I. KEIMANAN
A.
Hubungan Iman, Islam, Ihsan dan Hari Kiamat (LM: 5)
حَدِيْثُ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ:
مَا الْإِيْمَانُ؟ قَالَ: «الْإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَبِلِقَائِهِ
وَبِرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالبَعْثِ» قَالَ: مَا الْإِسْلَامُ؟ قَالَ: «الْإِسْلَامُ
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ وَلَا تُشرِكَ بِهِ وَتُقِيْمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَكَاةَ
المـَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ» قَالَ: مَا الْإِحْسَانُ؟ قَالَ: «أَنْ تَعْبُدَ
اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ» قَالَ: مَتَى
السَّاعَةُ؟ قَالَ: «مَا المـَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ، وَسَأُخْبِرُكَ
عَنْ أَشْرَاطِهَا؛ إِذَا وَلَدَتِ الأَمَةُ رَبَّهَا، وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الإبِلِ
البَهْمُ فِي البُنْيَانِ، فِي خَمْسٍ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ» ثُمَّ تَلَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ)
الآيَة، ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ: «رُدُّوهُ» فَلَمْ يَرَوْا شَيْئاً، فَقَالَ: «هَذَا
جِبْرِيْلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِيْنَهُمْ». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[1]
Ĥadīś riwayat Abū Hurairah , ia
berkata; bahwa Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam pada suatu hari muncul bersama
para sahabat, lalu datanglah orang asing yang kemudian bertanya: “Apakah iman
itu?” Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam menjawab: “Iman adalah kamu beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, percaya akan bertemu dengan-Nya, beriman
kepada rasul-rasul-Nya, dan beriman kepada hari kebangkitan.” Orang asing itu
berkata: “Apakah Islam itu?” Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam menjawab: “Islam
adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan suatu
apapun, kamu dirikan şalat, kamu tunaikan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa
di bulan Ramađan”. itu berkata: “Apakah iĥsān itu?” Nabi şallaLlāhu ‘alaihi
wasallam menjawab: “Kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya dan
andaipun kamu tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu”. Orang itu berkata
lagi: “Kapan terjadinya hari kiamat?” Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam
menjawab: “Yang ditanya tentang itu tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tapi
aku akan terangkan tanda-tandanya; yaitu jika seorang budak telah melahirkan
tuannya, jika para penggembala unta yang berkulit hitam berlomba-lomba
membangun gedung-gedung selama lima masa, yang tidak diketahui lamanya kecuali
oleh Allah”. Kemudian Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam membaca ayat:
“Sesungguhnya hanya pada Allah pengetahuan tentang hari kiamat” (QS. Luqman:
34). Setelah itu orang asing tersebut pergi, kemudian Nabi şallaLlāhu ‘alaihi
wasallam berkata; “Coba jemput kembali orang itu ke sini.” Tetapi para sahabat
tidak melihat sesuatupun, maka Nabi bersabda; “Dia adalah Malaikat Jibril yang
datang kepada manusia untuk mengajarkan agama mereka”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś
no. 48)
B. Berkurangnya Iman dan Islam karena Maksiat
(LM: 36)
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ،
وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ
حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَزَادَ فِي رِوايَةٍ وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ
شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ أَبْصارَهُمْ فِيهَا حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ
مُؤْمِنٌ». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[2]
Ĥadīś riwayat Abū Hurairah
rađiyaLlāhu ‘anhu, ia berkata; Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Seorang pezina tidak akan berzina di mana ketika sedang berzina ia dalam
keimanan yang prima. Dan seseorang tidak akan meminum khamar di mana ketika
sedang minum-minum ia dalam keimanan yang prima. Dan seorang pencuri tidak akan
mencuri di mana ketika sedang mencuri ia dalam keimanan yang prima. Dan seorang
mulia yang terpandang tidak akan merampas hak orang di mana ketika sedang
merampas ia dalam keimanan yang prima.” (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 2295)
C.
Rasa Malu Sebagian dari Iman (LM: 22)
حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ
فِي الْحَيَاءِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «دَعْهُ فَإِنَّ
الْحَيَاءَ مِنَ الإِيْمَانِ». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[3]
Ĥadīś riwayat Ibnu ‘Umar rađiyaLlāhu
‘anhu, bahwa Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam berjalan melewati seorang
sahabat dari Anşār yang saat itu sedang memberi pengarahan kepada saudaranya
tentang malu. Maka Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Biarkan ia
begitu, karena sesungguhnya malu adalah bagian dari iman.” (Şaĥīĥ al-Bukhāriy
ĥadīś no. 23)
II. IMAN DALAM KEHIDUPAN
SOSIAL
A.
Cinta Sesama Muslim Sebagian dari Iman (AN: 4)
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ
لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ». ﴿رَوَاهُ البُخَارِيّ وَمُسْلِم وأَحْمَد والنَّسَائِي﴾
Dari Anas rađiyaLlāhu ‘anhu tentang
Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidaklah seseorang dari
kalian dianggap benar-benar beriman sampai dia mampu mencintai saudaranya
sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 12)
B. Ciri Seorang Muslim Tidak Mengganggu Orang
Lain (AN: 3)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا
نَهَى اللَّهُ عَنْهُ». ﴿رَوَاهُ البُخَارِيّ وأَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيّ﴾
Dari ‘Abdullah ibn ‘Amru rađiyaLlāhu
‘anhuma, ia berkata; Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang
muslim yang sempurna adalah orang yang mampu membebaskan kaum muslimin lainnya
dari gangguan lidah dan tangannya sendiri. Dan seorang muhajir adalah orang
yang meninggalkan apa yang Allah larang.” (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 6003)
C.
Realisasi Iman Dalam Menghadapi Tamu (AN: 47)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ». ﴿رَوَاهُ الشَّيْخَانِ وَابْنُ مَاجَه وَاللَّفْظُ
لِلْبُخَارِيّ﴾
Dari Abū Hurairah rađiyaLlāhu ‘anhu,
ia berkata; Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia berkata yang baik-baik atau
hendaknya ia diam. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir,
janganlah ia menyakiti tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan
hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.” (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no.
5994)
III.
IKHLAS BERAMAL
A.
Niat/Motivasi Beramal (RS: 1)
عَنْ أَمِيْرِ اْلمُؤْمِنِينَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ
بْنِ الخَطَّابِ بْنِ نُفَيْلِ بْنِ عَبْدِ العُزّى بْنِ رِيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللهِ
بْنِ قُرْطِ بْنِ رَزَاحِ بْنِ عَدِي بْنِ كَعَب بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبٍ القُرشِيِّ
العَدَوِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إنّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرُتُهُ إِلَى
اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَاَنت هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ
يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْه». ﴿مُتَّفَقٌ عَلَى صِحَّتِهِ﴾
Dari Amirul-Mu’minin Abū Ĥafş ‘Umar
ibn al-Khaţţāb ibn Nufail ibn ‘Abdi al-‘Uzzā ibn Riyāĥ ibn ‘Abdillāh ibn Qurţi
ibn Razāĥ ibn ‘Adiy ibn Ka’ab ibn Lu’ay ibn Ġālib al-Qurasyiy al-‘Adawiy
rađiyaLlāhu ‘anhu, ia berkata: saya mendengar Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap
orang mendapatkan sesuatu tergantung atas apa yang telah ia niatkan. Maka
barang siapa yang niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya
akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang niat hijrahnya
karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang
ingin dinikahinya, maka hijrahnya hanya akan sampai kepada apa yang telah dia
niatkan” (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 1)
B. Menjauhi Perbuatan Riya/Syirik Kecil
(BM:1512)
وَعَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَخْوَفَ مَا
أَخَافُ عَلَيْكُمْ اَلشِّرْكُ اَلْأَصْغَرُ: اَلرِّيَاءُ». ﴿أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ بِسَنَدٍ
حَسَنٍ﴾
Dari Maĥmūd bin Labīd rađiyaLlāhu
‘anhu, ia berkata: Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah syirik kecil:
Riya`.” (Musnad Aĥmad ibn Ĥanbal ĥadīś no. 22528)
IV.
TINGKAH LAKU TERPUJI
A.
Pentingnya Kejujuran (RS: 623)
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ البَاهِليِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنَا زَعِيمٌ ببَيْتٍ
فِي رَبْضِ الجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ المِرَاءَ، وَإنْ كَانَ مُحِقّاً، وَبِبَيْتٍ في
وَسَطِ الجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الكَذِبَ، وَإنْ كَانَ مَازِحاً، وَبِبَيْتٍ في أعلَى
الجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ». ﴿رَوَاهُ أَبُو دَاوُد بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ﴾
Dari Abū Umāmah al-Bāhiliy, ia
berkata, “Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku akan menjamin
suatu rumah di tepi surga bagi seseorang yang meninggalkan perdebatan meskipun
benar. Aku juga menjamin rumah di tengah surga bagi seseorang yang meninggalkan
kedustaan meskipun di saat bergurau, Dan aku juga menjamin rumah di surga yang
paling tinggi bagi seseorang yang berakhlak baik.” (Sunan Abū Dāud ĥadīś no.
4167)
B. Kejujuran Membawa Kebajikan (LM: 1675)
حَدِيثُ عَبْدِ الله بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِنَّ الصِّدْقَ
يَهْدِي إِلَى البِرِّ، وَإِنَّ البِرَّ يَهْدِي إِلَى الجَنَّةِ، وإِنَّ الرَّجُلَ
لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا. وَإِنَّ الكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الفُجُورِ، وَإِنَّ
الفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ
الله كَذَّابًا». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾
Ĥadīś riwayat ‘Abdullah ibn Mas’ud
rađiyaLlāhu ‘anhu tentang Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan itu akan
membimbing ke surga, sesungguhnya jika seseorang yang senantiasa berlaku jujur,
ia akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu akan
mengantarkan pada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke
neraka. Dan sesungguhnya jika seseorang yang selalu berdusta, ia akan dicatat
sebagai seorang pendusta.” (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 5629)
C.
Orang Yang Jujur Dapat Pertolongan Allah (AN: 19)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ
يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ
اللَّهُ». ﴿رَوَاهُ البُخَارِيّ وَابْنُ مَاجَه وَغَيْرُهُمَا﴾
Dari Abū Hurairah rađiyaLlāhu ‘anhu
dari Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang mengambil harta
manusia (berhutang) disertai maksud akan membayarnya maka Allah akan
membayarkannya untuknya, sebaliknya siapa yang mengambilnya dengan maksud
merusaknya (merugikannya) maka Allah akan merusak orang itu”. (Şaĥīĥ
al-Bukhāriy ĥadīś no. 2212)
V. DOSA-DOSA BESAR
A.
Menyekutukan Tuhan (LM: 55)
حَدِيثُ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: سُئِلَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكَبَائِرِ، قَالَ: «الإِشْرَاكُ
بِاللهِ، وَعُقُوقُ الْوالِدَيْنِ، وَقَتْلُ النَّفْسِ، وَشَهادَةُ الزّورِ». ﴿أَخْرَجَهُ
البُخَارِيّ﴾[4]
Ĥadīś riwayat Anas rađiyaLlāhu
‘anhu, ia berkata; Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam ditanya tentang kaba’ir
(dosa-dosa besar). Maka Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah, durhaka kepada
kedua orangtua, membunuh orang dan bersumpah palsu” (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś
no. 2459)
B. Tujuh Macam Dosa Besar (LM: 56)
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ»
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَما هُنَّ؟ قَالَ: «الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ
النَّفْسِ الَّتي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ
الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِناتِ
الْغافِلَاتِ». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[5]
Ĥadīś riwayat Abū Hurairah
rađiyaLlāhu ‘anhu dari Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”. Para sahabat bertanya: “Wahai
Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh
jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan riba, makan harta
anak yatim, kabur dari medan peperangan dan menuduh seorang wanita mu’min yang
suci berbuat zina”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 2560)
VI.
ETOS KERJA
A.
Pekerjaan Yang Paling Baik (BM: 800)
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ،
أَنَّ اَلنَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ؟
قَالَ: «عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ، وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ». ﴿رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ،
وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ﴾
Dari Rifah bin Rafi’ rađiyaLlāhu
‘anhu bahwa Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam pernah ditanya: Mata pencaharian
apakah yang paling baik? Beliau bersabda: “Hasil pekerjaan seseorang dari
tangannya sendiri dan setiap jual-beli yang bersih (mabrur)”. (Musnad Aĥmad ibn
Ĥanbal ĥadīś no. 16628)
B. Larangan Meminta-Minta (LM: 612, 613, 618)
حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، وَذَكَرَ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ
وَالْمَسْئَلَةَ: «الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى، فَالْيَدُ الْعُلْيَا
هِيَ الْمُنْفِقَةُ، وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[6]
Ĥadīś riwayat Ibnu ‘Umar rađiyaLlāhu
‘anhuma, ia mengabarkan bahwa Rasulullah ŞallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda ketika berada di atas mimbar, di
antaranya Beliau menyebut tentang shadaqah, menjaga kesucian diri, dan
meminta-minta: “tangan yang di atas lebih baik dari pada tangan yang di bawah.
Tangan yang di atas adalah yang memberi (mengeluarkan infaq) sedangkan tangan
yang di bawah adalah yang meminta”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 1339)
حَدِيثُ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ
مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ
غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ».
﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[7]
Ĥadīś riwayat Ĥakīm bin Ĥizām
rađiyaLlāhu ‘anhu tentang Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Tangan yang di atas lebih baik dari pada tangan yang di bawah, maka mulailah
bersedekah kepada orang-orang yang menjadi tanggunganmu dan sedekah yang paling
baik adalah sedekah yang berasal dari orang yang sudah cukup (untuk kebutuhan
dirinya). Maka barangsiapa yang berusaha memelihara dirinya, Allah akan
memeliharanya dan barangsiapa yang berusaha mencukupkan dirinya maka Allah akan
mencukupkannya”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 1338)
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ
حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ».
﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[8]
Ĥadīś riwayat Abū Hurairah rađiyaLlāhu
‘anhu, ia berkata; Rasulullah ŞallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh, seorang dari kalian yang
memanggul kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya lebih baik baginya daripada
dia meminta kepada orang lain, baik orang lain itu memberinya atau menolaknya”.
(Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 1932)
C.
Mukmin Yang Kuat Dapat Pujian (AN: 88)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ
خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ
عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ
فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ
وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ». ﴿أَخْرَجَهُ مُسْلِم﴾
Dari Abū Hurairah rađiyaLlāhu ‘anhu,
ia berkata: “Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang mukmin
yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada
orang mukmin yang lemah. Pada masing-masing memang terdapat kebaikan. Capailah
dengan sungguh-sungguh apa yang berguna bagimu, mohonlah pertolongan kepada
Allah ‘Azza wa Jalla dan janganlah kamu menjadi orang yang lemah. Apabila kamu
tertimpa suatu kemalangan, maka janganlah kamu mengatakan; ‘Seandainya tadi
saya berbuat begini dan begitu, niscaya tidak akan menjadi begini dan begitu’.
Tetapi katakanlah; ‘Ini sudah takdir Allah dan apa yang dikehendaki-Nya pasti
akan dilaksanakan-Nya. Karena sesungguhnya ungkapan kata ‘law’ (seandainya)
akan membukakan jalan bagi godaan syetan.'” (Şaĥīĥ Muslim ĥadīś no. 4816)
VII. TANGGUNG JAWAB KEPEMIMPINAN
A.
Setiap Muslim Adalah Pemimpin (LM: 1199)
حَدِيثُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ،
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ،
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ
رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكمْ رَاعٍ وَكُلُّكمْ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[9]
Ĥadīś riwayat Ibnu ‘Umar rađiyaLlāhu
‘anhuma, ia mengabarkan bahwa Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung
jawaban atas yang dipimpinnya. Seorang pemimpin orang banyak adalah pemimpin,
dan dia akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah
pemimpin dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang
isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan dia akan
dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang
pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan dia akan dimintai
pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut. Ingatlah, setiap
kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas
yang dipimpinnya.” (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 844)
B. Pemimpin Adalah Pelayan Masyarakat (LM:
1200)
حَدِيثُ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ عَنِ الْحَسَنِ، أَنَّ
عُبَيْدَ اللهِ بْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ
فِيهِ، فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ: إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَةً فَلَمْ يَحُطْهَا
بِنَصِيحَةٍ إِلاَّ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[10]
Ĥadīś riwayat Ma’qil bin Yasār dari
al-Ĥasan, ia mengabarkan bahwa ‘Abdullah bin Ziyād telah mengunjungi Ma’qil bin
Yasār ketika sakitnya yang menjadikan kematiannya, lantas Ma’qil mengatakan kepadanya;
‘”Saya sampaikan ĥadīś kepadamu yang aku dengar dari Rasulullah ŞallaLlāhu
‘alaihi wasallam , aku mendengar Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah seorang hamba yang Allah beri amanat untuk memimpin suatu rakyat,
lalu dia tidak menindaklanjutinya dengan baik, melainkan ia tak akan dapat
mencium bau surga.” (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 6617)
C.
Batas Ketaatan Kepada Pemimpin (LM: 1205, 1206)
حَدِيثُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ
الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ؛ فَإِذَا أُمِرَ
بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[11]
Ĥadīś riwayat Ibnu ‘Umar rađiyaLlāhu
‘anhuma tentang Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mendengar dan taat
kepada pemimpin muslim adalah kewajiban baik dalah hal yang ia sukai atau ia
benci, selama ia tidak diperintah untuk berbuat maksiat. Apabila diperintah
berbuat maksiat maka tidak ada (kewajiban) untuk mendengar dan taat”. (Şaĥīĥ
al-Bukhāriy ĥadīś no. 2735)
حَدِيثُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: بَعَثَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلاً
مِنَ الأَنْصَارِ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يُطِيعُوهُ فَغَضِبَ عَلَيْهِمْ، وَقَالَ: أَلَيْسَ
قَدْ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُطِيعُونِي قَالُوا:
بَلَى، قَالَ: عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ لَمَا جَمَعْتُمْ حَطَبًا وَأَوْقَدْتُمْ نَارًا
ثُمَّ دَخَلْتُمْ فِيهَا فَجَمَعُوا حَطَبًا، فَأَوْقَدُوا فَلَمَّا هَمُّوا بِالدُّخُولِ،
فَقَامَ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلى بَعْضٍ، قَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّمَا تَبِعْنَا النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِرَارًا مِنَ النَّارِ، أَفَنَدْخُلُهَا فَبَيْنَمَا
هُمْ كَذَلِكَ إِذْ خَمَدَتِ النَّارُ، وَسَكَنَ غَضَبُهُ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «لَوْ دَخَلُوهَا مَا خَرَجُوا مِنْهَا أَبَدًا،
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوف». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[12]
Ĥadīś riwayat ‘Aliy rađiyaLlāhu
‘anhu, ia mengatakan, Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam mengutus sebuah
ekspedisi dan mengangkat sahabat Anşār sebagai pemimpin mereka, dan beliau
memerintahkan mereka untuk menaatinya. Suayu ketika pemimpin Anşār marah itu marah
kepada mereka sambil berkata; “Bukankah Rasulullah ŞallaLlāhu ‘alaihi
wasallam telah memerintahkan kalian
untuk mentaatiku?” “Ya,” jawab mereka. Pemimpin itu pun berkata: “Karena itu,
aku ingin sekali jika kalian mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api,
kemudian kalian masuk ke dalamnya.” Mereka pun mengumpulkan kayu bakar dan
menyalakan api. Tatkala mereka ingin memasukinya, satu sama lain saling
memandang. Sebagian mengatakan; ‘bukankah kita ikut Nabi şallaLlāhu ‘alaihi
wasallam untuk menjauhkan diri dari api, apakah (sekarang) kita ingin
memasukinya? ‘ Tatkala mereka dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba api padam
dan kemarahannya mereda. Maka hal ini disampaikan kepada Nabi şallaLlāhu
‘alaihi wasallam lantas Nabi mengatakan; “Kalau mereka memasukinya, niscaya
mereka tidak bisa keluar dari api tersebut selama-lamanya”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy
ĥadīś no. 6612)
VIII. LARANGAN KORUPSI DAN KOLUSI
A.
Larangan Menyuap (BM: 1424)
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ:
لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
فِي اَلْحُكْمِ. ﴿رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ، وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيّ، وَصَحَّحَهُ اِبْنُ
حِبَّانَ﴾
Dari Abū Hurairah rađiyaLlāhu ‘anhu,
ia berkata; Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam melaknati penyuap dan yang
disuap dalam masalah hukum. (Sunan At-Tirmiżiy ĥadīś no. 1256)
B. Larangan Pejabat Menerima Hadiah (LM:
1202)
حَدِيثُ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ، أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ عَامِلاً، فَجَاءَهُ الْعَامِلُ
حِينَ فَرَغَ مِنْ عَمَلِهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ هذَا لَكُمْ، وَهذَا أُهْدِيَ
لِي فَقَالَ لَهُ: «أَفَلاَ قَعَدْتَ فِي بَيْتِ أَبيكَ وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى
لَكَ أَمْ لاَ؟» ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشِيَّةً،
بَعْدَ الصَّلاَةِ، فَتَشَهَّدَ وَأَثْنَى عَلَى اللهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ
قَالَ: «أَمَّا بَعْدُ، فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ فَيَأْتِينَا فَيَقُولُ
هذَا مِنْ عَمَلِكمْ، وَهذَا أُهْدِيَ لِي، أَفَلاَ قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ
فَنَظَرَ هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ؟ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَغُلُّ
أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى
عُنُقِهِ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ، وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ
بِهَا لَهَا خوَارٌ، وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ، فَقَدْ بَلَّغْتُ»،
فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ: ثُمَّ رَفَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَدَهُ حَتَّى إِنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى عُفْرَةِ إِبْطَيْهِ. ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[13]
Ĥadīś riwayat Abu Ĥumaid As-Sa’idi
bahwasanya ia mengabarkan bahwa Rasulullah ŞallaLlāhu ‘alaihi wasallam
mempekerjakan karyawan zakat (‘amil). Setelah selesai dari kerjanya, ‘amil tadi
mendatangi Nabi dan berujar; ‘Wahai Rasulullah, ini untukmu dan ini dihadiahkan
untukku’. Lantas Nabi bersabda: “tidakkah kamu duduk-duduk saja di rumah ayahmu
atau ibumu kemudian kamu cermati, apakah kamu memperoleh hadiah ataukah tidak?”
Kemudian Rasulullah ŞallaLlāhu ‘alaihi wasallam berdiri diwaktu sore setelah
berdoa, bersyahadat, dan memuji Allah dengan puji-pujian yang semestinya
bagi-Nya, kemudian beliau memulai: “Amma ba’du. Ada apa gerangan dengan ‘amil
zakat yang kami pekerjakan, dia mendatangi kami dan berujar; ‘Ini dari hasil
pekerjaan kalian dan ini hadiah untukku, tidakkah ia duduk-duduk saja di rumah
ayahnya atu ibunya lantas ia cermati, apakah ia memperoleh hadiah ataukah
tidak? Demi dzat yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, tidaklah salah seorang
diantara kalian mengambil harta tanpa haknya, selain pada hari kiamat nanti
harta itu ia pikul diatas tengkuknya, dan jika unta, ia akan memikulnya dan
mengeluarkan suara unta, dan jika sapi, maka sapi itu dipikulnya dan melenguh,
dan jika harta yang ia ambil berupa kambing, maka kambing itu akan mengembik.
Sungguh telah kusampaikan.” Kata Abu Humaid; ‘kemudian Rasulullah ŞallaLlāhu
‘alaihi wasallam mengangkat tangannya
hingga kami melihat warna putih ketiaknya. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 6145)
IX.
LARANGAN MENIMBUN DAN MEMONOPOLI
A.
Larangan Terhadap Tengkulak (BM: 827)
عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تَلَقَّوْا
اَلرُّكْبَانَ، وَلَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ» قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: مَا قَوْلُهُ:
«وَلَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ»؟ قَالَ: لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا. ﴿مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ﴾
Dari Ţāwus dari tentang Ibnu ‘Abbas
rađiyaLlāhu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Janganlah kalian songsong (cegat) kafilah dagang (sebelum mereka
sampai di pasar) dan janganlah orang kota menjual kepada orang desa”. Aku
bertanya kepada Ibnu ‘Abbas rađiyaLlāhu ‘anhuma: “Apa arti sabda Beliau; “dan
janganlah orang kota menjual untuk orang desa”. Dia menjawab: “Janganlah
seseorang jadi perantara (broker, calo) bagi orang kota”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy
ĥadīś no. 2013)
B. Larangan Menimbun Barang Pokok (BM: 833)
عَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يَحْتَكِرُ
إِلَّا خَاطِئٌ». ﴿رَوَاهُ مُسْلِم﴾
Dari Ma’mar bin Abdullah rađiyaLlāhu
‘anhu tentang Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Tidaklah orang yang menimbun barang, melainkan ia berdosa karenanya.” (Şaĥīĥ
Muslim ĥadīś no. 3013)
X. TINGKAH LAKU TERCELA
A.
Buruk Sangka (LM: 1660)
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ
رَسُولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ
الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ. وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَنَاجَشُوا،
وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَبَاغُضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا. وَكُونوا عِبَادَ الله إِخْوَانًا».
﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾
Dari Abū Hurairah rađiyaLlāhu ‘anhu,
tentang Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jauhilah
berprasangka buruk, karena berprasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta,
janganlah kalian saling mencari-cari kesalahan, janganlah suka memata-matai,
jangan saling menjerumuskan, jangan saling dengki, serta saling membenci,
tetapi, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Şaĥīĥ al-Bukhāriy
ĥadīś no. 5604)
B. Ghibah dan Buhtan (RS: 1520)
عن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أنَّ رَسُولَ
الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : «أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟» قالوا
: اللهُ وَرَسُولُهُ أعْلَمُ، قَالَ : «ذِكْرُكَ أخَاكَ بِما يَكْرَهُ» قِيلَ : أفَرَأيْتَ
إنْ كَانَ في أخِي مَا أقُولُ؟ قَالَ : «إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ، فَقَد اغْتَبْتَهُ،
وإنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ». ﴿رَوَاهُ مُسْلِم﴾
Dari Abū Hurairah rađiyaLlāhu ‘anhu,
ia mengabarkan bahwa Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam pernah bertanya:
“Tahukah kamu, apakah ġībah itu?” Para sahabat menjawab; ‘Allah dan Rasul-Nya
lebih tahu.’ Kemudian Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “ġībah
adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.”’
Seseorang bertanya; ‘Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang
yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan? ‘ Rasulullah
şallaLlāhu ‘alaihi wasallam berkata: ”Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu
ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu
bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat
kebohongan terhadapnya.” (Şaĥīĥ Muslim ĥadīś no. 4690)
C.
Larang Berbuat Boros (Konsumtif) (RS: 340, 1778)
عن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ:
قَالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إنَّ اللهَ تَعَالَى يَرْضَى
لَكُمْ ثَلاَثاً، ويَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثاً : فَيَرْضَى لَكُمْ أنْ تَعْبُدُوهُ، وَلاَ
تُشْرِكُوا بِهِ شَيئاً، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُوا،
وَيَكْرَهُ لَكُمْ: قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وإضَاعَةَ المـَالِ». ﴿رَوَاهُ
مُسْلِم﴾
Dari Abū Hurairah rađiyaLlāhu ‘anhu,
dia berkata: Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya
Allah menyukai bagimu tiga perkara dan membenci tiga perkara; Dia menyukai
kalian supaya beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun, kalian berpegang teguh dengan agama-Nya dan tidak berpecah belah. Dan
Allah membenci kalian dari mengatakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya,
banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.” (Şaĥīĥ Muslim ĥadīś no. 3236)
XI.
PERSAUDARAAAN
A.
Persaudaraan Muslim (LM: 1671)
حَدِيثُ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِير. قَالَ: قَالَ
رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: «تَرَى المُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ، وَتَوادِّهِمْ،
وَتَعَاطُفِهِمْ، كَمَثَلِ الْجَسَدِ. إِذَا اشْتَكَى عضْوًا، تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ
جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ والحُمَّى». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾
Ĥadīś riwayat An-Nu’mān bin Basyīr,
ia berkata; Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kamu akan melihat
orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan
satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh
tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (Şaĥīĥ
al-Bukhāriy ĥadīś no. 5552)
B. Memelihara Silaturrahim (LM: 1657)
حَدِيثُ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ،
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ سَرَّهُ
أَنْ يُبْسَطَ لَهُ رِزْقُهُ، أَو يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ».
﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾
Dari Anas bin Malik rađiyaLlāhu
‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Siapa yang ingin diluaskan rezekinya atau meninggalkan nama sebagai orang baik
setelah kematiannya hendaklah dia menyambung silaturrahim”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy
ĥadīś no. 1925)
C.
Larangan Memutuskan Silaturrahim (LM: 1659)
حَدِيثُ أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ
الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لاَ يَحِل لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ
فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ. يَلْتَقِيَانِ، فَيُعْرِضُ هاذَا، وَيُعْرِضُ هاذَا. وَخَيْرُهُمَا
الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾
Dari Abu Ayyub Al-Anşāriy bahwa
Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak halal bagi seorang
muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga malam, (jika bertemu) yang ini berpaling
dan yang ini juga berpaling, dan sebaik-baik dari keduanya adalah yang memulai
mengucapkan salam.” (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 5613)
XII. TATA PERGAULAN
A.
Larangan Berduaan Tanpa Mahram (BM: 735)
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا،
سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَقُولُ: «لَا
يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ, وَلَا تُسَافِرُ اَلْمَرْأَةُ
إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ» فَقَامَ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ، إِنَّ اِمْرَأَتِي
خَرَجَتْ حَاجَّةً، وَإِنِّي اِكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: «اِنْطَلِقْ،
فَحُجَّ مَعَ اِمْرَأَتِكَ». ﴿مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ﴾
Ibnu Abbas ‘anhu, ia berkata: Saya
mendengar Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam berkhutbah seraya bersabda:
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali
wanita itu disertai mahramnya. Dan seorang wanita juga tidak boleh bepergian
sendirian, kecuali ditemani oleh mahramnya.” Tiba-tiba berdirilah seorang
laki-laki dan bertanya, “Ya, Rasulullah, sesungguhnya isteriku hendak
menunaikan ibadah haji, sedangkan aku telah ditugaskan pergi berperang ke sana
dan ke situ; bagaimana ini?” Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam pun
menjawab: “Tunaikanlah ibadah haji bersama isterimu.” (Şaĥīĥ Muslim ĥadīś no.
2391)
B. Sopan Santun dan Duduk di Jalan (AN: 29)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ
عَلَى الطُّرُقَاتِ» فَقَالوا: مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ
فِيهَا قَالَ: «فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا»
قَالُوا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ؟ قَالَ: «غَضُّ الْبَصَرِ، وَكَفُّ الأَذَى، وَرَدُّ
السَّلاَمِ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ». ﴿ رَوَاهُ البُخَارِيّ
ومُسْلِم وأَبُو دَاوُد ﴾[14]
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy
rađiyaLlāhu ‘anhuma tentang Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan”. Mereka bertanya: “Itu
kebiasaan kami yang sudah biasa kami lakukan karena itu menjadi majelis tempat
kami bercengkrama”. Beliau bersabda: “Jika kalian tidak mau meninggalkan
majelis seperti itu maka tunaikanlah hak jalan tersebut”. Mereka bertanya: “Apa
hak jalan itu?” Beliau menjawab: “Menundukkan pandangan, menyingkirkan
halangan, menjawab salam dan amar ma’ruf nahiy munkar”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy
ĥadīś no. 2285)
C.
Menyebarluaskan Salam (BM: 1559)
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ سَلَّامٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا أَيُّهَا
اَلنَّاسُ! أَفْشُوا اَلسَّلَامَ، وَصِلُوا اَلْأَرْحَامَ، وَأَطْعِمُوا اَلطَّعَامَ،
وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا اَلْجَنَّةَ بِسَلَامٍ». ﴿أَخْرَجَهُ
اَلتِّرْمِذِيّ وَصَحَّحَهُ﴾
Dari Abdullah bin Salam ‘anhu, ia
berkata: Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai sekalian
manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan dan laksanakanlah şalat pada
saat manusia tertidur niscaya kalian masuk surga dengan selamat.” (Sunan
At-Tirmiżiy ĥadīś no. 2409)
XIII. AJAKAN KEPADA KEBAIKAN
A.
Ajakan Kepada Yang Makruf dan Menjauhi Yang Munkar (RS: xxx)
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ، عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ
عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ». ﴿أَخْرَجَهُ
اَلتِّرْمِذِيّ وَقالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ﴾[15]
Dari Ĥużaifah bin Al Yamān tentang
Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku
berada di tangannya, hendaknya kalian beramar ma’ruf dan nahi munkar atau jika
tidak niscaya Allah akan mengirimkan siksa-Nya dari sisi-Nya kepada kalian,
kemudian kalian memohon kepada-Nya namun do’a kalian tidak lagi dikabulkan.”
(Sunan At-Tirmiżiy ĥadīś no. 2095)
B. Keutamaan Mengajak Kepada Kebaikan (AN:
84)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى
كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ يَتَّبِعُهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ
أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ
آثَامِ مَنْ يَتَّبِعُهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا». ﴿أَخْرَجَهُ
مُسْلِم وَمَالِك وأَبُو دَاوُد اَلتِّرْمِذِيّ﴾
Dari Abū Hurairah rađiyaLlāhu ‘anhu,
ia berkata: Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Barang
siapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala
yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka
sedikitpun. Sebaliknya, barang siapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan
mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi
dosa mereka sedikitpun.” (Şaĥīĥ Muslim ĥadīś no. 4831)
XIV. KEPEDULIAN SOSIAL
A.
Memperhatikan Kesulitan Orang Lain (BM: 1493)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ
كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ اَلدُّنْيَا، نَفَّسَ اَللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ
اَلْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اَللَّهُ عَلَيْهِ فِي اَلدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اَللَّهُ فِي اَلدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ،
وَاَللَّهُ فِي عَوْنِ اَلْعَبْدِ مَا كَانَ اَلْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ». ﴿أَخْرَجَهُ
مُسْلِم﴾
Dari Abū Hurairah rađiyaLlāhu ‘anhu,
ia berkata; Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Barang
siapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan
membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa memberi
kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan
kemudahan di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka
Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong
hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim. (Şaĥīĥ
Muslim ĥadīś no. 4867)
B. Meringankan Penderitaan dan Beban Orang Lain
(AN: 23)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «المُسْلِمُ أخُو المُسْلِمِ ، لاَ
يَظْلِمُهُ ، وَلاَ يُسْلِمُهُ . مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أخِيهِ، كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ،
وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ
كُرَبِ يَومِ القِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ يَومَ القِيَامَةِ».
﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ وَمُسْلِم وأَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيّ وَالتِّرْمِذِيّ﴾
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar rađiyaLlāhu
‘anhuma, ia mengabarkan bahwa Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzhaliminya dan
tidak membiarkannya untuk disakiti. Siapa yang membantu kebutuhan saudaranya
maka Allah akan membantu kebutuhannya. Siapa yang menghilangkan satu kesusahan
seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari
kesusahan-kesusahan hari qiyamat. Dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim
maka Allah akan menutup aibnya pada hari qiyamat”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no.
2262)
XV. PEDULI LINGKUNGAN
A.
Larangan Menelantarkan Lahan (LM: 993, 994, 1009)
حَدِيثُ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: كَانَتْ
لِرِجَالٍ مِنَّا فُضُولُ أَرَضِينَ، فَقَالُوا: نُؤَاجِرُهَا بِالثُّلثِ وَالرُّبُعِ
وَالنِّصْفِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ كَانَتْ لَهُ
أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَو لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ».
﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[16]
Dari Jabir ibn ‘AbdiLlah rađiyaLlāhu
‘anhu, ia berkata; Di antara kami ada orang-orang yang memiliki banyak lahan
tanah. Mereka berkata: “Kami akan sewakan tanah-tanah tersebut dengan
sepertiga, seperempat atau setengah bagi hasil”. Maka Nabi şallaLlāhu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Barang siapa yang memiliki lahan hendaklah dia menanaminya
atau menyerahkannya kepada saudaranya untuk digarap. Jika dia tidak mau,
hendaklah dia biarkan tanahnya [tanpa dipersewakan]”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś
no. 2439)
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا
أَو لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[17]
Dari Abū Hurairah rađiyaLlāhu ‘anhu,
ia berkata; Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang
memiliki lahan tanah hendaklah dia garap untuk bercocok tanam atau serahkanlah
ia kepada saudaranya (untuk digarap). Jika enggan maka hendaklah dia biarkan
tanahnya [jangan dipersewakan]”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 2172)
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
«لاَ يُمْنَعُ فَضْلُ الْمَاءِ لِيُمْنَعَ بِهِ الْكَلأُ». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[18]
Dari Abū Hurairah rađiyaLlāhu ‘anhu
bahwa Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kelebihan air
itu ditahan untuk tujuan menghambat pertumbuhan tanaman.” (Şaĥīĥ al-Bukhāriy
ĥadīś no. 2182)
B. Penanaman Pohon Langkah Terpuji (LM: 1001)
حَدِيثُ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا
أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلاَّ
كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[19]
Dari Anas bin Malik rađiyaLlāhu
‘anhu, ia berkata; Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah
seorang muslim pun yang bercocok tanam atau menanam satu tanaman lalu tanaman
itu dimakan oleh burung atau menusia atau hewan melainkan itu menjadi sedekah
baginya”. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 2152)
C.
Larangan Kencing di Air Tergenang (BM: 6)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ
فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ اَلَّذِي لَا يَجْرِي، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ». ﴿أَخْرَجَهُ
البُخَارِيّ﴾[20]
Dari Abū Hurairah rađiyaLlāhu ‘anhu,
ia berkata; Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan
sekali-kali di antara kalian kencing pada air yang tidak mengalir, lalu mandi
darinya.” (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 232)
XVI. PENELITIAN RASULULLAH TERHADAP SYAIR
A.
Syair yang Diperkenankan (LM: 1454)
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَصْدَقُ كَلِمَةٍ قَالَهَا الشَّاعِر،
كَلِمَةُ لَبِيدٍ أَلاَ كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلاَ اللهَ بَاطِلُ وَكَادَ أُمَيَّةُ بْنُ
أَبِي الصَّلْتِ أَنْ يُسْلِمَ». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[21]
Dari Abū Hurairah rađiyaLlāhu ‘anhu,
ia berkata; Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalimat yang paling
benar yang dikatakan oleh seorang penyair adalah kalimat yang diucapkan oleh
Labid: “Ingatlah. segala sesuatu selain Allah adalah batil”. Dan Umayyah bin
Abī aş-Şalt [karena syair-syairnya yang berisi tentang iman] nyaris masuk
Islam. (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 3553)
B. Syair yang Dilarang (LM: 1455).
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَأَنْ يَمْتَلِىءَ جَوفُ رَجُلٍ
قَيْحًا يَرِيهِ، خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمْتَلِىءَ شِعْرًا». ﴿أَخْرَجَهُ البُخَارِيّ﴾[22]
Dari Abū Hurairah rađiyaLlāhu ‘anhu,
ia berkata; Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Niscaya rongga
perut seseorang yang penuh terisi nanah busuk masih lebih baik daripada penuh
terisi bait-bait sya’ir.” (Şaĥīĥ al-Bukhāriy ĥadīś no. 5689)
=== ()()() ===
[1] صحيح البُخَارِيّ
في: 2 كتاب الإيمان: 37 باب سؤال جبريل النبي صلى الله عليه وسلم عن الإيمان والإسلام
[2] صحيح البُخَارِيّ
في: 74 كتاب الأشربة: 1 باب قول الله تعالى: (إنما الخمر والميسر)
[3] صحيح البُخَارِيّ
في: 2 كتاب الإيمان: 16 باب الحياء من الإيمان
[4] صحيح البُخَارِيّ
في: 52 كتاب الشهادات: 10 باب ما قيل في شهادة الزور
[5] صحيح البُخَارِيّ
في: 55 كتاب الوصايا: 23 باب قول الله تعالى: (إن الذين يأكلون أموال اليتامى ظلمًا)
[6] صحيح البُخَارِيّ
في: 24 كتاب الزكاة: 18 لا صدقة إلا عن ظهر غني
[7] صحيح البُخَارِيّ
في: 24 كتاب الزكاة: 18 باب لا صدقة إلا عن ظهر غنى
[8] صحيح البُخَارِيّ
في: 34 كتاب البيوع: 15 باب كسب الرجل وعمله بيده
[9] صحيح البُخَارِيّ
في: 49 كتاب العتق: 17 باب كراهية التطاول على الرقيق
[10] صحيح البُخَارِيّ
في: 93 كتاب الأحكام: 8 باب من استُرعِى رعية فلم ينصح
[11] صحيح البُخَارِيّ
في: 93 كتاب الأحكام: 4 باب السمع والطاعة للإمام ما لم تكن معصية
[12] صحيح البُخَارِيّ
في: 93 كتاب الأحكام: 4 باب السمع والطاعة للإمام ما لم تكن معصية
[13] صحيح البُخَارِيّ
في: 83 كتاب الأيمان والنذور: 3 باب كيف كانت يمين النبي صلى الله عليه وسلم
[14] اللؤلؤ والممرجان
فيما اتفق عليه الشيخان: 1347: صحيح البُخَارِيّ في: 46 كتاب المظالم: 22 باب أفنية
الدور والجلوس فيها
[15]رياض الصالحين في
23: باب في الأمر بالمعروف والنهي عن المنك:10 – سنن الترمذي (رقم: 2169)
[16] صحيح البُخَارِيّ
في: 51 كتاب الهبة: 35 باب فضل المنيحة
[17] صحيح البُخَارِيّ
في: 41 كتاب المزارعة: 18 باب ما كان من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يواسي بعضهم
بعضًا في الزراعة والثمرة
[18] صحيح البُخَارِيّ
في: 41 كتاب المزارعة: 1 باب فضل الزرع والغرس إذا أُكِل منه
[19] صحيح البُخَارِيّ
في: 41 كتاب المزارعة: 1 باب فضل الزرع والغرس إذا أُكِل منه
[20] صحيح البُخَارِيّ
البخاري في: 78 كتاب الأدب: 35 باب الرفق في الأمر كله
[21] صحيح البُخَارِيّ
في: 78 كتاب الأدب: 90 باب ما يجوز من الشعر والرجز والحداء وما يكره منه
[22] صحيح البُخَارِيّ
في: 78 كتاب الأدب: 92 باب ما يكره أن يكون الغالب على الإنسان الشعر حتى يصده عن ذكر
الله والعلم والقرآن
Tags:
MAKALAH