BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Zaman Renaissance (kebangkitan kembali budaya Gracco-Roman
di Italia dan Eropa) terjadi sekitar tahun 1500, meskipun gejalanya telah
muncul satu atau dua ahad sebelumnya. Tetapi, sebagai gerakan budaya, budaya
ini baru berkembang meluas pada tahun 1500. Pokok zaman ini adalah pandangan
“kembali ke bumi” sebagai reaksi terhadap pandangan Abad Pertengahan yang
menekankan “surgawi” akibat besarnya pengaruh agama.
Pada masa Renaissance muncul aliran yang menetapkan
kebenaran berpusat pada manusia, yang kemudian disebut dengan Humanisme.
Aliran ini lahir disebabkan kekuasaan gereja yang telah menafikan berbagai
penemuan manusia, bahkan dengan doktrin dan kekuasaannya, gereja telah
meredam para filosof dan ilmuan yang dipandang dengan penemuan ilmiahnya telah
mengingkari kitab suci yang selama ini telah diacu oleh kaum kristiani.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang
menjadi focus permasalahan dalam penulisan paper ini adalah:
1.
Apa
pengertian Renaissance?
2.
Bagaimana
perkembangan Renaissance di Italia?
3.
Apa
pengertian Humanisme?
4.
Bagaimana
sejarah perkembangan Humanisme?
C.
Manfaat
Penulisan Paper
Secara teoretis, manfaat penulisan paper ini diharapkan dapat
mengungkapkan informasi yang signifikan bagi Humanisme dan Renaissance.
Oleh karena itu hasil penulisan paper ini diharapkan dapat menemukan
konsep-konsep yang bermakna bagi pengembangan Filsafat Humanisme dan Renaissance
dalam lingkungan sehari-hari. Secara praktis temuan dalam penulisan paper ini
diharapkan dapat meningkatkan mutu pengembangan sejarah Humanisme dan Renaissance
dalam mempelajarinya. Manfaat penulisan paper ini antara lain untuk mengetahui
gambaran berikut:
1.
Kita
dapat mengetahui definisi Renaissance.
2.
Kita
dapat mengetahui dan memahami bagaimana perkembangan Renaissance di
Italia.
3.
Kita
dapat mengetahui definisi Humanisme.
4.
Kita
dapat mengetahui dan memahami sejarah perkembangan Humanisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Renaissance
Istilah Renaissance berasal dari bahasa Perancis yang
berarti kebangkitan kembali. Oleh sejarawan, istilah tersebut digunakan untuk
menunjukkan berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya yang terjadi di
Eropa. Orang yang pertama menggunakan istilah tersebut adalah Jules Michelet,
sejarawan Perancis terkenal. Menurutnya, Renaissance adalah periode
penemuan manusia dan dunia dan bukan sekedar sebagai kebangkitan kembali yang
merupakan permulaan kebangkitan modern. Bila dikaitkan dengan keadaan, Renaissance
adalah masa antara zaman pertengahan dan zaman modern yang dapat di pandang
sebagai masa peralihan, yang ditandai oleh terjadinya sejumlah kekacauan dalam
bidang pemikiran. Di satu pihak terdapat astrologi, kepercayaan yang
bersangkutan dengan dunia hitam, perang-perang agama dan sebagainya dan di lain
pihak muncullah ilmu pengetahuan alam modern serta mulai berpengaruhnya suatu
perasaan hidup baru. Pada saat itu muncullah usaha-usaha penelitian empiris
yang lebih giat yang pada akhirnya memunculkan sains bentuk baru.
Awal mula dari suatu masa baru ditandai oleh suatu usaha besar dari
Descartes (1596-1650 M) untuk memberikan kepada filsafat suatu bangunan yang
baru. Dalam bidang filsafat, zaman Renaissance kurang menghasilkan karya
penting bila dibandingkan dengan bidang seni dan sains. Namun, diantara
perkembangan itu, terjadi pula perkembangan dalam bidang filsafat. Descartes
sering disebut sebagai tokoh pertama filsafat modern.
Pada abad pertengahan, manusia dianggap kurang dihargai sebagai
manusia. Kebenaran diukur berdasarkan ukuran dari gereja (Kristen), bukan
menurut ukuran yang dibuat oleh manusia. Humanisme menghendaki ukuran
haruslah dibuat oleh manusia. Karena manusia mempunyai kemampuan berpikir, Humanisme
menganggap manusia mampu mengatur dirinya dan mengatur dunia.
Ciri utama Renaissance adalah Humanisme,
individualisme, lepas dari agama (tidak mau diatur oleh agama), empirisme dan
rasionalisme. Hasil yang diperoleh dari watak itu ialah berkembangnya
pengetahuan rasional. Filsafat berkembang bukan pada zaman Renaissance,
melainkan kelak pada zaman sesudahnya (zaman modern). Sains berkembang karena
semangat dan hasil empirisme itu. Agama (Kristen) semakin ditinggalkan, karena
semangat Humanisme itu. Ini kelihatan dengan jelas kelak pada zaman
modern. Rupanya, setiap gerakan pemikiran mempunyai kecenderungan
menghasilkanyang positif, tetapi sekaligus yang negatif.[1]
Pemikiran mengenai alam pada jaman Renaissance menghasilkan
tokoh-tokohnya yang terpenting di Italia dan Jerman. Leonardo Da Vinci telah
sepenuhnya mengerti, bahwa alam hanya dapat diketahui melalui pengalaman dan
bahwa bagi perusahaan ilmu alam, pengalaman harus ditimbulkan melalui
eksperimen dan dikembangkan dengan menggunakan matematika. Da Vinci yang dengan
tenang menerapkan metodenya yang menjauhi segenap filsafat alam spekulatif,
mendahului Galilei dan baru dapat diimbangi oleh Galilei. Karena hasil karya Da
Vinci tetap tidak dikenal, maka gagasan-gagasan yang terkandung di dalamnya
tidak membawa pengaruh terhadap rekan-rekan sesamanya dan terhadap para pemikir
di kemudia hari. Nicolaus Coper Nicus (Thorn, Polandia, 1473- Frauenburg,
Prusia Timur, 1543), yang selama beberapa waktu menuntut pelajaran di Italia,
mengemukakan pendapat bahwa bukannya matahari yang mengelilingi bumi, melainkan
bumilah yang mengitari matahari. Secara demikian bukan hanya fisika Aristoteles
yang digulingkan, melainkan sekaligus dipersiapkan suatu perubahan pemikiran
mengenai hubungan antara manusia dengan alam semesta.[2]
Tokoh pertama filsafat adalah Descartes. Dalam filsafat, kita
menemukan ciri-ciri Renaissance tersebut, yaitu menghidupkan kembali
rasionalisme Yunani (Renaissance), individualisme, Humanisme,
lepas dari pengaruh agama. Sekalipun demikian, para ahli lebih senang meyebut
Descartes sebagai tokoh rasionalisme.
Ciri utama filsafat pada masa Renaissance adalah
rasionalisme, yang menetapkan bahwa kebenaran berpusat dari akal, tetapi setiap
akal bergantung pada subjek yang menggunakannya. Oleh karena itu, seorang
filosof rasionalis menekankan bahwa berpikir sebagai wujud keberadaan diri,
jika seseorang berpikir berarti ia ada. Ajaran ini diperkenalkan oleh Rene
Dercartes dengan paradiga cagito ergo sum atau cagito descartes.
B.
Humanisme
Humanisme,
menurut Ali Syariati (1992 : 39), berkaitan dengan eksistensi manusia, bagian
dari segala sesuatu adalah kesempurnaan manusia. Aliran ini memandang bahwa
manusia adalah makhluk mulia yang semua kebutuhan pokok diperuntukkan untuk
memperbaiki spesiesnya.
Ada empat aliran yang mengklaim sebagai bagian dari humanisme,
yaitu liberalisme barat, marxisme, eksistensialisme dan
agama. Liberalisme barat menyatakan diri sebagai pewaris asli filsafat
dan peradaban humanisme dalam sejarah, yang dipandang sebagi aliran
pemikiran peradaban yang dimulai dari Yunani Kuno dan mencapai puncak
kematangan kesempurnaan relatif pada Eropa modern. Teori humanisme Barat
dibangun atas asas yang sama yang dimiliki oleh mitologi Yunani Kuno bahwa
antara langit dan bumi, alam dewa-dewa dan alam manusia, terdapat pertentangan
dan pertarungan, sampai-sampai muncul kebencian dan kedengkian antara keduanya.
Para dewa adalah kekuatan yang memusuhi manusia. Seluruh perbuatan dan
kesadarannya ditegakkan atas kekuasaannya yang lazim terhadap manusia yang
dibelenggu oleh kelemahan dan kebodohannya. Hal itu dilakukan karena dewa-dewa
takut menghadapi ancaman kesadaran, kebebasan, kemerdekaan dan kepemimpinan
manusia atas alam. Setiap manusia yang menempuh jalan ini dipandang telah
melakukan dosa besar dan memberontak kepda dewa-dewa. Karena pemberontakannya
itu, manusia dihukum dengan berbagai siksaan yang amat kejam.
Pada satu sisi, manusia selalu berusaha membebaskan diri dari
belenggu dan tawanan para dewa. Untuk bisa bebas dan merdeka, manusia harus
bisa merebut kekuasaan para dewa dan selanjutnya menggeser tahta mereka atas
alam semesta, yang dengan begitu, manusia bisa melepaskan nasibnya dari
cengkraman para dewa zalim dan menentukan kehendaknya sendiri.
Kesalahan Barat yang paling serius yang diatasnya ditegakkan
bangunan humanisme modern- dimulai dari pandangan Politzer, dan
berlanjut pada Feurbach dan Marx- ialah mereka menganggap dunia mitologi Yunani
Kuno yang bergerak di seputar jiwa yang terbatas, alami dan fisikal dan dunia
spiritual yang sakral dalam pandangan agama-agama besar Timur- sekalipun ada
perbedaan esensial antar keduanya- sebagai dunia yang sama dan manganalogikan
fenomena yang ada dalam hubungan manusia dengan Ahuramazda, Rhama, Tao, Yesus
sang Juru Selamat, dengan hubungan manusia dengan Zeus, bahkan mereka
menyatakan adanya kesamaan antara keduanya. Padahal, mereka tau bahwa kedua
bentuk hubungan tersebut sepenuhnya berbanding terbalik.
Pada mitologi Yunani Kuno terdapat Bramateus yang menghadiahkan
“api ketuhanan” kepada manusia, yang dicurinya dari para dewa ketika mereka
sedang tidur lelap, lalu dibawanya ke bumi. Bramateus memproleh siksaan keras
akibat dosanya itu. Adapun dalam agama-agama terdapat malaikat besar, iblis, yang
kemudian diusir dan dilaknak oleh Tuhan karena ia mengingkari perintah Allah
swt dengan tidak mau bersujud kepada Adam sebagaimana malaikat lainnya.
Kedua aliran yang bertentangan dan berasal dari satu sumber itu,
mengambil bentuk dalam borjuisme dan maxisme, yang sama-sama bermuara pada
“materialisme-humanisme”, baik dalam bidang kehidupan maupun akidah.
Baik Pulitzer maupun Marx sama-sama menutup mata terhadap dampak psikologis
pandangannya pada diri manusia. Masyarakat borjuis dan komunis, memperoleh hasil
yang sama dalam usahanya membentuk manusia, kehidupan dan masyarakat manusia.
Borjuisme masyarakat komunis yang lebih terkemudian- yang sekarang ini tidak
memiliki pendukung- bukan terjadi secara kebetulan, asal-asalan dan tidak
terkena revisi. Sebab, semuanya berakhir pada manusia. Oleh karena itu, adalah
wajar bila filsafat-filsafat yang menjadikan manusia sebagai objeknya, bila
berangkat dari titik yang sama, pasti memperoleh hasil yang sama pula.
Eksistensialisme,
mengajukan klaim lebih dari dua aliran sebelumnya, seperti yang terlihat dalam
ucapan Sartre, “Eksistensialisme adalah humanisme itu sendiri”.
Dengan klaim itu, otomatis eksistensialisme mempunyai hak yang lebih
besar daripada dua yang disebut terdahulu.
Adapun mazhab pemikiran yang keempat, yang jauh lebih tua dan
memiliki akar lebih dalam daripada tiga aliran yang tersebut terdahulu adalah pandangan agama
tentang alam. Mengingat semua agama menyatakan bahwa asaa dakwahnya adalah
memberi petunjuk kepada manusia menuju kebahagiaan abadi, tidak bisa tidak, ia
pasti memiliki filsafat tersendiri tentang manusia. Sebab, mustahil berbicara
tentang kebahagiaan manusia, sepanjang belum dijelaskan terlebih dahulu makna
yang definitif tentang manusia. Dengan demikian, semua agama dimulai dengan filsafat
pembentukan dan perekayasaan manusia.
C.
Tokoh-Tokoh
Renaissance dan Humanisme
Diantara tokoh-tokoh Renaissance yang mempunyai peran yang
penting dalam Renaissance, adalah tokoh-tokoh antara lain, seperti:
1.
Dante
Alighiere (1265-1321)
Dante lahir pada tanggal 21 Mei 1265 di Ferenze, ia berasal dari
keluarga kaya raya. Dia pernah menjadi prajurit Firenze, yang menginginkan
negaranya dapat merdeka dari pengaruh tiga kerajaan yang lebih besar yaitu
Kepausan, Spanyol dan Perancis. Dante mulai menjadi pengkritik dan penentang
otoritas moral Kepausan yang dinilainya tidak adil dan tidak bermoral.
Puncaknya ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul De Monarchia (On Monarchy)
yang menggambarkan kedudukan dan keabsahan Sri Paus sebagai pemimpin spiritual
tertinggi Gereja Khatolik, mengapa sekaligus menjadi raja dunia (Kerajaan
Kepausan) yang otoriter. Hasil karya Dante antara lain adalah La Vita Nuova
(The New Life) juga berisi tentang gambaran pertumbuhan cinta manusia. Comedia
yang ditulis ketika dia berada dalam pengasingan panjang dan Revenna.
Buku ini berisi tentang perjalanan jiwa manusia yang penuh kepedihan yang penuh
kepedihan dalam perjalanan dari dunia ke alam gaib. Tokoh utamanya adalah Virgilius
(nama sastrawan dari zaman Romawi Kuno) yang setelah kematiannya harus melewati
tiga fase yaitu Inferno (neraka), Purgatoria (pembersih jiwa) dan
Paradiso (surga).
2.
Lorenzo
Valla (1405-1457)
Lorenzo lahir di Roma pada tahun 1405 dari keluarga ahli hukum.
Salah satu ungkapannya yang sangat terkenal adalah “Mengorbankan hidup demi
kebenaran dan keadilan, adalah jalan menuju kebajikan tertinggi, kehormatan
tertinggi dan pada hal tertinggi.” Hasil karyanya antara lain adalah De
Volupte (kesenangan) yang terbit pada tahun 1440, yang berisi kekagumannya
pada etika Stoisisme yang mengajarkan pentingnya manusia itu mati raga (Askese)
dalam rangka mendapatkan keselamatan jiwa. Buku yang berjudul De Libero
Erbitrio (keinginan bebas) yang mengatakan individualitas manusia berakar
pada kebesaran dan keuinikan manusia, khususnya kebebasan sehingga kehendak
awal Sang Pencipta tidak membatasi perbuatan bebas manusia dan tidak meniadakan
peran kreatif manusia dalam sejarahnya dan buku berjudul De Valso Credita Et
Ementita Constantini Donation Declamation, yang mengisahkan tentang donasi
hadiah kepada Sri Paus oleh Kaisar Constantinus sebenarnya adalah palsu, sebab
dari sudut bahasa donasi itu jelas bukan gaya bahasa abad ke-4 melainkan abad
ke-8.
3.
Niccolo
Machiavelli (1469-1527)
Niccolo Machiavelli adalah filosof politik Italia, Niccolo
Machiavelli lahir pada tahun 1469 di Florence, Italia. Ayahnya, seorang ahli
hukum. Pada usia 29 tahun Machiavelli memperoleh kedudukan tinggi di
pemerintahan sipil Florence. Selama 14 tahun sesudah itu dia mengabdi kepada
Republik Florentine dan terlibat dalam berbagai misi diplomatik atas namanya,
melakukan perjalanan ke Perancis, Jerman dan di dalam negeri Italia.
Hasil karyanya yang paling masyur adalah The Prince (Sang
Pangeran) ditulis tahun 1513 dan The Discourses Upon The First Ten Books Of
Titus Lifius (pembicaran terhadap 10 buku pertama Titus Lifius). Diantara
karya-karya termasyur lainnya adalah The Art Of War (seni berperang), A
History of Forence (sejarah Forence) dan La Mandragola (suatu
drama yang bagus, kadang-kadang masih dipanggungkan orang). Tetapi karya
pokoknya yang terenal adalah The Prince (Sang Pangeran), mungkin yang
paling brilian yang pernah ditulisnya dan memang paling mudah dibaca dari semua
tulisan filosofis. Machiavelli kawin dan punya enam anak. Dia meninggal dunia
tahun 1527 pada umur 58 tahun.
4.
Boccacio
(1313-1375)
Giovani Boccacio lahir di Certaldo, Italia tahun 1313 dari seorang
pedagang yang berasal dari Firenze. Hasil karyanya antara lain cerita epos
seperti Thebaid atau Aenid, prosa seperti Ameto, puisi
seperti Amoroso Fisione dan Ninfale Fiesolan. Puncak karyanya Decamerome,
adalah karya sastra berjudul De Genealogis Dorum Gentilium (On The
Genealogi Of God) yang tersusun dalam 15 jilid.
5.
Francesco
Petrarca (1304-1374)
Francesco adalah seorang yang lahir pada 20 juli 1304 di Tuscan. Ia
belajar hukum di Montpellier dan melanjutkan ke Universitas Bologna. Namun, ia
lebih tertarik pada seni sastra dan seni lukis. Dia seorang humanis yang
mengagumi hal-hal yang serba naturalis, polos dan apa adanya. Salah satu
ungkapan terkenalnya pada alam dituangkan dalam karya lukis yang di beri nama Ikaros.
6.
Desiderius
Erasmus (1466-1536)
Erasmus lahir pada 27 Oktober 1466 di Gouda. Ibundanya bernama
Margaret. Setelah lulus dari sekolah atas ia melanjutkan ke Biara Agustin di
Styn hingga menjadi Pastor kemudian melanjutkan ke Universitas Paris.
Hasil karya Eramus dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok,
yaitu:
a)
Kelompok
karya-karya Satiris dengan tujuan ingin mengungkap segala kelemahan
penyakit korup dan munafik yang melanda warga masyarakat, seperti Praise Of
Folly (1509).
b)
Kelompok
karya bernada satiris berupa pesan moral yang diharapkan dapat memperbaiki
atau mempengaruhi mentalitas kaum Khatolik, seperti buku yang berjudul Hand
Book Of The Christian Knight (1501), The Complaint Of Peace (1517).
c)
Kelompok
dalam bentuk terjemahan kitab suci Perjanjian Baru berdasarkan naskah asli
Yunani, seperti Annotations On The New Testament (1505), The Prince
Of The Christian Humanists.
D.
Konsep
Eksistensialis tentang Manusia
Kaum radikalis yang merupakan pemikir-pemikir humanisme
modern dan penganjur-penganjurnya di Eropa abad ke 18 dan awal abad ke 19 dalam
keterangan yang mereka publikasikan pada tahun 1800 menyatakan, “Singkirkan
Tuhan dari kaidah moral dan gantikan dengan kata hati, sebab manusia adalah
makhluk yang mempunyai hati yang bersifat moral bawaan.” Kata hati yang
bersifat moral (conscience morale) ini, menurut persepsi dan pandangan
mereka, tumbuh dari jati diri manusia, dan itulah yang dibutuhkan oleh watak
dasar manusia.
Dengan semua ini, humanisme modern yang dipandang
liberalisme Barat- borjuis sendiri sebagai sistem yang menjadi landasan
bangunannya, memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki keutamaan moral
yang abadi dan nilai mulia yang lebih luhur daripada materi- suatu keutamaan
dan nilai-nilai yang menjadi inti penting satu-satunya bagi manusia. Bertolak
dari sisi, liberalisme Barat- borjuis bersandar pada humanisme ang
menjadi lawan naturalisme dan metafisika.
Disini, humanisme sesungguhnya telah mengambil moral
kemanusiaan seluruhnya dari agama, tetapi karena semata-mata persoalan justifikasi
keagamaan itu saja, cukup suda untuk menolak agama. Humanisme menyatakan
bahwa pendidikan spiritual dan menepati janji, dalam nisbatnya dengan
keutamaan-keutamaan moral, dapat dicapai tanpa keyakinan terhadap Tuhan.
Pada agama-agama besar Timur, manusia mempunyai hubungan
kekerabatan khusus dengan Tuhan- alam. Pada zama Zoroaster, manusia
merupakan kawan dekat dengan dukungan Ahuramazda, bahkan disebut-sebut
bahwa manusia membantunya dalam peperangan besar untuk memenangkan kebaikan
melawan Manyu, si Dewa Angkara Murka dan pasukannya.
Dalam agama-agama yang
mengajarkan pantheisme logos, dengan Hinduisme pada barisan
paling depan, tuhan, manusia dan cinta, bersama-sama membangun alam semesta
guna mewujudkan alam dalam bentuknya yang baru. Dengan demikian, Tuhan dan
manusia dalam agama ini menyatu tanpa bisa dipisahkan, sebagaimana yang juga
kita terlihat dalam karya-karya para sufi besar kita.
Sekarang, kita bisa mendeskripsikan asas-asas penting mengenai
generasi manusia dalam humanisme yang telah disepakati bersama itu,
sebagai berikut:
1.
Manusia
adalah makhluk asli. Artinya, ia mempunyai substansi yang mandiri di
antara makhluk-makhluk yang mempunyai wujud fisik dan yang gaib, dan esensi
genera yang mulia (essence generique).
2.
Manusia
adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas, dan ini merupakan kekuatan paling
besar yang luar biasa dan tidak bisa ditafsirkan-suatu iradah dengan pengertian
bahwa manusia, sebagai “sebab awal yang mandiri”, terlibat dan bekerja dalam
rangkaian keterpaksaan alam (sunnatullah), yang menjadikan masyarakat dan
sejarah merupakan kelanjutan-mutlak baginya dalam mata rantai atas. Kemerdekaan
dan kebebasan memilih, adalah dua sifat ilmiah yang merupakan ciri menonjol
yang ada dalam diri manusia.
3.
Manusia
adalah makhluk yang sadar (berpikir), dan ini merupakan
karakteristik-menonjolnya, yakni sadar dalam pengertian bahwa manusia memahami
realitas alam luar dengan kegiatan “berpikir”nya yang menakjubkan dan merupakan
suatu mukjizat, menemukan berbagai hal yang tersembunyi dari indra, dan mampu
menganalisis dan mencari sebab-sebab yang terdapat dalam setiap fakta atau
realita, tanpa terpaku pada hal-hal yang bersifat indrawi dan kausalitas,
dan menarik kesimpulan tentang “akibat” melalui “sebab”, dan seterusnya.
Manusia bisa menembus batas-batas indranya dan merentangkan zamannya pada masa
lalu dan masa yang akan datang-dua masa yang dia sendiri belum dan tidak pernah
berada di dalamnya-serta dapat menggambarkan secara tepat, luas dan teliti
tentang lingkungannya.
4.
Meminjam
istilah Pascal, “Manusia sebenarnya tidak pernah menjadi sesuatu yang
lain, kecuali seonggok daging yang tidak berarti, dan sekadar virus
kecil saja tidak cukup untuk mematikannya. Akan tetapi, kalau semua makhluk
yang ada di muka bumi ini berusaha untuk mematikannya, ternyata dia lebih
perkasa dari mereka. Kalau benda-benda yang ada di alam ini diancam oleh
manusia, mereka tidak menyadari ancaman tersebut, tetapi bila hal itu dilakukan
terhadap manusia, dia menyadarinya. Artinya, kesadaran adalah esensi
yang lebih tinggi ketimbang eksistensi.”
5.
Manusia
adalah mahluk yang sadar akan dirinya sendiri. Artinya, dia adalah makhluk
hidup satu-satunya yang memiliki pengetahuan budaya dalam nisbatnya dengan
dirinya. Ini memungkinkan manusia untuk mempelajari dirinya sendiri sebagai
objek yang terpisah dari dirinya:menarik hubungan sebab-akibat, menganalisis,
mendefinisikan, memberi penilaian, dan akhirnya mengubah dirinya sendiri.
Tweiny, seorang filosof sejarah yang besar pada masa ini, mengatakan “Peradaban
manusia dewasa ini, telah sampai pada tingkat puncak kesempurnaan sejarahnya.
Sebab, peradaban masa modern sekarang inilah satu-satunya, peradaban manusia
yang tau bahwa manusia menuju pada kehancurannya.”
6.
Manusia
adalah makhluk kreatif. Kreativitas yang menyatu dengan perbuatannya ini,
menyebabkan manusia mampu menjadikan dirinya sebagai makhluk sempurna di depan
alam dan di hadapan Tuhan. Kreativitas inilah yang menjadikan manusia memiliki
kekuatan luar biasa yang memungkinkan dirinya menembus batas-batas fisik dan
kemampuannya yang sangat terbatas, dan memberinya capaian-capaian besar dan
tidak terbatas yang tidak bisa dinikmati oleh benda-benda alam lainnya.
Manusia
dianugerahi jiwa yang kuat yang terdapat di dalam alam, agar dengan itu, dia
bisa membuat segala sesuatu yang diinginkannya yang tidak terdapat dalam alam.
Dengan kekuataan kreativitasnya itu, manusia menciptakan peralatan pada tahap
awal dan teknologi pada tahap berikutnya.
7.
Manusia
adalah makhluk yang mempunyai cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal,
dalam arti dia tidak akan menyerah dan menerima “apa yang ada”, tetapi selalu
berusaha mengubahnya menjadi “apa yang semestinya”. Itulah sebabnya, manusia
selamanya berteknologi, dan karena itu pula, dia memandang bahwa dirinya
makhluk satu-satunya yang bisa membentuk lingkungan , dan bukan lingkungan yang
membentuk dirinya. Dengan kata lain, manusia selamanya memberlakukan
“keyakinannya” atas hal-hal yang nyata. Dengan kualitas ini, manusia tidak saja
terus menuju kesempurnaan dan pergerakan, tetapi, berbeda dengan
makhluk-makhluk hidup lainnya, dia menegaskan bahwa dirinyalah yang
menggerakkan jalan menuju kesempurnaannya. Dia mempunyai preseden untuk itu.
8.
Manusia
adalah makhluk moral, dan pada bagian ini, tibalah kita pada pengkajian penting
tentang nilai-nilai (values). Nilai-nilai adalah ungkapan tentang
hubungan manusia dengan salah satu fenomena, cara, kerja, atau kondisi, yang di
dalamnya terdapat motif yang lebih luhur dari pada keuntungan (utilite).
Itulah sebabnya, kita bisa menyebutnya sebagai jenis “hubungan sakral” yang
memukau.
Kemuliaan dan
ibadah, pada batas ketika manusia, dalam hubungan ‘ini, menyadari bahwa harta
yang namanya pengorbanan diri dan kehidupannya pun mempunyai justifikasi”.
Akan tetapi, manusia dituntut untuk semakin berpihak ketika
menghadapi kenyataan bahwa justifikasi disini tidak mungkin selamanya berupa
justifikasi natural, rasional dan ilmiah dan pada saat yang sama, kesadaran ini
mungkin jadi sumber diterimanya seluruh agama dan kebudayaan di sepanjang
sejarah, karena dianggap sebagai fenomena tertinggi bagi eksistensi genera
manusia. Ia menciptakan modal paling berharga, kebanggan paling tinggi,
kecintaan dan kehormatan paling mulia dalam peradaban manusia yang besar.
Marx, dengan bangga, menyebut ulang analisis ilmiah yang
digunakannya di sini demi memelihara kehormatan manusia, yaitu bahwa dia
menganggap manusia sebagaimana anggapan kaum materialis natural lainnya sebagai
“sesuatu yang fisikal dan tetap” yang berubah mengikuti dialektika historis.
Melalui pemikiran itu, Marx memindahkan manusia dari “alam fisik”
ke “sejarah”. Akan tetapi, manusia dalam “peningkatan posisi” ini, tetap tidak
menemukan kemuliaan esensial apapun. Sebab, sejarah mengikuti pendapat
Marx juga merupakan lanjutan dari gerakan fisik dan materi. Dengan begitu,
dalam posisi kesejahteraannnya pun, manusia akan kembali dalam analisis akhir
pada “naturalisme aplikatif”nya kaum naturalis, yang dikembalikan ke
sini dengan meminjam tangan dialektika materialisme.
Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai asli (bawaan)
dalam alam fisik. Ia memiliki esensi yang khas, yaitu merupakan makhluk atau
fenomena kekecualian dan mulia. Sebab, dia mempunyai kehendak, dan berada dalam
alam sebagai “penyebab yang mandiri”. Manusia mempunyai kemampuan menentukan
pilihan dan menciptakan masa depannya sebagai usaha menentang nasib yang
ditentukan oleh alam. Semua kemampuan ini membebankan kewajiban dan tanggung
jawab kepadanya dan hal-hal seperti ini tidak akan berarti bila diimbangi
dengan nilai-nilai.[3]
Manusia menyadari bahwa ia hidup di dunia dan harus menguasai dunia
setelah memahaminya. Begitu pula, manusia harus memahami siapa dirinya. Semua
itu dapat dicapai apabila manusia mengadakan observasi dan penelitian
dengan analisis logis terhadap berbagai kenyataan duniawi.[4]
Bentuk ekonomi kapitalis sudah dikenal jauh sebelum abad ke 17 dan
juga diluar Eropa. Kota-kota pelabuhan dilaut tengah dan kota-kota besar
lainnya di Asia dan Eropa mengenal bentuk-bentuk perdagangan yang mirip
kapitalisme. Pascarenaissance adalah abad industrialisasi dan
kekuatan modernitas yang tinggi.
Kapitalisme dalam arti khas, sebagai suatu sistem ekonomi yang
merevolusikan perekonomian dunia, lahir di Eropa Barat dan Utara (Inggris,
Belanda, Belgia, Perancis) dalam abad ke 17. Hakikat kapitalisme ialah bahwa
tujuan produksi bukanlah konsumsi pihak yang berproduksi, melainkan penambahan
modal. Selama produksi ekonomis pada hakikatnya dijalankan untuk memenuhi
kebutuhan sendiri, baik secara langsung, melalui perdagangan, kuantitas dan
kualitas produksi masih mengenal batas alamiah, tidak masuk akal untuk
berproduksi melebihi kebutuhan maksimal. Batas alamiah bagi rasionalitas
produksi itu hilang dalam kapitalisme baru karena tujuannya adalah modal,
sedangkan modal dapat diakumulasikan tanpa batas dan makin kuat landasan
moral sebuah perusahaan, makin kuat kedudukannya dalam proses ekonomis. Dengan
demikian, berbeda dengan sistem produksi prakapitalis, kapitalisme
secara hakiki bersifat dinamis, berusaha untuk memperluas prodeksi,
untuk semakin menguasai pasaran.
Penemuan-penemuan teknologi modern, mulai dengan penemuan mesin uap
oleh James Watt, menyediakan sarana-sarana teknis untuk memperluas jangkauan
produksi secara dramatis karena tidak lagi terbatas oleh kekuatan fisik
manusia, kuda, sapi, gajah dan anjing. Teknik sendiri tidak lepas dari kemajuan
ilmu-ilmu alam, terutama ilmu kimia, fisika dan kemudian ilmu hayat. Dalam abad
ini, dinamika produksi kapitalis menciptakan suatu ilmu baru, yaitu teknologi
yang tidak lagi meneliti alam demi pengetahuan yang diperoleh, melainkan demi
penerapan pengetahuan itu bagi produksi industrial. Oleh karena itu,
perusahaan-perusahaan besar zaman sekarang semua melibatkan diri dalam
penelitian menurut ilmu-ilmu alam.
Dengan subjektivitas modern dimaksud bahwa manusia, dalam
memandang alam, sesama dan Tuhan, mengacu pada dirinya sendiri. Manusia adalah
subjek yang tidak sekedar hadir dalam dunia, melainkan hadir dengan sadar,
dengan berpikir, dengan berefleksi, dengan mengambil jarak, secar
kritis, dengan bebas.
Subjektivitas modern itu mempunyai beberapa segi:
1.
Subjektivitas modern bertolak dari suatu perubahan perspektif manusia
yang fundamental. Cara memandang para filosof Yunani bersifat kosmosentris.
Artinya mereka mencari dasar realitas dalam unsur-unsur kosmos atau alam
raya. Misalnya ada yang berpendapat bahwa dasar realitas terdiri dari empat
unsur: tanah, air, udara dan api (pandangan yang masih dapat kita temukan dalam
Wirid Hidayat Jati). Ada pula yang memahami realitas sebagai ungkapan
angka-angka (Phytagoras). Dalam abad pertengahan, pandangan kosmosentris
disingkirkan oleh pandangan Theosentris, semuanya dilihat dari segi
Allah swt. Manusia memahami diri sebagai salah satu unsur, meskipun yang
tertinggi, dalam ordo atau tatanan hierarkis alam semesta yang diciptakan Allah
swt.
Pandangan
Theosentris itu mulai didesak ke samping oleh pandangan antroposentris
dalam masa Renaissance yang lahir di Italia dalam abad ke 14. Renaissance
merupakan bantinga terhadap perspektif kebudayaan di Barat yang sama
kerasnya dengan bantingan gambaran sistem planit tradisional oleh Copernicus.
Renaissance menemukan serta menghargai kembali kebudayaan pakristiani
Yunani dan Romawi, tetapi tidak dengan masuk kembali ke alam kosmosentris
mereka. Bagi Renaissance, alam Yunani dan Romawi membuka pandangan
mereka tentang manusia.
2.
Langkah
berikut dalam drama perkembangan manusia modern dapat dipahami sebagai jawaban dialektis
terhadap Humanisme Renaissance, yaitu subjektivitas religius yang
mendapat ungkapannya dalam reformasi Kristen Protestan, terutama aliran Martin
Luther. Renaissance bersifat ekstrovert, terbuka bagi yang
duniawi, memang sangat duniawi, bahkan bagi orang-orang introvert di Eropa
Utara Humanisme di Italia itu bersifat kekafir-kafiran. Lebih
mengherankan lagi bahwa dukungan kuat bagi Humanisme itu datang bukan hanya
dari para pangeran duniawi di kota-kota kaya, seperti Firense, Genova dan
Venesia, melainkan juga dari para pemimpin rohani gereja Khatolik, para uskup
dan terutama para Paus di Roma. Selama abad ke 15 sampai ke 17, para Paus
menjadi dukungan kebudayaan, seni dan ilmu pengetahuan yang kuat sebagaimana
dengan mudah dapat dilihat kalau kita berjalan-jalan di Roma. Martin Luther
adalah seorang bekas biarawan dan teolog dari Jerman Tengah. Melawan pemimpin
gereja dan para pengusaha dunia Luther mempermaklumkan “kekabasan orang
Kristen, artinya hak untuk tidak memercayai sesuatu yang bertentangan dengan
suara hatnya. Pada tahun 1521, di hadapan kaisar dan para pangeran Jerman, ia
disuruh untuk menarik kembali ajarannya dan ia menjawab dengan kata-kata termasyhur:”Di
sinilah aku berdiri dan tidak dapat lain!”.
Kata
“Aku” dalam ucapan ini adalah kunci bagi pengertian subjektivitas manusia
modern. Walaupun Luther tampaknya menentang keduniaan dan antroposentrisme
Renaissance yang bersifat Eropa Selatan dan Katholik, sebenarnya ia justru
memantapkan antroposentrisme itu, kesadaran hati religius menjadi ukuran
dan dasar kepercayaan seseorang. Manusia tidak dapat dipaksa untuk memercayai
sesuatu. Bagi Luther, keyakinan itu terungkap dalam tuntutan bahwa setiap orang
Kristiani berhak untuk membaca kitab suci serta untuk memahaminya sendiri.
Tafsiran arti kitab suci bukan lagi hak para pimpinan gereja, melainkan hak
bagi setiap orang Kristiani untuk membaca, merenungkan dan mengartikan kitab
suci sendiri.
3.
Keyakinan
akan hak manusia untuk mengikuti kepercayaan yang diyakininya, ditampung dan diuniversalisasikan
secara etis oleh Immanuel Kant (1724-1804). Kant membedakan antara moralitas
dan legalitas. Sikap moral yang sebenarnya tidak lagi dapat diukur apakah
seseorang melakukan tindakan yang menurut norma-norma moral harus dilakukannya,
melainkan bergantung pada motivasi.
Seseorang
dapat bertindak sesuai dengan kewajibannya semata-mata karena hal ini
menguntungkan, misalnya karena ia akan dipuji dan dipercayai dan dianggap orang
baik. Sikap itu tidak lebih dari legalitas semata-mata, suatu kesesuaian
lahirilah antara tindakan dan hukum. Moralitas, atau sikap moral terpuji, harus
terletak di dalam hati. Orang hanya bersikap baik dalam arti moral apabila ia
bertindak sesuai dengan kewajibannya. Karena mau menghormati kewajibannya, ia
lepas dari segala pertimbangan untung-rugi.
4.
Dalam
bidang filsafat politik, perhatian pada subjektivitas manusia
menghasilkan individualisme dan penghargaan tinggi terhadap kebebasan
individu. Paham hak-hak asasi manusia, terutama yang bersifat kebebasan liberal
dan hak demokratis, mengungkapkan kesadaran itu. Dalam filsafat politik,
kesadaran itu terwujud dalam teori tentang perjanjian negara. Itulah anggapan
bahwa negara berasal dari suatu perjanjian antara individu-individu yang
sebelumnya belum bernegara. Mereka bersama-sama menciptakan negara untuk
memecahkan masalah-masalah di antara mereka dengan lebih baik. Jelas bahwa
ajaran perjanjian negara melawan semua paham yang hendak menempatkan nilai
manusia konkret di bawah kepentingan negara. Negara adalah demi manusia dan
bukan manusia demi negara.
5.
Dalam
filsafat pada umumnya subjektivitas modern menempatkan akan manusia pada
pusat perhatiannya.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Secara
etimologi, renaissance berarti “kelahiran kembali” atau “kebangkitan
kembali”. Dari bahasa Perancis re (lagi, kembali) naissance
(kelahiran), sedangkan dalam bahasa latin nascentia, nascor, natus
(kelahiran, lahir, dilahirkan), kelahiran kembali ini disebut juga dengan zama
pencerahan (Auflarung). Begitu juga pencerahan kembali mengandung arti
“munculnya kesadaran baru manusia” terhadap dirinya (yang selama ini dikunkung
di gereja). Manusia menyadari bahwa dialah yang menjadi pusat dunianya (vaber
mundi) bukan lagi sebagai objek dunianya (fitiator) sedangkan
itilah ini menunjukkan suatu gerakan yang meliputi suatu zaman dimana orang
merasa dilahirkan kembali dalam keadaban.
2.
Humanisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa manusia dapat memahami
dunia serta keseluruhan realita dengan menggunakan pengalaman dan nilai-nilai
kemanusiaan bersama. Kita bisa hidup baik tanpa agama sekalipun. Para humanis
berusaha menciptakan yang terbaik bagi kehidupan dengan menciptakan makna dan
tujuan bagi diri sendiri, tokoh besar dari humanisme adalah Erasmus dari
Rotterdam, yang pernah bersahabat dengan Marthin Luther.
3.
Jadi,
humanisme dan renaissance adalah kesatuan yang saling pengaruh
mempengaruhi secara bersama-sama. Humanisme merupakan sebuah ideologi
yang menentang dogma-dogma pada Abad Pertengahan yang melatarbelakangi
dan memengaruhi Renaissance. Karena Renaissance merupakan era waktu,
maka dapatlah dikatakan bahwa Humanisme berada dalam Renaissance.
B.
Saran
1.
Sebagai
Mahasiswa hendaknya kita memahami tentang Filsafat Renaissance dan Humanisme
dan perkembangannya.
2.
Sebaliknya
kita bisa memilah faham atau dogmatis yang bermanfaat dan yang berbahaya
bagi kita sebagai insan yang beragama.
[1] Atang Abdul
Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia.
2008). Hal. 339-340
[3] Atang Abdul
Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, . . . Hal. 341-354
[4] Jalako S.
Summadjo, Filsafat Seni, (Bandung: ITB. 1994). Hal. 291
[5] Atang Abdul
Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, . . . Hal. 355-360