46] pada tahun 1998.
Kewajiban dan tanggungjawab tersebut menjadi semakin penting mengingat masalah utama yang dihadapi umat manusia bukan lagi sekedar kejahatan kemanusiaan, genosida, ataupun kejahatan perang. Permasalahan yang dihadapi umat manusia saat ini lebih bersifat mengakar, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan, yang mau tidak mau harus diakui sebagai akibat eksploitasi atau paling tidak ketidakpedulian sisi dunia lain yang mengenyam kekayaan dan kemajuan. Kewajiban dan tanggungjawab korporasi dalam bentuk Corporate Social Responsibility terutama dalam Community Development, tidak seharusnya sekedar dimaknai sebagai upaya membangun citra. Kewajiban dan tanggungjawab tersebut lahir karena komitmen kemanusiaan. Kewajiban tersebut juga lahir karena kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun tidak, telah ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Tanpa peran serta korporasi, upaya menciptakan dunia yang lebih baik, dunia yang bebas dari kelaparan dan keterbelakangan akan sulit dilakukan mengingat kekuasaan korporasi yang sering kali melebihi kemampuan suatu negara.


DAFTAR PUSTAKA




Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
__________, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Ferejohn, John, Jack N. Rakove, and Jonathan Riley (eds). Constitutional Culture and Democratic Rule. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.
Fukuyama, Francis. Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21. Judul Asli: State Building: Governance and World Order in the 21st Century. Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Giddens, Anthony. The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Judul Asli: The Constitution of Society: The Outline of the Theory of Structuration. Penerjemah: Adi Loka Sujono. Pasuruan; Penerbit Pedati, 2003.
Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma Press, 1991.
Republik Indonesia, Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 s/d 2002, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002.
Sabine, George H. A History of Political Theory. Third Edition. New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London: Holt, Rinehart and Winston, 1961.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.





[1] Materi yang disampaikan dalam studium general pada acara The 1st National Converence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
[3] Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 165, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3886.
[4] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 30 – 66.
[5] Harus diingat bahwa paling tidak terdapat tiga macam teori kontrak sosial masing-masing dikemukakan oleh John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseu yang masing-masing melahirkan konsep negara yang berbeda-beda. Lihat George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt, Rinehart and Winston, 1961), hal. 517 – 596.
[6] Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 152-162.
[7] Ibid.
[8] Dari Pasal 28A Perubahan Kedua UUD 1945.
[9]  Ayat (2) ini berasal dari Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua.
[10] Berasal dari ayat 28B ayat (2) Perubahan Kedua.
[11] Dari Pasal 28I ayat (2) Perubahan Kedua.
[12] Dari Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua.
[13] Pasal 28E ayat (2) Perubahan Kedua.
[14] Pasal 28E ayat (3) Perubahan Kedua.
[15] Dari Pasal 28F Perubahan Kedua.
[16] Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28G ayat (1) Perubahan Kedua.
[17] Dari Pasal 28G ayat (2) Perubahan Kedua.
[18] Ayat (1) ini berasal dari Pasal 28H ayat (1) Perubahan Kedua.
[19] Pasal 28H ayat (2) Perubahan Kedua.
[20] Pasal 28H ayat (3) Perubahan Kedua.
[21] Pasal 28H ayat (4) Perubahan Kedua.
[22] Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28C ayat (1) Perubahan Kedua.
[23] Dari Pasal 28C ayat (2) Perubahan Kedua.
[24] Ayat (7) ini berasal dari Pasal 28D ayat (1) Perubahan Kedua.
[25] Ayat (8) ini berasal dari Pasal 28D ayat (2) Perubahan Kedua.
[26] Ayat ini berasal dari Pasal 28E ayat (4) Perubahan Kedua.
[27] Berasal dari rumusan Pasal 28I ayat (1) Perubahan Kedua yang perumus­an­nya mengundang kontroversi di kalangan banyak pihak. Disini perumusannya dibalik dengan subjek negara.
[28] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) yang disesuaikan dengan sistematika peru­musan keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam hubungannya dengan warga negara.
[29] Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan dengan pe­nyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan perumusan alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “...serta melindungi penduduk dari penyebaran paham yang berten­tang­an dengan ajaran agama”, sebaiknya dihapuskan saja, karena dapat mengu­rangi kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.
[30] Ayat (6) ini berasal dari Pasal 28I ayat (4) Perubahan Kedua.
[31] Dari ayat (5) Pasal 28I Perubahan Kedua dengan menambahkan perka­ta­an “...memajukan..”, sehingga menjadi “Untuk memajukan, menegakkan, dan me­lin­dungi....”
[32] Komnas HAM memang telah dikukuhkan keberadaannya dengan un­dang-undang. Akan tetapi, agar lebih kuat, maka hal itu perlu dicantumkan tegas dalam UUD.
[33]  Berasal dari Pasal 28J Perubahan Kedua.

[34] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang disesuaikan dengan sis­tematika perumusan keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam hubungan­nya dengan warga negara.
[35] 123 Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan de­ngan penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam lam­piran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan peru­musan alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “... serta melindungi penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan dengan ajaran agama”, sebaiknya dihapuskan saja, karena da­pat mengurangi kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak selayaknya ikut campur mengatur da­lam urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.
[36] Lihat Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, (Norman; University of Oklahoma Press, 1991).
[37] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta; Konstitusi Press, 2005), hal. 209-228.
[38] Dalam kehidupan sosial terdapat tiga wilayah kekuasaan, yaitu negara (state), masyarakat sipil (civil society), dan pasar (market). Ketiga wilayah kekuasaan tersebut idealnya saling berhubungan secara seimbang tanpa adanya dominasi dari salah satu pihak. Lihat, Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, op cit., hal. 81. Namun kondisi sosial menunjukkan tarik-menarik antara ketiga wilayah kekuasaan tersebut terjadi hingga terjadi dominasi oleh salah satu wilayah kekuasaan. Lihat, Anthony Giddens, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, Judul Asli: The Constitution of Society: The Outline of the Theory of Structuration, Penerjemah: Adi Loka Sujono, (Pasuruan; Penerbit Pedati, 2003). Bandingkan dengan Francis Fukuyama, Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, Judul Asli: State Building: Governance and World Order in the 21st Century, Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005).
[39] Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, op cit, hal. 211-212.
[40] Ibid.
[41] Ditetapkan oleh Majelis Umum dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 Desember 1948.
[42] Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16 Desember 1966.
[43] Ditetapkan melalui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16 Desember 1966.
[44] Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, op. cit, hal. 220-222.
[45]   Hasil Perubahan Kedua UUD 1945.
[46]   Diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1998 dengan Resolusi 53/144.
Read More

MAKALAH PERIODE KEBANGKITAN KEMBALI ILMU FIQH DAN TOKOH-TOKOH GERAKAN PEMBAHARUAN

Desember 12, 2015 0





A.  Faktor Terkait

Setelah mengalami masa kebekuan dan kelesuan pemikiran selama beberapa abad, para pemikir Islam berusaha keras untuk membangkitkan Islam kembali, termasuk di dalamnya hal pemikiran hukumnya. Kebangkitan kembali ini timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid yang membawa kemunduran dunia Islam secara keseluruhan. Maka kemudian muncullah gerakan-gerakan baru.

Fenomena-fenomena yang muncul pada akhir abad ke-13 H merupakan suatu wujud kesadaran dari kebangkitan hukum Islam. Bagi mayoritas pengamat, sejarah kebangkitan dunia Islam pada umumnya dan hukum Islam khususnya, terjadi karena dampak Barat. Mereka memandang Islam sebagai suatu massa yang semi mati yang menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruh-pengaruh yang formatif dari barat. Fase kebangkitan kembali ini merupakan fase meluasnya pengaruh barat dalam dunia Islam akibat kekalahan-kekalahan dalam lapangan politik yang kemudian diikuti dengan bentuk-bentuk benturan keagamaan dan intelektual melalui berbagai saluran yang beraneka ragam tingkat kelangsungan dan intensitasnya. Periode kebangkitan ini berlangsung mulai sejak abad ke 19, yang merupakan kebangkitan kembali umat islam, terhadap periode sebelumnya, periode ini ditandai dengan gerakan pembaharuan pemikiran yang kembali kepada kemurnian ajaran islam.
Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh pula terhadap perkembangan fiqih. Banyak diantara banyak diantara pembaharuan itu juga adalah ulama-ulama yang berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri.

B.  Tanda –tanda kemajuan
a.         Di bidang perundang-undangan
Periode ini mulai dengan asa berlakunya majalah al –ahkam al-Adliyah yaitu Kitab Undang-Undang hokum Perdata Islam Pemerintah Turki Usmani pada tahun 1292 Hatau tahun 1876 M. baik bentuk maupun isi dari kitab Unadang-Undang tersebut berbeda dengan bentuk dan isi kitab fiqh dari satu madshab tertentu. Bentuknya adalah bentuk dan isi madshab tertentu saja. Meskipun warna hanafi sangat kuat.
Di mesir dengan keluarnya Undang-Undang No. 25 tahun 1920 M, dalam sebagian pasal-pasalnya dalam hukum keluarga tidak menganut madshab hanafi, tetapi mengambil pendapat lain dari madshab al-Arba’ah. Kemudian dalam Undang-Undang No 25 Tahun 1929 M, juga tentang hukum keluarga maju yaitu tidak hanya mengambil dari Masahib Al-arba’ah,tetapi jg dari mashab lain. Pada tahun 1936 M. Undang-Undang hukum keluarga di Mesir tidak mengikatkan diri secara ketat dengan madshab, tetapi juga mengambilpendapat ulama lain yang sesuai degan kemaslahatan manusia dan perkembangan masyarakat. Contoh lain tentang al – Washiyah al- Wajibah di Mesir tahun 1946, di Siria tahun 1953, di tunis tahun 1957, di Maroko tahun 1958 di Indonesia dengan UU No. 1 Tahun 1974 tidak melalui tahap-tahp seperti di Mesir, tetapi tampaknya langsung mengambil pendapat-pendapat yang maslahat untuk diterapkan di Indonesia. Demikian pula halnya dengan PP No. 28 Tahun 1977 dan pengaturan zakat dibeberapa provinsi.
b.         Di Bidang Pendidikan
Di perguruan –perguruan tinggi Agama di Mesir, Pakistan maupun di Indonesia dalam cara mempelajari fiqh tidak hanya di pelajari satu madshab tertentu, tetapi jg dipelajari madshab-madshab yang lain secara muqoronah atau perbandingan, bahkan juga dipelajari sisitem Hukum Adat dan Sistem Hukum Romawi. Dengan demikian diharapkan  wawasan berpikir hukum dikalangan mahasiswa islam  menjadi lebih luas juga lebih mendekatkan hukum islam dan hukum yang selama ini berlaku, bukan hanya di bidang hukum keluarga tapi juga dibebagai hukum lainnya.
       Satu hal yang rasanya perlu mendapat tekanan di sini ialah mempelajari Ushul fiqih haruslah mendapat perhatian yang lebih besar lagi untuk memungkinkan ilmu fiqh berkembang lebih terarah, sebab ushul fiqh itulah cara pemikiran hukum dalam islam.
c.         Di bidang penulisan buku-buku dalam Bahasa Indonesia dan penerjemahan.
Penulisan Ushul fiqh dan fiqh Berbahasa Arab, namu dalam penulisan hal tersebut hanya sedikit orang indonesia yang mampu membca dan memahaminya. Tetapi sekarang tampak satu kegiatan penulisan tentang Ushul Fiqh dan Fiqh dalam Bahasa Indonesia. Baik yang sudah dicetak dan tersebar luas di masyarakat maupun masih berupa diktat-diktat yang stensilan. Demikian pula halnya dengan penerjemahan menampakkan kegiatan yang meningkat meskipun masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah kitab-kitab yang baik untuk diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, untuk jadi seorang ahli dalam fiqh tetap harus kembali membaca dan meneliti kitab-kitab fiqh aslinya dalam bahsa Arab.agiamanpun juga kitab-kitab (buku) Ushul Fiqh dan Fiqh dalam bahasa indonesia serta terjemahannya sangat bermamfaat untuk memperkenalkan pemikiran-pemikiran dalam bidang fiqh kepada kalangan yng lebih luas.
Pemikiran kembali tentag fiqh sedang tumbuh dan tampaknya pemikiran-pemikiran itu sepert alur ijtihad Umar Abdullah Bin mas’ud dan Abu Hanifah. Yaitu berpegang teguh kepada dalil-dalil kulli, prinsip-prinsip umum dan semangat ajaran sedang yang selebihnya bisa mengambil dari fiqh atau dengan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Alternatif ini merupakn yang terbaik untuk menghadapi masalah –masalah yang bukan saja ruang lungkupnya sangat luas, tetapi juga sangat rumit dan tidak realistis hanya dihadapi dengan materi fiqh   
      







C.      Tokoh kebangkitan Kembali dan Gerakan

1.      Tokoh Ibnu Taimiyah (10 rabiul Awal 661 H)
2.      Muhammad bin Abdul wahab (1791 M-1787 M) di Saudi Arabia,
3.      Muhammad Al-Sanusi (1791 M-1859 M) di Lybia dan Maroko,
4.      Jamal al-din Al-Afgani (1839M- 1897 M),
5.      Muhammad Abduh (1849 M- 1906M)
6.      Muhammad rasyid Rida ( 1865 M-1935M ) di Mesir dan lain sebagainya.
Adapun gerakan yang dilakukan dalam menentang ketidakbenaran dalam praktik keagamaan umat islam ini telah meresmikan perang terhadap taklid diperalihan abad 13-14 M. Usahanya ini kemudian membuatnya dijuluki  “bapak tajdid” dalam islam yang menggerakkan umatnya agar keluar dari mashab-mashab dan mulai memperbaharui system berpikir, membangun kembali hokum Islam sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Kitab dan sunnah rasul.































Menurut para ulama dan fuqoha ada empat pola utama yang menonjol pada saat kebangkitan ilmu fiqh, yaitu :
  1. Modernisme, pola pemikiran ini dipelopori oleh sejumlah pemikir dan sarjana muslim, pendukung pola ini mendakwakan bahwa fiqh Islam tidak lagi mampu merespon berbagai perkembangan baru yang muncul dari multidimensionalitas kebutuhan dan kepentingan manusia yang kini cenderung lebih kritis akibat keluasan  informasi dan pengalaman. Gagasan utama pendukung pola ini, untuk mengimbangi dan menjawab tantangan – tantangan baru kita harus berani meninggalkan fiqh yang sudah ada dan membangun fiqh baru yang kontekstual.
  2. Survivalisme, pendukung pola ini bercita – cita mebangun pemikiran fiqh dengan berpijak pada mazhab – mazhab fiqh yang sudah ada. Keluasan tesarwah fiqhyah, menurut pendukung pola ini harus di kembangkan. Hingga sampai saat ini.
  3. 3. Tradisionalisme, pendukung pola ini menekankan keharusan kembali kepada Al-qur’an dan As-sunnah. Satu hasl yang menarik dari cita – cita pola ini adalah penolakannya yang sangat keras terhadap ikhtilaf atau perbedaan pendapat. Mereka menolak bahwa ikhtilaf umat merupakan rahmat. Persoalan ikhtilaf ini, menurut mereka harus dirujuk pada pada hadis, bukan pada pendapat – pendapat para imam mazhab.
  4.  Neo – survivalisme, pola terakhir ini disebut neo – survivalisme, kerena para pendukungnya selain menawarkan fiqh pengembangan juga menampakkan concernya yang besar terhadap kepedulian social. Karenanya, dalam banyak hal, mereka mengajukan suatu pendekatan transformative dalam memahami fiqih dan upaya mencari relefansinya dengan persoalan – persoalan kekinian



BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN

1.      Kebangkitan fiqih dimulai dari akhir abad ketiga belas hijriyah sampai pada hari ini. fase ini mempunyai karakter dan corak berbeda dengan fase – fase sebelumnya. Fiqih dihadapkan pada zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, dapat member saham dalam menentukan jawaban atas setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang asli, menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tertentu.
2.      Kebangkitan fiqih ditandai oleh dua aspek, yaitu :
1.      Pembahasan fiqih Islam, dengan memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat fiqhiyah, fiqih tematik, fiqih komparasi, dan Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedi fiqih.
2.      Kodifikasi hukum fiqih, di mulai pada awal abad ke-2 H, ketika Ibnu Muqaffa’ menulis surat kepada Khalifah Abu Jafar Al-Mansur, kemudian kodifikasi terhadap fiqih Islam betul-betul terwujud di Turki Ketika muncul Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah (semacam kitab undang-undang hukum perdata ).
3.         Tokoh-tokoh yang berjasa dalm kebangkitan fiqih Islam, mereka adalah; Muhammad Abduh, Syeikh Muhammad As-Sirhindi, Sayyid Ahmad Syahid, Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida, Sultan Mahmud II, Mutafa Kemal, Sayyid A. Khan, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.
B.       SARAN
Sebelumnya kami penyusun makalah ini meminta maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan maklah kami karena kamii hanya manusia biasa yang tak lufuk dari kesalahan dan kekhilafan. Olaeh karenanya kami meminta kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi perbaikan maklah ke depannya.
DAFTAR  PUSTAKA

Koto Alaiddin, 2011. Ilmu Fiqh dan Ushul fiqh, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Djazuli, penggalian perkembangan, dan penerapan hukum islam, Kencana, predana Media Group, Jakarta (159-161)
www. Makalah Ilmu Fiqih.com di download pada hari rabu, 1 januari 2014.
Read More

MAKALAH PENTINGNYA MEMAKAI HELM OLEH MASYARAKAT

Desember 12, 2015 0




Latar belakang

Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari tingkat kesadaran hukum warganya. Semakin tinggi kesadaran hukum penduduk suatu negara, akan semakin tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebaliknya, jika kesadaran hukum penduduk suatu negara rendah, yang berlaku di sana adalah hukum rimba. Indonesia adalah negara hukum, dalam hidup di lingkungan masyarakat tidak lepas dari aturan-aturan yang berlaku, baik aturan yang tertulis maupun aturan yang tidak tertulis. Aturan-aturan tersebut harus ditaati sepenuhnya. Adanya aturan tersebut adalah agar tercipta kemakmuran dan keadilan dalam lingkungan masyarakat. Apabila aturan-aturan tersebut dilanggar, akan mendapatkan sanksi yang tegas.

Di negara Indonesia masih banyak orang-orang yang melanggar hukum atau peraturan. Peraturan-peraturan yang sudah disepakati dan ditulis ternyata masih banyak yang dilanggar. Hal tersebut tidak hanya di kalangan pemerintah, masyarakat, tetapi juga menyebar ke instansi-instansi termasuk lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah. Kesadaran hukum dengan hukum itu mempunyai kaitan yang erat sekali.
Faktanya Dengan melihat Kondisi lalu lintas di Indonesia, terutama di kota-kota besar, jauh dari ketertiban. Contohnya mengemudi sambil menelepon, kendaraan berbelok tidak menyalakan lampu sein, mengemudikan kendaraan melawan arah, menabrak kendaraan yang tidak menyalakan lampu di malam hari, kendaraan tidak memiliki Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Tidak ada cara lain untuk menertibkan kondisi tersebut, lalu pemerintah membuat peraturan seputar lalu lintas dan jalan raya. Baru-baru ini pemerintah bersama DPR mengesahkan undang-undang lalu lintas yang baru, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Undang-undang baru ini mengatur lebih tegas tentang jalan raya.

Jika kita berkendara menggunakan sepeda motor, tentu kita tidak bisa lepas dengan yang namanya helm. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi kepala kita baik dari kecelakaan maupun dari terpaan angin jika kita melaju dengan kecepatan tinggi, melindungi wajah dari debu, dan lain sebagainya. Namun masih banyak juga yang mengabaikan keselamatannya yaitu berkendara tanpa menggunakan helm. Hal tersebut tentu akan beresiko tinggi karena kepala merupakan bagian tubuh yang sangat vital. Padahal aturan sudah sangat jelas bahwa pengendara sepeda motor wajib menggunakan helm. Jika pengendara motor tersebut melanggar, maka akan mendapatkan sanksi berupa tilang dari polisi. Maka disini timbul pertanyaan, apakah setiap pengendara sepeda motor yang melanggar aturan tersebut akan mendapatkan sanksi ?
Alasan utama pengendara sepeda motor menggunakan helm karena takut ditilang oleh polisi. Fakta membuktikan bahwa pengendara sepeda motor akan menggunakan helm jika berada di kawasan perkotaan yang setiap saat selalu diawasi oleh polisi. Namun ini tidak berlaku pada kawasan yang tidak pernah dilakukan razia, pengendara sepeda motor dengan santainya berkendara tanpa memperhatikan keselamatan jika tidak menggunakan helm. Selain itu, helm juga sangat identik dengan pengendara sepeda motor yang sudah dewasa saja karena yang terkena razia adalah orang yang sudah dewasa. Namun itu juga tidak berlaku bagi pengendara sepeda motor yang masih belum dewasa seperti siswa SD dan SMP serta anak-anak seusianya. Mereka dengan asyik berkendara di jalan raya tanpa ada rasa takut sedikitpun. Karena mereka merasa tidak akan ditilang oleh polisi, sementara keselamatan berkendara tidak mereka perdulikan.
Diri kita sendiri sering melihat teman kita tidak menggunakan helm tatkala diboncengkan orang tuanya padahal menurut fungsinya helm merupakan alat pelindung bagi kepala saat berkendara. Tidak ada perbedaan antara orang dewasa dan anak-anak, semuanya wajib menggunakan helm saat berkendara. Inilah hal yang sangat penting namun sering sekali tidak diperhatikan oleh para orang tua yang memboncengkan anaknya. Padahal helm untuk anak-anak sudah ramai dijual dipasaran. Ironisnya, polisi terkesan acuh tak acuh melihat kejadian ini. Seolah-olah anak yang dibonceng tanpa menggunakan helm adalah pemandangan yang sudah biasa, padahal dampaknya akan menjadi luar biasa.
Selain itu, pihak kepolisian juga harus sering melakukan sosialisasi akan pentingnya menggunakan helm baik pengendara dewasa maupun anak-anak. Polisi harus menindak tegas pengendara sepeda motor yang mengabaikan hal tersebut. Jika anak-anak tidak menggunakan helm saat berkendara, maka orang tua nya lah yang wajib bertanggung jawab yaitu dalam bentuk penilangan karena mereka sudah lalai akan keselamatan dirinya dan anaknya. Karena keselamatan berkendara adalah harapan kita semua, jika kita lalai maka akan berakibat fatal bagi pengguna sepeda motor.
Metode Pengumpulan data
Proses pengupulan data penulis menggunakan metode Wawancara yang merupakan alat re-cheking pembuktian terhadap informasi dan keterangan yang diperoleh oleh penulis sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam untuk  memperoleh keterangan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan (orang yang diwawancarai), serta metode observasi yaitu Beberapa informasi ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan.


Teori
Achmad Ali, menyatakan kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektifitas hukum adalah tiga unsur yang salib berhubungan. Sering orang mencampur adukkan antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum, padahal kedua hal itu, meskipun sangat erat hubungannya, namun tetap tidak persis sama. Kedua unsur itu memang sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundang-undangan di dalam masyarakat.
Krabbe (dalam Paul Scholten, 1954:166) memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud sebagai kesadaran hukum: “met den term rechtsbewustzijn meent men niet het rechtsoorrdeel over eenig concrete geval, doch he in ieder mensch levend bewustzijn van wat recht is of behoort tezijn, een bepaalde categorie van ons geesteleven, waardoor wij met onmiddelijke evidentie los van positieve instellingen scheiding maken tusschen recht en onrecht, gelijk we dat doen en onwaasr, goed en kwaad, schoon en leelijk”    
Terlihat di atas bahwa bagi Krabbe, kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Definisi Krabbe tersebut, sudah cukup menjelaskan apa yang dimaksud sebagai kesadaran (rechtsbewustzijn; legal consciousness). Pengertian ini akan lebih lengkap lagi, jika ditambahkan unsur nilai-nilai masyarakat, tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh Paul Scholten (1954: 168-169):

Pelanggaran keamanan berkendara yang paling sering terjadi di kalangan masyarakat ialah tidak memakai helm. Adapun yang memakai helm namun tidak memenuhi standar nasional Indonesia, misalnya penggunaan helm pekerja bangunan di jalan raya atau penggunaan helm yang sudah rusak sabuknya sehingga apabila terjadi kecelakaan, helm tidak dapat melindungi organ vital yang terdapat di bagian kepala pengendara sepeda motor. Terlebih lagi yang sama sekali tidak menggunakan helm, hal ini sangat membahayakan keselamatan pengendara saat terjadinya kecelakaan.

Diri kita sendiri sering melihat teman kita tidak menggunakan helm tatkala diboncengkan orang tuanya padahal menurut fungsinya helm merupakan alat pelindung bagi kepala saat berkendara. Kemudian saat ditanyakan “kenapa enggak pake helm mbak?” (shofie) “males pake aja mbak, soalnya juga disini pasti enggak ada polisi yang menjaga” oh iya mbak sekarang lagi enggak ada polisi ya hehe” (saya). Sebenarnya tidak ada perbedaan antara orang dewasa dan anak-anak, semuanya wajib menggunakan helm saat berkendara. Inilah hal yang sangat penting namun sering sekali tidak diperhatikan oleh para orang tua yang memboncengkan anaknya. Padahal helm untuk anak-anak sudah ramai dijual dipasaran. Ironisnya, polisi terkesan acuh tak acuh melihat kejadian ini. Seolah-olah anak yang dibonceng tanpa menggunakan helm adalah pemandangan yang sudah biasa, padahal dampaknya akan menjadi luar biasa

Kontekstualisasi Aturan Hukum
           

Berdasarkan fakta dalam gambar diatas, di siang hari yang cerah mereka jelas sedang mengendara di jalan raya namun pengendara tidak segan melanggar peraturan tidak mengenakan helm. Gambar ini diambil pada hari sabtu jam 11:58 lokasi di perempatan galunggung. Dengan santai mereka tidak menggunakan helm, Karena fungsi utama dari penggunaan helm ialah sebagai berikut :
1.      Melindungi kepala saat kecelakaan. Kita tidak pernah tau semenit kedepan apa yang terjadi pada diri kita. Saat berkendara sepeda motor kita lebih beresiko mengalami kecelakaan, dan daerah paling fatal dan banyaknya nyawa melayang karna terjadinya benturan di kepala. Helm yang berstandart SNI sudah memenuhi syarat dalam melindungi kepala dari benturan yang cukup keras. Namun tidak berarti kepala Anda akan seutuhnya terlidungi, jadi jagalah diri anda dengan baik dengan mengendarai sepeda motor dengan hati-hati dan gunakanlah helm dengan benar.

2.      Menjaga dari debu dan polusi saat berkendara dijalan raya. terutama di daerah yang tanahnya berdebu akan sangat menggangu konsentrasi berkendara. Hidung kita akan menghirup karbon dan debu yang sangat berbahaya bagi tubuh kita. Terutama bagian organ paru-paru yang akan mengalami gangguan seperti pengecilan rongga hidung dan sesak nafas. So helm akan sangat membantu dari ancaman polusi dan debu.
3.      Menjaga Pandangan Mata Tetap Nyaman. Pernahkah anda mengalami iritasi mata? dalam berkendara kita diterpa angin dari depan, saat angin menyerang tubuh kita termasuk mata, mata akan merespon angin yang datang dengan mengecilkan kelopak mata agar mata tidak terbentur dengan angin, debu dan hewan-hewan kecil yang ada di jalan. Saya pernah mengalami iritasi mata saat berkendara karna debu, angin dan hewan kecil masuk kepermukaan mata dan rasanya sangat tidak nyaman, berkendar jadi terganggu dan berbahaya jika sampai kita tidak bisa melihat kendaraan yang ada di depan kita. 
Simpulan
            Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kita harus taat pada tata tertib lalu lintas, karena pada dasarnya transportasi adalah sarana yang ditujukan untuk mempermudah dan mempercepat aktivitas manusia. Salah satu transportasi yang ramai digunakan di Indonesia adalah sepeda motor dengan jumlah pengguna mencapai hampir 90% dibandingkan pengguna mobil berdasarkan data korlantas untuk daerah Jawa Timur tahun 2010. Karena itu diperlukan standar keamanan bagi pengendara sepeda motor, antara lain memenuhi kelengkapan surat-surat (STNK, SIM, KTP) dan atribut berkendara seperti helm. Banyaknya pengguna sepeda motor saat ini yang kurang memiliki kesadaran untuk mematuhi peraturan lalu lintas. Mereka menyepelekan standar keamanan berkendara sehingga memicu timbulnya ketidaktertiban lalu lintas.
Terutama penggunaan atribut sepada motor itu sangat penting karena setiap peraturan tujuannya adalah untuk kebaikan keselamatan pengendara itu sendiri, dan setiap pelanggaran tersebut maka ada sanksinya, dan kita sebagai masyarakat biasa tidak tahu mengenai sanksi dari pelanggaran yang kita langgar. Padahal, setiap pelanggaran tersebut sudah ada yang mengaturnya dalam bentuk Undang-Undang. Oleh karena itu patuhilah tata tertib yang ada.

Saran
Yang bisa saya sampaikan disini adalah kita sebagai pengemudi, taatilah peraturan lalu lintas yang ada, semua peraturan adalah untuk ketertiban Indonesia kita, agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan atas diri kita, keluarga kerabat dan lain-lain. Dalam berkendaraan kita sebaiknya membawa kelengkapan kendaraan kita. Saat mengemudikan kendaraan sebaiknya jangan melakukan pelanggaran yang nantinya akan membahayakan keselamatan kita sendiri sebagai pengemudi maupun keselamatan orang lain.
Pustaka
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum (Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalahnya), Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 66
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 298
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, Hidup Baik Adalah Dasar Hukum Yang Baik, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm. 29
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1982), hlm. 140.




Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot