PERWALIAN ANAK KECIL, ORANG GILA DAN SAFIH DALAM ISLAM

068
1.      Pengertian Wali
Perwalian dalam arti umum yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan wali. Dan wali mempunyai banyak arti, antara lain:
a.       Wali adalah orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa.
b.      Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).
c.       Wali adalah orang shaleh (suci), penyebar agama.
d.      Wali adalah kepala pemerintah.
Adapun yang dimaksud dengan perwalian disini yaitu pemeliharaan dan pengawasan anak yatim dan hartanya. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, pemeliharaan dan pengawasan harta itu bukan hanya untuk anak yatim saja, tetapi juga berlaku untuk orang gila, anak yang masih kecil, dan safih.
2.      Wali Anak Kecil, Orang Gila, dan Safih
Ø  Wali Anak Kecil
Dalam suatu perkawinan, antara suami dan istri pasti memiliki anak-anak. Orang tuanyalah yang wajib mengatur serta mengurus kepentingan anak-anaknya serta wajib melindungi kepentingan  anak  tersebut. Perwalian terhadap anak ada 3 macam, yaitu:
a.       Perwalian terhadap urusan mengasuh anak.
b.      Perwalian terhadap dirinya.
c.       Perwalian terhadap hak miliknya.
Perwalian itu sendiri timbul apabila orang tuanya tidak sanggup untuk mengurus kepentingan si anak.
Dalam KUHP, latar belakang tentang pengaturan perwalian adalah agar kepentingan si anak yang berada dibawah perwalian tidak dirugikan atau memperoleh jaminan yang cukup dari walinya, terutama perihal pemeliharaan diri dan pengurusan harta bendanya.
Perwalian menurut UU Perkawinan mencakup pribadi maupun harta benda si anak. Perwalian ini terjadi mungkin disebabkan karena orang tuanya tidak mampu, orang tua bercerai dan mungkin disebabkan karena orang tuanya meninggal dunia dan apabila orang tua masih sanggup tidak mungkin ada perwalian.
Para ulama madzhab sepakat bahwa wali anak kecil adalah ayahnya, sedangkan ibunya tidak mempunyai hak perwalian. Selanjutnya, para ulama madzhab berbeda pendapat tentang wali yang bukan ayah. Hambali dan Maliki mengatakan bahwa wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah. Apabila ayah tidak menerima orang yang diwasiati, maka perwalian jatuh kepada hakim syar’i. Sedangkan kakek sama sekali tidak punya hak dalam perwalian, sebab kakek menurut mereka tidak bisa mempunyai posisi ayah.
Hanafi mengatakan bahwa wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah. Sesudah itu, kakek dari pihak ayah, lalu orang yang menerima wasiat darinya, dan kalau tidak ada maka perwalian jatuh ke tangan qadhi (hakim).
Syafi’i mengatakan bahwa perwalian beralih dari ayah kepada kakek, dan dari kakek kepada orang yang menerima wasiat dari ayah. Seterusnya kepada penerima wasiat kakek, dan sesudah itu kepada qadhi.
Imamiyah mengatakan bahwa perwalian pertama berada di tangan ayah dan kakek (dari pihak ayah) dalam derajat yang sama, dimana masing-masing mereka berdua berhak bertindak sebagai wali secara mandiri tanpa terikat yang lain.
Ø  Wali Orang Gila
Hukum orang gila persis dengan anak kecil, dan dikalangan ulama madzhab terdapat kesamaan pendapat dalam hal ini, baik orang tersebut gila sejak kecil maupun sesudah baligh dan mengerti. Berbeda dari pendapat di atas, yaitu pendapat dari segolongan madzhab imamiyah. Mereka membedakan antara orang gila sejak kecil dengan orang-orang yang gila ketika mereka menginjak usia dewasa. Para ulama madzhab imamiyah ini mengatakan bahwa perwalian ayah dan kakek berlaku atas orang gila sejak kecil, sedangkan orang gila yang sesudah baligh perwaliannya berada di tangan hakim.
Ø  Wali Safih
Imamiyah, Hambali dan Hanafi sepakat bahwa apabila seorang anak kecil telah menginjak baligh dalam keadaan mengerti lalu terkena kesafihan (idiot), maka perwaliannya berada di tangan hakim, tidak pada ayah dan kakek, apalagi pada orang-orang yang menerima wasiat dari mereka berdua.
3.      Syarat-Syarat Wali
Ulama fiqh mengemukakan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang agar ia dapat dijadikan wali. Di antara syarat-syaratnya adalah:
Ø  Baligh dan berakal, serta cakap bertindak hukum. Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, orang mabuk dan orang dungu tidak bisa dijadikan sebagai wali.
Ø  Agama wali sama dengan agama orang yang diampunya, karena perwalian muslim kepada non muslim tidak sah.
Ø  Adil, dalam artian istiqamah dalam agamanya, berakhlak baik dan senantiasa memelihara kepribadiannya.
Ø  Wali mempunyai kemampuan untuk bertindak dan memelihara amanah, karena perwalian itu bertujuan untuk mencapai kemaslahatan orang yang diampunya. Apabila orang itu lemah dalam memegang amanah, maka tidak sah menjadi wali. Firman Allah swt. dalam surat al-An’am ayat 152 yang artinya “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat”.
Para ulama madzhab sepakat bahwa tindakan-tindakan hukum yang dilakukan wali dalam harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang hal itu baik dan bermanfaat, tetapi juga tidak mudharat. Sebagian ulama Imamiyah mengatakan bahwa hal itu dibenarkan manakala yang melakukannya adalah ayah atau kakek. Sebab yang disyaratkan di situ adalah bahwa tindakan tidak merusak dan bukan harus membawa maslahat. Sedangkan tindakan yang dilakukan oleh hakim atau orang yang menerima wasiat untuk menjadi wali, dibatasi pada tindakan-tindakan yang membawa manfaat saja. Bahkan sebagian ulama madzhab Imamiyah tersebut mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh ayah dinyatakan tetap berlaku, sekalipun membawa mafsadat dan madharat bagi si anak kecil.
Madzhab selain Imamiyah mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara ayah, kakek dan hakim serta orang yang diberi wasiat, dimana tindakan yang mereka lakukan tidak dipandang sah kecuali bila membawa manfaat. Pandangan serupa ini juga dianut oleh banyak ulama madzhab Imamiyah. Berdasarkan itu, maka wali boleh berdagang dengan menggunakan harta anak kecil, orang gila dan safih, atau menyerahkannya sebagai modal bagi orang yang berdagang dengannya.

Mengenai perwalian ini, kompilasi hukum Islam memperincinya sebagai berikut:
Pasal 27
Ø  Perwalian hanya kepada anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan pernikahan.
Ø  Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
Ø  Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
Ø  Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 109
Pengadilan agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Pasal 110
Ø  Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Ø  Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
Ø  Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
Pasal 111
Ø  Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
Ø  Apabila perwalian telah berakhir, maka pengadilan agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.
Pasal 112
Wali dapat menggunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf apabila wali itu fakir.















KESIMPULAN
Perwalian adalah berpindahnya hak asuh orang tua kepada orang lain baik saudara maupun orang yang dipercayainya untuk mengurus anak kecil, orang gila dan anak safih yang disebabkan oleh perceraian, meninggal dunia ataupun orang tua tidak sanggup dalam mengurusinya.
Para ulama madzhab sepakat bahwa wali dan orang-orang yang menerima wasiat untuk menjadi wali dipersyaratkan harus baligh, mengerti dan seagama, dan juga adil.
















DAFTAR PUSTAKA
Abidin Slamet, dkk. Fiqh Munakahat. Bandung : Pustaka Setia, 1999.
Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh Ala’ Al-Madzahib Al-Arba’ah. Beirut : Dar Al-Fikr, 2004.
Ghozali, Abdurrahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media, 2003.
Kamal, Mukhtar. Asas-Asas Hukum Islam. Bandung: Bulan Bintang, 1992.



Lebih baru Lebih lama

Sponsor

Close Button
CLOSE ADS
CLOSE ADS