2.1 PRINSIP – PRINSIP DASAR EKONOM
ISLAM
2.1.1 Pengertian Ekonomi Islam
Menurut
Prof. Dr. Ahmad Muhammad ‘Assal & Prof. Dr. Fathi Ahmad Abdul Karaim
adalah : Sesungguhnya ekonomi Islam adalah bagian integral dari sistem Islam
yang sempurna. Apabila ekonomi konvensional dengan sebab situasi kelahirannya
terpisah secara sempurna dari agama. Maka keistimewaan terpenting ekonomi
Islam adalah keterkaitannya secara sempurna dengan Islam itu sendiri, yaitu
aqidah dan syariah.[1]
Apabila
ekonomi Islam menjadi bagian dari Islam yang sempurna, maka tidak mungkin
memisahkannya dari sistem aturan Islam yang lain dari aqidah, ibadah dan akhlak.[2]
Berdasarkan
ini, maka tidak boleh kita mempelajari ekonomi Islam secara berdiri sendiri
yang terpisah dari aqidah Islam dan syariahnya, karena sistem ekonomi Islam
bagian dari syariah Islam. Dengan
demikian ia terkait secara mendasar dengan aqidah.[3]
Sedangkan menurut Muhammad Rawwas Qal’ah Ekonomi Islam adalah Sesungguhnya ekonomi Islam adalah aturan Tuhan. Setiap ketaatan terhadap aturan ini merupakan ketaatan kepada Allah Swt. Setiap ketaatan kepada Allah adalah ibadah. Jadi menerapkan sistem ekonomi Islam adalah ibadah.[4]
2.1.2 Prinsip – Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Prinsip-prinsip
Ekonomi Islam itu secara garis besar dapat
diuraikan sebagai berikut: Ekonomi Islam memiliki sifat dasar sebagai ekonomi Rabbani dan Insani. Disebut ekonomi Rabbani karena sarat dengan arahan dan nilai-nilai Ilahiah. Dikatakan ekonomi Insani karena system ekonomi ini dilaksanakan dan ditujukan untuk kemakmuran manusia.
diuraikan sebagai berikut: Ekonomi Islam memiliki sifat dasar sebagai ekonomi Rabbani dan Insani. Disebut ekonomi Rabbani karena sarat dengan arahan dan nilai-nilai Ilahiah. Dikatakan ekonomi Insani karena system ekonomi ini dilaksanakan dan ditujukan untuk kemakmuran manusia.
Keimanan sangat penting dalam ekonomi Islam karena
secara langsung akan mempengaruhi cara pandang dalam membentuk kepribadian,
perilaku, gaya hidup, selera dan preferensi manusia. Dalam ekonomi Islam sumber
daya insani menjadi faktor terpenting. Manusia menjadi pusat sirkulasi manfaat
ekonomi dari berbagai sumber daya yang ada.
Dalam Ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya
dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus
memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi
kesejahteraan secara bersama di dunia yaitu untuk diri sendiri dan untuk orang
lain. Namun yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut akan
dipertanggung-jawabkannya di akhirat nanti.
Tujuan
ekonomi islam adalah bahwa setiap kegiatan manusia didasarkan kepada pengabdian
kepada Allah dan dalam rangka melaksanakan tugas dari Allah untuk memakmurkan
bumi, maka dalam berekonomi umat islam harus mengutamakan keharmonisan dan
pelestarian alam.
Secara
umum prinsip-prinsip ekonomi menjadi 2 kelompok besar. Masing-masing kelompok
besar ini membentuk suatu bangunan yang akan menjadi prinsip ekonomi islam.
v Berdasarkan
pada definisi dan ruang lingkup ekonomi islam, maka terdapat berbagai prinsip
yang harus dipegang teguh dalam menjalankan ekonomi islam. Bagian bangunan pertama ekonomi islam didasarkan atas lima
nilai universal yakni: tauhid (keimanan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian),
khilafah (pemerintah), dan ma’ad (hasil).[5]
1.
Tauhid
Tauhid merupakan fondasi ajaran islam. Isi tauhid itu
sendiri jelas terpampang pada dua kalimat syahadat yang menyatakan bahwa: “Tiada
tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”. Dengan tauhid, manusia
menyaksikan bahwa tiada satupun yang layak disembah selain Allah, tidak ada
pemilik langit, bumi dan isinya, selain daripada Allah. Jadi Allah adalah
pencipta alam semesta dan isinya sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia
dan seluruh sumber daya yang ada. Karena itu segala aktivitas manusia tak terkecuali
aktivitas ekonomi dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah. Dan segala
sesuatu yang kita perbuat di dunia nantinya akan dipertanggung jawabkan kepada
Allah SWT. Sehingga termasuk didalamnya aktivitas ekonomi dan bisnis nantinya
akan dipertanggungjawabkan juga. Dengan tauhid yang benar, pelaku ekonomi
menjadikan landasan ketauhidan dalam setiap aktivitasnya. Dengan tauhid yang
benar pula, pelaku ekonomi melakukan aktivitas ekonomi dengan senantiasa
mengingat bahwa pertanggungjawaban yang hakiki adalah pertanggungjawaban
akhirat. Dengan pondasi yang kokoh ini, diharapkan agar setiap pelaku ekonomi
dapat memahami dan melaksanakan islam secara benar, lalu meyakini bahwa ekonomi
islam tidak terlepas dari islam itu sendiri.
2.
‘Adl
Dalam islam didefinisikan sebagai “tidak menzalami
dan tidak dizalimi”. Implikasi (keterlibatan masalah) ekonomi dari nilai ini
adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi
bila hal itu merugikan orang lain atau merusak alam.
3.
Nubuwwah
Nubuwwah merupakan perwujudan dari rahman, rahim dan
kebijaksanaan Allah. Manusia tidak dibiarkan begitu saja didunia tanpa mendapat
bimbingan. Karena itulah diutus para nabi dan rasul untuk menyampaikan petunjuk
dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar didunia.
Sebagaimana di dalam Al Qur’an juga sudah di jelaskan yaitu Telah ada pada diri
Rasulullah suri teladan yang baik. Rasul merupakan “manusia model” Model
percontohan ideal bagi umat manusia. Maha Suci Allah yang telah menciptakan
para Nabi agar senantiasa memberi kita pedoman dan bimbingan untuk senantiasa
selamat menjalani bahtera dunia menuju kampung akhirat untuk diteladani
manusia, karenanya Rasulullah memiliki sifat-sifat utama yaitu siddiq (benar,
jujur), amanah (kepercayaan), tabligh (keterbukaan/menyampaikan), dan fatanah
(kecerdasan).
Sifat
nabi di atas menjadi acuan bagi aktivitas ekonomi. Sifat di atas juga sangat
manusiawi sehingga dalam pelaksanaanya sangat nyata untuk dilakukan. Juga sifat
di atas adalah lambang profesionalitas, prestatif, dan kontributif dalam
pelaksanaan aktivitas ekonomi.
4.
Khilafah
Khilafah artinya manusia memiliki misi untuk menjadi
pemimpin dan pemakmur bumi. Nilai mendasari prinsip kehidupan kolektif manusia,
fungsi dan peran utamanya adalah agar menjaga keteraturan interaksi (mu’amalah)
antar kelompok termasuk bidang ekonomi, dan memastikan bahwa perekonomian suatu
negara berjalan dengan baik tanpa distorsi dan telah sesuai dengan syariah.
5.
Ma’ad
Ma’ad
secara harfiah berarti kemballi. Maksudnya manusia akan kembali pada Tuhan
untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, karena kehidupan manusia bukan
hanya berlangsung didunia saja melainkan terus berlajut diakhirat.[6]
Dan
bisa juga di artikan sebagai hasil atau imbalan, sesuai dengan kata Imam Ghazali
bahwa motif para pelaku ekonomi adalah untuk mendapatkan
keuntungan/profit/laba. Dalam islam, ada laba/keuntungan di dunia dan ada
laba/keuntungan di akhirat. Oleh karena itu pencapaian adalah suatu hal yang
mutlak
v Bagian
kedua, Kelima nilai yang telah diuraikan di atas menjadi dasar inspirasi untuk
menyusun teori-teori ekonomi. Dari kelima nilai ini kita dapat menurunkan tiga
prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri sistem ekonomi islam yang juga menjadi
tiang ekonomi islam. Prinsip derivatif tersebut adalah sebagai berikut:
· Multitype Ownership
(kepemilikan multijenis)
Nilai tauhid dan nilai adil melahirkan konsep
multitype ownership. Dalam islam, berlaku prinsip kepemilikan multijenis, yakni
mengakui bermacam-macam bentuk kepemilikan baik oleh swasta, negara atau
campuran. Prinsip ini adalah terjemahan dari nilai tauhid: pemilik primer
langit, bumi dan seisinya adalah Allah, sedangkan manusia diberi amanah untuk
mengelolanya. Dan untuk menjamin adanya keadilan, maka cabang-cabang produksi
yang strategis dapat dikuasai oleh negara.
· Freedom to Act
(kebebasan untuk bergerak/usaha)
Ketika menjelaskan nilai nubuwwah, kita sudah sampai
pada kesimpulan bahwa penerapan nilai ini akan melahirkan pribadi-pribadi yang
profesional dalam segala bidang, termasuk bidang ekonomi dan bisnis. Keempat
nilai nubuwwah ini bila digabungkan dengan nilai keadilan dan nilai khilafah
akan melahirkan konsep freedom to act
pada setiap muslim. Freedom to act bagi setiap individu akan menciptakan
mekanisme pasar dalam perekonomian karena setiap individu bebas untuk
bemuamalah. Pemerintah akan bertindak sebagai wasit yang adil dan mengawasi
pelaku-pelaku ekonomi serta memastikan bahwa tidak terjadi distorsi dalam pasar
dan menjamin tidak dilanggarnya syariah.
· Social Justice
(keadilan sosial)
Gabungan
nilai khilafah dan nilai ma’ad melahirkan prinsip keadilan sosial. Dalam islam,
pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya dan
menciptakan keseimbangan sosial antara yang kaya dan yang miskin.[7]
Teori
ekonomi islam dan sistemnya belumlah cukup tanpa adanya manusia yang menerapkan
nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Dengan kata lain, adanya manusia yang
berakhlak adalah hal mutlak dalam ekonomi. Kinerja suatu bisnis atau ekonomi
tidaklah bergantung kepada teori dan sistemnya saja, melainkan pada man behind
the gun-nya. Oleh karena itu akhlak menjadi bagian ketiga dan merupakan atap
yang menaungi ekonomi islam.
2.2 TAFSIRAN
QUR’AN
2.2.1 Tafsiran Alqur’an Surat
Surat
al jum’ah ayat 10
A.
Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.(QS: Al-Jumuah Ayat: 10)
B.
Kosakata
لِلصَّلاةِ : shalat فَانْتَشِرُوا : Maka bertebaranlah kamu
الأرْضِ فِي : Di muka bumi وَابْتَغُوا : Dan carilah
للَّهِ افَضْلِ مِنْ Karunia Allah اللَّهَ وَاذْكُرُوا Dan ingatlah Allah
كَثِيرًا Banyak-banyak لَعَلَّكُمْ Supaya kamu
تُفْلِحُونَ Beruntung
C.
Makna mufradat serta I’rab nya
الصَّلَاةُ قُضِيَتِ ( ditunaikan akan shalat) ,
قُضِيَتِ merupakan fi’il madhi yang dibinakan bagi majhul ( tidak di
ketahuikan) asal katanya adalah قضي , الصَّلَاةُ( shalat), ia merupakan isem bagi قُضِيَتِ , الصَّلَاةُ
maksud kata-katanya ini adalah shalat jum’at, kenapa berhunbungan dengan kata –
kata قُضِيَتِ, karena tidak di ketahui shalat apa, dan di ketahui nya karena
ada ال pada kata – kata shalatu, al ال if lam itu adalah ال ma’rifah ( yang di tujukan pada
shalat jum’at), فَانْتَشِرُوا, merupakan fi’il amar, atas wazan انتشر,
berfaedah mutawa’ah, yaitu hasil bekas sesuatu dari fi’il muta’adi maksudnya
sesudah shalat boleh bertebaran di muka bumi, menurut tafsir jalalain perintah ini menunjukkan
pengertian ibahah (boleh), وَابْتَغُوا : Dan carilah, ابتغوا
adalah fi’il amar ( perintah) agar kita di mencari akan karunia Allah,
contohnya seperti mencari rezeki tetapi wajib dengan cara yang halal,dan faedah
nya juga mutawa’ah, اللَّهَ وَاذْكُرُوا
Dan ingatlah Allah, اذكروا juga fi’il amar ( berupa perintah) menunjukkan akan
dalam kita bertebaran, kita mencari rezeki di wajibkan atas kita selalu
mengingat akan Allah, كَثِيرًا, bila kita I’rab dia adalah ke hal, dengan arti,
hal keadaan sebanyak-banyaknya, لَعَلَّكُمْ, kata-kata لعل menurut ilmu
nahwu memili faedah taraji yaitu mengharap sesuatu yang kemungkinan terjadi, تُفْلِحُونَ (kamu
beruntung), dia merupakan fi’il mudhari’ asal kata nya yaitu افلح
D. Asbabun
Nuzul
Diriwayatkan dalam sebuah hadits ,Ketika Rasul
sedang berkhutbah jumat, tiba-tiba datanglah para pedagang dengan membawa
dagangannya. Dan para sahabat yang sedang mendengarkan khutbah itu berdiri
mengerumuni para pedagang yang baru datang tersebut. Melihat kejadian itu
turunlah Q.S al-jumuah ayat 9-10.
E. Munasabah
Pada
ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa setelah selesai melakukan shalat Jumat
boleh bertebaran di muka bumi melaksanakan urusan duniawi, berusaha mencari
rezeki yang halal, sesudah menunaikan yang bermanfaat untuk akhirat.
Pada
ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa setelah shalat. Hendaklah mengingat Allah
sebanyak-banyaknya di dalam mengerjakan usahanya dengan menghindarkan diri dari
kecurangan, penyelewengan dan lain-lainnya, karena Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu, yang tersembunyi apalagi yang nampak nyata, sebagaimana firman Allah
SWT: Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (Q.S At Taghabun: 18) Dengan demikian tercapailah kebahagiaan
dan keberuntungan di dunia dan di akhirat.
F. Tafsir
Dalam
ayat ini (surah Al-Jumu’ah(62) ayat:10), Allah menegaskan bahwa ketika shalat
Jum’at telah ditunaikan, maka manusia diperintahkan untuk segera kembali
melakukan aktivitasnya masing-masing dalam rangka mencari karunia Allah baik
berupa rezeki harta maupun ilmu pengetahuan. Jadi, pelajar dan guru kembali ke
kelasnya, para pegawai kembali ke kantornya, para pekerja kembali ke pabriknya,
para petani kembali ke sawahnya, dan begitu pula yang lainnya. Hal ini
merupakan perintah Allah agar manusia memiliki etos kerja yang tinggi, disiplin
yang kuat dan mampu menghargai waktu. Kemudian setelah manusia mendapatkan
karunia Allah maka janganlah lupa “wadzkurulloha katsiro” harus kembali
mengingat Allah, karena semua karunia yang telah didapat itu semata-mata karena
kemurahan Allah dan harus dikembalikan kepada Allah dengan cara syukur
kepadanya agar kita senantiasa beruntung. Kedua ayat di atas juga menunjukkan
bahwa manusia harus pandai mempergunakan waktu dan mengaturnya sedemikian rupa,
sehingga tidak ada waktu yang terbuang percuma. Dengan demikian etos kerja yang
tinggi akan terwujud dalam diri seseorang.
Menurut
kami Jika Surah al-Jumu’ah [62] ayat 9–10 dikaitkan dengan tema PRINSIP-PRINSIP
EKONOMI ISLAM, penjelasannya sebagai berikut.
Hendaknya
bersegeralah memenuhi panggilan Allah dengan menunaikan ibadah salat jum’at
bagi laki-laki walaupun sedang melakukan aktifitas perniagaan yang sangat
menarik keuntungan bisnisnya, kecuali berhalangan seperti sakit atau dalam
perjalanan jauh. Hal ini menunjukkan bahwa urusan akhirat lebih penting dari
pada urusan dunia. Karena akhirat lebih kekal sedangkan dunia sementara.begitulah
pondasi tauhid sebagaimana sesuai dengan prinsip yang tadi sudah dijelaskan.
Namun
demikian setelah menunaikan ibadah salat jum’at tidak boleh mengabaikan urusan
dunia, bersegeralah, bergegas untuk mencari nafkah demi kepentingan hidup diri
dan keluarganya dan tidak boleh malas, karena karunia Allah yang terbentang
dijagat raya ini diperuntukkan bagi manusia yang harus diusahakan. Ayat ini
mengajarkan kita untuk bekerja keras dalam meraih kebahagiaan dunia. Dan Ini
menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang tidak hanya memikirkan akhirat saja
tapi dunia juga penting. Dunia juga sangat menunjang kehidupan akhirat, karena
dengan kelebihan rizki kita bisa bersadaqah dan itu adalah investasi akhirat.
Tentang kerja keras dan keseimbangan dunia dan akhirat sesuai sabda Rasulullah
SAW. : “Bekerjalah untuk (kebutuhan) duniamu seolah-olah kamu akan hidup
selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok
pagi” (H.R. Ibnu Azakir) begitulah prinsip Freedom
to Act (kebebasan untuk bergerak/usaha)
Pada
kesempatan lain Rasulullah sering memotivasi umatnya untuk senantiasa
meningkatkan etos kerja sebagaiamana dalam beberapa sabdanya di bawah ini: ”
Yang sangat menakutkan atas umatku adalah banyak makan, lama tidur serta malas.
Pengangguran hanya akan menjadikan seorang manusia menjuadi keras hati.”(HR.
Al-Syihab)
“Sesungghnya
Allah mencintai hamba yang berkarya. Dan barang siapa yang bekerja keras untuk
keluarganya maka ia seperti pejuang di jalan Allah azza wajalla.”(HR. Ahmad)
“Tidaklah
seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil keterampilan tangannya
sendiri.”(HR. Bukhari)
Untuk
tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat kita diperintahkan untuk banyak berzikir
dan berdo’a agar sukses dalam meraih cita-cita, ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung.
Selain
itu Para fukaha (ahli fikih) menjadikan ayat dalam Surah al-Jumuah
ini sebagai dalil tentang hukum melaksanakan salat Jumat. Salat
Jumat hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim sehingga ketika
seseorang sedang berjual beli, dianjurkan untuk meninggalkan sejenak dan
segera menunaikan salat Jumat. Jika Surah al-Jumu’ah [62] ayat 9–10
dikaitkan dengan prinsip ekonomi islam,dalam contoh bekerja penjelasannya
sebagai berikut,
a. Perlunya
Keseimbangan antara Urusan Dunia dan Akhirat
Pada
saat kita menyelesaikan pekerjaan jenis apa pun yang menyangkut urusan
duniawi, tetap diharuskan meninggalkannya jika mendengar panggilan azan.
Perintah ini menunjukkan pentingnya menyeimbangkan urusan duniawi dan
ukhrawi. Kita dibolehkan mengejar kehidupan duniawi,
tetapi tidak boleh terlena sehingga lupa pada kehidupan
akhirat. Hal ini karena kerja kita telah diniatkan untuk mencari
rida Allah sehingga jika ada panggilan untuk ibadah
kepada-Nya, tidak boleh enggan mengerjakan. Jika salat telah
dikerjakan, kita pun diperbolehkan untuk kembali
melanjutkan aktivitas.
Ada
juga pesan yang sangat populer dari Abdullah bin Umar r.a.
yang Artinya: ”Bekerjalah untuk kepentingan duniamu seolah-olah kamu
akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk kepentingan akhiratmu seolah-olah
kamu akan mati besok.” (H.R. Baihaqi) Bekerja dengan sungguh-sungguh dan
profesional dalam ajaran Islam sangat diutamakan. Demikian juga khusyuk
dalam ibadah sangat penting agar dapat membekas pada amaliah sehari-hari, termasuk
dalam bekerja. (prinsip tauhid/ilahiah)
b. Bekerja
Harus Selalu Ingat Allah
Dalam
bekerja kita, harus mengingat Allah sehingga tidak akan terperosok untuk
melakukan perbuatan yang tidak diridai oleh-Nya. Kita dibolehkan mencari
karunia Allah sebanyak mungkin, asal dilakukan dengan cara yang benar.
Dengan demikian, Allah pun akan meluaskan rezeki kepada kita dan
memberikan keberuntungan yang berlipat ganda.(prinsip tauhid,adil ma’ad)
c. Meningkatkan
Produktivitas Kerja
Setelah
mengerjakan salat Jumat, kita diperbolehkan untuk melanjutkan aktivitas
kerja lainnya. Melakukan ibadah tidak berarti menghambat produktivitas
kerja. Guna mendukung produktivitas kerja, ada hal-hal tertentu yang
penting untuk diperhatikan.
1. Bersikap
rajin, ulet, dan tidak mudah putus asa.(prinsip ma’ad)
2. Meningkatkan
inovasi dan kreativitas.
3. Mau
belajar dari pengalaman sehingga dapat berbuat lebih baik pada masa
datang.(prinsip keadilan social)
4. Memaksimalkan
kemampuan diri yang ada dan selalu optimis.
5. Berdoa
dan bertawakal kepada Allah.( Freedom to Act
(kebebasan untuk bergerak/usaha)
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang
dapat kami ambil pada makalah ini yaitu,
Secara umum
prinsip-prinsip ekonomi menjadi 2 kelompok besar. Masing-masing kelompok besar
ini membentuk suatu bangunan yang akan menjadi prinsip ekonomi islam.
Bagian
pertama (nilai universal) yang menjadi teori dari ekonomi islam dan menjadi
landasan ekonomi islam yaitu:
· Tauhid
(keesaan Tuhan
· ‘Adl
(keadilan)
· Nubuwwah
(kenabian
· khilafah
(pemerintahan).
· Ma’ad
(hasil)
Dengan
prinsip-prinsip utama di atas maka sistem ekonomi islam dapat dibangun dengan
sangat kokoh.Bagian kedua (prinsip-prinsip derivative) ini merupakan
prinsip-prinsip sistem ekonomi islam yang juga menjadi tiang ekonomi islam
yaitu:
· Multitype
Ownership
· Freedom
to act (Kebebasan bertindak atau berusaha)
· Social
Justice (Keadilan Sosial)
Kita sebagai manusia
kita harus mempriolitaskan hak hak kita sebagai hamba kepada sang khalik dan
ketika perkara masalah ibadah kita telah selesai maka di situlah kita menjalankan
hubungan dengan sesama manusia untuk mencari rezeki sebanyak mungkin, dengan
cara yang halal, dan senang tiasa memiliki rasa disiplin, menghargai waktu dam
etos kerja yang tinggi, dan setelah kita mendapatkan rezeki janganlah lupa
untuk kembali bersyukur dan mengingat Allah karena sungguh rezeki yang
diperoleh itu semua datangnya dari Allah SWT.
B. Saran
Dalam
makalah kami ini, masih banyak hal yang harus diperbaiki dan dikoreksi,
materi-materi yang disajikan pun masih belum lengkap. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kontribusi positif untuk kemajuan kita bersama, karena kami tidak
menunggu sempurna untuk melakukan sesuatu, tapi kami melakukan sesuatu untuk
menuju kesempurnaan.
BAB
IV
DAFTAR
PUSTAKA
Mujahidin,
Akhmad. 2007. Ekonomi Islam. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Supadie, Didiek Ahmad.2013. Ekonomi Syari’ah. Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra
Antonio Muhammad
Syafi’I.Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.2001.
Dr. Yusuf Qhardawi, Peran Nilai dan Moral
dalam Perekonomian Islam
[1]
Prof. Dr.
Ahmad Muhammad ‘Assal & Prof.Dr. Fathi Ahmad Abdul Karim, An-Nizham
al-Iqtishadi fil Islam, Cairo, 1977, hlm.17-18.
[3] Prof. Dr. Ahmad
Muhammad ‘Assal & Prof.Dr. Fathi Ahmad Abdul Karim, An-Nizham
al-Iqtishadi fil Islam, Cairo, 1977, hlm.17
[6]
Didiek Ahmad Supadie, Ekonomi Syari’ah,
hlm. 50-51
Tags:
MAKALAH