Perwalian
dalam arti umum yaitu segala
sesuatu yang berhubungan dengan wali. Dan wali mempunyai banyak arti, antara
lain:
a. Wali
adalah orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak
yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa.
b. Wali
adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan
janji nikah dengan pengantin laki-laki).
c. Wali
adalah orang shaleh (suci), penyebar agama.
Adapun
yang dimaksud dengan perwalian disini yaitu pemeliharaan dan pengawasan anak
yatim dan hartanya. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, pemeliharaan dan
pengawasan harta itu bukan hanya untuk anak yatim saja, tetapi juga berlaku
untuk orang gila, anak yang masih kecil, dan safih.
2.
Wali
Anak Kecil, Orang Gila, dan Safih
Ø Wali Anak Kecil
Dalam
suatu perkawinan, antara suami dan istri pasti memiliki anak-anak. Orang
tuanyalah yang wajib mengatur serta mengurus kepentingan anak-anaknya serta wajib
melindungi kepentingan anak tersebut. Perwalian terhadap anak
ada 3 macam, yaitu:
a. Perwalian
terhadap urusan mengasuh anak.
b. Perwalian
terhadap dirinya.
c. Perwalian
terhadap hak miliknya.
Perwalian
itu sendiri timbul apabila orang tuanya tidak sanggup untuk mengurus
kepentingan si anak.
Dalam
KUHP, latar belakang tentang pengaturan perwalian adalah agar kepentingan si
anak yang berada dibawah perwalian tidak dirugikan atau memperoleh jaminan yang
cukup dari walinya, terutama perihal pemeliharaan diri dan pengurusan harta bendanya.
Perwalian
menurut UU Perkawinan mencakup pribadi maupun harta benda si anak. Perwalian
ini terjadi mungkin disebabkan karena orang tuanya tidak mampu, orang tua
bercerai dan mungkin disebabkan karena orang tuanya meninggal dunia dan apabila
orang tua masih sanggup tidak mungkin ada perwalian.
Para
ulama madzhab sepakat bahwa wali anak kecil adalah ayahnya, sedangkan ibunya
tidak mempunyai hak perwalian. Selanjutnya, para ulama madzhab berbeda pendapat
tentang wali yang bukan ayah. Hambali dan Maliki mengatakan bahwa wali sesudah
ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah. Apabila ayah tidak menerima
orang yang diwasiati, maka perwalian jatuh kepada hakim syar’i. Sedangkan kakek
sama sekali tidak punya hak dalam perwalian, sebab kakek menurut mereka tidak
bisa mempunyai posisi ayah.
Hanafi
mengatakan bahwa wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah.
Sesudah itu, kakek dari pihak ayah, lalu orang yang menerima wasiat darinya,
dan kalau tidak ada maka perwalian jatuh ke tangan qadhi (hakim).
Syafi’i
mengatakan bahwa perwalian beralih dari ayah kepada kakek, dan dari kakek
kepada orang yang menerima wasiat dari ayah. Seterusnya kepada penerima wasiat
kakek, dan sesudah itu kepada qadhi.
Imamiyah
mengatakan bahwa perwalian pertama berada di tangan ayah dan kakek (dari pihak
ayah) dalam derajat yang sama, dimana masing-masing mereka berdua berhak
bertindak sebagai wali secara mandiri tanpa terikat yang lain.
Ø Wali
Orang Gila
Hukum
orang gila persis dengan anak kecil, dan dikalangan ulama madzhab terdapat
kesamaan pendapat dalam hal ini, baik orang tersebut gila sejak kecil maupun
sesudah baligh dan mengerti. Berbeda dari pendapat di atas, yaitu pendapat dari
segolongan madzhab imamiyah. Mereka membedakan antara orang
gila sejak kecil dengan orang-orang yang gila ketika mereka menginjak usia
dewasa. Para ulama madzhab imamiyah ini mengatakan bahwa perwalian ayah dan
kakek berlaku atas orang gila sejak kecil, sedangkan orang gila yang sesudah
baligh perwaliannya berada di tangan hakim.
Ø Wali
Safih
Imamiyah,
Hambali dan Hanafi sepakat bahwa apabila seorang anak kecil telah menginjak
baligh dalam keadaan mengerti lalu terkena kesafihan (idiot), maka perwaliannya
berada di tangan hakim, tidak pada ayah dan kakek, apalagi pada orang-orang
yang menerima wasiat dari mereka berdua.
3. Syarat-Syarat
Wali
Ulama
fiqh mengemukakan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang agar
ia dapat dijadikan wali. Di antara syarat-syaratnya adalah:
Ø Baligh
dan berakal, serta cakap bertindak hukum. Oleh sebab itu, anak kecil, orang
gila, orang mabuk dan orang dungu tidak bisa dijadikan sebagai wali.
Ø Agama
wali sama dengan agama orang yang diampunya, karena perwalian muslim kepada non
muslim tidak sah.
Ø Adil,
dalam artian istiqamah dalam agamanya, berakhlak baik dan senantiasa memelihara
kepribadiannya.
Ø Wali
mempunyai kemampuan untuk bertindak dan memelihara amanah, karena perwalian itu
bertujuan untuk mencapai kemaslahatan orang yang diampunya. Apabila orang itu
lemah dalam memegang amanah, maka tidak sah menjadi wali. Firman Allah swt.
dalam surat al-An’am ayat 152 yang artinya “Dan janganlah kamu dekati harta
anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat”.
Para
ulama madzhab sepakat bahwa tindakan-tindakan hukum yang dilakukan wali dalam
harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang hal itu baik dan bermanfaat,
tetapi juga tidak mudharat. Sebagian ulama Imamiyah mengatakan bahwa hal itu
dibenarkan manakala yang melakukannya adalah ayah atau kakek. Sebab yang
disyaratkan di situ adalah bahwa tindakan tidak merusak dan bukan harus membawa
maslahat. Sedangkan tindakan yang dilakukan oleh hakim atau orang yang menerima
wasiat untuk menjadi wali, dibatasi pada tindakan-tindakan yang membawa manfaat
saja. Bahkan sebagian ulama madzhab Imamiyah tersebut mengatakan bahwa tindakan
yang dilakukan oleh ayah dinyatakan tetap berlaku, sekalipun membawa mafsadat
dan madharat bagi si anak kecil.
Madzhab
selain Imamiyah mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara ayah, kakek dan
hakim serta orang yang diberi wasiat, dimana tindakan yang mereka lakukan tidak
dipandang sah kecuali bila membawa manfaat. Pandangan serupa ini juga dianut
oleh banyak ulama madzhab Imamiyah. Berdasarkan itu, maka wali boleh berdagang
dengan menggunakan harta anak kecil, orang gila dan safih, atau menyerahkannya
sebagai modal bagi orang yang berdagang dengannya.
Mengenai perwalian ini, kompilasi
hukum Islam memperincinya sebagai berikut:
Pasal 27
Ø Perwalian
hanya kepada anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah
melangsungkan pernikahan.
Ø Perwalian
meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
Ø Bila
wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka
pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai
wali atas permohonan kerabat tersebut.
Ø Wali
sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan
perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal
108
Orang
tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan
perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal
dunia.
Pasal
109
Pengadilan
agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan
memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut
pemabuk, penjudi, pemboros, gila atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya
sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Pasal
110
Ø Wali
berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya
dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan
dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah
perwaliannya.
Ø Wali
dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di
bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang
yang di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat
dihindarkan.
Ø Wali
bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan
mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
Pasal
111
Ø Wali
berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya,
bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
Ø Apabila
perwalian telah berakhir, maka pengadilan agama berwenang mengadili
perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta
yang diserahkan kepadanya.
Pasal
112
Wali
dapat menggunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang
diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf apabila wali
itu fakir.
KESIMPULAN
Perwalian
adalah berpindahnya hak asuh orang tua kepada orang lain baik saudara maupun orang
yang dipercayainya untuk mengurus anak kecil, orang gila dan anak safih yang
disebabkan oleh perceraian, meninggal dunia ataupun orang tua tidak sanggup
dalam mengurusinya.
Para
ulama madzhab sepakat bahwa wali
dan orang-orang yang menerima wasiat untuk menjadi wali dipersyaratkan harus
baligh, mengerti dan seagama, dan juga adil.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin Slamet,
dkk. Fiqh Munakahat. Bandung :
Pustaka Setia, 1999.
Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh Ala’ Al-Madzahib Al-Arba’ah.
Beirut : Dar Al-Fikr, 2004.
Ghozali, Abdurrahman.
Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada
Media, 2003.
Kamal, Mukhtar. Asas-Asas Hukum Islam. Bandung: Bulan
Bintang, 1992.