Buku II dan buku III KUHP berisi tentang tindak pidana-tindak pidana tertentu. Tentang bagaimana cara pembentuk UU dalam merumuskan tindak pidana itu pada kenyataannya memang tidak seragam. Dalam hal ini akan dilihat dari tiga dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP kita, yaitu:[1]
1.
Dilihat dari sudut cara pencantuman
unsur-unsur kualifikasi tindak pidana. Dari sudut ini dapat dilihat bahwa
setidak-tidaknya ada tiga cara perumusan perbuatan pidana yaitu:
a.
Mencantumkan unsur pokok,
kualifikasi dan ancaman pidana. Cara yang pertama ini adalah merupakan cara
yang paling sempurna. Cara ini digunakan terutama dalam hal merumuskan tindak
pidana dalam bentuk pokok atau standar, dengan mencantumkan unsur-unsur
objektif maupun subjektif, misalnya pasal 338 (pembunuhan), 362 (pencurian),
368 (pengancaman), 369 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406
(pengrusakan).
b.
Mencantumkan semua unsur pokok
tanpa kualifikasi dan mencantumkan ancaman pidana. Cara inilah yang paling
banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP. Tindak pidana yang
menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebut kualifikasi, dalam praktek
kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu, misalnya
terhadap tindak pidana pada pasal 242 diberi kualifikasi sumpah palsu,
stellionaat (385), penghasutan (!60), laporan palsu (220), membuang anak (305),
pembunuhan anak (341), penggelapan oleh pegawai negeri (415).
c.
Mencantumkan kualifikasi dan
ancaman pidana. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini adalah yang
paling sedikit. Model perumusan ini dapat dianggap sebagai perkecualian. Tindak
pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini dilator belakangi
oleh rasio tertentu, misalnya pada kejahatan penganiayaan (351), yang
dirumuskan dengan sangat singkat yakni: “ penganiayaan (mis hundeling)
diancam dengan pdana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana
denda paling banyak 4500 rupiah”.
2.
Dilihat dari sudut titik beratnya
larangan, dari sudut ini maka ada dua cara merumuskan tindak pidana yaitu:
a.
Cara formil
Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara
tegas perihal melakukan larangan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok
larangan dalam rumusan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Tindak pidana
yang dirumuskan secara formil ini disebut dengan tindak pidana formil (Formeel
Delict). Contoh tindakan pidana
formal adalah:
1.
Pencurian yang dalam pasal 362 KUHP
dirumuskan sebagai perbuatan yang berwujud “mengambil barang” tanpa disebutkan
akibat tertentu dari pengambilan barang itu.
2.
Memalsukan surat yang dalam pasal
263 KUHP dirumuskan sebagai perbuatan yang berwujud membuat surat palsu, tanpa
disebutkan akibat penentu dari penulisan surat palsu itu.
b.
Cara materiil
Disebut dengan rumusan materiil karena yang menjadi pokok larangan
tindak pidana adalah pada menimbulkan akibat tertentu. Titik beratnya larangan
adalah para menimbulkan akibat, sedang wujud erbuatan yang menimbulkan akibat
itu tidak menjadi persoalan. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara materiil
disebut dengan tindak pidana materiil (Materiil Delict). Contoh tindakan
pidana material adalah :
1.
Pembunuhan dalam pasal 338 KUHP
dirumuskan sebagai perbuatan yang mengakibatkan matinya orang lain, tanpa disebutkan
wujud dari perbuatan itu.
2.
Pembakaran rumah dengan segaja
dalam pasal 187 KUHP dirumuskan sebagai mengakibatkan kebakaran dengan segaja
tanpa disebut wujud dari perbuatan itu.
3.
Dilihat dari sudut pembedaan tindak
pidana antara bentuk pokok, bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan.
a.
Perumusan dalam bentuk pokok
Dalam hal bentuk pokok pembentuk Undang-undang
selalu merumuskan secara sempurna, yaitu dengan mencantumkan semua
unsur-unsurnya dengan secara lengkap. Dengan demikian rumsuan bentuk pokok ini
merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana itu, misalnya pasal 338, 362,
372, 378, 269, dan 406.
Pasal 338:
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
Pasal 362:
Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 378:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu
atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya
memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
b.
Perumusan dalam bentuk yang
diperingankan dan yang diperberat
Rumusan dalam bentuk yang lebih berat dan atau yang lebih ringan
dari tindak pidana yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang
kembali atau dirumuskan kembali, melainkan menyebut pasal bentuk pokok saja (misalnya : 364, 373,
379).
Pasal 364:
Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4,
begitupun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak
dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika
harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam karena
pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda
paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.
Atau kualifikasi bentuk pokok (misalnya : 339, 363, 365). Kemudian
menyebut unsur-unsur yang menyebabkan diperingan dan diperberatkan tindak
pidana itu.
Pasal 339:
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau
didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk
mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri
sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun
untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling
lama dua puluh tahun.
Perumusan
tindak pidana dapat dilakukan secara formal dan materil, berbeda dengan
pembedaan tindak pidana-tindak pidana dimana dalam kenyataanya sifatnya
masing-masing memang berbeda.[2]
Kerena semua
norma yang disertai ancaman pidana bermaksud melindungi kepentingan, yaitu
kepentingan oknum (Hukum Perdata) atau kepentingan negara (Hukum Tata Negara)
atau kepentingan umum lainnya (Hukum Tata Usaha Negara), maka pelanggaran norma
itu selalu menyebutkan kerugian pada kepentingan itu. Maka, dapat dikatakan
bahwa semua tindakan pidana selalu mengakibatkan suatu hal yang tidak baik.
Jadi, bagaimanapun cara perumusannya dalam ketentuan hukum pidana, setiap
tindak pidana mengakibatkan kerugian pada suatu kepentingan. Dalam hal
pencurian, misalnya akibat yang merupakan alasan pencurian tidak diperbolehkan
adalah bahwa pemilik dari barang yang dicuri itu dirugikan dalam harta
bendanya. Dengan demikian, lebih tepatnya apabila penggolongan ini dinamakan
penggolongan “tindakan pidana dengan perumusan secara material” dan “tindakan
pidana dengan perumusan secara formal”. Materi berarti “isi” dan form berarti
“wujud”, maka dalam tindak pidana material dirumuskan isi berupa akibat yang
dilarang, sedangkan dalam tindak pidana formal dirumuskanwujud berupa perbuatan
tertentu.[3]
B.
Jenis Delik (Tindak
Pidana):
Berberatus-ratus perbuatan diancam dengan
hukuman, untuk mendapatkan suatu ikhtisar tentang segala perbuatan itu, maka
perlu delik-delik atau tindak pidana tersebut dibagi menjadi beberapa jenis
yang setiap jenisnya mengandung beberapa delik yang bersamaan tentang satu
sifat. Adapun pembagian jenis-jenis tindak pidana yaitu:[4]
1.
Menurut System
KUHP, dibedakan antara Kejahatan (dimuat dalam Buku II) dan Pelanggaran (dimuat
dalam Buku III).
Disebut dengan rechtsdelicten atau tindak pidana hukum, yang artinya sifat
tercelanya itu tidak semata-mata pada dimuatnya dalam UU melainkan memang pada
dasarnya telah melekat sifat terlarang sebelum memuatnya dalam rumusan tindak
pidana dalam UU. Walaupun sebelum dimuat dala UU pada kejahatan telah
mengandung sifat tercela (melawan hukum), yakni pada masyarakat, jadi berupa
melawan hukum materiil. Sebaliknya, wetsdelicten
sifat tercelanya suatu perbuatan itu terletak pada setelah dimuatnya
sebagai demikian dalam UU. Sumber tercelanya wetsdelicten adalah UU.
Dasar pembeda itu memiliki titik
lemah karna tidak menjamin bahwa seluruh kejahatan dalam buku II itu bersifat
demikian, atau seluruh pelanggaran dalam buku III mengandung sifat terlarang
karena dimuatnya dalam UU.[5]
Contoh-contohnya:
a.
Kejahatan (buku II): penghinaan,
kejahatan terhadap nyawa, penganiayaan, pencurian.
b.
Pelanggaran (buku III): pelanggaran
jabatan, pelanggaran pelayaran, pelanggaran kesusilaan, pelanggaran ketertiban
umum.
Berikut
beberapa perbedaan antara buku II dan buku III.:
No.
|
Perbedaan
|
Kejahatan
|
Pelanggaran
|
1
|
Percobaan
|
Dipidana
|
Tidak dipidana
|
2
|
Membantu
|
Dipidana
|
Tidak dipidana
|
3
|
Daluwarsa
|
Lebih Panjang
|
Lebih Pendek
|
4
|
Delik Aduan
|
Ada
|
Tidak Ada
|
Didalam ilmu pengetahuan hukum pidana
selanjutnya masih terdapat sejumlah pembagian-pembagiannya dari tindak pidana
diantaranya:[6]
2.
Berdasarkan
Perumusannya yaitu: Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan
secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil)
a.
Delik formil itu adalah delik yang
perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut
telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan
delik. Misal : penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum
menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu
atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209,
210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP);
pencurian (pasal 362 KUHP).
b.
Delik materiil adalah delik yang
perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki
(dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki
itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal :
pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338
KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.
3.
Tindak Pidana
Berdasarkan Cara Melakukannya, Delik commisionis, delik ommisionis
dan delik commisionis per ommisionen commissa
a.
Delik commisionis : delik
yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang,
pencurian, penggelapan, penipuan. Ini termasuk tindak pidana aktif.
b.
Delik ommisionis : delik
yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang
diperintahkan / yang diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka
pengadilan (pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan
(pasal 531 KUHP). Termasuk dalam tindak pidana pasif yang murni.
c.
Delik commisionis per ommisionen
commissa : delik yang berupa pelanggaran larangan (dus delik commissionis),
akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang
membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang
penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak
memindahkan wissel (pasal 194 KUHP). Jenis tindak pidana yang pasif tidak
murni.
4.
Tindak Pidana
Berdasarkan Kesalahan berupa Delik dolus dan delik culpa (doleuse
en culpose delicten)
a.
Delik dolus : delik yang
memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP
b.
Delik culpa : delik yang
memuat kealpaan sebagai salah satu unsur, misal : pasal 195, 197, 201, 203, 231
ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP.
5.
Dari sudut
berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan dibedakan antara Delik
tunggal dan delik berantai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
a.
Delik tunggal : delik yang cukup
dilakukan dengan perbuatan satu kali.
b.
Delik berangkai : delik yang baru
merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481
(penadahan sebagai kebiasaan)
6.
Berdasarkan
saat dan jangka waktu terjadinya, dibedakan menjadi Delik yang berlangsung
terus dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten)
Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa
keadaan terlarang itu berlangsung terus, mengandung sesuatu hal yang diancam
hukuman. Selama hal itu tidak berakhir selama itu delik berlaku terus. misal pasal
221: dengan sengaja menyembunyikan seseorang sedangkan ia mengetahui yang
disembunyikan tersebut dituntut dan dicari karena sesuatu pidana. Sedangkan
delik selesai ialah perbuatan-perbuatan yang selesai sesudah perbuatan yang
dilarang habis dikerjakan atau sesudah akibat yang dilarang timbul. Kebanyakan
delik bersifat berakhir atau selesai terus.
7.
Delik aduan
dan delik biasa (klachtdelicten en gewone delicten)
Tindak pidana biasa adalah tindak
pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana tidak disyaratkan adanya aduan
dari yang berhak. Sedangkan delik aduan adalah tindak pidana yang untuk
dilakukannya penuntutan pidana
disyaratkan adanya aduan dari yang berhak.
Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai :
a.
Delik aduan yang absolut, ialah misal:
pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut
berdasarkan pengaduan.
b.
Delik aduan yang relative ialah
misal: pasal 367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini ada hubungan
istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.
Contoh-contohnya:
a.
Delik biasa: pembunuhan (338) dan
lain-lain.
b.
Delik aduan: pencemaran (310),
fitnah (311), dan lain-lain.
8.
Berdasarkan
berat ringannya pidana yang diancamkan dibedakan antara Delik sederhana dan
delik yang ada pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan gequalificeerde /
geprevisilierde delicten)
Delik yang ada pemberatannya, misal :
penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2,
3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal 363). Ada delik yang
ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal :
pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd
delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian
(pasal 362 KUHP).
9.
Jenis tindak
pidana dari subjek hukumnya terdiri dari Delik Communia dan delik propria
Jika dilihat dari sudut subjek
hukumnya, tindak pidana itu dapat dibedakan antara tindak pidana yang dapat
dilakukan oleh semua orang (delictacommunia
) dan tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas
tertentu (delicta propria).
Pada umumnya, itu dibentuk untuk berlaku
kepada semua orang. Akan tetapi, ada perbuatan-perbuatan tertentu yang hanya
dapat dilakukan oleh orang-orang yang berkualitas tertentu saja.
Contoh-contohnya:
Delik communia: pembunuhan (338),
penganiayaan (351) dan lain-lain.
Delik propria:
pegawai negri (pada kejahatan jabatan), nakhoda (pada kejahatan pelayaran).
10. Tindak pidana berdasarkan sumbernya
terdiri dari Delik Umum dan Delik Khusus
Tindak pidana umum adalah semua
tindak pidana yang dimuat dalam KHUP sebagai kodifikasi hukum ppdn materiil.
Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat
dalam kodifikasi tersebut.
Walaupun telah ada kodifikasi
(KUHP), tetapi adanya tindak pidana diluar KHUP merupakan suatu keharusan yang
tidak dapat dihindari. Perbuatan-perbuatan tertentu yang dinilai merugikan
masyarakat dan patut diancam dengan pidana itu terus berkembang, sesuai dengan
perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan, yang tidak cukup efektif
dengan hanya menambahkannya pada kodifikasi (KUHP). Tindak pidana diluar KUHP
tersebar didalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Peraturan
perundang-undangan itu berupa peraturan perundang-undangan pidana.
Contoh-contohnya:
a.
Delik umum: KUHP.
b.
Delik khusus: UU No. 31 Tahun 1999
tentang tindak pidana korupsi, UU No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika.
11. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi maka tindak pidana
tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi.
Seperti tindak
pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan,
tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagianya.
C.
Subyek Tindak
Pidana
Terkait dengan subjek tindak pidana perlu
dijelaskan, pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi. Artinya, barangsiapa
melakukan tindak pidana, maka ia harus bertanggung jawab, sepanjang pada diri
orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana.[7]
Selanjutnya, dalam pidana dikenal juga adanya konsep penyertaan (deelneming).
Konsep penyertaan ini berarti ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk
mewujudkan atau melakukan tindak pidana. Menjadi persoalan, siapa dan bagaimana
konsep pertanggung jawaban pidana, dalam hukum pidana kualifikasi pelaku
(subjek) tindak pidana diatur dalam Pasal 55-56 KUHP.
Dalam KUHP
terdapat terdapat lima bentuk, yaitu sebagai berikut.[8]
a.
Mereka yang melakukan (dader).
Satu orang atau lebih yang melakukan tindak pidana.
b.
Menyuruh melakukan (doen plegen).
Dalam bentuk menyuruh-melakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri secara
langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain.
c.
Mereka yang turut serta (medeplegen).
Adalah seseorang yang mempunyai niat sama dengan niat orang lain, sehingga
mereka sama-sama mempunyai kepentingan dan turut melakukan tindak pidana yang
diinginkan.
d.
Penggerakan (uitlokking).
Penggerakan atau dikenal juga sebagai Uitlokking unsur perbuatan orang
lain melakukan perbuatan dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu,
dengan ancaman kekerasan, penyesatan, menyalahgunakan martabat dan kekuasaan
beserta pemberian kesempatan, sebagiamana diatur dalam KUHP Pasal 55 ayat 1
angka 2.
e.
Pembantuan (medeplichtigheid).
Pada pembantuan pihak yang melakukan membantu mengetahui akan jenis kejahatan
yang akan ia bantu.
Kesimpulan
Dari pemaparan materi diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
Cara perumusan perbuatan pidana yaitu:
1.
Dilihat dari sudut cara pencantuman
unsur-unsur kualifikasi tindak pidana yaitu:
a. Mencantumkan
unsur pokok, kualifikasi dan ancaman pidana.
b. Mencantumkan
semua unsur pokok tanpa kualifikasi dan mencantumkan ancaman pidana.
c. Mencantumkan
kualifikasi dan ancaman pidana.
2.
Dilihat dari sudut titik beratnya
larangan, dari sudut ini maka ada dua cara merumuskan tindak pidana yaitu:
a.
Cara formil dan materiil
3.
Dilihat dari sudut pembedaan tindak
pidana antara bentuk pokok, bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan.
a.
Perumusan dalam bentuk pokok
b.
Perumusan dalam bentuk yang
diperingankan dan yang diperberat
Jenis-jenis
tindak pidana:
1.
Menurut System KUHP, dibedakan
antara Kejahatan (dimuat dalam Buku II) dan Pelanggaran (dimuat dalam Buku
III).
2.
Berdasarkan Perumusannya yaitu:
Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik
dengan perumusan secara materiil)
3.
Tindak Pidana Berdasarkan Cara
Melakukannya, Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis
per ommisionen commissa.
4.
Tindak Pidana Berdasarkan Kesalahan
berupa Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose
delicten)
5.
Dari sudut berapa kali perbuatan
untuk menjadi suatu larangan dibedakan antara Delik tunggal dan delik berantai
(enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
Subjek hukum:
Dalam KUHP
terdapat terdapat lima bentuk, yaitu sebagai berikut.
a.
Mereka yang melakukan (dader).
Satu orang atau lebih yang melakukan tindak pidana.
b.
Menyuruh melakukan (doen plegen).
Dalam bentuk menyuruh-melakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri secara
langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain.
c.
Mereka yang turut serta (medeplegen).
Adalah seseorang yang mempunyai niat sama dengan niat orang lain, sehingga
mereka sama-sama mempunyai kepentingan dan turut melakukan tindak pidana yang
diinginkan.
d.
Penggerakan (uitlokking).
Penggerakan atau dikenal juga sebagai Uitlokking unsur perbuatan orang lain
melakukan perbuatan dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, dengan
ancaman kekerasan, penyesatan, menyalahgunakan martabat dan kekuasaan beserta
pemberian kesempatan, sebagiamana diatur dalam KUHP Pasal 55 ayat 1 angka 2.
e.
Pembantuan (medeplichtigheid).
Pada pembantuan pihak yang melakukan membantu mengetahui akan jenis kejahatan
yang akan ia bantu
Contoh Kasus:
Liputan6.com, Solo: Seorang pemuda asal
Sumber, Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Rabu (7/7), dibekuk polisi lantaran
diduga kerap memeras di rumah keluarga artis dan pelawak Nunung “Srimulat”.
Pemuda bernama Andi Rismanto alias Ambon yang dikenal sebagai preman kampung
meminta jatah Rp 150 ribu per minggu dengan alasan iuran keamanan.
Saat dimintai
keterangan, ia hanya bisa tertunduk lesu. Pemuda bertato ini ditangkap aparat
Kepolisian Sektor Banjarsari, menyusul laporan salah seorang kerabat Nunung.
Dari keterangan saksi, tersangka sering memeras di rumah keluarga tersebut.
Jika tidak dituruti, maka pelaku tidak segan melakukan kekerasan.
Perilaku tersangka pun dianggap meresahkan.
Tidak hanya keluarga Nunung “Srimulat” yang menjadi korban, tapi juga warga
lain di kawasan tersebut. Dari pengakuan tersangka, uang yang diperoleh
digunakan untuk membeli rokok dan minuman keras.
Selain
menangkap tersangka, polisi menyita barang bukti uang sebesar Rp 20 ribu dan
kartu tanda penduduk milik tersangka. Atas perbuatannya, tersangka dijerat
pasal pemerasan dengan ancaman hukuman maksimal sembilan tahun
penjara.(BJK/ANS)
Analisis
A.
Cara Merumuskan Perbuatan Pidana
Dalam cara
merumuskan perbuatan pidana untuk kasus diatas, apabila dilihat sudut cara
pencantuman unsur-unsur kualifikasi tindak pidana, maka dalam kasus ini
merupakan bagian dari cara merumuskan perbuatan pidana yang mencantumkan unsur
pokok, kualifikasi dan ancaman pidana. Cara yang pertama ini adalah merupakan
cara yang paling sempurna. Cara ini digunakan terutama dalam hal merumuskan
tindak pidana dalam bentuk pokok atau standar, dengan mencantumkan unsur-unsur
objektif maupun subjektif. Karena dalam kasus tersebut diatas merupakan bagian
kasus pemerasan yang didalam KUHPidana
terdapat dalam pasal 368. Dalam ketentuan Pasal 368 KUHP tindak pidana
pemerasan dirumuskan dengan rumusan sebagai berikut :
1.
Barang siapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang
lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang,
yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan
hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun.
2.
Ketentuan Pasal 365 ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4) berlaku dalam tindak pidana ini.
Dilihat dari sudut titik beratnya larangan,
maka dalam kasus diatas dalam cara merumuskan perbuatan pidana menggunakan cara
formil. Disebut demikian karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas perihal
melakukan larangan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok larangan dalam
rumusan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Tindak pidana yang dirumuskan
secara formil ini disebut dengan tindak pidana formil (Formeel Delict).dalam kasus pemerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban merupakan
kasus pemerasan yang dalam pasal 368 KUHP dirumuskan sebagai perbuatan yang
berwujud “menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian
adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang” yang tidak disebutkan
akibat tertentu dari pemaksaan tersebut.
Dan jika dilihat dari sudut pembedaan tindak
pidana antara bentuk pokok, bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan. Maka
dalam kasus ini merupakan perumusan dalam bentuk pokok. Dimana dalam hal bentuk pokok pembentuk
Undang-undang selalu merumuskan secara sempurna, yaitu dengan mencantumkan
semua unsur-unsurnya dengan secara lengkap. Dengan demikian rumusuan bentuk
pokok ini merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana itu. Dan dalam KUHP
sendiri kasus mengenai pemerasan ini dicantumkan semua unsur-unsurnya dengan secara
sempurna (mencantumkan semua unsur-unsurnya).
B.
Jenis Dan Subyek Tindak Pidana
1.
Menurut sistem KUHP, maka tindak
pidana tersebut di atas termasuk dalam jenis tindak pidana kejahatan karena di
dalamnya mengandung sifat tercela (melawan hukum) yaitu merugikan korban dengan
memeras harta korban dan meresahkan masyarakat.
2.
Berdasarkan perumusannya, tindak
pidana pemerasan yang mana termasuk dalam Pasal 368 KUHP itu termasuk dalam
delik formil karena perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang
yang tercantum dalam rumusan delik tersebut, yaitu “memaksa orang lain dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang
seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang
maupun menghapus piutang”.
3.
Jika berdasarkan cara melakukannya,
tindak pidana dalam kasus tersebut termasuk dalam kategori delik commisionis
yaitu berbuat sesuatu yang dilarang, yaitu pemerasan yang mana disebut juga
tindak pidana aktif karena dilakukan oleh pelaku sendiri.
4.
Jika dilihat dari segi kesalahan,
maka tindak pidana pemerasan tersebut termasuk dalam delik dolus atau
memuat unsur kesengajaan karena ada niatan dari pelaku untuk memeras harta
korban.
5.
Dari sudut berapa kali perbuatan
untuk menjadi suatau larangan, maka jenis tindak pidana tersebut termasuk dalam
delik tunggal karena dilakukan dengan perbuatan satu kali.
6.
Berdasarkan saat dan jangka waktu
terjadinya, tindak pidana pemerasan yang dilakukan pelaku ini termasuk dalam
jenis delik selesai karena perbuatannya selesai sesudah perbuatan yang dilarang
itu usai dikerjakan.
7.
Dilihat dari jenis delik aduan atau
delik biasa, maka pemerasan tersebut termasu dalam delik aduan karena tindak
pidana yang dilakukan oleh pelaku itu telah diadukan kepada pihak kepolisian.
8.
Berdasarkan berat ringannya pidana
yang diancamkan, tindak pidana pemerasan termasuk dalam jenis delik sederhana.
9.
Dalam jenis tindak pidana jika
dilihat dari segi subjek hukumnya, maka tindak pidana pemerasan termasuk dalam
jenis delik communia karena tindak pidana tersebut dapat dilakukan oleh
semua orang, tidak hanya dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu.
10.
Jika berdasarkan sumbernya, tindak
pidana pemerasa termasuk dalam jenis delik umum karena tindak pidana tersebut
dimuat dalam KUHP yaitu dalam Pasal 368 KUHP.
11.
Terkait dengan subjek tindak pidana
dalam kasus pemerasan tersebut adalah dader (mereka yang melakukan),
karena pelaku dalam tindak pidana pemerasan ini hanya dilakukan oleh satu orang
tanpa ada bantuan atau peran pelaku yang lainnya.
[3] Wirjono Prodjodikoro, 2008, Asas-Asas
Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama), hlm 36-38
[4]
C.S.T. Kansil, dan Christine S.T. Kansil, Hukum
Pidana, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 166
[6] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana
Bagian II Fenafsiran Hukum Pidana,Dasar
Peniaadaan,pemberat dan peringan,kejahatan aduan,perbarengan dan ajaran
kausalitas, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 117-119
[8] R. Soesilo, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA (KUHP) Serta Komentar Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor :
Politea, 1991), hlm. 73-75.