BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ijarah
Ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa
(ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan
penyewa (musta’jir) tanpa didikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri.
Ijarah adalah akad antara bank (mu’ajjir) dengan nasabah
(mutta’jir) untuk menyewa suatu barang/objek sewa milik bank dan bank mendapat
imbalan jasa atas barang yang disewanya, dan diakhiri dengan pembelian obyek
sewa oleh nasabah.Landasan syariah akad ini adalah fatwa DSN-MUI No.09
/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Ijarah.
B.
Landasan
Hukum Ijarah
1.
Al-Quran
“Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS.al-Baqarah:233)
2.
Hadits
“Berikanlah upah kepada orang yang
kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka”.(HR. Abu Ya’la, Ibnu Majah,
at-Thabrani dan Tirmidzi)
1.
Mu’jar(orang/barang yang disewa)
a.
Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal
b.
Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah
2.
Musta’jir (orang yang menyewa)
3.
Sighat (ijab dan qabul)
a.
Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara
sempurna
b.
Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara
langsung dan tidak bercacat
c.
Objek ijarah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’ dan
merupakan sesuatu yang bisa disewakan
d.
Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
e.
Upah/sewa dalam akad harus jelas, tertentu dan sesuatu yang
bernilai harta.
D.
Fitur
dan Mekanisme Ijarah
1.
Hak
Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir), yaitu memperoleh pembayaran
sewa dan/atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir);dan mengakhiri akad Ijarah
dan menarik objek Ijarah apabila penyewa tidak mampu membayar sewa sebagaimana
diperjanjikan
2.
Kewajiban
perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa antara lain, yaitu:
a.
menyediakan
objek ijarah yang disewakan;
b.
menanggung
biaya pemeliharaan objek ijarah;
c.
menjamin
objek ijarah yang disewakan tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan
baik.
3.
Hak
penyewa (musta’jir), antara lain meliputi:
a.
menerima
objek ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan;
b.
menggunakan
objek ijarah yang disewakan sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang
diperjanjikan.
4.
Kewajiban
penyewa antara lain meliputi:
a.
membayar
sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan;
b.
mengembalikan
objek iajrah apabila tidak mampu membayar sewa;
c.
menjaga
dan menggunakan objek ijarah sesuai yang diperjanjikan;
d.
tidak
menyewakan kembali dan/atau memindahtangankan objek ijarah kepada pihak lain.
E.
Objek
Ijarah
Objek ijarah adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan,
antara lain:
1. objek ijarah merupakan milik
dan/atau dalam penguasaan perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir);
2. manfaat objek ijarah harus dapat
dinilai;
3. manfaat objek ijarah harus dapat
diserahkan penyewa (musta’jir);
4. pemanfaatan objek ijarah harus
bersifat tidak dilarang secara syariah (tidak diharamkan);
5.
manfaat objek ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas;
spesifikasi objek ijarah harus
dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelayakan, dan
jangka waktu pemanfaatannya.
F.
Sifat
dan Hukum Akad Ijarah
Para ulama Fiqh berbeda pendapat
tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau
tidak. Ulama Hanafiah berpendirian bahwa akad ijarah bersifat mengikat, tetapi
boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak
yang berakad, seperti contohnya salah satu pihak wafat atau kehilangan
kecakapan bertindak hukum. Apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia,
akad ijarah batal karena manfaat tidak boleh diwariskan.
Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan
bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu
tidak boleh dimanfaatkan. Apabila seorang yang berakad meninggal dunia, manfaat
dari akad ijarah boleh diwariskan karena termasuk harta dan kematian salah
seorang pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.
G.
Aplikasi
Ijarah di Lembaga Keuangan Syariah
Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk ijarah, dapat
melakukanleasing, baik dalam bentuk operting lease maupun financial
lease. Akan tetapi, pada umumnya bank-bank tersebut lebih banyak
menggunakan Ijarah Muntahiya bit-Tamlik, karena lebih sederhana
dari sisi pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk mengurus
pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.
Dalam
kegiatan perbankan Syariah pembiayaan melalui Ijarah dibedakan menjadi dua
yaitu: :
1.
Didasarkan atas periode atau masa sewa biasanya sewa
peralatan. Peralatan itu disewa selama masa tanam hingga panen. Dalam perbankan
Islam dikenal sebagai Operating Ijarah.
2.
Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik di beberapa negara menyebutkan
sebagai Ijarah Wa Iqtina’ yang artinya sama juga yaitu sama juga yaitu menyewa
dan setelah itu diakuisisi oleh penyewa (finance lease).
Oleh karena Ijarah adalah akad yang
mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, maka banyak
orang menyamaratakan ijarah dengan leasing. Hal ini disebabkan karena kedua
istilah tersebut sama-sama mengacu pada hal – ihwal sewa-menyewa. Karena
aktivitas perbankan umum tidak diperbolehkan melakukan leasing, maka perbankan
Syari’ah hanya mengambil Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik yang artinya perjanjian
untuk memanfaatkan ( sewa ) barang antara Bank dengan nasabah dan pada akhir
masa sewa nasabah wajib membeli barang
yang telah disewanya. Jenis Barang Ijarah Muntahiyyah Bittamlik
Barang
yang disewakan kepada nasabah umumnya berjenis aktiva tetap atau fixed assets
seperti : gedung-gedung (buildings), kantor, mesin, rumah-rumah petak
(tenements), atau barang bergerak yang memiliki specific fixed.11
. Skema pembiayaan ijarah
A. Bank Syari’ah
|
← Akad pembiayaan Ijarah
← 1.
Permohonan pembiayaan ijaroh −
|
B.Nasabah
|
↓ 2. Menyewakan/membeli objek
ijaroh ↑
C.Supplier/Penjual/pemilik
|
→
|
D. Objek ijarah
|
Keterangan :
1. Nasabah mengajukan
pembiayaan ijarah ke bank syari’ah
2. Bank Syari’ah memberi / menyewa
barang yang diinginkan oleh nasabah sebagai objekijarah, dari supplier/penjual/pemilik.
3. setelah dicapai kesepakatan
antara nasabah dengan bank mengenai barang objek ijarah, tarifijarah, periode ijarah, dan
biaya pemeliharaannya, maka akad ijarah ditandatangani.
Nasabah diwajibkan menyerahkan jaminan yang dimiliki.
4. bank menyerahkan objek ijarah kepada
nasabah sesuai akad yang disepakati. Setelah periode ijarah berakhir,
nasabah mengembalikan objek ijarah tersebut kepada Bank.
5. bila bank membeli objek ijarah tersebut
(al-bai’ wal-ijarah, atau ijarah parallel), setelah periode ijarah berakhir
objek ijarah tersebut dikembalikan oleh bank kepadasupplier/penjual/pemilik.
H.
Pengertian
al-Qardh
1.
Secara
Bahasa
Qardh secara
etimologi merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai’- yaqridhuhu,
yang berarti dia memutuskanya.
القَرْضُ
بِفَتْحِ الْقَافِ وقد تكسر، وَأَصْلُهُ فِي اللُّغَةِ: القَطْعُ[1]
Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu
asy-syai’a bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh
adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.[2]
Harta yang disodorkan kepada orang yang berhutang disebut Qardh, karena
merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang. Kemudian kata itu
digunakan sebagai bahasa kiasan dalam keseharian yang berarti pinjam meminjam
antar sesama.
2.
Secara
Istilah
Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta
kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian
hari.[3]
Menurut Firdaus at al., qardh adalah pemberian harta kepada orang lain
yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam literature fikih, qardh
dikategorikan dalam aqad tathawwu’i atau akad saling membantu dan bukan
transaksi komersil.[4]
Menurut
ulama Hanafiyah:
القَرْضُ
هُوَ مَا تُعْطِيْهِ مِنْ مَالٍ مِثِليٍّ لِتَتَقَاضَاهُ ،أَوْ بِعِبَارَةٍ
أُخْرَى هُوَ عَقْدٌ مُخُصُوصٌ يَرُدُّ عَلَى دَفْعِ مَالٍ مِثْلِيٍّ
لِأخَرَلِيَرُدَّ مِثْلَهُ
Artinya:
“Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki
perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan
yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta
(mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang
diterimanya.”[5]
Sayyid
Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut:
الْقَرْضُ
هُوَ الْمَالُ الَّذِيْ يُعْطِيْهِ الْمُقْرِضُ لِلْمُقْتَرِضُ لِيَرُدَّ مِثْلَهُ
إِلَيْهِ عِنْدَ قُدْرَتِهِ عَلَيْهِ
Artinya:
“Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid) kepada
penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh)
seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.”[6]
Hanabilah
sebagaimana dikutip oleh ali fikri memberikan definisi qardh sebagai
berikut:
اَلْقَرْضُ
دَفْعُ مَالٍ لِمَنْ يَنْتَفِعُ بِهِ وَيَرُدُّ بَدَلَه
Artinya:
“Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian
mengembalikan penggantinya.”[7]
Adapun
pendapat Syafi’iyah adalah sebagai berikut:
اَلشَّا فِعِيَّةُ قَالُوْا : اَلْقَرْضُ يُطْلَقُ
شَرْعًا بِمَعْنَى الشَّيْءِالْمُقْرَض.
Artinya:
“Syafi’iyah berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara’ diartikan dengan
sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus
dikembalikan).”[8]
3.
XX
I.
Landasan
Hukum al-Qardh
Dasar disyari’atkannya qardh (hutang piutang) adalah al-qur’an,
hadits, dan ijma’:
1.
Al-Quran
مَنْ
ذَا الَّذِي يُقْرَضُ اللهَ قَرْضًاحَسَنًا فَيُضَاعِقَهُ لَهُ أَضْعَافًا
كَثِيْرَةً
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman yang baik
(menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Q.S Al-Baqarah :245).
Sisi pendalilan dari ayat diatas adalah bahwa allah swt
menyerupakan amal salih dan memberi infaq fi sabilillah dengan harta yang
dipinjamkan. Dan menyerupakan pembalasannya yang berlipat ganda dengan
pembayaran hutang. Amal kebaikan disebut pinjaman (hutang) karena orang yang
berbuat baik melakukannya untuk mendapatkan gantinya sehingga menyerupai orang
yang menghutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.[9]
2.
Hadits
عَنِ
ابْنِ مَسْعُوْدٍ اَنَّ النَّبِيًّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ : مَامِنْ
مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ اِلَّا كَانَ كَصَدَ قَةٍ
مَرَّةً رواهابن ماجه وابن حبان
Artinya:“Dari
Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada seorang muslim yang menukarkan
kepada seorang muslim qardh dua kali, maka seperti sedekah sekali.” (HR. Ibn Majah dan Ibn Hibban)
3.
Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa qarad dibolehkan dalam islam. Hukum qardh
adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid,
berdasarkan hadits diatas.
4.
Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Hukum qardh (hutang piutang) mengikuti hukum taklifi:
terkadang boleh, terkadang makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua
itu sesuai dengan cara mempraktekannya karena hukum wasilah itu
mengikuti hukum tujuan.
Jika orang yang berhutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan
sangat mendesak, sedangkan orang yang dihutangi orang kaya, maka orang yang
kaya itu wajib memberinya hutang.
Jika pemberi hutang mengetahui bahwa penghutang akan menggunakan
uangnya untuk berbuat maksiat atau perbuatan yang makruh, maka hukum memberi
hutang juga haram atau makruh sesuai dengan kondisinya.
Jika
seorang yang berhutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak, tetapi
untuk menambah modal perdagangannya karena berambisi mendapat keuntungan yang
besar, maka hukum memberi hutang kepadanya adalah mubah.
Seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar,
seperti jika ia mempunyai harta yang dapat diharapkan dan mempunyai niat
menggunakannya untuk membayar hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri
penghutang. Maka ia tidak boleh berhutang.
Seseorang wajib berhutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka
menghindarkan diri dari bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya
tertolong dari kelaparan.
J.
Rukun
dan Syarat al-Qardh
Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu (1) shighah,
(2) ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi), dan (3) harta yang
dihutangkan. Penjelasan rukun-rukun tersebut beserta syarat-syaratnya adalah
sebagai berikut:[10]
1.
Shighah[11]
Shighah adalah ijab
dan qabul. Tidak ada perbedaan dikalangan fuqaha’ bahwa ijab
itu sah dengan lafal hutang dan dengan semua lafaz yang menunjukkan maknanya,
seperti kata,”aku memberimu hutang” atau “aku menghutangimu”.
Demikian pula qabul sah dengan semua lafal yang menunjukkan
kerelaan, seperti “aku berhutang” atau “aku menerima” atau “aku ridha” dan lain
sebagainya.
2.
‘Aqidain[12]
‘Aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi hutang dan
penghutang. Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut.
a.
Syarat-syarat
bagi pemberi hutang[13]
Fuqaha’ sepakat bahwa
syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk ahli tabarru’ (orang yang
boleh memberikan derma), yakni merdeka, baligh, berakal shat, dan pandai
(rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Mereka berargumentasi
bahwa hutang piutang adalah transaksi irfaq (memberi manfaat). Oleh
karenanya tidak sah kecuali dilakukan oleh orang yang sah amal kebaikannya,
seperti shadaqah.
Syafi’iyyah berargumentasi bahwa al-qardh (hutang piutang)
mengandung tabarru’ (pemberian derma), bukan merupakan transaksi irfaq
(memberi manfaat) dan tabarru’.
Syafi’iyah
menyebutkan bahwa ahliyah (kecakapan, keahlian) memberi derma harus dengan
kerelaan, bukan dengan paksaan. Tidak sah berhutang kepada orang yang dipaksa
tanpa alasan yang benar. Jika paksaan itu ada alasan yang haq. Seperti jika
seseorang harus berutang dalam keadaan terpaksa, maka sah berhutang dengan
memaksa.
Hanafiyah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru’ (kecakapan
member derma) bagi pemberi hutang bahwa tidak sah seorang ayah atau pemberi
wasiat menghutangkan harta anak kecil.
Hanabilah
mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member derma) bagi
pemberi hutang bahwa seorang wali anak yatim tidak boleh menghutangkan harta
anak yatim itu dan nazhir (pengelola) wakaf tidak boleh menghutangkan
harta wakaf.
Syafi’iyah merinci permasalahan tersebut. Mereka berpendapat bahwa
seorang wali tidak boleh menghutangkan hartaorang yang dibawah perwaliannya
kecuali dalam keadaan darurat jika tidak ada hakim. Adapun bagi hakim boleh
menghutangkannya meskipun bukan dalam kondisi darurat.
b.
Syarat-syarat
bagi penghutang[14]
1)
Syafi’iyah
mensyaratkan penghutang termasuk kategori orang yang mempunyai ahliyah
al-mu’amalah (kelayakan melakukan transaksi) bukan ahliyah at-tabarru’
(kelayakan member derma). Adapun kalangan ahnaf mensyaratkan penghutangkan
mempunyai ahliyah at-tasharrufat (kelayakan memberikan harta) secara
lisan, yakni merdeka, baligh, dan berakal sehat.
2)
Hanabilah
mensyaratkan penghutang mampu menanggung karena hutang tidak ada kecuali dalam
tanggungan. Misalnya, tidak sah member hutang kepada masjid, sekolah, atau
ribath (berjaga diperbatasan dengan musuh) karena semua ini tidak mempunyai
potensi menanggung.
3.
Harta
yang dihutangkan[15]
Rukun
yang ketiga ini mempunyai beberapa syarat berikut:
a.
Harta
yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya, maksudnya harta yang satu
sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang megakibatkan
perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat di takar, ditimbang,
ditahan, dan dihitung.
Tidak boleh menghutangkan harta yang nilainya satu sama lain dalam
satu jenis berbeda-beda. Yang perbedaan itu mempengaruhi harga, seperti hewan,
pekarangan dan lain sebagainya. Hal ini karena tidak ada cara untuk
mengembalikan barang dan tidak ada cara mengembalikan harga sehingga dapat
menyebabkan perselisihan karena perbedaan harga dan taksiran nilainya. Demikian
ini pendapat kalangan hanafiyah.[16]
Malikiyyah dan Syafi’iyyah, menurut pendapat yang paling benar di
kalangan mereka, menyatakan bahwa boleh menghutangkan harta yang ada padanya.
Bahkan, semua barang yang boleh ditransaksikan dengan cara salam, baik berupa
hewan maupun lainnya, yakni semua yang boleh diperjual belikan dan dapat
dijelaskan sifat-sifatnya meskipun harta itu berupa sesuatu yang berubah-ubah
harganya. Mereka berargumentasi bahwa nabi Muhammad saw pernah berhutang unta
muda sehingga masalah ini dikiaskan dengannya.
Tidak boleh menghutangkan sesuatu yang tidak boleh diperjualbelikan
dengan cara salam, yakni sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan sifat,
seperti permata dan lain sebagainya. Hanya saja, Syafi’iyyah mengecualikan
sesuatu yang tidak boleh dijual dengan salam, yakni hutang roti dengan
timbangan karena adanya kebutuhan dan toleransi.[17]
Hanabilah berpendapat bahwa boleh menghutangkan semua benda yang
boleh dijual, baik yang ada padanannya maupun yang berubah-ubah harganya, baik
yang dapat djelaskan dengan sifat maupun tidak.
b.
Harta
yang dihutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah menghutangkan manfaat
(jasa). Ini merupakan pendapat kalangan Mazhab Hanafiyyah dan Hanabilah.
Berbeda dengan kalangan syafi’iyyah dan malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan
harta yang dihutangkan berupa benda sehingga boleh saja menghutangkan manfaat
(jasa) yang dapat dijelaskan dengan sifat. Hal ini karena bagi mereka semua
yang boleh diperjualbelikan dengan cara salam boleh dihutangkan, sedangkan bagi
mereka salam boleh pada manfaat (jasa). Seperti halnya benda padaa umumnya.[18]
Pendapat
yang dipilih oleh ibnu taimiyyah dan ahli ilmu lainnya adalah bolehnya
menghutangkan manfaat (jasa).
c.
Harta
yang dihutangkan diketahui. Syarat ini tidak dipertentangkan oleh fuqaha’
karena dengan demikian penghutang dapat membayar hutangnya dengan harta
semisalnya (yang sama).[19]
Syarat ketiga
ini mencakup dua hal, yaitu:[20]
1)
diketahui
kadarnya;
2)
diketahui
sifatnya. Demikian ini agar mudah membayarnya. Jika hutang piutang tidak
mempunyai syarat ketiga ini, maka tidak sah.[21]
K.
Waktu
dan Tempat Pengembalian al-Qardh
مَكَانُ
الوَفَاءِ: اِتَّفَقَ
عُلَمَاءُ المَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ عَلَى أَنَّ وَفَاءَ القَرْضِ يَكُوْنُ فِي
البَلَدِ الَّذِي تَمَّ فِيْهِ الإقْرَاضُ، وَيَصِحُّ إيْفَاؤُهُ فِي أَيِّ
مَكَانٍ آخَرَ إِذَا لَمْ يَحْتَجْ نَقَلَهُ إِلَى حَمْلٍ وَمُؤْنَةٍ أَوْ وَجَدَ
خَوْفِ طَرِيقٍ، فَإنْ احْتَاجَ إِلَى ذَلِكَ لَم يَلْزَم المُقْرِضُ بِتَسْلِمِهِ.
Para
ulama empat mazhab telah sepakat bahwa pengembalian barang pinjaman hendaknya
di tempat dimana akad qardh itu dilaksanakan. Dan boleh juga di tempat mana
saja, apabila tidak membutuhkan biaya kendaraan, bekal dan terdapat jaminan
keamanan. Apabila semua itu diperlukan, maka bukan sebuah keharusan bagi
pemberi pinjaman untuk menerimanya.
Adapun
untuk waktu pengembalian adalah sebagai berikut:
وَوَقْتُ
رَدِّ بَدْلِ القَرْضِ عِنْدَ غَيْرَ المَالِكِيَّة فِي أيِّ وَقْتٍ شَاءَ
الْمُقْرِضُ بَعْدَ قَبْضِ الْمُسْتَقْرِضِ مَالَ القَرْضِ؛ لِأَنَّهُ عَقْدٌ لَا
يَثْبُتُ فِيْهِ الأَجَلُ. وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أنَّ وَقْتَ رَدِّ
بَدْلِ القَرْضِ عِنْدَ حُلُوْلِ أَجَلِ وَفَاءِ القَرْضِ؛ لِأَنَّ القَرْضَ
يَتَأَجَّلُ عِنْدَهُمْ بِالتَّأْجِيْلِ، كَمَا تَقَدَّمَ بَيَانُهُ.
Menurut
ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta pengganti adalah kapan saja
terserah kehendak si pemberi pinjaman, setelah peminjam menerima pinjamannya.
Karena qardh merupakan akad yang tidak mengenal batas waktu. Sedangkan menurut
Malikiyah, waktu pengembalian itu adalah ketika sampai pada batas waktu
pembayaran yang sudah ditentukan diawal. Karena mereka berpendapat bahwa qardh
bisa dibatasi dengan waktu.
L.
Problematika
al-Qardh pada Masa Sekarang
Para
Ulama Fiqh sepakat bahwa akad qardh dikategorikan sebagai akad Ta’awuniy
(akad saling tolong menolong), bukan transaksi komersil. Maka, dalam perbankan
syariah akad ini dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan sosial bank
syariah. Yaitu dengan memberi pinjaman murni kepada orang yang membutuhkan
tanpa dikenakan apapun. Meskipun demikian nasabah tetap berkewajiban untuk
mengembalikan dana tersebut, kecuali jika bank mengikhlaskannya.[22]
Jika
dengan pinjaman ini nasabah berinisiatif untuk mengembalikan lebih dari
pinjaman pokok, bank sah untuk menerima, selama kelebihan tersebut tidak
diperjanjikan di depan. Bahkan jika terjadi hal yang demikian, maka hal
tersebut merupakan wujud dari penerapan hadits Rasulullah SAW berikut ini:
حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ، فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ،
فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَعْطُوهُ»،
فَطَلَبُوا سِنَّهُ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا، فَقَالَ:
«أَعْطُوهُ»، فَقَالَ: أَوْفَيْتَنِي وَفَى اللَّهُ بِكَ،
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
“Telah
menceritakan kepada kami Abu Nu'aim dari Sufyan dari Salamah dari Abu Salamah
dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Ada seorang laki-laki pernah
dijanjikan seekor anak unta oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu orang
itu datang kepada Beliau untuk menagihnya. Maka Beliau shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Berikanlah". Maka orang-orang mencari anak unta
namun mereka tidak mendapatkannya kecuali anak unta yang lebih tua umurnya,
maka Beliau bersabda: "Berikanlah kepadanya". Orang itu berkata:
"Anda telah memberikannya kepadaku semoga Allah membalas anda". Maka
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya yang terbaik
diantara kalian adalah siapa yang paling baik menunaikan janji.”
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ عَلِيِّ بْنِ صَالِحٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ
كُهَيْلٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ اسْتَقْرَضَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنًّا فَأَعْطَاهُ سِنًّا خَيْرًا
مِنْ سِنِّهِ وَقَالَ خِيَارُكُمْ أَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً.
“Telah
menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki' dari
Ali bin Shalih dari Salamah bin Kuhail dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia
berkata; “Rasulullah SAW meminjam (berhutang) kepada seseorang seekor unta yang
sudah berumur tertentu. Kemudian beliau mengembalikan pinjaman tersebut dengan
unta yang telah berumur yang lebih baik dari yang beliau pinjam. Dan beliau
berkata, sebaik-baik kamu adalah mereka yang mengembalikan pinjamannya dengan
sesuatu yang lebih baik (dari yang dipinjam).”
Hadits
tersebut menunjukkan bahwa seorang peminjam sebaiknya mengembalikan pinjamannya
lebih dari apa yang dia pinjam.
Dalam
perbankan syariah, akad ini dijalankan untuk fungsi sosial bank. Dananya bisa
diambil dari dana zakat, infaq, dan sedekah yang dihimpun oleh
bank dari para aghniya’ atau diambilkan dari sebagian keuntungan Bank.
Bank kemudian membuat kriteria tertentu kepada nasabah yang akan mendapatkan qardh.
Kriteria tersebut berlandaskan berlandaskan pada tingkat kemiskinan dan
kekurang mampuan nasabah. Akan jauh lebih efektif jika pinjaman yang diberikan
adalah dipergunakan untuk kepentingan produktif, bukan untuk konsumtif. Adapun
cara pengembaliannya dengan cara diangsur, maupun dibayar sekaligus. Jika
pinjaman sudah dikembalikan, bank dapat memutar kembali secara bergulir.[25]
M.
Konsep
Pembiayaan al-Qardh dalam Bank Syariah
1.
Jenis
Aplikasi Pembiayaan al-Qardh dalam Bank Syariah
Qardh adalah pinjaman uang. Pinjaman qardh biasanya diberikan
oleh bank kepada nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman talangan pada saat
nasabah mengalami overdraft. Fasilitas ini dapat merupakan bagian dari satu
paket pembiayaan lain, untuk memudahkan nasabah bertransaksi. Aplikasi qardh
dalam perbankan biasanya dalam empat hal:[26]
a.
Sebagai
pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan
untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan
melunasinya sebelum keberangkatan haji.
b.
Sebagai
pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah
diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik Bank melalui ATM. Nasabah
akan mengembalikan sesuai waktu yang ditentukan.
c.
Sebagai
pinjaman kepada pengusaha kecil dimana menurut perhitungan Bank akan
memberatkan si pengusaha bila diberi pembiayaan dengan skema jual-beli Ijarah
atau bagi hasil
d.
Sebagai
pinjman kepada pengurus Bank, dimana Bank menyediakan fasilitas ini untuk
memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus Bank. Pengurus Bank akan mengembaliaknnya
secara cicilan melalui pemotongan gajinya.
Berdasarkan definisi di atas kita dapat menyimpulakan bahwa qardh
dipandang dalam berbagai perspektif, mulai dari istilah secara bahasa sampai
pada hukum syara’nya adalah kontradiksi dengan Bank yang notabenenya bergerak
dibidang jasa yang senantiasa menginginkan laba atau secara implisit dapat
dikatakan bergerak dibidang komersialisasi jasa.
Dalam perihal tersebut Bank diperkenankan mengenakan biaya
administrasi, sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO:
19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Al-Qardh yang memperbolehkan untuk pemberi
pinjaman agar membebankan biaya administrasi kepada nasabah. Dalam penetapan
besarnya biaya administrasi sehubungan dengan pemberian qardh, tidak boleh
berdasarkan perhitungan persentasi dari jumlah dana qardh yang diberikan.[27]
2.
Cara
Pembiayaan al-Qardh dalam Bank Syariah
N.
xxx
[1] Abdul Rahman
Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah Juz 2, (Libanon, Beirut: Dar-
AlKutub Al-Ilmiyah, 2003), h. 303.
[2] Dimyauddin
Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
h. 254.
[3] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj. Miftahul Khair,
(Cet. 1; Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), h. 153.
[4] Ismail Nawawi,
Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012),
h. 178.
[5] Ahmad Wardi
Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 273.
[6] Sayid Sabiq, Fiqh
As-Sunnah, (Cet. 3; Beirut: Dar Al-Fikr, 1977), juz 3, h. 128.
[7] Sayid Sabiq.,
h. 129.
[8] Sayid Sabiq.,
h. 129.
[9] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar., h. 154.
[10] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar., h. 159.
[11] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar., h. 159.
[12] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar., h. 160.
[13] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar., h. 160-161.
[14] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar., h. 161.
[15] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar., h. 162-164.
[16] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar., h. 162.
[17] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar., h. 163.
[18] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar., h. 163.
[19] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar., h. 164.
[20] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar., h. 164.
[21] Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar., h. 159-164.
[22] Yazid Afandi, Fiqh
Muamalah, (Cet. 1; Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), h. 144.
[23] Muhammad bin
Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Cet.1; Dar Thuq
An-Najah, 1422 H), h. 2393.
[24] Muhammad bin
Isa bin Surah bin Musa (Imam Tirmidzi), Sunan Tirmidzi, (Cet. 2; Mesir:
Syarikah Maktabah, 1395 H), h. 1316.
[25] Yazid Afandi.,
h. 144.
[26] Heri Sudarsono,
Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta,
Ekonosia Kampus Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta, 2003), h. 82.
[27] Rizal Yaya, Akuntansi
Perbankan Syariah; Teori dan Praktik Kontemporer, (Jakarta: Salemba Empat,
2009), h. 328.
Tags:
MAKALAH