Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 05 Desember 2015

MAKALAH SEJARAH KEBIJAKAN MONETER ISLAM

Desember 05, 2015 0




A.    SEJARAH KEBIJAKAN MONETER ISLAM
Sistem moneter sepanjang zaman telah mengalami banyak perkembangan, sistem keuangan inilah yang paling banyak dilakukan studi empiris maupun historis bila dibandingkan dengan disiplin ilmu ekonomi yang lain. Sistem keuangan pada zaman Rasulullah digunakan bimetalic standard yaitu emas dan perak (dirham dan dinar) karena keduanya merupakan alat pembayaran yang sah dan beredar di masyarakat. Nilai tukar emas dan perka pada masa Rasulullah ini relatif stabil dengan nilai kurs dinar-dirham 1:10. Namun demikian, stabilitas nilai kurs pernahmengalami gangguan karena adanya disequilibrium antara supply dan demand. Misalkan, pada masa pemerintahan Umayyah (41/662-132/750) rasio kurs antara dinar-dirham 1:12, sedangkan pada masa Abbasiyah (132/750-656/1258) berada pada kisaran 1:15.[1]


Di samping nilai tukar pada dua pemerintahan ini, pada masa yang lain nilai tukar dirham dan dinar mengalami berbagai fluktuasi dengan nilai paling rendah pada level 1:35 sampai dengan 1:50. Instabilitas dalam nilai tukar uang ini akan mengakibatkan terjadinya bad coins to drive good coins out of circulations[2] atau uang kualitas buruk akan menggantikan uang kualitas baik, dalam literatur konvensional peristiwa ini disebut sebagai hukum Gresham. Seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Bani Mamluk (1263-1328 M), di mana mata uang logam yang beredar terbuat dari fulus (tembaga) mendesak keberadaan uang logam emas dan perak. Peristiwa ini terjadi bila uang dari jenis dinar (emas) dan dirham (perak) menghilang dari peredaran karena adanya perbedaan nilai kurs dengan daerah lain. Sebagai contoh bila kurs di wilayah Mamluk akan dibawa ke daerah lain yang akan dapat ditukarkan dengan 25 fulus, tentu saja perbedaan nilai ini akan mengakibatkan emas di peredaran akan menghilang. Oleh Ibn Taimiyah dikatakn bahwa uang dengan kualitas rendah akan menendang keluar uang kualitas baik.
B.     MANAJEMEN MONETER ISLAM
Sebuah pertanyaan awal yang mesti dijawab adalah apakah keberadaan fiduciary money dalam ekonomi Islam diperbolehkan? Adakah mekanisme yang memungkinkan untuk mencapai kestabilan nilai tukar fiduciaty money dengan menghilangkan penggunaan suku bunga dan instrumen lain yang dilarang dalam syari’ah?
Dalam Alqur’an maupun sunnah tidak ditemukan secara spesifik keharusan untuk mengguanakn dinar (emas) dan dirham (perah) sebagai  standar nilai tukar uang (full-bodied monometallic standard). Khalifah ‘Umar bin Khatab (23/644), telah mencoba untuk memperkenalkan jenis uang fiducier ini juga mendapat dukungan seperti Ahmad ibn Hamball (241/855), Ibn Hazm (456/1064) dan Ibn Taimiyah (505/1328). Merujuk dari pendapat para fuqaha ini tidak ditemukan akan keharusan memakai emas dan perak sebagai alat pembayar, walaupun pada masa itu keberadaan  full-bodied money merupakan sebuah kezaliman. Namun di samping memperbolehkan uang fiducier, Ibn Taimiyah mengingatkan bahwa penggunaan uang ini akan mengakibatkan hilangnya uang dinar dan emas dari peredaran karena adanya hukum Gresham. Imam Al-Ghazali memperbolehkan penggunaan uang yang tidak dikaitkan dengan emas atau perak selama pemerintah mampu menjaga nilainya.
Secara umum, para fuqaha telah menyepakati bahwa hanya otoritas yang berkuasa saja yang berhak untuk mengeluarkan uang tersebut. Dalam hal ini, Imam Al-Ghazali mensyaratkan pemerintah untuk menyatakan uang fiducier yang dicetak sebagai alat pembayaran yang resmi, wajib  menjaga nilainya dengan mengatur jumlah uang beredar sesuai dengan kebutuhan dan memastikan tidaknya perdagangan uang. Penekanan Alqur’an mengenai uang adalah jaminan adanya keadilan dalam fungsinya sebagai alat tukar, alat ukur dan alat penyimpan daya beli.
Keberadaan uang  dalam sebuah perekonomian memberikan arti yang terpenting, ketidakadilan dari ukur yang diakibatkan adanya instabilitas nilai tukar uang akan mengakibatkan perekonomian tidak berjalan pada titik keseimbangan. Hal ini akan semakin memprsulit untuk merealisasikan keadilan dalam sosial ekonomi dan kesejahteraan sosial. Ibn Khaldun mengatakan bahwa suatu negeri tidak akan mungkin mungkin mampu melakukan pembangunan secara berkesinambungan tanpa adanya keadlian dalam sistem yang dianutnya.[3] Stabilitas harga berarti terjaminnya keadilan uang dalam fungsinya sehingga perekonomian akan relatif berada dalam kondisi yang memungkinkan teralokasinya sumber daya secara merata, terdistribusinya pendapatan, optimum growth, full employment dan stabilitas perekonomian.
Pada dasarnya, kebutuhan manusia dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu perlu serta mendesak dan tidak perlu serta kurang bermanfaat. Komponen pertama dapat dimasuki sebagai permintaan uang untuk konsumsi pemenuhan kebutuhan dan investasi produktif. Sedangkan jenis kedua meliputi konsumsi yang berlebihan, investasi yang tidak produktif dan spekulasi.
Dengan kata lain, upaya regulasi untuk mengendalikan permintaan uang dengan suku bunga sebagai instrumen moneter malah akan mengakibatkan penyalahgunaan sumber dana untuk tujuan yabg tidak produktif. Regulasi yang dicirikan dengan memainkan peranan suku bunga dalam sektor makro telah membawa permintaan uang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang kurang perlu, investasi yang kurang produktif dan tingginya spekulasi. Oleh karena itulah para ekonom Islam lebih mengandalkan pada tiga variabel-variabel penting di dalam manajemen permintaan uang, yaitu:
a.       Nilai-nilai moral
b.      Lembaga-lembaga sosial-ekonomi dan politik, termasuk mekanisme harga
c.       Tingkat keuntungan rill sebagai pengganti keberadaan suku bunga.
Ketiga variabel ini akan saling mendukung dalam mengendalikan permintaan uang. Meskipun nilai-nilai moral kurang mampu secara langsung dalam menentukan seberapa besar jumlah uang yang diminta namun variabel ini akan mengurangi sikap konsumsi yang boros dan tidak perlu, juga akan mengurangi tindakan penggunaan uang yang bersifat spekulatif. Mekanisme harga juga akan membantu mengalokasikan sumber daya pada tujuan yang lebih efesien. Keberadaan suku bunga sebagai instrumen intermediary dalam sistem keuangan dapat menjadikan pola konsumsi masyarakat di luar batas kemampuannya dan mengarahkan investasi pada bidang yang kurang produktif atau spekulatif, disebabkan sistem bunga telah gagal sebagai mekanisme kontrol terhadap penggunaan dana pinjaman. Dengan adanya tingkat keuntungan sebagai pengganti dari keberadaan suku bunga diharapkan akan lebih mampu untuk mengarahkan pada pola permintaan uang yang ditujukan untuk konsumsi yang tidak berlebihan dan investasi yang berorientasi keuntungan di sektor rill. Berkorespondensinya ketiga variabel dalam satu sistem ini akan dapat menciptakan pola permintaan uang yang relatif stabil.

C.     APLIKASI INSTRUMEN MONETER ISLAM DI INDONESIA
Peraturan perbankan syari’ah yang dikeluarkan pada tahun 1998 yang menggantikan peraturan perbankan syari’ah 1992 telah memungkinkan perkembangan perbankan syari’ah dengan sangat cepat. Berkembangnya jumlah cabang dari bank syari’ah baik dari bank umum yang berdasarkan syari’ah maupun divisi syari’ah dari bakn umum konvensional, serta meningkatnya kemampuan dalam menyerap dana masyarakat yang terlihat dari dana simpanan pihak ketiga yang tertera di neraca bank-bank syari’ah tersebut. Hal tersebut mengharuskan Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk lebih menaruh perhatian dan lebih berhati-hati dalam menjalnkan fungsi pengawasannya sebagai bank sentral yang bertugas mengawasi bank-bank umum yang ada di bawahnya sekaligus dengan tidak mengganggu momentum pertumbuhan bank-bank syari’ah tersebut.
BI dalam menjalankan fungsi-fungsi bank sentralnya terhadap bank-bank yang berdasarkan syari’ah mempunyai instrumen-instrumen sebagai berikut:[4]
a.       Giro Wajib Minimum (GMW), biasanya dinamakan Statutory Reserve Requirment, yaitu simpanan minimum bank-bank umum dalam bentuk giro pada BI yang besarnya ditetapkan oleh BI berdasarkan persentase tertentu dari dana pihak ketiga. GMW ini adalah kewajiban bank dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip-prinsip kehati-hatian perbankan (prudential banking) serta juga mempunyai peran sebagai instrumen moneter yang berfungsi mengendalikan jumlah peredaran uang.
Dalam pelaksanaannya GMW ini besarnya adalah 5% dari dana pihak ketiga yang berbentuk IDR (Rupiah) dan 3% dari dana pihak ketiga yang berbentuk mata uang asing. Jumlah tersebut dihitung dari rata-rata harian dalam satu masa laporan untuk periode dua masa laporan sebelumnya. Sedangkan dana pihak ketiga yang dimaksud di sini adalah bentuk:
·         Giro wadiah
·         Tabungan mudharabah
·         Deposito Investasi Mudharabah
·         Kewajiban lainnya
Daba pihak ketiga bank dalam IDR ini tidak termasuk dana yang diterima oleh bank dari Bank Indonesia (BI) dan BPR. Sedangkan dana pihak ketiga dalam mata uang asing meliputi kewajiban dalam mata uang asing kepada pihak ketiga termasuk bank dan Bank Indonesia (BI) yang terdiri dari:
·         Giro Wadiah
·         Deposito Investasi Mudharabah
·         Kewajiban lainnya
Adapun kesalahan dan keterlambatan dalam penyampaian laporan mingguan yang digunakan untuk menentukan GMW ini dikenakan denda oleh Bank Indonesia (BI). Sedangkan untuk bank yang melakukan pelanggaran GMW ini dikenanakn sangsi baik kekurangan dari minimum maupun kekurangan negatif;
b.      Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank Syari’ah (Sertifikat IMA), sertifikat IMA adalah suatu instrumen yang digunakan oleh bank-bank syari’ah yang kelebihan dana untuk mendapatkan keuntungan dan dan di lain pihak sebagai sarana penyedia jangka pendek bagi bank-bank syari’ah yang kekurangan dana.
Sertifikat ini berjangka waktu 90 hari, diterbitkan oleh kantor pusat bank syari’ah dengan format dan ketentuan standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI). Pemindahtanganan Sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh bank penanam dana pertama saja, sedangkan bank penanam dana kedua tidak diperkenankan memindahtangankan kepada pihak lain sampai berakhirnya jangka waktu. Pembayaran akan dilakukan oleh bank syari’ah penerbit sebesar nilai nominal ditambah imbalan bagi hasil (yang dibayarkan awal bulan berikutnya dengan nota kredit melalui kliring, bilyet giro Bank Indonesia (BI), atau transfer elektronik)
c.       Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), SWBI adalah instrumen Bank Indonesia (BI) yang sesuai dengan syari’ah Islam yang digunakan dalam OMO. Selain itu, SWBI ini juga dapat digunakan oleh bank-bank syari’ah yang mempunyai kelebihan likuiditas sebagai sarana penitipan dana jangka pendek.
Dalam operasionalnya, SWBI ini mempunyai suatu nilai nominal minimum Rp.500 juta dengan jangka waktu yang dinyatakan dalam hari (misalnya: 7 hari, 14 hari, 30 hari). Pembayaran dan pelunasan SWBI adalah melalui debet/kredit rekening giro bank yang ada di Bank Indonesia (BI). Jiak jatuh tempo dana akan dikembalikan beserta bonus yang ditentukan berdasarkan parameter Sertifikat IMA.

Ekonomi Makro Islam, Adi Warman A. Karim, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007




[1]  Muh Diya al-Din al-Ris (1961), Al-kharaj wa al-Nuzum al-Maliyya li al-Dawlah al-islamiyyah, Cairo: Al Maktabah al Angelo al Misriyah, hlm 369
[2]  Misri, Rafiq al- (1990), Al-Islam wa al-Nuqud, Jeddah: Markaz al-Nashr al-Ilmi King Abdul Aziz University.
[3]  M. Umer Chapra. (2000).:Why has Islamic Prohibited Interest? Review of Islamic Economics, No.9, hlm:5-20
[4]  Hlmn: 233
Read More

Makalah Pengertian Kebijakan Moneter Dalam Islam

Desember 05, 2015 0
153


Kebijakan Moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar. Untuk mengatasi krisis ekonomi yang hingga kini masih terus berlangsung, disamping harus menata sektor riil, yang tidak kalah penting adalah meluruskan kembali sejumlah kekeliruan pandangan di seputar masalah uang. Bila dicermati, krisis ekonomi yang melanda Indonesia, juga belahan dunia lain, sesungguhnya dipicu oleh dua sebab utama, yang semuanya terkait dengan masalah uang.
a.       Pertamapersoalan mata uang, dimana nilai mata uang suatu negara saat ini pasti terikat dengan mata uang negara lain (misalnya rupiah terhadap dolar AS), tidak pada dirinya sendiri sedemikian sehingga nilainya tidak pernah stabil karena bila nilai mata uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang tersebut.
b.      Kedua, kenyataan bahwa uang tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar saja, tapi juga sebagai komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa valuta asing) dan ditarik keuntungan (interest) alias bunga atau riba dari setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan uang.[1]
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi. Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money policy)

Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)[2]
Berkenaan dengan mata uang, Islam memiliki pandangan yang khas. Abdul QodimZallum mengatakan bahwa sistem moneter atau keuangan adalah sekumpulan kaidah pengadaan dan pengaturan keuangan dalam suatu negara. Yang paling penting dalam setiap sistem keuangan adalah penentuan satuan dasar keuangan (al-wahdatu al-naqdiyatu alasasiyah) dimana kepada satuan itu dinisbahkan seluruh nilai-nilai berbagai mata uang lain. Apabila satuan dasar keuangan itu adalah emas, maka sistem keuangan/moneternya dinamakan sistem uang emas. Apabila satuan dasarnya perak, dinamakan sistem uang perak. Bila satuan dasarnya terdiri dari dua satuan mata uang (emas dan perak), dinamakan sistem dua logam. Dan bila nilai satuan mata uang tidak dihubungkan secara tetap dengan emas atau perak (baik terbuat dari logam lain seperti tembaga atau dibuat dari kertas), sistem keuangannya disebut sistem fiat money. Dalam sistem dua logam, harus ditentukan suatu perbadingan yang sifatnya tetap dalam berat maupun kemurnian antara satuan mata uang emas dengan perak. Sehingga bisa diukur masing-masing nilai antara satu dengan lainnya, dan bisa diketahui nilai tukarnya. Misalnya, 1 dinar emas syar'i bertanya 4,25 gram emas dan 1 dirham perak syar'iy beratnya 2,975 gram perak.
Sistem uang dua logam inilah yang diadopsi oleh Rasulullah SAW. Ketika itu kendati menggunakan sistem uang dua logam, Rasulullah SAW memang tidak mencetak dinar dan dirham emas sendiri, tapi menggunakan dinar Romawi dan dirham Persia (ini juga menunjukkan bahwa sistem uang dua logam tidak eksklusif hanya dilakukan oleh ummat Islam). Demikian seterusnya, sistem dua logam itu diterapkan oleh para khalifah hingga masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (79H). Baru di masa itulah dicetak dinar dan dirham khusus dengan corak Islam yang khas. Dengan cara itu, nilai nominal dan nilai intrinsik dari mata uang dinar dan dirham akan menyatu. Artinya, nilai nominal mata uang yang berlaku akan dijaga oleh nilai instrinsiknya (nilai uang itu sebagai barang, yaitu emas atau perak itu sendiri), bukan oleh daya tukar terhadap mata uang lain. Maka, seberapapun misalnya dollar Amerika naik nilainya, mata uang dinar akan mengikuti senilai dollar menghargai 4,25 gram emas yang terkandung dalam 1 dinar. Depresiasi (sekalipun semua faktor ekonomi dan non ekonomi yang memicunya ada) tidak akan terjadi. Sehingga gejolak ekonomi seperti sekarang ini Insya Allah juga tidak akan terjadi. Penurunan nilai dinar atau dirham memang masih mungkin terjadi. Yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai nominal dinar itu, mengalami penurunan (biasa disebut inflasi emas). Diantaranya akibat ditemukannya emas dalam jumlah besar. Tapi keadaan ini kecil sekali kemungkinannya, oleh karena penemuan emas besar-besaran biasanya memerlukan usaha eksplorasi dan eksploitasi yang disamping memakan investasi besar, juga waktu yang lama. Tapi, andaipun hal ini terjadi, emas temuan itu akan segera disimpan menjadi cadangan devisa negara, tidak langsung dilempar ke pasaran. Secara demikian pengaruh penemuan emas terhadap penurunan nilai emas di pasaran bisa ditekan seminimal mungkin.Disinilah pentingnya ketentuan emas sebagai milik umum harus dikuasai oleh negara.
Secara syar'i pemanfaatan sistem mata uang dua logam juga selaras dengan sejumlah perkara dalam Islam yang menyangkut uang. Diantaranya tentang nisab zakat harta yang 20 dinar emas dan 200 dirham perak, larangan menimbun harta (kanzu al-mal,bukan idzkar atau saving) dimana harta yang dimaksud disitu adalah emas dan perak, sebagaimanan disebut dalam Surah At Taubah 34. Juga berkaitan dengan ketetapan besarnya diyat dalam perkara pembunuhan (sebesar 1000 dinar) atau batas minimal pencurian (1/4 dinar) untuk dapat dijatuhi hukuman potong tangan. Itu semua menunjukkan bahwa standar keuangan (monetary standard) dalam sistem keuangan Islam adalah uang emas dan perak.
Untuk menuju sistem uang dua logam, Abdul Qodim Zallum menyarankan sejumlah hal. Diantaranya, menghentikan pencetakan uang kertas dan menggantinya dengan uang dua logam dan menghilangkan hambatan dalam ekspor dan impor emas[3]. Pemanfaatan emas sebagai mata uang tentu akan mendorong eksplorasi dan eksploitasi emas (mungkin secara besar-besaran) untuk mencukupi kebutuhan transaksi yang semakin meningkat.

2.      Sejarah Kebijakan Moneter
Sistem moneter sepanjang zaman telah mengalami banyak perkembangan, sistem keuangan inilah yang paling banyak di lakukan studi empiris maupun historis bila di bandingkan dengan disiplin ilmu ekonomi lainnya.sistem keuangan pada zaman Rosulullah di gunakan bimatalic standard yaitu emas dan perak (dirham dan dinar) karena keduanya merupakan alat pembayaran yang sah dan beredar di masyarakat. Nilai tukar emas dan perak pada masa Rosulallah ini relative stabil dengan nilai kurs dirham-dinar 1:10, namun demikian, setabilitas nilai kurs pernah mengalami gangguan karena adanya disequilibrium antara supply dan demand. Misalkan pada masa bani umayyah (41/662-132/750) rasio kurs antara dinar-dirham 1:12, sedangkan pada masa abbasiyah (132/750-656/1258) berada pada kisaran 1:15.
Pada masa yang lain nilai tukar dirham-dinar mengalami fluktuasi dengan nilai oaling rendah pada level 1:35-1:50. Instabilitas dalam nilai tukar yang ini akan mengakibatkan terjadinya bad coins out of circulations atau kualitas buruk akan menggantikan uang kualitas baik, dalam literature konvensional peristiwa ini di sebut hukum Gresham. Seperi yang pernah terjadi pada masa pemerintahan bany mamluk (1263-1328), dimana mata uang yang beredar tersebut dari fulus (tembaga) mendesak keberadaan uang  logam emas dan perak . oleh ibnu taimiyah di katakana bahwa uang dengan kualitas rendah akan menendang keluar uang kualitas baik.
Perkembangan emas sebagai standar dari uang beredar mengalami tiga kali evolusi yaitu:
a.       The gold cins standard : di mana logam emas mulia sebagai uang yang aktif dalam peredaran
b.      The gold bullion standard : di mana logam emas sebagai para meter dalam menentukan nilai tukar uang yang beredar.
c.       The gold exchange standard (bretton woods system): di mana otoritas moneter menentukan nilai tukar domestic currency dengan foreign currency yang mampu di back-up secara penuh oleh cadangan emas yang di miliki. Dengan perkembangan sistem keuangan yang demikian pesat telah memunculkan uang fiducier (kredit money) yaitu uang yang keberadaannya tidak diback-up oleh emas dan perak
3.      Tujuan
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah. [4]


4.      Instrumen-instrumen Kebijakan Moneter dalam Konvensional dan Syari’ah.
Ada tiga instrument utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang yang beredar:
a.       Operasi pasar terbuka (Open Market Operation)
Adalah pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar dengan cara menjual atau membeli surat-surat berharga milik pemerintah (government security)
b.      Fasilitas diskonto (Discounto Rate)
Yadyang dimaksud dengan tingkat bunga diskonto adalah tingkat bunga yang ditetapkan pemerintah atas bank-bak umum yang menjamin ke bank sentral.
c.       Rasio cadangan wajib (Reserve Requirement Ratio)
Penetapan rasoio cadangan wajib juga dapat mengubah jumlah uang yang beredar. Jika rasio cadangan wajib diperbesar, maka kemampuan bank memberikan kredit akan lebih kecil disbanding sebelumnya.
d.      Imbauan Moral (Moral Persuasion)
Dengan imbauan moral, otoritas moneter mencoba mengarahkan atau mengendalikan jumlah uang beredar. [5]
Secara prinsip, tujuan kebijakan moneter islam tidak berbeda dengan tujuan kebijakan moneter konvensional yaitu menjaga stabilitas dari mata uang (baik secara internal maupun eksternal) sehingga pertumbuhan ekonomi yang merata yang diharapkandapat tercapai. Stabilitas dalam nilai uang tidak terlepas dari tujuan ketulusan dan keterbukaan dalam berhubungan dengan manusia. Hal ini disebutkan AL Qur’an dalam QS.Al.An’am:152
…………وَأَوْفُواْ الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ…….
“……. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. …”
Mengenai stabilitas nilai uang juga ditegaskan oleh M. Umar Chapra (Al Quran Menuju Sistem Moneter yang Adil), kerangka kebijakan moneter dalam perekonomian Islam adalah stok uang, sasarannya haruslah menjamin bahwa pengembangan moneter yang tidak berlebihan melainkan cukup untuk sepenuhnya dapat mengeksploitasi kapasitas perekonomian untuk menawarkan barang dan jasa bagi kesejahteraan sosial umum.
Walaupun pencapaian tujuan akhirnya tidak berbeda, namun dalam pelaksanaannya secara prinsip, moneter syari’ah berbeda dengan yang konvensional terutama dalam pemilihan target dan instrumennya. Perbedaan yang mendasar antara kedua jenis instrumen tersebut adalah prinsip syariah tidak membolehkan adanya jaminan terhadap nilai nominal maupun rate return (suku bunga). Oleh karena itu, apabila dikaitkan dengan target pelaksanaan kebijakan moneter maka secara otomatis pelaksanaan kebijakan moneter berbasis syariah tidak memungkinkan menetapkan suku bunga sebagai target/sasaran operasionalnya. [6]
Adapun instrumen moneter syariah adalah hukum syariah. Hampir semua instrumen moneter pelaksanaan kebijakan moneter konvensional maupun surat berharga yang menjadiunderlying-nya mengandung unsur bunga. Oleh karena itu instrumen-instrumen konvensional yang mengandung unsur bunga (bank rates, discount rate, open market operation dengan sekuritas bunga yang ditetapkan didepan) tidak dapat digunakan pada pelaksanaan kebijakan moneter berbasis Islam. Tetapi sejumlah instrument kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah pakar ekonomi Islam masih dapat digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, seperti Reserve Requirement, overall and selecting credit ceiling, moral suasion and change in monetary base.
Dalam ekonomi Islam, tidak ada sistem bunga sehingga bank sentral tidak dapat menerapkan kebijakan discount rate tersebut.  Bank Sentral Islam memerlukan instrumen yang bebas bunga untuk mengontrol kebijakan ekonomi moneter dalam ekonomi Islam. Dalam hal ini, terdapat beberapa instrumen bebas bunga yang dapat digunakan oleh bank sentral untuk meningkatkan atau menurunkan uang beredar. Penghapusan sistem bunga, tidak menghambat untuk mengontrol jumlah uang beredar dalam ekonomi.
Secara mendasar, terdapat beberapa instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara lain :[7]
a.        Reserve Ratio
Adalah suatu presentase tertentu dari simpanan bank yang harus dipegang oleh banksentral, misalnya 5 %.  Jika bank sentral ingin mengontrol jumlah uang beredar, dapat menaikkan RR misalnya dari 5 persen menjadi 20 %, yang dampaknya sisa uang yang ada pada komersial bank menjadi lebih sedikit, begitu sebaliknya.
b.        Moral Suassion
Bank sentral dapat membujuk bank-bank untuk meningkatkan permintaan kredit sebagai tanggung jawab mereka ketika ekonomi berada dalam keadaan depresi.Dampaknya, kredit dikucurkan maka uang dapat dipompa ke dalam ekonomi.
c.         Lending Ratio
Dalam ekonomi Islam, tidak ada istilah Lending (meminjamkan), lending ratio dalam hal ini berarti Qardhul Hasan (pinjaman kebaikan).
d.        Refinance Ratio
Adalah sejumlah proporsi dari pinjaman bebas bunga. Ketika refinance  ratio meningkat, pembiayaan yang diberikan meningkat, dan ketika refinance
ratio turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk memberikan pinjaman.
e.         Profit Sharing Ratio
Ratio bagi keuntungan (profit sharing ratio) harus ditentukan sebelum memulai suatu bisnis.  Bank sentral dapat menggunakan profit sharing ratio sebagai instrumen moneter, dimana ketika bank sentral ingin meningkatkan jumlah uang beredar, maka ratio keuntungan untuk nasabah akan ditingkatkan.
f.         Islamic Sukuk
Adalah obligasi pemerintah, di mana ketika terjadi inflasi, pemerintah akan mengeluarkan sukuk lebih banyak sehingga uang akan mengalir ke bank sentral dan jumlah uang beredar akan tereduksi.  Jadi sukuk memiliki kapasitas untuk menaikkan atau menurunkan jumlah uang beredar.
g.        Government Investment Certificate
Penjualan atau pembelian sertifikat bank sentral dalam kerangka komersial, disebut sebagai Treasury Bills.  Instrumen ini dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan dijual oleh bank sentral kepada broker dalam jumlah besar, dalam jangka pendek dan berbunga meskipun kecil. Treasury Bills ini tidak bisa di terima dalam Islam, maka sebagai penggantinya diterbitkan pemerintah dengan sistem bebas bunga, yang disebut GIC: Government Instrument Certificate.
Beberapa mazhab instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara lain :
1.        Mazhab pertama (Iqtishaduna)
Pada masa awal islam tidak diperlukan suatu kebijakan moneter karena system perbankan hampir tidak ada dan penggunaan uang sangat minim. Jadi, tidak ada alasan yang memadai untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap penawaran akan uang melalui diskresioner. Tambahan pula, kredit tidak memiliki peran dalam penciptaan uang karena kredit hanya digunakan diantara para pedagang. Selain itu, peraturan pemerintah tentang surat peminjaman (promissory notes) dan instrument negosiasi (negotiable instruments) dirancang sedemikin sehingga tidak memungkinkan penciptaan uang.
Promissory notes atau bill exchange dapat diterbitkan untuk membeli barang dan jasa atau mendapatkan sejumlah dana segar, namun tidak dapat dimanfaatkan untuk tujuan kredit. Aturan-aturan tersebut mempengaruhi keseimbangan antara pasar barang dan pasar uang berdasarkan transaksi tunai. Dalam nasi’a atau aturan transaksi lainnya, uang yang dibayarkan atau diterima bertujuan mendapatkan komoditas atau jasa.
Instrument lain yang pada saat ini digunakan untuk mengatur jumlah peredaran uang serta mengatur tingkat suku bunga jangka pendek adalah OMO (jual-beli surat berharga pemerintah) yang belum dikenal pada masa awal pemerintahan islam. Selain itu, tindakan menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga bertentangan dengan ajaran islam yang melarang praktek riba.
2.        Mazhab Kedua (Mainstream)
Tujuan kebijakan moneter pemerintah adalah maksimisasi alokasi sumber daya untuk kegiatan ekonomi produktif. Alquran melarang praktek penumpukan uang (money hoarding) karena membuat uang tersebut tidak memberikan manfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, mazhab ini merancang sebuah instrument kebijakan yang ditujukan untuk mempengaruhi besar kecilnya permintaan akan uang (MD) agar dapat dialikasikan pada peningkatan produktivitas perekonomian secara keseluruhan.
Permintaan dalam islam dikelompokkan dalam dua motif yaitu motif transaksi (transaction motive) dan motif berjaga-jaga (precautionary motive). Semakin banyak uang yang menganggur (iddle) berarti permintaan akan uang untuk berjaga-jaga (MDprec)semakin besar, sedangkan semakin tinggi pajak yang dikenakan terhadap uang yang menganggur berbanding terbalik dengan permintaaan akan uang untuk berjaga-jaga. Dues of iddle fund adalah instrument kebijakan yang dikenakan pada semua asset produktif yang menganggur.
3.        Mazhab ketiga (alternative)
System kebijakan moneter yang dianjurkan oleh mazhab ini adalah syuratiq process yaitu kebijakan yang diambil berdasarkan musyawarah bersama otoritas sector riil. Menurut pemikiran mazhab ini, kebijakan moneter adalah repeated games in game theory. Dalam hal ini, bentuk kurva penawaran dan permintaan akan uang mirip tambang yang melilit dengan kemiringan (slope) positif akibat knowledge induced processI dan informant sharing yang baik. 
Menurut mazhab ini, keseimbangan di sector moneter adalah derivasi keseimbangan di sector riil, sedangkan kebijakan sector moneter adalah harmonisasi dengan kebijakan sector riil. 
Menurut Dr M.A. Choudhury, harmonisasi antara sector riil dan sector moneter menghasilkan kurva jangka panjang dari Mdan Myang berbentuk jalinan tambang, yang mendukung pertumbuhan nasional (Y).[8]












PENUTUP
Kebijakan Moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy)dan Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Perkembangan emas sebagai standar dari uang beredar mengalami tiga kali evolusi yaitu:
a.       The gold cins standard : di mana logam emas mulia sebagai uang yang aktif dalam peredaran
b.      The gold bullion standard : di mana logam emas sebagai para meter dalam menentukan nilai tukar uang yang beredar.
The gold exchange standard (bretton woods system): di mana otoritas moneter menentukan nilai tukar domestic currency dengan foreign currency yang mampu di back-up secara penuh oleh cadangan emas yang di miliki. Dengan perkembangan sistem keuangan yang demikian pesat telah memunculkan uang fiducier (kredit money) yaitu uang yang keberadaannya tidak diback-up oleh emas dan perak.
Ada tiga instrument utama yang digunakan untuk mengatur jumlah uang yang beredar: Operasi pasar terbuka (Open Market Operation), Fasilitas diskonto (Discounto Rate), Rasio cadangan wajib (Reserve Requirement Ratio), Imbauan Moral (Moral Persuasion)
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Secara mendasar, terdapat beberapa instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara lain : Reserve RatioMoral SuassionLending RatioRefinance Ratio,Profit Sharing RatioIslamic SukukGovernment Investment Certificate


REFERENSI

1.      Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islam
2.      Anita Rahmawati, Ekonomi Makro Islam
3.      Muhammad M.Ag., Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islami
4.      Paul A. Samuelson & William D.Nordhaus, Ekonomi edisi 12
5.      http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter




[1] Ir.Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, hal. 22
[2] Raharja Pratama, Pengantar Ekonomi, Mandala Manurung, Jakarta, 2005, hal 269
[3] Ir.Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, hal. 23.
[5]Pratama Rahardja, Log cit 269-271
[6] Paul A. Samuelson & William D.Nordhaus, Ekonomi edisi 12, hal. 34.
[7] Muhammad M.Ag., Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islami, Hal. 67.

[8] Anita Rahmawati, Ekonomi Makro Islam, hal. 234-235
Diposkan 

Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot