C.Penulisan
Al-Qur’an Pada Masa Nabi
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang sangat dirindukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga kerinduan Nabi Muhammad SAW terhadap kedatangan wahyu tidak sengaja diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad ditempuh dengan dua cara :
- Pertama, al Jam’u fis Sudur.
- Pada Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
- Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad,
- Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kmbalidihadapan Nabi Muhmmad SAW pada saat-saat terakhir,
- Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu bakar yang susunan mushafnya berbeda dengan mushaf ‘Utsman bin ‘Affan.
- Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda sesuai dengan lafazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun,
- Semua yang bukan mushaf Al-Qur’an dihilangkan.Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan pada karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan.
Rasulullah
amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu turunnya wahyu dengan rasa rindu,
lalu menghafal dan memahaminya. Persis seperti dijanjikan Allah SWT dalam surat
Al-Qiyamah ayat 17, sebagai berikut :
“Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya.” (Q.S. Al-Qiyamah:17).
Oleh sebab
itu, Nabi Muhammad SAW adalah hafiz (penghafal) Al-Qur’an pertama dan
merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dala menghafalnya, sebagai
ralisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Setiap kali
Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, para sahabt langsung menghafalnya diluar
kepala.
2.
Kedua, al Jam’u fis Suthur.
Selain di
hafal, Rasulullah juga mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an dari sahabat-sahabat
terkemuka seperti Ali, Mu’awiyah, Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat
turun, beliau memerintahkan mereka menuliskan dan menunjukan tempat ayat
tersebutdalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan
didalam hati.
Proses
penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW sangatlah sederhana. Mereka
menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma,
tulang belulang dan berbagai tempat lainnya. Selain para sekretaris Nabi
Muhammad SAW tersebut, para sahabat juga melakukannya tanpa sepengetahuan Nabi
Muhammad SAW.
.
D. Penulisan Al-Qur’an Pada Masa
Khulafaurrasyidin
Sepeningal
Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Al
Quran, dan pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran yaitu
pengumpulan naskahnaskah atau manuskrip Al Quran yang susunan surah-surahnya
menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).
Usaha
pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang
Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas habis para pemurtad
dan juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 70
orang sahabat penghafal Al-Qur’an syahid. Khawatir akan hilangnya
Al-Qur’an karena para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam medan perang.
Lalu Umar bin Khattab menemui Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan
Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hafalan maupun
tulisan.
Namun pada
awalnya Abu Bakar pun tidak setuju dengan apa yang diusulkan oleh Umar bin
Khattab. Karena menurutnya, Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah melakukannya.
Tetapi Umar bin Khattab terus membujuk Abu Bakar untuk melakukannya, dan
akhirnya Allah SWT membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut.
Kemudian Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Sabit untuk melakukannya. Seperti
Abu Bakar sebelumnya, Zaid bin Sabit pun menolak perintah Abu Bakar dengan alas
an yang sama. Setelah terjadi musyawarah, akhirnya Zaid bin Sabit pun setuju.
2. Pada Masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.
Pada masa pemerintahan Usman bin ‘Affan
terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat
islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja (’Ajamy). Kondisi ini tentunya
memiliki dampak positif dan negatif.
Salah satu dampaknya adalah ketika
mereka membaca Al Quran, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena
ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang
juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin
Al-Yaman.
Inisiatif ‘Utsman bin ‘Affan untuk
menyatukan penulisan Al-Qur’an tampaknya sangat beralasan. Betapa tidak,
menurut beberapa riwayat, perbedaan cara membaca Al-Qur’an pada saat itu sudah
berada pada titik yang menyebabkan umat Islamsaling menyalahkan dan pada
ujungnya terjadi perselisihan diantara mereka.
‘Utsman bin ‘Affan memutuskan agar
mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan berikut:
3.
Pada Masa Setelah Khulafa’ur Rasyidin.
Pada masa
ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang
ditulis pada masa ‘Utsman bin ‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik
sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak
orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak
berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705),
ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka
saat itu dan pada karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan.
Upaya
penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan
oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M.).
E. Penyempurnaan
Pemeliharaan Al-Quran Setelah Masa Khalifah
Mushaf yang ditulis pada masa Utsman tidak memiliki
berharakat dan tanda titik. Setelah umat Islam bertambah banyak mereka
kesulitan dalam membaca. Maka pada masa Khalifah ‘Abdul Malik(685-705)
dilakukan penyempurnaan. Dua orang yang berjasa adalah ‘Ubaidillah bin Ziyad (w
67H) dan Hajaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w 95h). Penyempurnaan dilakukan secara
bertahap sampai abad 3 H (akhir abad 9 M). ada tiga orang yang disebut-sebut
sebagai pemberi tanda titik pada mushaf Utsman, yaitu Abu Al-Aswad Ad-Du’ali,
Yahya bin Ya’mar (45-129 H) dan Nashr bin ‘Ashim Al-Laits (w 89 H). Yang
meletakkan hamzah, tasydid, ar-raum dan Al-isymam adalah Al-Khalil bin Ahmad
Al-Farabi Al-Azdi.
Khalifah Al-Walid (86-96 H) memerintahkan Khalid bin Abi
Al-Hyyaj untuk menulis mushaf Al-Quran. Tahun 1530 M pertama kali Al-Quran
dicetak di Bunduqiyah, ketika dikeluarkan, penguasa gereja memerintahkan supaya
Al-Quran dimusnahkan.
Tahun 1694 M dicetak kembali oleh orang Jerman bernama
Hinkelman di Hamburgh (Jerman).
Tahun 1698 dicetak oleh Marracci di Padoue.
Tahun 1787 dicetak dengan label Islam oleh Maulaya ‘Utsman
di Sain Petesbourg Uni Soviet (Rusia).
Tahun 1248H / 1828 M dicetak di Teheran Iran.
Tahun 1833 dicetak di Tabris.
Tahun 1834 di cetak di Leipzig Jerman.
Tahun 132 H / 1923 M di Negara Arab, Raja Fuad dari Mesir
membentuk panitia khusus yang dipelopori para Syeikh Al-Azhar untuk penerbitan
Al-Quran. Mushaf yang pertama terbit di Negara Arab ini sesuai dengan riwayat
Hafsah atas qiraat ‘Ashim . setelah itu Al-Quran banyak dicetak di
negara-negara lain.