BAB
DUA
PEMBAHASAN
I. Pengertian
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau lanhkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah
(terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan
penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F.
Reading mengatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem
tentang prosedur dan teknik riset.
Metode adalah
suatu ilmu yang memberi pengajaran tentang sistem dan langkah yang harus
ditempuh dalam mencapai suatu penyelidikan keilmuan. Dalam berbagai penelitian
ilmiah, langkah-langkah pasti harus ditempuh agar kelogisan penelitian ilmiah
benar-benar nyata dan dapat dipercaya semua masyarakat. Metode juga dapat
diartikan sebagai cabang logika yang merumuskan dan menganalisis
prinsip-prinsip yang tercakup dalam menarik kesimpulan logis untuk membuat
konsep.[1]
II.
Kegunaan Metode
Pemahaman ajaran Islam
Sejak
kedatangan Islam pada abad ke-13 M hingga saat ini, fenomena amat variatif .
Kondisi ini terjadi diberbagai negara termasuk Indonesia. Walau keadaan amat
variatif , namun tidak keluar dari yang terkandung dalam alqur’an dan sunnah
serta sejalan dengan data-data historis yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pada tahap
berikutnya, yang menjadi primadona masyarakat Islam adalah ilmu teologi (kalam)
sehingga setiap masalah yang dihadapi selalu dilihat dari paradigma teologi.
Lebih dari itu tologi yang dipelajarinya hanya berpuast pada paham Asy’ari dan
Sunni. Paham lain dianggap sesat, akibatnya tidak terjadi dialog, keterbukaan,
dan saling mengahargai.
Pada tahap
selanjutnya, muncul paham keIslaman bercorak tasawuf yang mengambil bentuk
tarikat terkesan kurang menampilkan pola hidup yang seimbang antara urusan
dunia dan urusan ukhrawi. Dalam tasawuf kehidupan dunia terkesan diabaikan.
Umat terlalu mementingkan akhirat, urusan dunia menjadi terbengkalai. Akibatnya
keadaan umat mundur dalam bidang keduniaan, materi dan fasilitas. Dari contoh
pemahaman keIslaman di atas diperoleh kesan bahwa hingga saat ini pemahaman
Islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial, belum utuh dan belum
komprehensif. Sekalipun dijumpai adanya pemahaman Islam yang sudah utuh baru
diserap sebagian sarjana yang membaca karya modern dengan sikap terbuka.
Proses
pengajaran Islam hingga saat ini belumtersusun secara sistematis dan belum
disampaikan menurut prinsip , pendekatan dan metode yang direncanakan dengan
baik. Namun untuk kepentingan akademis,membuat slam lebih responsif dan
fungsional dalam memandu perjalanan umat Islam diperlukan metode yang dapat
menghasilkan pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif.
Pada abad
pertengahan, Eropa dalam keadaan stagnasi dan masa bodoh dalam waktu seribu
tahun. Tetapi stagnasi dan masabodoh tersebut kemudian menjadi kebangkitan
revolusioneryang multifaset dalam bidang sains, seni, dan kehidupan sosial.
Revolusi yang mendadak dalam pemikiran manusia ini menghasilkan peradaban
kebudayaan. Kita harus bertanya kepada diri kita mengapa orang mandeg sampai
seribu tahun, dan apa yang terjadi pada dirinya yang menyebabkan perubahan
mendadak, ia bangkit dan bangun, sehingga dalam waktu 300 tahun Eropa menemukan
kebenaran-kebenaran yang tidak mereka peroleh dalam seluruh waktu seribu tahun.
Ali syari’ati
(1933-1977), seorang sarjana Iran yang meninggal di rantau yaitu di Inggris
menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan kemandegan dan stagnasi dalam
pemikiran , perdaban dan kebudayaan yang berlangsung hingga seribu tahun di
Eropa pada abad pertengahan adalah metode pemikiran analogi dari Aristoteles.
Di kala cara melihat masalah objek itu berubah, dan sebagai akibatnyakehidupan
manusia juga berubah. Dengan demikian kita dapat mengetahui dan memahami
tentang pentingnya metodologi sebagi faktor fundamental dalam renaisans.[2]
Begitu
pentingnya peranan metode pemahaman ajaran Islam dalam kemajuan dan kemunduran
pertumbuhan ilmu. Mukti ali mengatakan bahwa yang menentukan dan membawa
stagnasi adalah metode yang digunakan. Sebagai contoh pada abad ke 14-16 M,
Aritoteles lebih jenius bila Francis Bacon. Namun mengapa justru bacon menjadi
orang yang kejeniusannya lebih rendah dibanding dengan Aristoteles. Ali Mukti
menjawab bahwa karena orang yang yang biasa-biasa saja seperti Bacon dapat
menemukan metode berpikir yang benar dan utuh.
Hal demikian
tidak untuk merendahkan orang-orang jenius. Akan tetapi, kejeniusan saja tidak
cukup , namun harus dilengkapi dengan ketepatan dalam memilih metode yang
digunakan untuk kerjanya dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada dasarnya metode
digunakan untuk mencapai tujuan dalam mencari kebenaran ilmu dan menggali
kebenaran ilmu pengetahuan.
III. Metode Memahami
Islam
Memahami berasal dari kata paham yang
artinya mengerti, memaklumi dan mengetahui sesuatu hal yang sedang diamati,
didengarkan, dikerjakan ataupun sesuatu hal yang sedang terjadi.[3]
Metode dalam memahami Islam harus
dilihat dari berbagai dimensi. Dalam hubungan ini, jika kita meninjau Islam
dari satu sudut pandang saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja
dari gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara
tepat, namun tidak cukup bila kita ingin memahaminya secara keseluruhan.
Buktinya ialah Alqur’an sendiri. Kitab ini memiliki banyak dimensi, sebagiannya
telah dipelajari oleh sarjana-sarjana besar sepanjang sejarah. Satu dimensi,
misalnya, mengandung aspek-aspek linguistik dan sastra Alqur’an. Para sarjana
sastra telah mempelajarinya secara terperinci. Dimensi lain terdiri atas
tema-tema filosofis dan keimanan Alqur’an yang menjadi bahn pemikiran bagi para
filosof serta para teolog.[4]
Ali Syari’ati lebih lanjut mengatakan,
ada berbagai cara memahami Islam. Salah satu cara adalah dengan mengenal Allah
dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain. Cara lainnya adalah
dengan mempelajari kitab Alqur’an dan membandingkannya dengan kitab-kitab
samawi lainnya. Tetapi ada lagi cara lain, yaitu dengan mempelajari kepribadian
rasul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaharuan yang
pernah hidup dalam sejarah. Akhirnya, ada satu cara lagi, ialah dengan
mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh
utama agama maupun alairan-aliran pemikiran lain. Seluruh cara yang ditawarkan
Ali Syari’ati itu pada intinya adalah metode perbandingan (komparasi). Dapat
dimaklumi, bahwa melalui perbandingan dapat diketahui kelebihan dan
kekuranganyang terdapat diantara berbagai yang dibandingkan itu. Namun,
sebagaimana diketahui bahwa secara akademis suatu perbandingan memerlukan
persyaratan tertentu. Perbandingan menghendaki objektivitas, tidak ada
pemihakan, tidak ada pra konsepsi dan semacamnya. Pendekatan komparasi dalam
memahami agama baru akan efektif apabila dilakukan oleh orang yang bru mau
beragama.[5]
Metode lain untuk memahami Islam yang diajukan
Mukti Ali adalah metode tipologi. Metode ini oleh banyak ahli sosiologi
dianggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu
dibandingkan dengan topic dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Dalam hal
agama Islam, juga agama-agama lain, yaitu:
1) Aspek ketuhanan
2) Aspek kenabian
3) Aspek kitab
suci
4) Aspek keadaan
waktu munculnya nabi, orang-orang yang di dakwahinya, dan individu-individu
terpilih yang dihasilkan oleh agama itu.[6]
Selain menggunakan pendekatan komparasi,
Ali Syari’ati juga menawarkan cara memahami Islam melalui pendekatan aliran.
Dalam hubungan ini, ia mengatakan bahwa tugas intelektual hari ini ialah
mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan
kehidupan manusia, perseorangan, maupun masyarakat, dan bahwa sebagai
intelektual dia memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih baik.
Dia harus menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi dan apa pun bidng studinya
dia harus senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang Islam dan tentang
tokoh-tokoh besarnya, sesuai dengan bidangnya masing-masing.[7]
Selanjutnya, terdapat pula metode
memahami Islam yang dikemukakan oleh Nasruddin Razzak. Ia mengajarkan metode
pemahaman Islam secara menyeluruh. Cara tersebut digunakan untuk memahami Islam
paling besar agar menjadi pemeluk agama yang mantap dan untuk menumbuhkan sikap
saling menghormati terhadap pemeluk agam lain. Metode tersebut juga di tempuh
dalam rangka menghindari kesalahfahaman yang menimbulkan sikap dan pola hidup beragama
yang salah.
Untuk memahami Islam secara benar,
terdapat empat cara yang tepat menurut Nasruddin Razzak, yaitu sebagai berikut:
1. Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli, yaitu
Alqur’an dan sunnah Rasul.
2. Islam harus dipelajari secara integral
atau secara keseluruhan.
3.
Islam perlu
dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’ama,
dan sarjana Islam.
4. Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif
teologis dalam Alqur’an kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris
dan sosologis.
Dari beberapa metode tersebut terdapat
dua metode dalam memahami Islam secara garis besar, yaitu:
1. Metode komparasi, yaitu metode memahami Islam dengan
membandingkan seluruh aspek Islam dengan agama lainnya agar tercapai pemahaman
Islam yang objektif dan utuh. Dalam komparasi tersebut terlihat jelas bahwa
islam sangat berbeda dengan agama-agama lain. Intinya Islam mengajarkan
kesederhanaan dalam kehidupan dan dalam berbagai bidang.
2. Metode sintesis, yaitu metode memahami Islam dengan
memadukan metode ilmiah dengan metode logis normatif.[8]
IV. Metode Studi Ilmu Keislaman
Studi islam,
yaitu ajaran-ajaran yang berhubungan dengan islam. Studi islam sangat berperan
dan berfungsi dalam masyarakat. Studi islam bertujuan untuk mengubah pemahaman
dan penghayatan keislaman masyarakat inter dan antar agama. Adapun perubahan
yang diharapkan adalah formalisme kepahaman menjadi substantive keagamaan dan
sikap enklusivisme menjadi sikap universalisme.[9]
Metode studi
ilmu keislaman diharapkan dapat melahirkan suatu komunitas yang mampu melakukan
perbaikan intern dan ekstern. Secara intern, komunitas itu diharapkan dapat
mempertemukan dan mencari jalan keluar dari konflik intra agama islam. Secara
ekstern, studi islam diharapkan dapat melahirkan suatu masyarakat yang siap
hidup toleran dalam pluralitas agama. Pada segi normative, studi islam bersifat
memihak, romantis, apologis, dan, subjektif. Jika dilihat dari segi histori,
islam tampak sebagai disiplin ilmu.
Perbedaan dalam
melihat islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan
islam itu sendiri. Jika islam dilihat dari sudut normative, islam merupakan
agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah
dan muamalah. Sedangkan ketika dilihat dari sudut histori atau
sebagaimana yang tampak dalam masyarakat, islam lebih tampil sebagai sebuah
disiplin ilmu (Islamic Studies).[10]
Selanjutnya,
ada pula yang disebut Sains Islam. Menurut Hussein Nasr, sains islam
adalah sains yang dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad islam kedua, yang
keadaannya sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban
Islam. Sains Islam mencakup berbagai pengetahuan modern seperti kedokteran,
astronomi, matematika, fisika, dan sebagainya yang dibangun di atas arahan
nilai-nilai Islami.[11]
Dari ketiga
kategori ilmu keislaman tersebut, maka muncullah apa yang dikenal dengan MI,
MTs, MA, dan Institut Agama Islam yang di dalamnya diajarkan studi islam yang
meliputi Tafsir, Hadits, Teologi, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam, Sejarah
Kebudayaan Islam, dan Pendidikan Islam. Kemudian muncul pula Universitas Islam
yang di dalamnya diajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern yang bernuansa
Islam (Sains Islam).[12]
IV.
Metode pemahaman ajaran Islam di
Indonesia
Masyarakat
indonesia yang pluralistik dalam bidang agamanya sangat menunggu-nunggu hasil
kajian-kajian keilmuan dan penelitian-penelitian dalam bidang agama serta
pemikiran-pemikiran keagamaan yang bersifat positif-konstruktif untuk menopang
keterlibtan bersama seluruh pengikut agama-agama di tanah air dalam membina dan
memupuk Kerukunan hidup antar umat beragama.
Seiring dengan
pemekaran wilayah pemahaman dan penghayatan keagaman, yang diantara lain
disebabkan oleh transparanya sekat-sekat budaya sebagai akibat luapan arus
informasi dalam era IPTEK, masyarakat Indonesia pada khususnya dan masyarakat
dunia pada umumnya, membutuhkan masukan-masukan dari kajian-kajian keagamaan
yang segar yang tidak lagi selalu bersifat “teologis-normatif”, tetapi juga
menginginkan masukan-masukan dari kajian keaagamaan yang bersifat
historis-kritis.
Posisi
mayoritas umat Islam di Negara kesatuan Republik Indonesia, dalam hubungannya
dengan persoalan pluralitas agama, memang sangat unik. Pengalaman umat Islam
Indonesia secara kolektif dalam hubungannya dengan penghayatan pluralitas agama
ini juga tidak dapat dihayati oleh umt Islam Turki dengan menganut paham
kenegaraan sekuler. Predikat “sekuler” disini memang tidak mempunnyai konotasi
dengan pluralitas agama seperti yang dihayati oleh umat Islalm Indonesia.
Dengan memperhatikan kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang begitu majemuk
keberagamaannya serta politik di luar negeri, studi agama di Indonesia terasa
sangat urgen dann mendesak untuk dikembangkan.
Kerukunan umat
beragama yang selama ini berjalan dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia
memang sudah menjadi telaah, bahkan kekaguman, bagi para pengamat luar negeri.
Kerukunan umat beragama di Indonesia telah berjalan wajar meskipun belum
dilandasi dengan studi agama yang bersifat akademik-kritis. Di Indonesia
kerukunan umat beragama tidak boleh dilepaskan dari peran pemerintah
menciptakan situasi yang kondusif untuk kerukunan hidup beragama-bandingkan
dengan program pemerintah. Departemen agama, untuk menggalang dan membina tiga
kerukunan: “kerukunan umat beragama dengan pemerintah, kerukunan antar umat
beragama, dan kerukunan antar intern umat beragam”.[13]
Dalam
keberagamaan umat islam Indonesia ajaran-ajaran sedikit banyak telah kehilangan
nilai kearabannya. Dengan demikian, menjadikan wajah islam Indonesia
berbedadengan wajah islam di dunia manapun. Selain karena faktor kelonggaran
atau keterbukaan, beberapa faktor lain juga turut mendukung tersebarnya islam
secara luas dikalangan masyarakat di Indonesia. Menurut sejarawan, Tasawuf
merupakan faktor paling dominan dalam keberhasilan penyebaran islam di
Indonesia.[14]
BAB
TIGA
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Metode adalah
ilmu yang memberi pengajaran tentang sistem dan langkah yang harus ditempuh
dalam mencapai suatu penyelidikan keilmuan. Dengan metode yang tepat
mempermudah tujuan pencapaian kelogisan penelitian dan kebenarannya. Ada dua
metode dalam memahami Islam yaitu metode komparasi dan metode sintesis (metode
memahami Islam dengan memadukan metode ilmiah dengan metode teologis normatif).
Dalam memahami
Islam secara komperehensif dengan berpedomen kepada semangat dan isi ajaran
al-qur’an yang diketahui banyak aspek. Berbagai metode dapat dipakai untuk
memahami ajaran islam. Membandingkan Allah dengan sesembahan non muslim,
membandingkan dengan kitab-kitab lain, membandingkan kepribadian Rasul SAW
dengan tokoh-tokoh agama lain.
II.
Saran
Demikianlah makalah yang
dapat kami tulis. Kami sadar masih banyak kekurangan dalam makalah ini, untuk
itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca yang
budiman, demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini berguna dan
memberikan manfaat bagi pembaca dan pembuatnya. Pada akhirnya selamat membaca,
memahami dan mampu mengamalkannya. Amin.
[6] Yatimin Abdullah, Op. cit., hlm. 150
[7] Abuddin Nata, Op. cit., hlm. 154
[8] Yatimin Abdullah, Op. cit., hlm. 150-151
[13] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas,
1996 , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 4-8
[14] Ajid Tohir, Studi Kawasan Dunia Islam, 2009. Jakarta:
Rajawali Pers, hlm. 399