MAKALAH PENGERTIAN METODOLOGI STUDI ISLAM - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Senin, 08 Februari 2016

MAKALAH PENGERTIAN METODOLOGI STUDI ISLAM





BAB DUA
PEMBAHASAN
I.    Pengertian

Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau lanhkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.

Menurut istilah (terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading mengatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik riset.
Metode adalah suatu ilmu yang memberi pengajaran tentang sistem dan langkah yang harus ditempuh dalam mencapai suatu penyelidikan keilmuan. Dalam berbagai penelitian ilmiah, langkah-langkah pasti harus ditempuh agar kelogisan penelitian ilmiah benar-benar nyata dan dapat dipercaya semua masyarakat. Metode juga dapat diartikan sebagai cabang logika yang merumuskan dan menganalisis prinsip-prinsip yang tercakup dalam menarik kesimpulan logis untuk membuat konsep.[1]
II.    Kegunaan Metode Pemahaman ajaran Islam
Sejak kedatangan Islam pada abad ke-13 M hingga saat ini, fenomena amat variatif . Kondisi ini terjadi diberbagai negara termasuk Indonesia. Walau keadaan amat variatif , namun tidak keluar dari yang terkandung dalam alqur’an dan sunnah serta sejalan dengan data-data historis yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pada tahap berikutnya, yang menjadi primadona masyarakat Islam adalah ilmu teologi (kalam) sehingga setiap masalah yang dihadapi selalu dilihat dari paradigma teologi. Lebih dari itu tologi yang dipelajarinya hanya berpuast pada paham Asy’ari dan Sunni. Paham lain dianggap sesat, akibatnya tidak terjadi dialog, keterbukaan, dan saling mengahargai.
Pada tahap selanjutnya, muncul paham keIslaman bercorak tasawuf yang mengambil bentuk tarikat terkesan kurang menampilkan pola hidup yang seimbang antara urusan dunia dan urusan ukhrawi. Dalam tasawuf kehidupan dunia terkesan diabaikan. Umat terlalu mementingkan akhirat, urusan dunia menjadi terbengkalai. Akibatnya keadaan umat mundur dalam bidang keduniaan, materi dan fasilitas. Dari contoh pemahaman keIslaman di atas diperoleh kesan bahwa hingga saat ini pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial, belum utuh dan belum komprehensif. Sekalipun dijumpai adanya pemahaman Islam yang sudah utuh baru diserap sebagian sarjana yang membaca karya modern dengan sikap terbuka.
Proses pengajaran Islam hingga saat ini belumtersusun secara sistematis dan belum disampaikan menurut prinsip , pendekatan dan metode yang direncanakan dengan baik. Namun untuk kepentingan akademis,membuat slam lebih responsif dan fungsional dalam memandu perjalanan umat Islam diperlukan metode yang dapat menghasilkan pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif.
Pada abad pertengahan, Eropa dalam keadaan stagnasi dan masa bodoh dalam waktu seribu tahun. Tetapi stagnasi dan masabodoh tersebut kemudian menjadi kebangkitan revolusioneryang multifaset dalam bidang sains, seni, dan kehidupan sosial. Revolusi yang mendadak dalam pemikiran manusia ini menghasilkan peradaban kebudayaan. Kita harus bertanya kepada diri kita mengapa orang mandeg sampai seribu tahun, dan apa yang terjadi pada dirinya yang menyebabkan perubahan mendadak, ia bangkit dan bangun, sehingga dalam waktu 300 tahun Eropa menemukan kebenaran-kebenaran yang tidak mereka peroleh dalam seluruh waktu seribu tahun.
Ali syari’ati (1933-1977), seorang sarjana Iran yang meninggal di rantau yaitu di Inggris menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan kemandegan dan stagnasi dalam pemikiran , perdaban dan kebudayaan yang berlangsung hingga seribu tahun di Eropa pada abad pertengahan adalah metode pemikiran analogi dari Aristoteles. Di kala cara melihat masalah objek itu berubah, dan sebagai akibatnyakehidupan manusia juga berubah. Dengan demikian kita dapat mengetahui dan memahami tentang pentingnya metodologi sebagi faktor fundamental dalam renaisans.[2]
Begitu pentingnya peranan metode pemahaman ajaran Islam dalam kemajuan dan kemunduran pertumbuhan ilmu. Mukti ali mengatakan bahwa yang menentukan dan membawa stagnasi adalah metode yang digunakan. Sebagai contoh pada abad ke 14-16 M, Aritoteles lebih jenius bila Francis Bacon. Namun mengapa justru bacon menjadi orang yang kejeniusannya lebih rendah dibanding dengan Aristoteles. Ali Mukti menjawab bahwa karena orang yang yang biasa-biasa saja seperti Bacon dapat menemukan metode berpikir yang benar dan utuh.
Hal demikian tidak untuk merendahkan orang-orang jenius. Akan tetapi, kejeniusan saja tidak cukup , namun harus dilengkapi dengan ketepatan dalam memilih metode yang digunakan untuk kerjanya dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada dasarnya metode digunakan untuk mencapai tujuan dalam mencari kebenaran ilmu dan menggali kebenaran ilmu pengetahuan.
III.  Metode Memahami Islam
Memahami berasal dari kata paham yang artinya mengerti, memaklumi dan mengetahui sesuatu hal yang sedang diamati, didengarkan, dikerjakan ataupun sesuatu hal yang sedang terjadi.[3]
Metode dalam memahami Islam harus dilihat dari berbagai dimensi. Dalam hubungan ini, jika kita meninjau Islam dari satu sudut pandang saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dari gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara tepat, namun tidak cukup bila kita ingin memahaminya secara keseluruhan. Buktinya ialah Alqur’an sendiri. Kitab ini memiliki banyak dimensi, sebagiannya telah dipelajari oleh sarjana-sarjana besar sepanjang sejarah. Satu dimensi, misalnya, mengandung aspek-aspek linguistik dan sastra Alqur’an. Para sarjana sastra telah mempelajarinya secara terperinci. Dimensi lain terdiri atas tema-tema filosofis dan keimanan Alqur’an yang menjadi bahn pemikiran bagi para filosof serta para teolog.[4]
Ali Syari’ati lebih lanjut mengatakan, ada berbagai cara memahami Islam. Salah satu cara adalah dengan mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain. Cara lainnya adalah dengan mempelajari kitab Alqur’an dan membandingkannya dengan kitab-kitab samawi lainnya. Tetapi ada lagi cara lain, yaitu dengan mempelajari kepribadian rasul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaharuan yang pernah hidup dalam sejarah. Akhirnya, ada satu cara lagi, ialah dengan mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh utama agama maupun alairan-aliran pemikiran lain. Seluruh cara yang ditawarkan Ali Syari’ati itu pada intinya adalah metode perbandingan (komparasi). Dapat dimaklumi, bahwa melalui perbandingan dapat diketahui kelebihan dan kekuranganyang terdapat diantara berbagai yang dibandingkan itu. Namun, sebagaimana diketahui bahwa secara akademis suatu perbandingan memerlukan persyaratan tertentu. Perbandingan menghendaki objektivitas, tidak ada pemihakan, tidak ada pra konsepsi dan semacamnya. Pendekatan komparasi dalam memahami agama baru akan efektif apabila dilakukan oleh orang yang bru mau beragama.[5]
Metode lain untuk memahami Islam yang diajukan Mukti Ali adalah metode tipologi. Metode ini oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topic dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Dalam hal agama Islam, juga agama-agama lain, yaitu:
1) Aspek ketuhanan
2) Aspek kenabian
3) Aspek kitab suci
4) Aspek keadaan waktu munculnya nabi, orang-orang yang di dakwahinya, dan individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu.[6]
Selain menggunakan pendekatan komparasi, Ali Syari’ati juga menawarkan cara memahami Islam melalui pendekatan aliran. Dalam hubungan ini, ia mengatakan bahwa tugas intelektual hari ini ialah mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan, maupun masyarakat, dan bahwa sebagai intelektual dia memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih baik. Dia harus menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi dan apa pun bidng studinya dia harus senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang Islam dan tentang tokoh-tokoh besarnya, sesuai dengan bidangnya masing-masing.[7]  
Selanjutnya, terdapat pula metode memahami Islam yang dikemukakan oleh Nasruddin Razzak. Ia mengajarkan metode pemahaman Islam secara menyeluruh. Cara tersebut digunakan untuk memahami Islam paling besar agar menjadi pemeluk agama yang mantap dan untuk menumbuhkan sikap saling menghormati terhadap pemeluk agam lain. Metode tersebut juga di tempuh dalam rangka menghindari kesalahfahaman yang menimbulkan sikap dan pola hidup beragama yang salah.
Untuk memahami Islam secara benar, terdapat empat cara yang tepat menurut Nasruddin Razzak, yaitu sebagai berikut:
1. Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli, yaitu Alqur’an dan sunnah Rasul.
2.  Islam harus dipelajari secara integral atau secara keseluruhan.
3. Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’ama, dan sarjana Islam.
4. Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis dalam Alqur’an kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris dan sosologis.
Dari beberapa metode tersebut terdapat dua metode dalam memahami Islam secara garis besar, yaitu:
1. Metode komparasi, yaitu metode memahami Islam dengan membandingkan seluruh aspek Islam dengan agama lainnya agar tercapai pemahaman Islam yang objektif dan utuh. Dalam komparasi tersebut terlihat jelas bahwa islam sangat berbeda dengan agama-agama lain. Intinya Islam mengajarkan kesederhanaan dalam kehidupan dan dalam berbagai bidang.
2. Metode sintesis, yaitu metode memahami Islam dengan memadukan metode ilmiah dengan metode logis normatif.[8]
IV. Metode Studi Ilmu Keislaman
Studi islam, yaitu ajaran-ajaran yang berhubungan dengan islam. Studi islam sangat berperan dan berfungsi dalam masyarakat. Studi islam bertujuan untuk mengubah pemahaman dan penghayatan keislaman masyarakat inter dan antar agama. Adapun perubahan yang diharapkan adalah formalisme kepahaman menjadi substantive keagamaan dan sikap enklusivisme menjadi sikap universalisme.[9]
Metode studi ilmu keislaman diharapkan dapat melahirkan suatu komunitas yang mampu melakukan perbaikan intern dan ekstern. Secara intern, komunitas itu diharapkan dapat mempertemukan dan mencari jalan keluar dari konflik intra agama islam. Secara ekstern, studi islam diharapkan dapat melahirkan suatu masyarakat yang siap hidup toleran dalam pluralitas agama. Pada segi normative, studi islam bersifat memihak, romantis, apologis, dan, subjektif. Jika dilihat dari segi histori, islam tampak sebagai disiplin ilmu.
Perbedaan dalam melihat islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan islam itu sendiri. Jika islam dilihat dari sudut normative, islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan muamalah. Sedangkan ketika dilihat dari sudut histori atau sebagaimana yang tampak dalam masyarakat, islam lebih tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).[10]
Selanjutnya, ada pula yang disebut Sains Islam. Menurut Hussein Nasr, sains islam adalah sains yang dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad islam kedua, yang keadaannya sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban Islam. Sains Islam mencakup berbagai pengetahuan modern seperti kedokteran, astronomi, matematika, fisika, dan sebagainya yang dibangun di atas arahan nilai-nilai Islami.[11]
Dari ketiga kategori ilmu keislaman tersebut, maka muncullah apa yang dikenal dengan MI, MTs, MA, dan Institut Agama Islam yang di dalamnya diajarkan studi islam yang meliputi Tafsir, Hadits, Teologi, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Pendidikan Islam. Kemudian muncul pula Universitas Islam yang di dalamnya diajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern yang bernuansa Islam (Sains Islam).[12]
IV.     Metode pemahaman ajaran Islam di Indonesia
Masyarakat indonesia yang pluralistik dalam bidang agamanya sangat menunggu-nunggu hasil kajian-kajian keilmuan dan penelitian-penelitian dalam bidang agama serta pemikiran-pemikiran keagamaan yang bersifat positif-konstruktif untuk menopang keterlibtan bersama seluruh pengikut agama-agama di tanah air dalam membina dan memupuk Kerukunan hidup antar umat beragama.
Seiring dengan pemekaran wilayah pemahaman dan penghayatan keagaman, yang diantara lain disebabkan oleh transparanya sekat-sekat budaya sebagai akibat luapan arus informasi dalam era IPTEK, masyarakat Indonesia pada khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya, membutuhkan masukan-masukan dari kajian-kajian keagamaan yang segar yang tidak lagi selalu bersifat “teologis-normatif”, tetapi juga menginginkan masukan-masukan dari kajian keaagamaan yang bersifat historis-kritis.
Posisi mayoritas umat Islam di Negara kesatuan Republik Indonesia, dalam hubungannya dengan persoalan pluralitas agama, memang sangat unik. Pengalaman umat Islam Indonesia secara kolektif dalam hubungannya dengan penghayatan pluralitas agama ini juga tidak dapat dihayati oleh umt Islam Turki dengan menganut paham kenegaraan sekuler. Predikat “sekuler” disini memang tidak mempunnyai konotasi dengan pluralitas agama seperti yang dihayati oleh umat Islalm Indonesia. Dengan memperhatikan kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang begitu majemuk keberagamaannya serta politik di luar negeri, studi agama di Indonesia terasa sangat urgen dann mendesak untuk dikembangkan.
Kerukunan umat beragama yang selama ini berjalan dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia memang sudah menjadi telaah, bahkan kekaguman, bagi para pengamat luar negeri. Kerukunan umat beragama di Indonesia telah berjalan wajar meskipun belum dilandasi dengan studi agama yang bersifat akademik-kritis. Di Indonesia kerukunan umat beragama tidak boleh dilepaskan dari peran pemerintah menciptakan situasi yang kondusif untuk kerukunan hidup beragama-bandingkan dengan program pemerintah. Departemen agama, untuk menggalang dan membina tiga kerukunan: “kerukunan umat beragama dengan pemerintah, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar intern umat beragam”.[13]
Dalam keberagamaan umat islam Indonesia ajaran-ajaran sedikit banyak telah kehilangan nilai kearabannya. Dengan demikian, menjadikan wajah islam Indonesia berbedadengan wajah islam di dunia manapun. Selain karena faktor kelonggaran atau keterbukaan, beberapa faktor lain juga turut mendukung tersebarnya islam secara luas dikalangan masyarakat di Indonesia. Menurut sejarawan, Tasawuf merupakan faktor paling dominan dalam keberhasilan penyebaran islam di Indonesia.[14]






BAB TIGA
PENUTUP
I.     Kesimpulan
Metode adalah ilmu yang memberi pengajaran tentang sistem dan langkah yang harus ditempuh dalam mencapai suatu penyelidikan keilmuan. Dengan metode yang tepat mempermudah tujuan pencapaian kelogisan penelitian dan kebenarannya. Ada dua metode dalam memahami Islam yaitu metode komparasi dan metode sintesis (metode memahami Islam dengan memadukan metode ilmiah dengan metode teologis normatif).
Dalam memahami Islam secara komperehensif dengan berpedomen kepada semangat dan isi ajaran al-qur’an yang diketahui banyak aspek. Berbagai metode dapat dipakai untuk memahami ajaran islam. Membandingkan Allah dengan sesembahan non muslim, membandingkan dengan kitab-kitab lain, membandingkan kepribadian Rasul SAW dengan tokoh-tokoh agama lain.

II.    Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami tulis. Kami sadar masih banyak kekurangan dalam makalah ini, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca yang budiman, demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini berguna dan memberikan manfaat bagi pembaca dan pembuatnya. Pada akhirnya selamat membaca, memahami dan mampu mengamalkannya. Amin.






[1] Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, 2006, Jakarta: Amzah, Hlm. 147
[2] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 2009, Jakarta: Rajawali Pers,, hlm. 152-153
[3] Ibid, hlm. 149

[4] Ibid, hlm. 152-153
[5] Ibid, hlm. 153-154
[6] Yatimin Abdullah, Op. cit., hlm. 150
[7] Abuddin Nata, Op. cit., hlm. 154

[8] Yatimin Abdullah, Op. cit., hlm. 150-151
[9] Nasution, M.A, Pengantar studi islam, 2009, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, hlm. 197

[10] Abuddin Nata, Op.cit, hlm. 151
[11] Ibid., hlm. 151-152

[12] Ibid., hlm 152
[13] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, 1996 , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 4-8
[14] Ajid Tohir, Studi Kawasan Dunia Islam, 2009. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 399

Post Top Ad

Your Ad Spot