1.
a)
IDEALISME
Idealisme adalah suatu aliran filsafat yang paling tua yang umumnya disandarkan dengan filsuf besar Plato. Aliran ini memiliki suatu keyakinan bahwa realitas ini terdiri dari subtansi sebagaimana ide-ide atau spirit. Alam nyata tergantung pada Tuhan sebagai Jiwa Universal. Alam nyata ini adalah pancaran dan ekspresi dari Jiwa Universal itu. Realitas yang sesungguhnya bukanlah terletak pada bendanya, tetapi pada sesuatu yang berada didalam dan mengikat zat tersebut, sehingga ia menjadi wujud. Pengetahuan menurut aliran ini tidak lain adalah yang ada dalam ruang idea.[1]
Aliran filsafat Plato dapat dilihat sebagai suatu reaksi terhadap kondisi
perubahan terus-menerus yang telah meruntuhkan budaya Athena lama. Ia
merumuskan kebenaran sebagai sesuatu yang sempurna dan abadi (eternal).
Dan sudah terbukti, bahwa dunia eksistensi keseharian senantiasa mengalami
perubahan. Dengan demikian, kebenaran tidak bisa ditemukan dalam dunia materi
yang tidak sempurna dan berubah. Plato percaya bahwa disana terdapat kebenaran yang universal dan
dapat disetujui oleh semua orang. Contohnya dapat ditemukan pada matematika,
bahwa 5 + 7 = 12 adalah selalu benar (merupakan kebenaran apriori), contoh
tersebut sekarang benar, dan bahkan di waktu yang akan datang pasti akan tetap
benar[2].
1)
Tokoh-Tokoh
Aliran Idealisme
Aliran
ini banyak melahirkan tokoh-tokoh besar yang sangat berpengaruh, di antara
nya
yaitu:
Ø Plato (477
-347 SM)
Menurut
Plato, kebaikan merupakan hakikat tertinggi dalam mencari kebenaran. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi
pengalaman. Siapa saja yang telah mengetahui ide, manusia akan mengetahui jalan
yang pasti, sehingga dapat menggunakannya sebagai alat untuk mengukur,
mengklarifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari.
Ø J. G. Fichte
(1762-1914 M.)[3]
Ia adalah seorang filsuf Jerman. Ia belajar teologi di Jena (1780-1788 M).
Pada tahun 1810-1812 M, ia menjadi rektor Universitas Berlin.
Filsafatnya disebut “Wissenschaftslehre” (ajaran ilmu pengetahuan). Secara sederhana pemikiran Fichte:
manusia memandang objek benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindra objek
tersebut, manusia berusaha mengetahui yang dihadapinya. Maka berjalanlah proses
intelektualnya untuk membentuk dan mengabstraksikan objek itu menjadi
pengertian seperti yang dipikirkannya.
Ø G. W. F.
Hegel (1770-1031 M.)[4]
Ia belajar teologi di Universitas Tubingen dan pada tahun 1791 memperoleh
gelar Doktor. Inti dari filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh atau spirit), suatu istilah yang di ilhami oleh agamanya. Ia berusaha menghubungkan yang mutlak dengan yang
tidak mutlak. Yang mutlak itu roh atau jiwa, menjelma pada alam dan dengan
demikian sadarlah ia akan dirinya. Roh itu dalam intinya ide (berpikir).
2)
Idealisme dalam Pendidikan
Aliran idealisme terbukti cukup banyak berpengaruh dalam dunia
pendidikan. Idealisme terpusat tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah
satu-satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia
sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekedar kebutuhan alam semata.
Bagi aliran idealisme, peserta didik merupakan pribadi tersendiri, sebagai
makhluk spiritual. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu
kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya
spiritual. Sejak idealisme sebagai aliran filsafat pendidikan menjadi keyakinan
bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya
pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan filsafat idealisme
berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak atau
materi pelajaran, juga bukan masyarakat tapi idealisme. Maka tujuan pendidikan
menurut aliran idealisme terbagi atas tiga hal, tujuan untuk individual,
masyarakat, dan campuran antara keduanya.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik
bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis, dan pada akhirnya
diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan
tujuan pendidikan idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan
antar manusia. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan
antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan
dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
b)
REALISME
Pada hakikatnya kelahiran realisme sebagai suatu aliran
dalam filsafat sebagai sintesis antara filsafat idealisme Immanuel Kant di satu sisi dan empirisme John Locke di sisi lainnya. Realisme ini kadang kala disebut juga
neo rasonalisme. John Locke memandang
bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat metafisik dan universal. Ia berkeyakinan
bahwa sesuatu dikatakan benar jika didasarkan pada pengalaman-pengalaman
indrawi, sifatnya induksi. John Locke menyangkal
kebenaran akal.[5]
Gagasan filsafat realisme
terlacak dimulai sebelum periode abad
masehi dimulai, yaitu dalam pemikiran murid Plato bernama Aristoteles (384-322
SM). Sebagai murid Plato, sedikit banyak Aristoteles tentu saja memiliki
pemikiran yang sangat dipengaruhi Plato dalam berfilsafat. Dalam
keterpengaruhannya, Aristoteles memiliki sesuatu perbedaan pemikiran yang
membuatnya menjadi berbeda dengan Plato[6].
Aristoteles memandang
dunia dalam terma material. Segala sesuatu yang ada dihadapan kita adalah
sesuatu yang riil dan terpisah dari alam pikiran, namun ia dapat memunculkan
pikiran melalui upaya selektif terhadap berbagai pengalaman dan melalui
pendayagunaan fungsi akal. Jadi, realitas yang ada adalah dalam wujud natural,
sehingga dapat dikatakan bahwa segala sesuatu selalu digerakkan oleh alam.[7]
c) MATERIALISME
1.
Sejarah Lahirnya Aliran Filsafat Materialisme
Demokritos
(460-360 SM), merupakan pelopor pandangan materialisme klasik, yang disebut
juga “atomisme”. Demokritos beserta para pengikutnya beranggapan bahwa segala
sesuatu terdiri dari bagian-bagian kecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi
(yang disebut atom). Atom-atom merupakan bagian dari yang begitu kecil sehingga
mata kita tidak dapat melihatnya. Atom-atom itu bergerak, seehingga dengan
demikian membentuk realitas pada pancaindera kita.
Ludwig Feuerbach (1804-1872)
mencanangkan suatu meta-fisika materialistis, suatu etika yang humanistis, dan
suatu epistemology yang menjungjung tinggi pengenalan inderawi. Oleh karena
itu, ia ingin mengganti idealisme Hegel (guru Feuerbach) dengan materialisme.
Jadi, menurut Feuerbach, yang ada hanyalah materi, tidak mengenal alam
spiritual. Kepercayaan terhadap Tuhan hanyalah merupakan suatu proyeksi dari
kegagalan atau ketidakpuasan manusia mencapai cita-cita kebahagiaan dalam
hidupnya. Dengan kegagalan tersebut manusia memikirkan suatu wujud di luar yang
dikhayalkan memiliki kesempurnaan, yang merupakan sumber kebahagiaan manusia,
suatu wujud yang bahagia secara absolute. Oleh karena iu, Tuhan hanyalah
merupakan hasil khayalan manusia. Tuhan diciptakan oleh manusia itu sendiri,
secara maya, padahal wujudnya tidak ada.
Cabang materialisme yang banyak
diperhatikan orang dewasa ini, dijadikan sebagai landasan berpikir adalah
“Positivisme”. Menurut positivisme, kalau sesuatu itu memang ada, maka adanya
itu adalah jumlahnya.
Comte membatasi pengetahuan pada
bidang gejala-gejala (fenomena). Menurut Comte, terdapat tiga perkembangan
berpikir yang dialami manusia, yaitu:
1. Tingkatkan teologis (pola berpikir
manusia dikuasai oleh tahayul dan prasangka)
2. Tingkatkan metafisik (pola berpikir
abstrak)
3. Tingkatkan positif (pola berpikir yang
mendasarkan pada sains)
Zaman positif (Harun Hadiwijono,
1980) adalah zaman dimana orang tahu, bahwa tiada gunanya untuk berusaha
mencapai pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologi maupun metafisik. Ia
tidak lagi melacak awal dan tujuan akhir dari seluruh alam semesta tapi
berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan aturan yang terdapat pada
fakta-fakta yang telah dikenal atau disajikan kepadanya.
Jadi, dikatakan positivisme, Karena
mereka beranggapan bahwa yang dapat kita pelajari hanyalah berdasarkan
fakta-fakta, berdasarkan data-data yang nyata, yaitu yang mereka namakan
positif.
Thomas Hobbes sebagai pengikut
empirisme materialistis berpendapat bahwa pengalaman merupakan awal dari segala
pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan
dikukuhkan oleh pengalaman. Hanya pengalamanlah yang memberi kepastian.
Pengetahuan melalui akal hanya memiliki fungsi mekanis semata, sebab pengenalan
dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan (Harun
Hadiwijono, 1980).
2.
Tokoh-tokoh Aliran Materialisme
Terdapat beberapa tokoh-tokoh yang
terdapat pada aliran materialisme:
a. Demokritos (460-360 SM)
Demokritos
merupakan pelopor pandangan materialisme klasik, yang disebut juga “atomisme”.
b. Julien de Lamettrie (1709-1751)
Mengemukakan
pemikirannya bahwa binatang dan manusia tidak ada bedanya,karena semuanya
dianggap sebagai mesin. Buktinya,bahan (badan) tanpa jiwa mungkin hidup
(bergerak),sedangkan jiwa tanpa bahan (badan) tidak mungkin ada. Jantung katak
yang dikeluarkan dari tubuh katak masih berdenyut (hidup) walau beberapa saat
saja.
c. Ludwig Feuerbach (1804-1972)
Ludwig Fuerbach
mencanangkan suatu metafisika,suatu etika yang humanistis,dan suatu
epistemology yang menjunjung tinggi pengenalan inderawi. Oleh karena itu,ia
ingin mengganti idealisme Hegel (guru Feurbach) dengan materialisme.
d. Karl Marx (1818-1883)
Nama lengkap
Karl Heinrich Marx,dilahirkan di Trier,Prusia,Jerman. Sewaktu menjadi mahasiswa
ia terpengaruh oleh ajaran Hegel dan dapat mencapai gelar dokter dalam bidang
filsafat. Pemikiran Karl mark disebut pula dialektik materialisme dan historis
materialisme. Di dalam berpikir,Karl Marx menggunakan dialektika dari
Hegel,oleh sebab itu disebut dialektika materialisme. Demikian pula disebut
historis materialisme karena berdasarkan kepada perkembangan masyarakat atau
sejarah atas materinya.
3.
Konsep Dasar Filsafat Materialisme
Materialisme berpandangan bahwa
hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan spiritual, atau
supranatural.
Filsafat materialisme memandang
bahwa materi lebih dahulu ada sedangkan ide atau pikiran timbul setelah melihat
materi. Dengan kata lain materialisme mengakui bahwa materi menentukan ide,
bukan ide menentukan materi. Contoh: karena meja atau kursi secara objektif
ada, maka orang berpikir tentang meja dan kursi. Bisakah seseorang memikirkan
meja atau kursi sebelum benda yang berbentuk meja dan kursi belum atau tidak
ada.
1. Ciri-ciri filsafat materialisme
Segala yang ada
(wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi
Tidak meyakini
adanya alam ghaib
Menjadikan
panca-indera sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu
Memposisikan
ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakkan hukum
Menjadikan
kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlaq
2. Variasi aliran filsafat materialisme
Aliran
materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme
metafisik.
Filsafat
Materialisme Dialektika
Materialisme
dialektika adalah materialisme yang memandang segala sesuatu selalu berkembang
sesuai dengan hukum-hukum dialektika: hukum saling hubungan dan perkembangan
gejala-gejala yang berlaku secara objektif didalam dunia semesta.
Pikiran-pikiran materialisme dialekti inipun dapat kita jumpai dalam kehidupan
misalnya, “bumi berputar terus, ada siang ada malam”, “habis gelap timbullah
terang”, “patah tumbuh hilang berganti” dsb. Semua pikiran ini menunjukkan
bahwa dunia dan kehidupan kita senantiasa berkembang.
Filsafat
Materialisme Metafisik
Materialisme
metafisik, yang memandang dunia secara sepotong-sepotong atau dikotak-kotak,
tidak menyeluruh dan statis. Pikiran-pikiran materialisme metafisik ini
misalnya: “sekali maling tetap maling”, memandang orang sudah ditakdirkan,
tidak bisa berubah.
4.
Pemikiran Filsafat Pendidikan Materialisme
Karakteristik
umum materialisme pada abad delapan belas berdasarkan pada suatu asumsi bahwa
realitas dapat dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami perubahan
gerak dalam ruang (Randal,et.al,1942). Asumsi tersebut menunjukkan bahwa :
1) Semua sains
seperti biologi, kimia, psikologi, fisika, sosiologi, ekonomi, dan yang
lainnya ditinjau dari dasar
fenomena materi yang berhubungan secara kausal (sebab akibat). jadi, semua
sains merupakan cabang dari sains mekanika;
2) Apa yang
dikatakan “jiwa” (mind) dan segala kegiatannya (berpikir, memahami) adalah
merupakan suatu gerakan yang kompleks dari otak,system urat saraf, atau
orga-organ jasmani yang lainnya.
3) Apa yang
disebut dengan nilai dan cita-cita,makna dan tujuan hidup, keindahan dan
kesenangan, serta kebebasan,hanyalah sekedar nama-nama atau semboyan, symbol
subjektif manusia untuk situasi atau hubungan fisik yang berbeda.
2.5. Implikasi
Aliran Filsafat Materialisme untuk Pendidikan
Menurut Power (1982), implikasi
aliran filsafat pendidikan materialisme, sebagai berikut:
1. Temanya
yaitu manusia yang baik dan efisien
dihasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara ilmiah dan seksama.
2.Tujuan
pendidikan merupakan perubahan perilaku, mempersiapkan manusia sesuai dengan
kapasitasnya, untuk tanggung jawab hidup sosial dan pribadi yang kompleks.
3. Isi
kurikulum pendidikan yang mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya (handal),
dan diorganisasi, selalu berhubungan dengan sasaran perilaku.
4. Metode,
semua pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi (SR conditioning), operant
condisioning, reinforcement, pelajaran berprogram dan kompetisi.
5. Kedudukan siswa tidak ada kebebasan, perilaku
ditentukan oleh kekuatan dari luar, pelajaran sudah dirancang, siswa
dipersiapkan untuk hidup, mereka dituntut untuk belajar.
2.6. Kelebihan
dan Kekurangan Filsafat Materialisme untuk Pendidikan
Jika
dibandingkan dengan aliran filsafat yang lain aliran filsafat materialisme
adalah aliran yang mendapatkan kritikan dari berbagai pihak, terutama dalam anggapannya
yang hanya meyakini bahwa tidak ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak.
Mereka menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya. Materialisme
adalah aliran yang memandang bahwa segala sesuatu adalah relitas, dan realitas
seluruhnya adalah materi belaka. Kenyataan bersifat material dipandang bahwa
segala sesuatu yang hendak dikatakannya adalah berasal dari materi dan berakhir
dengan materi atau berasal dari gejala yang bersangkutan dengan materi.
Untuk
pendidikan, materialisme memandang bahwa proses belajar merupakan proses
kondisionisasi lingkungan serta menekankan pentingnya keterampilan dan
pengetahuan akademis empiris sebagai hasil kajian sains atau alam, sedangkan
perilaku sosial sebagai hasil belajar.
Namun meskipun
aliran filsafat materialisme mendapat kritikan dari berbagau pihak tapi didalam
pendidikan masih sering juga kita temui penerapannya dalam pembelajaran seperti
menyodorkan setumpuk buku ke peserta didik .