Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Senin, 08 Februari 2016

MAKALAH PENGERTIAN METODOLOGI STUDI ISLAM

Februari 08, 2016




BAB DUA
PEMBAHASAN
I.    Pengertian

Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau lanhkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.

Menurut istilah (terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading mengatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik riset.
Metode adalah suatu ilmu yang memberi pengajaran tentang sistem dan langkah yang harus ditempuh dalam mencapai suatu penyelidikan keilmuan. Dalam berbagai penelitian ilmiah, langkah-langkah pasti harus ditempuh agar kelogisan penelitian ilmiah benar-benar nyata dan dapat dipercaya semua masyarakat. Metode juga dapat diartikan sebagai cabang logika yang merumuskan dan menganalisis prinsip-prinsip yang tercakup dalam menarik kesimpulan logis untuk membuat konsep.[1]
II.    Kegunaan Metode Pemahaman ajaran Islam
Sejak kedatangan Islam pada abad ke-13 M hingga saat ini, fenomena amat variatif . Kondisi ini terjadi diberbagai negara termasuk Indonesia. Walau keadaan amat variatif , namun tidak keluar dari yang terkandung dalam alqur’an dan sunnah serta sejalan dengan data-data historis yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pada tahap berikutnya, yang menjadi primadona masyarakat Islam adalah ilmu teologi (kalam) sehingga setiap masalah yang dihadapi selalu dilihat dari paradigma teologi. Lebih dari itu tologi yang dipelajarinya hanya berpuast pada paham Asy’ari dan Sunni. Paham lain dianggap sesat, akibatnya tidak terjadi dialog, keterbukaan, dan saling mengahargai.
Pada tahap selanjutnya, muncul paham keIslaman bercorak tasawuf yang mengambil bentuk tarikat terkesan kurang menampilkan pola hidup yang seimbang antara urusan dunia dan urusan ukhrawi. Dalam tasawuf kehidupan dunia terkesan diabaikan. Umat terlalu mementingkan akhirat, urusan dunia menjadi terbengkalai. Akibatnya keadaan umat mundur dalam bidang keduniaan, materi dan fasilitas. Dari contoh pemahaman keIslaman di atas diperoleh kesan bahwa hingga saat ini pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial, belum utuh dan belum komprehensif. Sekalipun dijumpai adanya pemahaman Islam yang sudah utuh baru diserap sebagian sarjana yang membaca karya modern dengan sikap terbuka.
Proses pengajaran Islam hingga saat ini belumtersusun secara sistematis dan belum disampaikan menurut prinsip , pendekatan dan metode yang direncanakan dengan baik. Namun untuk kepentingan akademis,membuat slam lebih responsif dan fungsional dalam memandu perjalanan umat Islam diperlukan metode yang dapat menghasilkan pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif.
Pada abad pertengahan, Eropa dalam keadaan stagnasi dan masa bodoh dalam waktu seribu tahun. Tetapi stagnasi dan masabodoh tersebut kemudian menjadi kebangkitan revolusioneryang multifaset dalam bidang sains, seni, dan kehidupan sosial. Revolusi yang mendadak dalam pemikiran manusia ini menghasilkan peradaban kebudayaan. Kita harus bertanya kepada diri kita mengapa orang mandeg sampai seribu tahun, dan apa yang terjadi pada dirinya yang menyebabkan perubahan mendadak, ia bangkit dan bangun, sehingga dalam waktu 300 tahun Eropa menemukan kebenaran-kebenaran yang tidak mereka peroleh dalam seluruh waktu seribu tahun.
Ali syari’ati (1933-1977), seorang sarjana Iran yang meninggal di rantau yaitu di Inggris menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan kemandegan dan stagnasi dalam pemikiran , perdaban dan kebudayaan yang berlangsung hingga seribu tahun di Eropa pada abad pertengahan adalah metode pemikiran analogi dari Aristoteles. Di kala cara melihat masalah objek itu berubah, dan sebagai akibatnyakehidupan manusia juga berubah. Dengan demikian kita dapat mengetahui dan memahami tentang pentingnya metodologi sebagi faktor fundamental dalam renaisans.[2]
Begitu pentingnya peranan metode pemahaman ajaran Islam dalam kemajuan dan kemunduran pertumbuhan ilmu. Mukti ali mengatakan bahwa yang menentukan dan membawa stagnasi adalah metode yang digunakan. Sebagai contoh pada abad ke 14-16 M, Aritoteles lebih jenius bila Francis Bacon. Namun mengapa justru bacon menjadi orang yang kejeniusannya lebih rendah dibanding dengan Aristoteles. Ali Mukti menjawab bahwa karena orang yang yang biasa-biasa saja seperti Bacon dapat menemukan metode berpikir yang benar dan utuh.
Hal demikian tidak untuk merendahkan orang-orang jenius. Akan tetapi, kejeniusan saja tidak cukup , namun harus dilengkapi dengan ketepatan dalam memilih metode yang digunakan untuk kerjanya dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada dasarnya metode digunakan untuk mencapai tujuan dalam mencari kebenaran ilmu dan menggali kebenaran ilmu pengetahuan.
III.  Metode Memahami Islam
Memahami berasal dari kata paham yang artinya mengerti, memaklumi dan mengetahui sesuatu hal yang sedang diamati, didengarkan, dikerjakan ataupun sesuatu hal yang sedang terjadi.[3]
Metode dalam memahami Islam harus dilihat dari berbagai dimensi. Dalam hubungan ini, jika kita meninjau Islam dari satu sudut pandang saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dari gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara tepat, namun tidak cukup bila kita ingin memahaminya secara keseluruhan. Buktinya ialah Alqur’an sendiri. Kitab ini memiliki banyak dimensi, sebagiannya telah dipelajari oleh sarjana-sarjana besar sepanjang sejarah. Satu dimensi, misalnya, mengandung aspek-aspek linguistik dan sastra Alqur’an. Para sarjana sastra telah mempelajarinya secara terperinci. Dimensi lain terdiri atas tema-tema filosofis dan keimanan Alqur’an yang menjadi bahn pemikiran bagi para filosof serta para teolog.[4]
Ali Syari’ati lebih lanjut mengatakan, ada berbagai cara memahami Islam. Salah satu cara adalah dengan mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain. Cara lainnya adalah dengan mempelajari kitab Alqur’an dan membandingkannya dengan kitab-kitab samawi lainnya. Tetapi ada lagi cara lain, yaitu dengan mempelajari kepribadian rasul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaharuan yang pernah hidup dalam sejarah. Akhirnya, ada satu cara lagi, ialah dengan mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh utama agama maupun alairan-aliran pemikiran lain. Seluruh cara yang ditawarkan Ali Syari’ati itu pada intinya adalah metode perbandingan (komparasi). Dapat dimaklumi, bahwa melalui perbandingan dapat diketahui kelebihan dan kekuranganyang terdapat diantara berbagai yang dibandingkan itu. Namun, sebagaimana diketahui bahwa secara akademis suatu perbandingan memerlukan persyaratan tertentu. Perbandingan menghendaki objektivitas, tidak ada pemihakan, tidak ada pra konsepsi dan semacamnya. Pendekatan komparasi dalam memahami agama baru akan efektif apabila dilakukan oleh orang yang bru mau beragama.[5]
Metode lain untuk memahami Islam yang diajukan Mukti Ali adalah metode tipologi. Metode ini oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topic dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Dalam hal agama Islam, juga agama-agama lain, yaitu:
1) Aspek ketuhanan
2) Aspek kenabian
3) Aspek kitab suci
4) Aspek keadaan waktu munculnya nabi, orang-orang yang di dakwahinya, dan individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu.[6]
Selain menggunakan pendekatan komparasi, Ali Syari’ati juga menawarkan cara memahami Islam melalui pendekatan aliran. Dalam hubungan ini, ia mengatakan bahwa tugas intelektual hari ini ialah mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan, maupun masyarakat, dan bahwa sebagai intelektual dia memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih baik. Dia harus menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi dan apa pun bidng studinya dia harus senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang Islam dan tentang tokoh-tokoh besarnya, sesuai dengan bidangnya masing-masing.[7]  
Selanjutnya, terdapat pula metode memahami Islam yang dikemukakan oleh Nasruddin Razzak. Ia mengajarkan metode pemahaman Islam secara menyeluruh. Cara tersebut digunakan untuk memahami Islam paling besar agar menjadi pemeluk agama yang mantap dan untuk menumbuhkan sikap saling menghormati terhadap pemeluk agam lain. Metode tersebut juga di tempuh dalam rangka menghindari kesalahfahaman yang menimbulkan sikap dan pola hidup beragama yang salah.
Untuk memahami Islam secara benar, terdapat empat cara yang tepat menurut Nasruddin Razzak, yaitu sebagai berikut:
1. Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli, yaitu Alqur’an dan sunnah Rasul.
2.  Islam harus dipelajari secara integral atau secara keseluruhan.
3. Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’ama, dan sarjana Islam.
4. Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis dalam Alqur’an kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris dan sosologis.
Dari beberapa metode tersebut terdapat dua metode dalam memahami Islam secara garis besar, yaitu:
1. Metode komparasi, yaitu metode memahami Islam dengan membandingkan seluruh aspek Islam dengan agama lainnya agar tercapai pemahaman Islam yang objektif dan utuh. Dalam komparasi tersebut terlihat jelas bahwa islam sangat berbeda dengan agama-agama lain. Intinya Islam mengajarkan kesederhanaan dalam kehidupan dan dalam berbagai bidang.
2. Metode sintesis, yaitu metode memahami Islam dengan memadukan metode ilmiah dengan metode logis normatif.[8]
IV. Metode Studi Ilmu Keislaman
Studi islam, yaitu ajaran-ajaran yang berhubungan dengan islam. Studi islam sangat berperan dan berfungsi dalam masyarakat. Studi islam bertujuan untuk mengubah pemahaman dan penghayatan keislaman masyarakat inter dan antar agama. Adapun perubahan yang diharapkan adalah formalisme kepahaman menjadi substantive keagamaan dan sikap enklusivisme menjadi sikap universalisme.[9]
Metode studi ilmu keislaman diharapkan dapat melahirkan suatu komunitas yang mampu melakukan perbaikan intern dan ekstern. Secara intern, komunitas itu diharapkan dapat mempertemukan dan mencari jalan keluar dari konflik intra agama islam. Secara ekstern, studi islam diharapkan dapat melahirkan suatu masyarakat yang siap hidup toleran dalam pluralitas agama. Pada segi normative, studi islam bersifat memihak, romantis, apologis, dan, subjektif. Jika dilihat dari segi histori, islam tampak sebagai disiplin ilmu.
Perbedaan dalam melihat islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan islam itu sendiri. Jika islam dilihat dari sudut normative, islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan muamalah. Sedangkan ketika dilihat dari sudut histori atau sebagaimana yang tampak dalam masyarakat, islam lebih tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).[10]
Selanjutnya, ada pula yang disebut Sains Islam. Menurut Hussein Nasr, sains islam adalah sains yang dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad islam kedua, yang keadaannya sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban Islam. Sains Islam mencakup berbagai pengetahuan modern seperti kedokteran, astronomi, matematika, fisika, dan sebagainya yang dibangun di atas arahan nilai-nilai Islami.[11]
Dari ketiga kategori ilmu keislaman tersebut, maka muncullah apa yang dikenal dengan MI, MTs, MA, dan Institut Agama Islam yang di dalamnya diajarkan studi islam yang meliputi Tafsir, Hadits, Teologi, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Pendidikan Islam. Kemudian muncul pula Universitas Islam yang di dalamnya diajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern yang bernuansa Islam (Sains Islam).[12]
IV.     Metode pemahaman ajaran Islam di Indonesia
Masyarakat indonesia yang pluralistik dalam bidang agamanya sangat menunggu-nunggu hasil kajian-kajian keilmuan dan penelitian-penelitian dalam bidang agama serta pemikiran-pemikiran keagamaan yang bersifat positif-konstruktif untuk menopang keterlibtan bersama seluruh pengikut agama-agama di tanah air dalam membina dan memupuk Kerukunan hidup antar umat beragama.
Seiring dengan pemekaran wilayah pemahaman dan penghayatan keagaman, yang diantara lain disebabkan oleh transparanya sekat-sekat budaya sebagai akibat luapan arus informasi dalam era IPTEK, masyarakat Indonesia pada khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya, membutuhkan masukan-masukan dari kajian-kajian keagamaan yang segar yang tidak lagi selalu bersifat “teologis-normatif”, tetapi juga menginginkan masukan-masukan dari kajian keaagamaan yang bersifat historis-kritis.
Posisi mayoritas umat Islam di Negara kesatuan Republik Indonesia, dalam hubungannya dengan persoalan pluralitas agama, memang sangat unik. Pengalaman umat Islam Indonesia secara kolektif dalam hubungannya dengan penghayatan pluralitas agama ini juga tidak dapat dihayati oleh umt Islam Turki dengan menganut paham kenegaraan sekuler. Predikat “sekuler” disini memang tidak mempunnyai konotasi dengan pluralitas agama seperti yang dihayati oleh umat Islalm Indonesia. Dengan memperhatikan kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang begitu majemuk keberagamaannya serta politik di luar negeri, studi agama di Indonesia terasa sangat urgen dann mendesak untuk dikembangkan.
Kerukunan umat beragama yang selama ini berjalan dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia memang sudah menjadi telaah, bahkan kekaguman, bagi para pengamat luar negeri. Kerukunan umat beragama di Indonesia telah berjalan wajar meskipun belum dilandasi dengan studi agama yang bersifat akademik-kritis. Di Indonesia kerukunan umat beragama tidak boleh dilepaskan dari peran pemerintah menciptakan situasi yang kondusif untuk kerukunan hidup beragama-bandingkan dengan program pemerintah. Departemen agama, untuk menggalang dan membina tiga kerukunan: “kerukunan umat beragama dengan pemerintah, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar intern umat beragam”.[13]
Dalam keberagamaan umat islam Indonesia ajaran-ajaran sedikit banyak telah kehilangan nilai kearabannya. Dengan demikian, menjadikan wajah islam Indonesia berbedadengan wajah islam di dunia manapun. Selain karena faktor kelonggaran atau keterbukaan, beberapa faktor lain juga turut mendukung tersebarnya islam secara luas dikalangan masyarakat di Indonesia. Menurut sejarawan, Tasawuf merupakan faktor paling dominan dalam keberhasilan penyebaran islam di Indonesia.[14]






BAB TIGA
PENUTUP
I.     Kesimpulan
Metode adalah ilmu yang memberi pengajaran tentang sistem dan langkah yang harus ditempuh dalam mencapai suatu penyelidikan keilmuan. Dengan metode yang tepat mempermudah tujuan pencapaian kelogisan penelitian dan kebenarannya. Ada dua metode dalam memahami Islam yaitu metode komparasi dan metode sintesis (metode memahami Islam dengan memadukan metode ilmiah dengan metode teologis normatif).
Dalam memahami Islam secara komperehensif dengan berpedomen kepada semangat dan isi ajaran al-qur’an yang diketahui banyak aspek. Berbagai metode dapat dipakai untuk memahami ajaran islam. Membandingkan Allah dengan sesembahan non muslim, membandingkan dengan kitab-kitab lain, membandingkan kepribadian Rasul SAW dengan tokoh-tokoh agama lain.

II.    Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami tulis. Kami sadar masih banyak kekurangan dalam makalah ini, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca yang budiman, demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini berguna dan memberikan manfaat bagi pembaca dan pembuatnya. Pada akhirnya selamat membaca, memahami dan mampu mengamalkannya. Amin.






[1] Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, 2006, Jakarta: Amzah, Hlm. 147
[2] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 2009, Jakarta: Rajawali Pers,, hlm. 152-153
[3] Ibid, hlm. 149

[4] Ibid, hlm. 152-153
[5] Ibid, hlm. 153-154
[6] Yatimin Abdullah, Op. cit., hlm. 150
[7] Abuddin Nata, Op. cit., hlm. 154

[8] Yatimin Abdullah, Op. cit., hlm. 150-151
[9] Nasution, M.A, Pengantar studi islam, 2009, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, hlm. 197

[10] Abuddin Nata, Op.cit, hlm. 151
[11] Ibid., hlm. 151-152

[12] Ibid., hlm 152
[13] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, 1996 , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 4-8
[14] Ajid Tohir, Studi Kawasan Dunia Islam, 2009. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 399
Read More

Minggu, 07 Februari 2016

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF SALAFI (AKHLAQI) DAN FALSAFI

Februari 07, 2016 0




Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua arah perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku; ada pula tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering di sebut sebagai tasawuf Salafi. Tasawuf Akhlaki, tasawuf Sunni. Tasawuf jenis ini banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasikan ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf jenis kedua banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof, disamping sebagai sufi.

Pembagian dua jenis tasawuf di atas didasarkan atas kecendrunganajaran yang dikembangkan, yakni kecendrungan pada pemikiran. Dua kecendrungan ini terus berkembang hingga masing-masing mempunyai jalan sendiri-sendiri, untuk melihat perkembangan tasawuf ke arah yang berbeda ini, perlu dilihat lebih jauh tentang gerak sejarah perkembangannya.

A.    SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF SALAFI (AKHLAQI) DAN FALSAFI
1.      Pengertian Tasawuf
Tasawuf pada prinsipnya adalah ilmu yang mempelajari usaha untuk membersihkan diri berjuang menahan hawa nafsu untuk mendekatkan diri kepada Allah.
a.       Tasawuf Salafi (Akhlaqi)
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ulama’ ulama sufi.[1]

Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:

1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.

2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.

3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.[2]
b.      Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan.[3]

2.      Sejarah Perkembangan Tasawuf
a.       Abad I-II H
Disebut pula dengan fase asketisme (zuhud). Pada fase ini terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam hidupnya, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dalam kehidupan akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan atau tingkah laku yang asketis. Tokoh yang sangat populer dari kalangan mereka adalah Hasan AL-Bashri (wafat pada 110 H) dan Rabiah Al-Adawiah (wafat pada 185 H). kedua tokoh ini sebagai zahid.
b.      Abad ke III H
Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan tentang jiwa dan tingkah laku. Perkembangan dan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral ditengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat itu. Sehingga ditangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral, akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan tentang akhlak.
Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang. Kesederhanaannya dilihat dari kemudahan landasan- landasan atau alur befikirnya. Tasawuf pada alur yang sederhana ini kelihatannya banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam praktek yang lebih menekankan perilaku manusia yang terpuji.
c.       Abad ke IV H
Abad ini di tandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat di bandingkan dengan pada abad ke tiga hijriah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf  untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Akibatnya, kota Baghdad yang hanya satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa iu, tersaingi oleh kota-kota besar lainnya.
Perkembangan tasawuf di berbagai negeri dan kota tidak mengurangi perkembangan tasawuf di kota Baghdad. Bahkan, penulisan kitab-kitab tasawuf disana mulai bermunculan, misalnya Qutubul Qultib Fi Mu’amalatil Mahbub, yang dikarang oleh Abu Thalib Al-Makky.
d.      Abad ke V H
Pada abad kelima hijriah muncullah Imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima taswuf berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf berdasarkan tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran ahlu sunnah waljama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid Al-Busthami, terutama mengenai soal karakter manusia.

e.       Abad ke VI H
Sejak abad keenam hijriah, sebagai akibat pengaruh keperibadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokuoh sufi yang mengembangkan tarikat-tarikat untuk mendidik para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat pada tahun 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (wafat pada tahun 651 H).[4]
B.     Tokoh-Tokoh Tasawuf dan Konsepnya
a.       Tokoh-tokoh tasawuf Salafi (Akhlaqi)
·         Hasan Al-Basri (21 H – 110 H)
Konsep tasawuf Hasan al-Basri adalah raja’ dan khauf yaitu, anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
·         Al-Muhasibi (165 H – 243 H)
Konsep tasawuf Al-Muhasibi adalah makrifat yaitu harus di tempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah. Khauf dan raja’ yaitu pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan khauf dan raja’ dapat dilakukan dengan sempurna hanya dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Wara’ yaitu ketakwaan.
·         Al-Qusyairi (376 H – 465 H)
Konsep tasawuf Al-Qusyairi adalah doktrin Al-Qur’an dan As-Sunnah yaitu tauhid merupakan pemisah hal yang lama dengan hal yang baru, landasan doktrin-doktrin mereka pun di dasarkan pada dalil dan bukti serta gamblang.
·         Al- Ghazali
Konsep tasawuf Al-Ghazali adalah doktrin Al-Qur’an dan As-Sunnah yaitu menjauhkan semua kecenderungan gnotis yang memengaruhi para filosof islam, sekte isma’iliyyah, aliran syiah, ikhwan ash-shafa dan menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles seperti emanasi dan penyatuan sehingga tasawuf al-ghazali benar-benar bercorak islam dan lebih mengutamakan pendidikan moral. Makrifat yaitu mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. As-sa’adah yaitu kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah kebahagiaan itu sesuai dengan watak sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya.[5]
b.      Tokoh-tokoh tasawuf falsafi
·         Ibnu’ Arabi (560 H – 638 H)
Konsep tasawuf Ibn ‘Arabi adalah wahdat al wujud yaitu wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud khaliq pula. Haqiqah muhammadiyah yaitu sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud tuhan dan dari sini muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya. Wahdatul Adyan yaitu kesamaan agama, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah.
·         Al-Jili (767 H – 805 H)
Konsep tasawuf Al-Jili adalah insane kamil yaitu manusia sempurna, bahwa perumpamaan hubungan tuhan dengan insane kamil adalah bagaikan cermin dimana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya, kecuali melalui cermin itu. Maqamat al-martabah yaitu maqam yang harus di lalui seorang sufi yang menurutnya di sebut al-martabah (jenjang atau tingkat) tingkat-tingkat itu adalah: islam, iman, shalah, ihsan, syahadah, shiddiqiyah, qurbah.
·          Ibnu Sab’in (lahir tahun 614 H)
Konsep Ibn Sab’in adalah kesatuan mutlak yaitu wujud Allah semata, asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Penolakan terhadap logika aristoteles yaitu realitas-realitas logika dalam jiwa manusia bersifat alamiah dan keenam kata logika (genus, species, difference, proper, accident, person) yang member kesan adanya wujud yang jamak sekedar ilusi belaka.[6]



      





BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Sejarah perkembangan tasawuf terbagi kepada tiga aliran Tasawuf, aliran pertama adalah aliran Tasawuf Salafi [Akhlaqi], aliran kedua adalah aliran tasawuf Falsafi, dan aliran ketiga adalah aliran Tasawuf Syi’i. Tasawuf aliran pertama mengalami Bereberapa fase yakni Pada abad kesatu dan kedua hijriyah disebut dengan fase asketisme [Zuhud], Abad ketiga hijriyah fase terlihatnya perkembangan tasawuf yang pesat, Abad keempat hijriyah fase kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan abad ketiga hijriyah, Abad kelima hijriyah fase kemunculan imam Al-Ghazali, fase yang cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikan ke landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan Abad keenam hijriyah fase pengaruh tasawuf Sunni semakin luas ke seluruh pelosok dunia Islam. Aliran kedua yakni aliran Tasawuf Falsafi disebut pula dengan Tasawuf nazhari, yakni tasawuf yang ajaran-ajarannya memedukan antara visi mistis dan visi rasional sedbagai pengasasnya. Dan Aliran ketiga yakni aliran Tasawuf Syi’iatau Syi’ah didasarkan atas ketajaman pemahaman kaum sufi dalam menganalisis kedekatan manusia dengan Tuhan.
B. SARAN
Setelah penjelasan dalam makalah ini, sebagai manusia biasa penulis memohon maaf apabila terjadi kesalahan dalam penjabaran masalah atau penyimpangan-penyimpangannya. Penulis menerima saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan dalam penulisan makalah selanjutnya.




DAFTAR PUSTAKA
Anwar ,Rosihan.Solihin, Mukhtar. 2006.Ilmu Tasawuf.Bandung:CV PUSTAKA SETIA
Sireger,Rivay.2002.Tasawuf. Jakarta:Rajawali après
Hamka.1986.Tasawuf Perkembangan dan pemurniaanya.Jakarta: PT.CITRA SERUMPUN PADI
Nata,Abudin. 2003.Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada








[1]Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-Taftazani, At-Tashawwuf Al-islam, hlm, 140. Dan  Abdul Azis Dahlan, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Tinjauan Filosofis, dalam jurnal ulumul qur’an, vol. ll, 1991/1411 H. , L-Saf, Jakarta, hlm. 28-32

[2] Rosihon Anwar, amukhtar Solihin, ilmu Tasawuf. h.56-58
[3] Taftazani, op.cit., h. 188
[4] Solihin dan Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf, pustaka setia, Bandung, 2008, hlm. 62-67
[5] Ibid, hlm. 123-144
[6] Ibid, hlm. 175-201
Read More

MAKALAH SEJARAH TURUN DAN PENULISAN AL-QUR’AN

Februari 07, 2016 0



C.Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Nabi


Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang sangat dirindukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga kerinduan Nabi Muhammad SAW terhadap kedatangan wahyu tidak sengaja diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad ditempuh dengan dua cara :
  1. Pertama, al Jam’u fis Sudur.

  1. Pada Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
  1. Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad,
  1. Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kmbalidihadapan Nabi Muhmmad SAW pada saat-saat terakhir,
  1. Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu bakar yang susunan mushafnya berbeda dengan mushaf ‘Utsman bin ‘Affan.
  1. Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai dengan lafazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun,
  1. Semua yang bukan mushaf Al-Qur’an dihilangkan.Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan pada karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan.

Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu turunnya wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya. Persis seperti dijanjikan Allah SWT dalam surat Al-Qiyamah ayat 17, sebagai berikut :
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (Q.S. Al-Qiyamah:17).
Oleh sebab itu, Nabi Muhammad SAW adalah hafiz (penghafal) Al-Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dala menghafalnya, sebagai ralisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Setiap kali Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, para sahabt langsung menghafalnya diluar kepala.
2.    Kedua, al Jam’u fis Suthur.
Selain di hafal, Rasulullah juga mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka seperti Ali, Mu’awiyah, Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, beliau memerintahkan mereka menuliskan dan menunjukan tempat ayat tersebutdalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan didalam hati.
Proses penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW sangatlah sederhana. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang dan berbagai tempat lainnya. Selain para sekretaris Nabi Muhammad SAW tersebut, para sahabat juga melakukannya tanpa sepengetahuan Nabi Muhammad SAW.
.
 D. Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Khulafaurrasyidin
Sepeningal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Al Quran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran yaitu pengumpulan naskahnaskah atau manuskrip Al Quran yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).
Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas habis para pemurtad dan juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 70 orang sahabat penghafal Al-Qur’an syahid.  Khawatir akan hilangnya Al-Qur’an karena para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam medan perang. Lalu Umar bin Khattab menemui Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hafalan maupun tulisan.
Namun pada awalnya Abu Bakar pun tidak setuju dengan apa yang diusulkan oleh Umar bin Khattab. Karena menurutnya, Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah melakukannya. Tetapi Umar bin Khattab terus membujuk Abu Bakar untuk melakukannya, dan akhirnya Allah SWT membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut. Kemudian Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Sabit untuk melakukannya. Seperti Abu Bakar sebelumnya, Zaid bin Sabit pun menolak perintah Abu Bakar dengan alas an yang sama. Setelah terjadi musyawarah, akhirnya Zaid bin Sabit pun setuju.





     2.   Pada Masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.
 Pada masa pemerintahan Usman bin ‘Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja (’Ajamy). Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif.
Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al Quran, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman.
Inisiatif ‘Utsman bin ‘Affan untuk menyatukan penulisan Al-Qur’an tampaknya sangat beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan cara membaca Al-Qur’an pada saat itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat Islamsaling menyalahkan dan pada ujungnya terjadi perselisihan diantara mereka.
‘Utsman bin ‘Affan memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan berikut:



3.  Pada Masa Setelah Khulafa’ur Rasyidin.
Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan pada karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan.
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M.).











    E. Penyempurnaan Pemeliharaan Al-Quran Setelah Masa   Khalifah
Mushaf yang ditulis pada masa Utsman tidak memiliki berharakat dan tanda titik. Setelah umat Islam bertambah banyak mereka kesulitan dalam membaca. Maka pada masa Khalifah ‘Abdul Malik(685-705) dilakukan penyempurnaan. Dua orang yang berjasa adalah ‘Ubaidillah bin Ziyad (w 67H) dan Hajaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w 95h). Penyempurnaan dilakukan secara bertahap sampai abad 3 H (akhir abad 9 M). ada tiga orang yang disebut-sebut sebagai pemberi tanda titik pada mushaf Utsman, yaitu Abu Al-Aswad Ad-Du’ali, Yahya bin Ya’mar (45-129 H) dan Nashr bin ‘Ashim Al-Laits (w 89 H). Yang meletakkan hamzah, tasydid, ar-raum dan Al-isymam adalah Al-Khalil bin Ahmad Al-Farabi Al-Azdi.

Khalifah Al-Walid (86-96 H) memerintahkan Khalid bin Abi Al-Hyyaj untuk menulis mushaf Al-Quran. Tahun 1530 M pertama kali Al-Quran dicetak di Bunduqiyah, ketika dikeluarkan, penguasa gereja memerintahkan supaya Al-Quran dimusnahkan.
Tahun 1694 M dicetak kembali oleh orang Jerman bernama Hinkelman di Hamburgh (Jerman).
Tahun 1698 dicetak oleh Marracci di Padoue.
Tahun 1787 dicetak dengan label Islam oleh Maulaya ‘Utsman di Sain Petesbourg Uni Soviet (Rusia).
Tahun 1248H / 1828 M dicetak di Teheran Iran.
Tahun 1833 dicetak di Tabris.
Tahun 1834 di cetak di Leipzig Jerman.
Tahun 132 H / 1923 M di Negara Arab, Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus yang dipelopori para Syeikh Al-Azhar untuk penerbitan Al-Quran. Mushaf yang pertama terbit di Negara Arab ini sesuai dengan riwayat Hafsah atas qiraat ‘Ashim . setelah itu Al-Quran banyak dicetak di negara-negara lain.






Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot