Sunnah berasal dari bahasa arab yang secara etimologi berarti "jalan yang biasa dilalui" atau "cara yang senantiasa dilakukan" atau "kebiasaan yang selalu dilaksanakan".
Pengertian Sunnah secara etimologis ini dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh imam Muslim, yang artinya "barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sesudahnya, dan barang siapa yang membiasakan sesuatu yang buruk, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang mengikuti sesudahnya".
Perbedaan ahli ushul dengn ahli fiqh dalam memberikan arti pada Sunnah sebagaimana disebutkan di atas adalah karena mereka berbeda dalam segi peninjauannya. Ulama ushul menempatkan Sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum fiqh. Untuk itu ia mengatakan, “Hukum ini ditetapkan berdasarkan Sunnah”. Sedangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah itu sebagai salah satu dari hukum syara’ yang lima yang mungkin berlaku terhadap satu perbuatan. Untuk maksud itu ia berkata, “Perbuatan ini hukumnya adalah Sunnah”. Dalam pengertian ini Sunnah adalah “hukum”, bukan “sumber hukum”.
Sedangkan Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan).Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
… ÙˆَالَّØ°ِينَ Ù„َا ÙŠَجِدُونَ Ø¥ِÙ„َّا جُÙ‡ْدَÙ‡ُÙ…ْ …
Artinya:
“…Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)
Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam dikemukakan oleh ulama ushul fiqih, namun intinya adalah sama. Sebagai berikut:
1. Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu.”
2. Al-Baidawi (w. 685 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’.”
3. Abu Zahra, ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal abab kedua puluh ini mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fikih akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya.
MACAM-MACAM AS-SUNNAH DAN IJTIHAD
Berdasarkan definisi-definisi Sunnah yang dikemukakan di atas, Sunnah menjadi sumber hukum Islam (mashadir al-ahkam) dan dalil hukum Islam kedua (adillat al-ahkam), itu ada tiga macam, yaitu:
1) Sunnah fi'liyyah, yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi SAW. Yang dilihat atau diketahui dan disampaikan para sahabat kepada orang lain, misalnya tata cara sholat yang ditunjukkan Rasulullah kemudian disampaikan oleh sahabat yang melihat atau mengetahuinya kepada orang lain.
2) Sunnah qauliyyah, yaitu ucapan nabi saw., yang didengar dan disampaikan seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain, misalnya sabda rasulullah yang diriwayatkan imam bukhari dan Muslim, artinya "tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca surat Al-fatihah"
3) Sunnah Taqririyyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan Nabi saw., tetapi nabi hanya diam dan tidak mencegah dari Nabi saw ini menunjukkan persetujuan nabi atau (taqrir) terhadap perbuAtan sahabat tersebut.
Ketiga macam Sunnah tersebut (qauliyah, fi’liyah dan taqririryah) disampaikan dan disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan mengalaminya dari nabi secara melalui pemberitaan atau khabar, hingga sampai kepada orang yang mengumpulkan, menuliskan dan membukukannya sekitar abad ketiga hijriyah. Mengenai apakah memang Nabi Muhammad SAW pernah berkata, berbuat dan memberikan pengakuan, lebih banyak tergantung kepada kebenaran pemberita-an tentang adanya Sunnah itu. Selanjutnya para ulama mengklasifikasikan Sunnah itu berdasarkan kekuatan khabar tersebut.
Sedangkan ijtihad Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Iman Syafi’I menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua macam, tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau maslahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas, dan akal.
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahi, atau setidak-tidaknya mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau tidak. Berdasarkan pendapat tersebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi kitab Al-Muwafakat, yaitu:
a. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
b. Ijtihad Aal-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad al-istislah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
FUNGSI AS-SUNNAH DAN IJTIHAD
Dapat diketahui bahwa fungsi Sunnah itu sebagai berikut :
1) Sunnah sebagai penguat Al-Qur'an,
2) Sunnah sebagai penjelas Al-Qur'an, QS an-Nahl : 44, yang artinya : “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Kehadiran Sunnah sebagai penjelas terhadap hal-hal yang global, penguat secara mutlak, sebagai taksis terhadap dalil Al-Qur'an yang masih umum.
3) Sunnah sebagai musyar'i (pembuat syari'at): memuat hal-hal yang belum ada dalam Al-Qur'an, tidak memuat hal-hal baru yang tidak ada dalam Al-Qur'an tapi membuat hal-hal yang landasnya ada dalam Al-Qur'an.
Adapun ijtihad memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut:
a. Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis.
b. Ijtihad merupakan sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang muncul dengan tetap berpegang pada Al-Qur’an dan sunah.
c. Ijtihad berfungsi pula sebagai suatu cara yang di isyariatkan untuk menyesuaiakan perubahan-perubahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
d. Ijtihad berfungsi sebagai wadah pencurahan pemikiran kaum muslim dalam mencari jawaban dari masalah-masalah seperti berikut ini:
1. Masalah asasi, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Islam seperti masalah-masalah bidang akidah dan muamalat.
2. Masalah esensial misalnya mengenai program pembangunan Negara dan bangsa.
3. Masalah incidental misalnya tentang isu-isu yang berkembang dalam masyarakat.
KEHUJJAHAN SUNNAH
Umat islam sepakat bahwa Ucapan, perbuatan, dan penetapan Rosullah Saw yang mengaruh pada hukum atau tuntutan dan sampai kepada kita dengan sanad yang sahih yang mendatangkan kepastian atau dugaan kuat atas kebenarannya adalah Hujjah bagi umat islam.
Ia adalah sumber yang digunakan oleh para mujtahid untuk menetapkan hukum syra’ atas perbuatan orng-orang mukallaf. Artinya, hukum yang terkandung di dalam al-Sunnah sejalan dengan hukum yang terkandung dalm Al-Qur’an adalah undang-undang yang harus di ikuti.
Bukti atas kekuatan al-Sunnah sebagai hujjah sangat banyak, antara lain:
Pertama: Nash-Nash Al-Qur’an . karena Allah SWT sering kali dalam ayat-ayat Al-Qur’an memerintahkan untuk taat kepada Rosul-Nya, menjadikan taat kepad rosul sebagai bukti ketaatan kepada-Nya. Dia memerintahkan kepad umat islam untuk mengembalikan perselisihan pendapat yang terjadi diantara mereka kepada Allah dan Roulnya. Dia tidak memberikan alternative lainkepada umat islam ketika Allah dan Rosulnya telah menetapkan suatu hukum. Dia juga tidak menganggap beriman bagi mereka yang tidak puas dan tidak menerima atas keputusan Rosul. Semua ini adalh bukti dari Allah bahwa penetapan hukum yang dilakukan Rosullah adalh penetapan hukum Tuhan yang diikuti.
Kedua: kesepakatan para Sahabat ra, baik semasa hidup Maupin sepeninggal Rosulullah SAW. Akan kewajiban mengikuti sunnah Rasul. Dimasa hidup Nabi, para sahabat telah melaksanakan hukum, menjalankan perintah dan ( menjahui) larangan Nabi SAW; halal dan Haram. Dalam melaksanakan kewajiban mengikuti, mereka tidak membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu Allah berupa Al-Qur’an atau hukum yang keluar dari Nabi sendiri. Oleh karena itu Mu’adz bin Jabal berkata, “ bila aku tidak menemukan hukum yang aku jadikan putusan maka aku putuskan dengan sunnah Rasul. “ demikian juga pada saat Rasulullah telah wafat, bila mereka tidak menemukan hukum atas sesuatu yang terjadi pada mereka, maka diputuskan dengan rujuk kepada sunnah Rasulullah. Ketiks Abu bakar tidak hafal sunnah mengenai suatu kejadian , dia bertanya pada umat islam, “ apakah diantara kalian ada yang hafal sunnah dari Nabi kita mengenai kejadian ini?” demikiam juga dilakukan oleh Umar, para sahabat yang bertugas menyampaikan fatwa dan member putusan hukum, para tabi’in dan tabi’it tabi’in, karena tidak diketahui seorang diantara mereka yang menyalahi kesepakatan bahwa ketika penukilan sunnah Rasul itu Shahih, maka wajib untuk di ikuti.
Ketiga: Allah SWT dalam Al-Qur’an telah menetapkan berbagai kewajiban yang masih bersifat global, hukum dan petunjuk pelaksanaannya tidak terperinci. Seperti Firman Allah:
“dirikanlah shalat dan tunaikanlah Zakat” (QS. An-Nissa:77)
“diwajibkan atas kamu berpuasa “ (QS. Al-Baqarah: 183)
“mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah”(QS. Al-Imran:97)
Allah tidak menjelaskan bagaimana bagaimana cara mendirikan shalat , menunaikan zakat, melaksanakan puasa dan haji. Kemudian Rasulullah SAW, menjelaskan keglobalan ayat-ayat tersebut dengan ucapan atau perbuatan beliau, karena Allah telah member kekuasaan kepada beliau untuk memberikan penjelasan dengan firmannya.
Apabila Al Sunnah yang menjelaskan keglobalan Al Quran itu bukan hujjah atas umat islam dan bukan undang-undang yang harus di ikuti,mak tidak mungkin untuk melaksanakan kewajiban dan hukum-hukum yang ada dalam Al Quran.Al Sunnah wajib di ikuti karena ia dating dari Rosul dan di riwayatkan dengan sanad yang dapat di pastikan atau di duga kuat dari Rosul.Semua sunnah syara’ yangdi akui sahih dari Rosul adalah hujjah yang harus di ikuti, baik menjelaskan hukum yang terkandung dalam Al Quran atau menetapakan hukum (baru) yang tidak terdapat dalam Al Quran.Karena sunnah-sunnah itu sumbernya itu adalah Rosul yang ma’shum yang telah diberi kekuasaan oleh Allah swt,untuk menjelaskan dan membuat hukum syara’
E. OBJEK IJTIHAD
Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qathi’. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.
Dengan demikian, syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:
1. Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, atau haramnya melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman Allah SWT.
….ÙˆَØ£َÙ‚ِيمُوا الصَّÙ„َاةَ Ùˆَآتُوا الزَّÙƒَاةَ
Artinya:
“Dan dirikanlah shalat tunaikanlah zakat….” (Q.S. An-Nur ayat 56)
Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui maksud shalat.
2. Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.
Apabila ada nash yang keberadaanya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad di antaranya adalah meneliti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nashnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lain-lain. Namun, permasalahan ini banyak diperdebatkan di kalangan para ulama.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.Sunnah berasal dari bahasa arab yang secara etimologi berarti "jalan yang biasa dilalui" atau "cara yang senantiasa dilakukan" atau "kebiasaan yang selalu dilaksanakan".
Pengertian Sunnah secara etimologis ini dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh imam Muslim, yang artinya "barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sesudahnya, dan barang siapa yang membiasakan sesuatu yang buruk, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang mengikuti sesudahnya". Sedangkan Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat
(kesanggupan dan kemampuan).Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan.
2.sunnah ada 3 macam yaitu fiiliyah,qauliyyah dan taqrirriyah.ijtihad ada 3 macam yaitu: Ijtihad Al-Batani, Ijtihad Aal-qiyasi, Ijtihad al-istislah,
3. fungsi Sunnah itu sebagai berikut :
1) Sunnah sebagai penguat Al-Qur'an,
2) Sunnah sebagai penjelas Al-Qur'an
3) Sunnah sebagai musyar'i (pembuat syari'at)
Adapun ijtihad memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut:
a. Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis.
b. Ijtihad merupakan sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang muncul dengan tetap berpegang pada Al-Qur’an dan sunah.
c. Ijtihad berfungsi pula sebagai suatu cara yang di isyariatkan untuk menyesuaiakan perubahan-perubahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
d. Ijtihad berfungsi sebagai wadah pencurahan pemikiran kaum muslim dalam mencari jawaban dari masalah-masalah
4.Adapun hubungan assunnah dengan alqu’an dari segi materi hukum yang terkandung didalamnya ada tiga macam:
a. Menguatkan hukum suatu peristiwa yang letah di tetapkan hukumnya di dalam alqur’an. Dengan demikian hukum peristiwa terseut di tetapkan oleh dua buah sumber
b. Memberikn keterangan (bayan) ayat-ayat alqur’an.
5.Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qathi’. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.
B. SARAN
Demikianlah makalah tentang As-sunnah dan Ijtihad dari kami.semoga makalah ini dapat dipahami serta menambah wawasan para pembaca tentang pengertian Shalat id .kami harapkan kritik beserta saran yang bersifat membangun agar lebih baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Selviyanti Kaawoan, Memahami ushul fiqhi, Sultan Amai Press IAIN Sultan Amai, Gorontalo, 2015
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid , Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997
Harjan Syuhada et.al., Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011)
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) Mukhtar yahya, dasar-dasar pembinaan hukum fiqih-islami