Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 05 Desember 2015

MAKALAH HUKUM KELUARGA NEGARA ALJAZAIR

Desember 05, 2015 0




a. Sekilas Negara Aljazair

            Aljazair yang nama resminya al-Jumhuriyyah al-Jazairah ad-Dimukratiyyah ash-Sha’biyah (Arab) atau Republique Algeriance Democratique et Populaire (Perancis),[1] adalah sebuah negara terkemuka di Afrika Utara (wilayah Maghrib). Negara ini berbatasan dengan Laut Tengah di sebelah utara, Maroko di sebelah barat, Mauritania di barat daya, Mali  dan Burkina Fasoo (Afrika Barat) di sebelah  selatan serta Libya dan Tunisia di sebelah timur. Negara Aljazair berbentuk republik, memiliki dua bahasa resmi  yaitu Arab dan Prancis. Dengan luas wilayah 2.381.741 km2, Aljazair didiami oleh 25.880.000 jiwa penduduk (berdasarkan sensus 1991). Islam sebagai agama resmi negara dianut oleh 99,1 % penduduknya, dan mayoritas bermazhab Maliki, sedang selebihnya mengikuti aliran Ibadi.
            Dalam kurun waktu 1830 – 1848, Aljazair beralih dari kekuasaan Turki ke kekuasaan penjajah Perancis yang berlangsung secara bertahap. Tahapan tersebut dimulai pada 5 Juli 1830 ketika Perancis datang menaklukkan Bey Husein, Gubernur di propinsi Oran, meskipun kedatangan Perancis pada awalnya untuk membebaskan para Misinaris Kristen yang ditangkap oleh penguasa Turki. Legitimasi terhadap kolonialisme Perancis ditandai dengan penandatangan suatu kapitulasi yang isi pokoknya adalah jaminan terhadap rakyat Aljazair untuk menjalankan agamanya dan penghargaan atas tradisi rakyat Aljazair, terutama untuk tetap mempergunakan bahasa Arab dan Berber.

            Sejak awal penentangan terhadap kolonialisme ini Islam memainkan peran yang menonjol. Hal ini dapat dilihat dari perjuangan para tokoh Muslim lewat organisasi-organisasi sosial menentang Perancis.
            Perjuangan umat Islam yang terpatri pada sejarah dan merupakan komponen utama permulaan gerakan nasionalisme Aljazair adalah gerakan kaum al-Ulama al-Muslimin. Asosiasi ini didirikan pada bulan Mei 1931 atas inisiatif sejumlah ulama Aljazair yang banyak dipengaruhi oleh gerakan Muhammad Abduh dan Rasyid Rida di Mesir. Mereka menyebarkan keyakinan bahwa depotisme dari dalam dan penjajahan asing dari luar adalah dua penyakit utama yang diderita umat Islam. Syarat utama kebangkitan umat Islam adalah melenyapkan praktik bid’ah dan menggalang persatuan di kalangan Muslimin. Sebagai hasil usaha yang mengantarkan Aljazair mencapai kemerdekaannya Ben Kadis selalu melontarkan slogannya yang amat populer, yaitu: “Aljazair negara kita, Arab bahasa kita, dan Islam agama kita”.

b. Sejarah Hukum Keluarga Muslim
            Perkembangan hukum Islam dibawah pengaruh Perancis di Aljazair dalam beberapa hal paralel dengan perkembangan hukum Islam dibawah pengaruh Inggris di India, tetapi hasilnya sangat berbeda sekali. Di sebahagian besar wilayah Aljazair qadhi masalah-masalah yang biasanya berada dibawah wewenang mereka. Malahan pemerintahan Perancis memperluas penterapam hukum Islam terhadap adat melampaui apa yang  pernah terjadi pada masa Aljazair dibawah kekuasaan Turki.[2] Peubahan hukum positif jarang sekali terjadi di Aljazair. Hukum positif di negeri tersebut hanya mencakup masalah-masalah yang bertalian dengan perwalian bagi anak-anak, perkawinan dan perceraian.
            Pada 4 Februari 1959 (dengan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam dekrit 17 September 1959) yang menetapkan bahwa perkawinan harus dilaksanakan atas persetujuan kedua mempelai, menetapkan batas umur minimum untuk kawin dan mendekritkan bahwa perceraian diputuskan kecuai oleh sebab kematian hanya oleh keputusan pengadilan berdasarkan permintaan suami atau isteri, atau atas permintaan keduanya. Pengadilan banding akhir dilaksanakn melalui Muslim Appel Division dari pengadilan banding di Aljazair.
            Hukum Perancis juga merupakan faktor yang ikut menentukan dan mempengaruhi bentuk hukum Islam yang berlaku di Aljazair.[3] Terutama sekali pengaruh dari pandangan-pandangan hukum para hakim Perancis di Aljazair, khususnya  Marcel Movand (meninggal 1932) yang mengepalai komisi penyusunan konsep hukum Islam Aljazair pada tahun 1906 yang hasilnya diterbitkan pada tahun 1916. komisi tersebut mengadakan perubahan-perubahan hukum madzhab Maliki, dan mengambil ajaran-ajaran Madzhab Hanafi apa dirasa lebih sesuai dengan ide-ide modern. Code Morand ini memang tidak pernah menjadi hukum tetapi mempunyai  arti yang sangat penting.
            Dengan cara ini hukum Islam yang berlaku di Aljazair telah menjadi sistem hukum yang independen yang disebut: “Droit Musulman Algerien”. Tidak terdapat komperatif studi lainnya yang dilakukan untuk mempelajari perbedaan caranya teori hukum Inggeris dan Perancis mendekati masalah-masalh hukum Islam.
            Tiga tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, pemerintahan Aljazair megumumkan sebuah hukum yang ringkas yang disebut Marriage Ordinance 1959. tujuan lahirnya undang-undang ini adalah untuk mengatur aspek-aspek tertentu dari perkawinan dan perceraian di kalangan umat Islam. Ordonansi ini memuat 12 ayat yang tujuan utamanya adalah:
1.      Mengatur tata cara pelaksanaan dan registerasi perkawinan.
2.      Meningkatkan usia nikah calon suami maupun isteri.
3.      Mengatur perceraian melalui peradilan dan ketentuan-ketentuan pasca perceraian.
Menindaklanjuti proklamasi kemerdekaan pada buan Juli 1963, Aljazair mempermaklumkan sebuah konstitusi yang menempatkan Islam sebagai agama negara.[4]
            Sebagai negara jajahan Perancis, sistem hukum Aljazair terpengaruh oleh sistem hukum Perancis dalam hukum sipil, pidana dan administrasi peradilan. Tetapi hal ini tidak menafikan hukum keluarga bermazdhab Maliki dan Ibadi yang khas lokal. Ketika negara ini dalam masa penajajahan, usaha-usaha priodik mensistemisasi dan mengkodifikasikan bagian-bagian hukum keluarga telah dilakukan dibawah panduan para ahli hukum Islam. Pada tahun 1906 seorang ahli hukum Perancis bernama Marcel Morand diberi wewenang untuk mempersiapkan rancangan hukum Islam, khususnya hukum keluarga sesuai dengan yang berlaku pada perdilan lokal. [5] Draft tersebut dipublikasikan 10 tahun kemudian dibawah titel: “Avant-Project de Code du Droit Musulman Algerien”. Sekalipun secara umum didasarkan pada mazhab Maliki, prinsip-prinsip hukum non-Maliki yang sebagaian besarnya mazdhab Hanafi ikut mewarnai rancangan undang-undang ini, sebab pengikut mazdhab Hanafi menduduki urutan kedua setelah Maliki. Hasil usaha Morand tersebut tidak pernah dijadikan hukum positif lewat legislasi formal hukum, namun dapat dicatat rancangan ini memberi pengaruh pada aplikasi dan administrasi hukum keluarga Islam di Aljazair.[6]
            Segera setelah mencapai kemerdekaan Aljazair mengundangkan sebuah hukum untuk mengamandemen ordonansi 1959 dan mencabut ketentuan-ketentuan yang mengatur usia nikah. Di sampng itu, hukum baru tersebut juga mencabut aturan-aturan yang mengharuskan penganut Ibadi mengikuti ordonansi tersebut. Dengan amandemen ini berarti ketentuan hukum yang tetap berlaku setelah tahun 1963 mengikat bagi keseluruhan warga negara.
            Setelah diundangkannya kostitusi tahun 1976, tuntutan kodifikasi hukum keluarga dan waris yang komfrehensif semakin meningkat. Untuk tujuan ini, pada  tahun 1980 telah diajukan sebuah rancangan hukum dimaksud kepada Dewan Nasional. Beberapa tahun kemudian, setelah melewati perdebatan dan pertimbangan rancangan tersebut diterima dan ditetapkan pada tahun 1984. Aturan-aturan yang termaktub didalamnya diambil dari beberapa aliran fiqh, rancangan hukum keluarga Aljazair 1916 dan hukum keluarga yang berlaku di negra lain, khususnya Maroko.
c. Usia Nikah
            Pada pasal 7 hukum keluarga 1984 secara tegas ditetapkan usia calon mempelai laki-laki 21 tahun dan calon mempelai permpuan 18 tahun. Usia nikah ini cukup tinggi dibandingkan dengan usia nikah yang terdapat dalam hukum keluarga di negra-negara Islam lain. Tercatat hanya Banglades yang menyamai batas mnimum usia nikah ini.
            Dapat diduga ketentuan usia nikah ini murni atas petimbangan yang lebih bersifat sosiologis, sebab ketentuan ini tidak diambil dari pandangan mazdhab Maliki maupun mazdhab selinnya.
d. Poligami
            Hukum keluarga Aljazair membolehkan seorang laki-laki memilki lebih dari seorang isteri dan maksimal empat, dengan syarat:
1.) ada dasar yang melatarbelakanginya;
2.) dapat memenuhi keadilan;
3.)  memberitahukan bahwa ia akan berpoligami, baik pada isteri maupun kepada bakal calon isteri. Sementara itu seorang dapat mengajukan aksi hukum melawan suaminya dan meminta cerai apabila perkawinan kedua berlangsung tanpa persetujuannya.
e. Persetujaun wali, saksi dan mahar
            Perkawinan hanya dapat dilaksanakan atas persetujaun kedua belah pihak, dihadiri wali dan dua orang saksi dan harus memberikan sejumlah mahar.
            Tidak dijelaskan lebih rinci tentang wali, sehingga tidak pula diketahui bagaimana hukum keluarga Aljazair memandang kedudukan wali mujbir, suatu posisi yang diakui oleh empat imam mazhab. Demikian juga tidak ada penjelasan tentang jumlah mahar, menurut kepantasan, kemampuan suami atau pertimbangan lainnya.
f. Perkawinan Beda Agama
            UU Aljazair secara ekplisit melarang perkawinan seperti ini dan tidak menjelaskan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita non muslim. Boleh jadi karena hal ini tidak dilarang, dapat diduga bahwa perkawinan tersebut boleh dilakukan. Atau mungkin hal itu memang absurd, tidak ada sikap konkrit pemerintah.
g. Perkawinan Beda Kewarganegaraan
            Perkawinan antar warga negara Aljazair dengan orang asing diperbolehkan. Pasal 31 yang mengatur ketentuan ini mengatakan bahwa warga negara Aljazair laki-laki atau perempuan boleh menikah dengan orang asing berdasarkan Undang-Undang.
h. Nafkah
            Seorang suami wajib memberi nafkah isteri sesuai dengan kapasitas ekonominya kecuali jika isteri telah mengabaikan kehidupan suami isteri. Suami yang memiliki lebih dari seorang isteri harus berlaku adil dalam pemberian semua bentuk materi. Ketentuan ini tercantum pada pasal 37 Hukum Keluarga Aljazair.
i. Masa Hamil
            Aljazair membatasi masa hamil minimal 6 bulan, sedang batas maksimal adalah 10 bulan. Seorang anak dinasabkan kepada ayahnya, apabila lahir dalam jangka waktu 10 bulan pada kasus putusnya perkawinan, terhitung sejak hari kematian suami atau hari terjadinya perceraian.
j. Perceraian dan Rujuk
            Pasal 49 mengatakan, perceraian hanya dapat terjadi dengan putusan hakim yang didahului usaha damai dan tidak berhasil dalam jangka waktu maksimal tiga bulan.
            Sedangkan tentang rujuk, terdapat pada pasal 50 yaitu jika suami ingin kembali pada isteri selama berlangsungnya usaha damai, tidak perlu membuat akad baru. Namun bila ia kembali setelah perceraian, hubungan mereka mesti dikukuhkan dengan akad baru.
k. Mut’ah (kompensasi)
            Bila hakim berkesimpulan bahwa suami telah menyalahgunakan hak talaknya, suami harus memberi uang kompensasi bagi isteri atas derita yang dialamimya. Demikian juga anaknya berhak mendapat uang konpensasi berupa biaya. Adapun jumlah uang pemeliharaan anak dan komponsasi tersebut sesuai dengan kemampuan             Finansial suami. Hak ini hilang jika isteri kembali menikah atau dianggap bersalah karena tidak bermoral. [7]
l. Cerai Gugat dan Khulu’
            Isteri mempunyai dua jenis hak cerai, yaitu cerai gugat dan khulu’
1.      Cerai Gugat. Isteri dapat mengajukan gugat cerai dengan alasan-alasan:
a.)    Suami tidak membeyar nafkah, kecuali ketika pelaksanaan perkawinan isteri sudah mengetahui ketidakmampuan suami.
b.)    Kelemahan-kelemahan suami yang menghakangi trealisasinya obtek-obyek perkawinan.
c.)    Penolakan suami untuk tinggal bersama isterinya selam lebih dari empat bulan.
d.)   Keyakinan suami yang dapat dihukum dengan hilangnya hak-hak perdata selam tidak lebih dari satu tahun.
e.)    Ketidakhadiran suami selama lebih dari saatu tahun tanpa memberi nafkah.
f.)     Suatu kesalahan (pelanggaran) hukum khusunya yang berkenaan dengan pasal 8 (tentang poligami) dan 37 (pemberian nafkah).
g.)    Tindakan amoral yang patut dicela.[8]

2.      Khulu’
            Isteri diperkenankan memohon perpisahan dari suaminya melalui khulu’ atas persetujuan kedua belah pihak. Kalau antara suami isteri tidak sepakat, hakim boleh memutuskan perceraian dengan pertimbangan dan memberi kompensasi kepada suami yang jumlahnya tidak melebihi nilai mahar.[9]


BAB III
PENUTUP

            Perkembangan hukum Islam di negara Aljazair masih berkisar pada Hukum Keluarga, sedangkan hukum-hukum lainnya menggunakan hukum-hukum yang berasal dari negara penjajahnya, yakni Perancis.
            Dalam penyusunan hukumnya, Aljazair merujuk kepada dasar-dasar hukum yang terdapat pada fiqih Madzhab Maliki sebagai moyoritas madzhab masyarakat dan sebagian dari penganut Ibadi dan Hanafi.





















DAFTAR PUSTAKA

BritannicaEncyclopedia (USA, The University of Chicago, 1993),
Coulson, N.J,MA, Aljazair History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University, 1964
Mahmood, Tahir, Family Reform in the Muslim World, New Delhi: The Indian law Institute, 1972,
______________, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987, h.
Muzdhar, Prof. Dr. H. Atho’ (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (Jakarta: Ciputat Press)
Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, terj., Depag., 1985


Encyclopedia Britannica, (USA, The University of Chicago, 1993), h. 237, sebagaimana dikutip Fatahuddin Aziz Siregar dalam Hukum Keluarga Islam di Aljazair, dalam Prof. Dr. H. Atho’ Muzdhar (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (Jakarta: Ciputat Press), 2003, h. 119
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, terj., Depag., 1985, h. 123.
Lihat juga: N.J Coulson,MA, Aljazair History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University, 1964, h. 171.
Tahir Mahmood, Family Reform in the Muslim World, New Delhi: The Indian law Institute, 1972, h. 129
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987, h. 15







[1] Encyclopedia Britannica, (USA, The University of Chicago, 1993), h. 237, sebagaimana dikutip Fatahuddin Aziz Siregar dalam Hukum Keluarga Islam di Aljazair, dalam Prof. Dr. H. Atho’ Muzdhar (ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (Jakarta: Ciputat Press), 2003, h. 119
[2] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, terj., Depag., 1985, h. 123.

[3] Lihat juga: N.J Coulson,MA, Aljazair History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University, 1964, h. 171.
[4] Tahir Mahmood, Family Reform in the Muslim World, New Delhi: The Indian law Institute, 1972, h. 129

[5] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987, h. 15

[6] Tahir Mahmood, Family Reform…, h. 129
[7] Lihat Pasal 51
[8] Pasal 57
[9] Pasal 51
Read More

MAKALAH PENERAPAN AHKAM MUAMALAH DALAM KALANGAN PRODUSEN DI ACEH

Desember 05, 2015 0



A.    Pengertian Makelar Atau Agen

Dalam kamus  Bahasa Indonesia, makelar didefinisikan sebagai perantara pada jual beli.[1] Makelar dalam bahasa Arab disebut dengan Simsar. Dan kerja makelar disebut simsarah,
ialah perantara perdagangan yaitu orang yang menjualkan atau yang mencarikan pembeli. Atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.[2] Makelar dalam kitab-kitab fiqih terdahulu disebut dengan istilah “samsarah” atau “simsarah”. Sayyid Sabiq mendefinisikan simsar adalah orang yang menjadi perantara antara pihak penjual dan pembeli guna lancarnya transaksi jual beli.[3] 

Dalam aktifitas seorang makelar tidak terikat dengan suatu barang, seperti yang kita ketahui sekarang yaitu sebutan dengan mekelar tanah. Orang yang menjadi perantara antara pemilik tanah dengan calon pembeli. Namun terkadang istilah makelar hanya tertuju pada hal-hal yag berbau tanah saja atau tertuju padanya. Tetapi semua kegiatan dan aktifitas ekonomi yang menghubungkan antara penjual dengan pembeli, maka ia disebut dengan makelar. Pada zaman modern ini,pengertian perantara sudah lebih meluas lagi,sudah bergeser kepada jasa pengacara, jasa konsultan, tidak hanya sekedar mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak hanya menemukan barang yang dicari dan menjualkan barang saja.
Dalam transaksi bisnis sekarang lebih terasa dibutuhkan, dibanding pada masa-masa sebelumnya. Hal ini disebabkan karena rumitnya transaksi bisnis saat ini, seperti contoh dalam bisnis eksport, import, bisnis grosir hingga bisnis retail, semua itu menjadikan makelar (broker) sangat penting dalam memainkan peranan kegiatan ekonomi.

1.      Orang Kota Tidak Membeli untuk Orang Dusun  dengan Sistem Makelar
     


Ibnu Sirin dan Ibrahim tidak menyukai hal ini bagi penjual dan pembeli. Ibrahim berkata, ‘’Sesungguhnya orang Arab biasa mengatakan, ‘ Juallah pakaian untukku’ , maksudnya adalah membeli.’’



   Dari Sa’id bin Al Musayyab bahsawanya dia mendengar Abu Hurairah RA berkata,” Rasulullah SAW bersabda, “ Janganlah seseorang membeli apa yang sedang dibeli oleh saudaranya, dan jangan kalian melakukan najasy, dan janganlah orang kota melakukan jual beli untuk orang dusun.’’

   Dari Muhammad, Anas bin Malik RA berkata,” Kami dilarang bila orang kota melakukan jual-beli untuk orang dusun.”
Keterangan Hadits :
  
(Bab orang kota tidak membeli untuk orang dusun dengan sistim makelar), yakni dianalogikan kepada hukum orang kota menjual kepada orang dusun. Atau, menggunakan lafazh bai’ dalam makna menjual dan membeli. Ibnu Hubaib Al Maliki berkata,’’ Membeli untuk orang dusun sama dengan menjual untuknya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

(Janganlah sebagian kalian membeli apa yang sedang dibeli oleh orang lain). Pada lafazh ini digunakan lafazh bai’ (menjual), tetapi maksudnya adalah syira’ (membeli). Sedangkan dari Imam Malik mengenai hal itu terdapat dua riwayat.’’

(Ibnu Sirin dan Ibrahim tidak menyukai hal itu bagi penjual dan pembeli). Adapun perkataan Ibnu Sirin telah diriwayatkan melalui sanad yang maushul oleh Abu  Awanah dalam kitab Shahih-nya melalui jalur salamah bin alqamah dari Ibnu Sirin, dia berkata,’’Aku bertemu Anas bin Malik, maka aku berkata, ‘ Orang kota tidak melakukan jual-beli untuk orang dusun, apakah kalian dilarang untuk menjual untuknya atau membeli untuknya ?’ Dia berkata, “Benar” Muhammad berkata,’’ Dia benar, sesungguhnya ia adalah kalimat yang ringkas dan padat.’’
   Abu Daud meriwayatkan melalui jalur Abu Bilal dari Ibnu Sirin, dari Anas dengan lafazh,                                                                                                                                                                                                                                                                       
(Biasanya dikatakan bahwa oranag kota tidak boleh melakukan jual beli untuk orang dusun, dan itu adalah kalimat yang mencakup makna tidak menjual untuknya dan tidak pula membeli untuknya). Adapun Ibrahim yang disebutkan di atas pula membeli untuknya). Adapun Ibrahim yang disebutkan di atas adalah Ibrahim An-Nakha’i dan saya tidak menemukan pernyataan demikia darinya secara tegas.
                                                                                                                                       (Ibrahim berkata,” Sesungguhnya orang arab biasa mengatakan ‘Juallah pakaian untukku,’ dan maksudnya adalah membeli.”). Perkataan ini diucapkan Ibrahim dalam rangka mengemukakan dalil bagi pendapat yang dipilihnya, yaitu persamaan tentang makruhnya hukum menjual dan membeli. Kemudian Imam Bukhari menyebutkan dua hadits pada bab ini, salah satunya adalah hadits Abu Hurairah RA.
                                                                                                                           (kami dilarang apabila orang kota melakukan jual beli untuk orang dusun). Imam Muslim dan An-Nasa’i menambahkan melalui jalur Yunus bin Ubaid dari Muhammad bin Sirin, dari anas,

(Meskipun orang dusun itu adalah saudara atau bapaknya). Abu daud dan An-Nasa’i meriwayatkan melalui jalur lain dari Yunus bin Ubaid, dari Al hasan, dari Anas bahwa Nabi SAW... beliau menyebutkan selengkapnya. Berdasarkan riwayat ini diketahui bahwa orang yang melarang dan tidak diketahui secara jelas pada riwayat pertama Nabi SAW. Hal ini memperkuat pandangan yang benar bahwa perkataan seorang sahabat “Kami dilarang melakukan hal ini” memiliki hukum marfu’                                                                                  (langsung dari Nabi SAW). Perkataaan tersebut memili kedudukan yang sama dengan perkataan “ Nabi SAW bersabda”.[4]
2. Hadist Tentang Larangan Mencegat Barang di Jalan
Dari Ibnu Umar :


“Sesungguhnya Rasulullah SAW. melarang mencegat barang dagangan sebelum sampai di pasar. Demikian menurut lafazh Ibnu Numair, sedangkan (menurut lafazh) dua orang lainnya, bahwa Nabi melarang mencegat (dagangan).”
Dari Abdullah (bin Umar) :

“Nabi SAW. sesungguhnya beliau melarang mencegat barang-barang dagangan.”
Dari Abu Hurairah, ia berkata:

“Rasulullah SAW melarang seseorang mencegat barang dagangan.”
Dari Ibnu Sirin, ia berkata:
Aku pernah mendengar Abu Hurairah berkata: Sesungguhnya Rasulullah bersabda :


“Janganlah kalian mencegat barang dagangan. Barangsiapa yang mencegatnya lalu membelinya, kemudian si pemilik barang dagangan tersebut sampai di pasar, maka ia (pemilik barang) boleh melakukan khiyar (antara melangsungkan atau membatalkan jual beli yang telah dilakukannya dengan si pencegat tadi, jika ternyata ia mengetahui harga barang yang semestinya, pent).”[5]
3. Ensiklopedi Tematis al-Qur’an dan Hadits
Dari Thawus, dari Ibnu Abbas ra. Berkata:
Rasulullah SAW bersabda:


”Janganlah kamu menghadang di tengah perjalanan orang-orang yang membawa dagangan (untuk memebeli dagangannya), dan orang kota jangan menjual kepada orang desa.”
Aku (Thawus) bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apakah maksud sabda beliau: Orang kota dilarang menjual kepada orang desa.”
 Ibnu Abbas menjawab: “Janganlah orang kota menjadi makelar (perantara) baginya (calo).”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kandungan hadits:
1.      Haram mencegat pemasok makanan pokok dijalan secara mutlak, baik mereka berkenderaan, berjalanan kaki, berkelompok atau sendirian sebelum mencapai pasar daerah setempat.
2.      Sah jual beli dengan cara diatas, sebab larangan tersebut tidak mengarah kepada transaksi maupun suatu kriteria, sehingga tidak mnyebabkan tidak sah.
3.      Penduduk kampung tidak boleh menjadi makelar bagi para pemasok, baik hal itu dengan upah atau sukarela menurut pendapat yang lebih jelas demi menjaga kepentingan umum.
4.      Penduduk kampung boleh menjual kepada penduduk hutan jika penduduk hutan menawar kepada orang kampung. Demikian pendapat sebagian ulama.
5.      Hadis ini muhkam dan tidak di naskh, sebab tidak diketahui mana yang mutakhir. Salah ucapan sebagian orang: “sahnya jualbeli orang kampung kepada penduduk hutan secara mutlak di naskh. Dasarnya adalah hadist ini di naskh dengan hadist nasehat. “ sebab hadist nasehat hanya berlaku untuk orang yang meminta nasehat.
6.      Islam sangat ingin menjaga harta benda umat dan melindungi hak mereka.

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata:
Rasulullah SAW. bersabda:



“Janganlah menghadang barang dagangan yang di bawa dari luar kota. Barang siapa dihadang kemudian sebagian barangnya di beli daripadanya, kemudian pemiliknya datang ke pasar, maka ia (pemilik) berhak khiyar (memilih antara membatalkan atau tidak.”
(HR. Muslim)
Kandungan hadits:
1.      Haram mencegat pemasok bahan makanan.
2.      Pemasok bahan makanan boleh menggagalkan atau tidak atas transaksi ketika ia sampai di pasar, meskipun pencegat membeli dengan harga pasar.[6]

Hadist – Hadist Muttafaq ‘Alaih

Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a., dia telah berkata:



“Kami dilarang menjual barang dagangan kepada orang kota untuk dijualkan kepada orang kampung, sekalipun orang itu saudara atau ayahnya.”[7]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam kamus  Bahasa Indonesia, makelar didefinisikan sebagai perantara pada jual beli.[8] Makelar dalam bahasa Arab disebut dengan Simsar. Dan kerja makelar disebut simsarah, ialah perantara perdagangan yaitu orang yang menjualkan atau yang mencarikan pembeli. Atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli.[9] Makelar dalam kitab-kitab fiqih terdahulu disebut dengan istilah “samsarah” atau “simsarah”. Sayyid Sabiq mendefinisikan simsar adalah orang yang menjadi perantara antara pihak penjual dan pembeli guna lancarnya transaksi jual beli.
Dalam transaksi bisnis sekarang lebih terasa dibutuhkan, dibanding pada masa-masa sebelumnya. Hal ini disebabkan karena rumitnya transaksi bisnis saat ini, seperti contoh dalam bisnis eksport, import, bisnis grosir hingga bisnis retail, semua itu menjadikan makelar (broker) sangat penting dalam memainkan peranan kegiatan ekonomi.
B.     Saran
Semoga makalah ini dapat memberi kita dorongan atau motivasi agar lebih memahami dan menerapkan perintah Allah SWT. kepada kita untuk berzakat.
Penulis sangat sadar akan ketidak sempurnaan pada makalah ini. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang positif agar dapat membangun keadaan pada makalah-makalah selanjutnya. Dan penulis mengucapkan beribu Terima Kasih atas perhatiannya.



DAFTAR PUSTAKA

Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, Jombang: Lintas Media,1999
Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Rajawali Press,2003
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 12,Bandung: Alma’arif,1993
Fathul Baari,
Abdul Baqi, Fuad, Muhammad, Shahih Muslim Jilid 3, Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2010
Yusuf, Muhammad, Ensiklopedi Tematis Ayat al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: Widya Cahaja, 2009
Muhad, Ahmad dan Rodli, Ahmad, Hadits-Hadits Muttafaq ‘Alaih, Jakarta: Kencana, 2004
Hassan, A., Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: Diponegoro, 1987




[1]Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, (Jombang: Lintas Media,1999), hal.200
[2]Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Rajawali Press,2003), hal.131
[3]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 12,(Bandung: Alma’arif,1993),hal. 69
[4] Fathul Baari, hlm. 272
[5] Abdul Baqi, Fuad, Muhammad, Shahih Muslim Jilid 3, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2010) hlm. 32
[6] Yusuf, Muhammad, Ensiklopedi Tematis Ayat al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: Widya Cahaja, 2009) hlm. 28
[7] Muhad, Ahmad dan Rodli, Ahmad, Hadits-Hadits Muttafaq ‘Alaih, (Jakarta: Kencana, 2004) hlm. 94
[8]Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, (Jombang: Lintas Media,1999), hal.200
[9]Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Rajawali Press,2003), hal.131
Read More

Perbedaan Pegadaian Syari’ah dan Konvensional Dan Persamaannya

Desember 05, 2015 0



A.    Aplikasi Gadai dalam Perbankan
Kontrak rahn (gadai) dipakai dalam perbankan dalam dua hal[1].
a.       Sebagai Prinsip
Rahn dipakai dalam prinsip, artinya sebagai akad tambahan terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’i al mudharabah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
b.      Sebagai Produk
Dalam rahn nasabah tidak dikenakan bunga tetap, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran. Perbedaan utama antara biaya rahn dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sementara biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan di muka.

B.     Persamaan dan Perbedaan Pegadaian Syari’ah dan Konvensional

PERSAMAAN
PERBEDAAN
1.    Hak hadai atas pinjaman uang.






2.    Adanya agunan sebagai jaminan hutang.




3.    Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan.
4.    Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh para pemberi gadai.
5.    Apabila batas waktu pinjaman uang habis barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.
1.    Rahn dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal.
2. Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh benda, baik yang bergerak maupun tidak.
3. Dalam rahn tidak ada istilah bunga.

4. Gadai menurut hukum perdata dilaksanakan melalui suatu lembaga yang di Indonesia disebut Perum Pegadaian, rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.









[1]     Lembaga Perekonomian Umat: Bank Syari'ah dan Lembaga Keuangan Syari'ah Lainnya/ Yasir Yusuf, Muhammad; penyunting Aunie, Luthfi,--- Banda Aceh: Ar-Raniry Press 2004, hlmn: 124

Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot