BAB
I
Pendahuluan
A.
Latar belakang
Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya institusi-institusi adat di tingkat gampong atau mukim. Meskipun Undang-undang no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam masyarakat Aceh yang sangat senang
menyebut dirinya dengan Ureueng Aceh, terdapat institusi-institusi adat di
tingkat gampong dan mukim, Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan.
Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan bermasyarakat, Ureueng Aceh selalu
menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya.
Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh lembaga adat yang sudah
terbentuk.
Lembaga-lembaga adat dimaksud seperti Panglima
Uteun, Panglima Laot, Keujruen Blang, Haria Pekan, Petua Sineubok. Semua
lembaga ini berperan di posnya masing-masing sehingga pengelolaan sumberdaya
alam di gampong terpelihara. Misalnya Panglima Laot yang bertugas mengelola
segala hal berkaitan dengan laut dan hasilnya. Tentunya semua hal berkaitan
dengan laut diatur oleh lembaga tersebut. Begitu pun dengan lembaga lainnya.
Lembaga-lembaga adat itu sekarang terkesan
hilang dalam masyarakat Aceh, karena derasnya arus globalisasi yang mencoba
merobah peradaban masyarakat Aceh. Padahal, jika lembaga-lembaga adat tersebut
dihidupkan pada suatu gampong, gampong tersebut akan tetap kokoh seperti
jayanya masa-masa kesultanan Aceh.
Salah satu contoh kokohnya masyarakat dengan
peranan lembaga adat seperti terlihat di Gampong Baro. Kampung yang dulunya
berada di pinggir pantai, namun seiring berjalannya waktu, tsunami telah
menelan kampung mereka. Berkat kepercayaan masyarakat kepada pemangku-pemangku
adat di gampongnya, masyarakat Gampong Baro sekarang sudah memiliki
perkampungan yang baru, yaitu di kaki bukit desa Durung, Aceh Besar. Tak pernah
terjadi kericuhan dalam masyarakatnya, sebab segala macam kejadian, sampai pada
pembagian bantuan pun masyarakat percaya penuh kepada lembaga adat yang sudah
terbentuk. Nilai musyawarah dalam masyarakat adat memegang peranan tertinggi
dalam pengambilan keputusan.
Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang di kenal
dengan kekentalan agamanya . Aceh juga di kenal dengan sebutan Serambi Mekkah
yang sangat kaya dengan mesjid-masjid yang megah. Bagi masyarakat Aceh agama
sangat berperan penting sebagai sarana pemersatu dan menjadi rujukan masyarakat
ketika kehilangan arah. Dengan demikian , agama memiliki daya konstruktif, regulatif dan formatif dalam membangun tatanan
hidup masyarakat Aceh.
Bagi orang Aceh agama itu telah di jadikan
indikator yang mampu membentuk satu kesatuan sosial yang kuat di dalam
masyarakat, terutama bagi yang berdomisili di desa-desa. Orang Aceh umumnya
selalu patuh pada perintah-perintah Allah dan Rasul-nya. Mereka meyakini bahwa
ajaran Islam akan menyejahterakan mereka di
dunia dan di akhirat kelak.
Lantas kedudukan mesjid dan meunasah dalam
sistem sosial masyarakat Aceh adalah sebagai tempat duek pakat (Musyawarah),
melaksanakan ibadah dan tempat membangun jati diri masyarakat yang sesuai
dengan ajaran islam, integrasi tersebut melahirkan sebuah adagium (hadiah maja)
dalam masyarakat Aceh adat ngon agama lagee zat ngon sifeuet (adat
dan agama seperti zat dan sifat). Oleh karena itu adat dan agama
tidak bisa di pisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Aceh sebagai negeri
yang penduduknya mayoritas beragama Islam sangat kental dengan adat
istiadatnya. Ini terlihat dari masyarakat Aceh yang hampir tidak mampu
membedakan antara hukum dan adat. Dalam masyarakat Aceh juga terdapat
teori yang sangat melekat dalam kehidupan masyrakat Aceh sendiri, “adat bak Po
Teumeureuhom hukom bak Syiah Kuala: Hukom Ngon Agama lagee zat ngon sifeuet.”
(Sumber : Muliadi Kurdi, 2009, Aceh dimata sejarawan). Teori
tersebut dikemukakan oleh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin anak Bagindo
Khatib dari Nagari Tarusan.
Dalam Sistem Sosial Di Aceh, terdapat sistem pemerintahan yang sangat terintegrasi contohnya, gampong dan mukim.
Gampong merupakan kesatuan masyarakat hukum sebagai
organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim yang menempati wilayah
tertentu dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri,
sedangkan Mukim adalah kesatuan
masyarakat hukum dalam provinsi Aceh yang terdiri atas gabungan beberapa
gampong yang memiliki batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, serta
berkedudukan langsung di bawah camat yang dipimpin oleh imeum mukim.
Sistem sosial
ini telah menjadi adat turun temurun dalam masyarakat Aceh dan telah
digunakan mulai dari masa kerajaan Aceh
berdaulat dulunya. Saat itu Aceh sangat dikenal dimata dunia. Nama Aceh seolah
melambung, apalagi di saat kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) .
Beliau berhasil membawa Aceh kedalam masa kejayaan dan menjadikan Aceh sebagai kerajaan islam terbesar di Asia
Tenggara pada masa itu. kerajaan Aceh saat itu meliputi dua pertiga pulau
Sumatra dan semenanjung melayu. Aceh dengan hasil alam yang melimpah menjalin
hubungan bilateral dengan Negara-negara timur tengah dan Eropa. Perdagangan
cengkeh, lada dan hasil
komoditi lainnya menyebabkan Aceh menjadi incaran Negara-negara eropa. Setelah Sultan Iskandar Muda mangkat Aceh
seakan kehilangan marwahnya, apalagi Sejak Belanda resmi menyatakan perang
terhadap kerajaan Aceh, nama Aceh sedikit demi sedikit mulai buram. Akhirnya
kerajaan Aceh menemui masa kelamnya setelah sultan terakhir Aceh Sultan Daud Syah
berdaulat menyerah kepada belanda. Aceh pada masa itu seakan menjadi daerah
tanpa penguasa. Pada saat itu tamping kekuasaan secara sengaja dirampas oleh
belanda. Pada masa itu Aceh di pimpin oleh seorang gobernur yang bernama van swithen.
Namun ini semua tidak berarti memutuskan garis
perjuangan rakyat Aceh. Rakyat Aceh tetap meneruskan perjuangnya demi menjaga tanah leluhurnya. Bahkan Belanda
mencatat bahwa perang melawan Aceh adalah perang yang paling melelahkan. Aceh
dikenal dengan bangsa yang berperwatakan keras sehinggah sangat sulit
menaklukkan Aceh meskipun belanda
berhasil menaklukkan kesultanan Aceh pada masa itu, namun perjuangan di
kalangan rakyat masih tetap di kobarkan.
Aceh hari ini bukanlah aceh yang diharapkan oleh para
leluhur, karena Aceh saat ini cenderung menjadi Aceh yang lemah sekaligus Aceh yang kehilangan arah. Seharusnya saat
ini Aceh harus melawan globalisasi untuk mampu mempertahankan identitas diri.
Aceh harus bangkit mengembangkan ciri khas sendiri melalui apa yang telah
diriwayatkan dari dulu oleh para Endatu. Saatnya mengembalikan peradaban Aceh
yang dahulu dikenal di mata dunia.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana
sistem kehidupan masyarakat di aceh berdasarkan hukum adat dan hukum agama?
2.
Bagaimana
adat-istiadat di aceh?
3.
Bagaimana
sistem-sistem kemasyarakatan di aceh?
C.
Tujuan
penulisan
1. Mengetahui bagaimana sistem kehidupan masyarakat di
aceh berdasarkan hukum adat dan hukum agama.
2. Mengetahui bagaimana adat-istiadat di aceh.
3. Mengatahui bagaimana saja sistem-sistem kekerabatan di
aceh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SISTEM
KEHIDUPAN MAYARAKAT ACEH BERDASARKAN HUKUM ADAT
Sebagai masyarakat aceh, adat ibarat meukoh reubong
(bagai memotong rebung), maksudnya dapat disesuaikan dengan situasidan kondisi
yang dihadapi. Berbeda halnya dengan hukom (baca: agama islam, akidah
dan syari’ah) yang aturannya ketat dan tidak boleh dilanggar semena-mena. Hadih
meja kedua juga menisyaratkan kebolehan menyesuaikan bahkan meninggalkan adat
dengan resiko tabeue (hambar) tetapi tidak boleh meninggalkan hukom
(baca: agama islam, akidah dan syari’ah)
Pada tataran praktis, pranata adat dan agama di aceh
berkait kelindan dan berjalan seiring memperkuat satu sama lainnya. Namun tetap
memiliki nuansanya sendiri. Hal itulah yang hendak dicoba telusuri dengan
mengemukakan contoh kasus bagaimana pranata sosial kelautan bekerja dalam
menyelesaikan konflik dan sengketa adat antar nelayan lokal.
Menurut soerjono soekanto, fungsi pranata sosial
terbagi dalam tiga macam:
1. Memberi pedoman pada aggota masyarakat
tentang bagaimana bertingkahlaku atau bersikap dalam usaha memenuhi
kebutuhan-hidupnya.
2. Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman
perpecahan atau disintegrasi. Norma-norma sosial yang terdapat dalam pranata
sosial akan berfungsi untuk mengatur pemenuhan kebutuhan hidup setiap warganya
secara adil dan tertib.
3. Memberikan pegangan dalam mengadakan sistem
pengendalian sosial (social control). Sangsi atas pelanggaran norma
sosial merupakan sarana agar warga masyarakat tetap berjalan dalam norma
sosial, sehingga tertib sosial dapat terwujud.[1]
Ketika fungsi pranata norma sosial yang dicatat oleh
soejono soekanto di atas dapat ditemukan pada sistem penyelesaian konflik antar
anggota masyaraka di aceh, termasuk konflik dan sengketa adat kelautan. Fokus
pembahasannya adalah adat kelautan di aceh, yang memiliki ciri khas tersendiri
dengan tradisi sejarah. Konflik antar nelayan di aceh dapat direndam melalui
pranata sosial mereka sendiri, disamping kuatnya agama islam dalam peradatan
laut, termasuk dalam penyelesaian konflik sosial sesama anggota masyarakat yang
berprofesi sebagai nelayan.
B. SISTEM KEHIDUPAN MAYARAKAT ACEH BERDASARKAN HUKUM
AGAMA
Nilai-nilai
hukum islam tidak lepas dari prinsip penerapan yang dianutnya, serta tujuan
hukum islam itu sendiri. Salah satu prinsip yang dimaksud adalah penggunaan
norma sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan hukum. Sebagai sebuah
kebiasaan dalam bermasyarakat, adat atau ‘uruf menjadi salah satu kebutuhan
sosial yang sulit ditinggal kan dan dilepasakan. Secara implisit diisyaratkan
oleh beberapa ayat hukum dalam al-quran antara lain dalam surat al-Baqarah:233:
Artinya: dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
makruf
Demikian
juga dalam surat al-Baqarah ayat 241:
Artinya: kepada wanita- wanita yang di
ceraikan (hendaknya diberi oleh suaminya) mut’ah menurut yang makuf sebagai hak
bagi orang-orang yang bertaqwa.
Kedua ayat
diatas menyebutkan adanya peelakuan secara makruf. Akan tetapi, tidak
dijelaskan bagaimana mutah sesungguhnya dari kata makuf. Seperti, jenis atau
bentuk, dan batasan banyak-sedikitnya nafkah yang diberikan kepada anaknya atau
oleh suami terhadap istrinya yang diceraikan. Kemampuan dalam memberi nafkah
berbeda satu sama lainya. Al-Quran memberikan kebebasan untuk menetapkan
rincian ketentuan hukumnya sesuai adat (‘uruf) setempat, oleh karena itu
ketentuan hukum mengenai kewajiban memberi nafkah bagi suami atau orang tua
yang ada dalam berbagai kitab fiqh (dari bermacam mazhab) sangat variatif
akibat dari perbedaan tradisi dan tempat berdomisili ulama mazhab.
Hukum islam dapat dikembangkan dan
diterapkan sesuai dengan tradisi (adat) yang sudah berjalan, sifat Al-Quran dan
As-sunnah hanya memberikan prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan
hukum islam. Melalui kaidah di atas, hukum islam dapat di jabarkan dengan
melihat kondisi lokal dari masing-masing daerah. Lebih jauh lagi, dalam bidang
perdangangan dan pereknomian, kaidah fiqhiyah memberikan keluasan untuk
menciptakan berbagai macam transaksi atau kerja-sama, misalnya dengan kaidah:
sesuatu yang
telah dikenal (menjadi tradisi) dikalangan pedagang, berlaku sebagai syarat
diantara meraka.
Menurut
shubhi mahmasani[2] adat
kebiasaan tidak boleh begitu saja diterima sebagai hukum. Untuk itu perlu
syarat-syarat antara lain:
1. Adat diterima oleh watak yang baik, yaitu
bisa diterima oleh akal dan sesuai dengan perasaan yang waras dan dengan
pendapat umum.
2. Hal-hal yang dianggap sebagai adat harus
terjadi berulangkali dan tersebar luas. Jadi adat kebiasaan yang mengikat hanya
boleh dianggap oleh aturan hukum apabila terjadi terus-menerus atau telah
menjadi kebiasaan umum.
3. Adat kebiasaan yang boleh menjadi adalah
yang tidak bertentangan dengan nash.
Para ulama mengklasifikasikan adat (‘uruf) menjadi dua
macam, yaitu:
1. Al-‘uruf Al-sahih, yaitu adat yang benar,
berulang-ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan
agama, supaya sopan santun dan budaya leluhur. Umpamanya memberi hadiah kepada
orangtua atau kenalan dalam waktu tertentu, halal bi halal pada saat hari raya,
memberi hadiah sebagai penghargaan atau sebagai prestasi.
2. Al-‘uruf Al-fasit, yaitu adat yang keliru
yang memang berlaku disuatu tempat yang dan merata pelaksanaannya, namun
bertentangan dengan agama, undang-undang negara, dan sopan-santun. Umpamanya
berjudi untuk merayakan peristiwa, serta dengan menghidangkan minuman haram.
C. ADAT ISTIADAT ACEH
Adat
istiadat merupakan seperangkat nilai-nilai dan keyakinan sosial yang tumbuh dan
berakar dalam kehidupan masyarakat di aceh. Adat istiadat adalah tata kelakuan
atau tata tindakan atau tata perbuatan yang selanjutnya merupakan kaidah-kaidah
yang baru saja dikenal, diakui dan dihargai, akan tetapi juga di taati oleh
sebagian besar warga masyarakat. Adat istiadat tersebut telah memberikan
sumbangan yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat.
Di provinsi
Aceh, menjelang akhir pemerintahan presiden habibie, diterbitkanlah
undang-undang no.44 tahun 1999 tentang penyelanggaran keistimewaan provinsi
daerah istimewa aceh yang salah satu gagasannya meletakkan bahwa daerah aceh
dapat mengambil berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, serta
lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syaria’at islam.
Selanjutnya
lahir undang-undang no.11 tahun 2006 tentang pemerintahan aceh, pegaturan
masalah lembaga adat telah mempunyai hukum yang lebih kongkrit. dengan demikian
aceh telah memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengatur pembinaan,
pengembangan dan pelestarian adat istiadat. Berdasarkan kedua undang-undang
itulah akhirnya tahun 2008 yang lalu DPRA mengeluaran dua qanun mengenai
peradatan di aceh, yaitu qanun aceh no.9 tahun 2008 tentang lembaga adat dan
qanun aceh no.10 tahun 2008 tentang pembinaan kehidupan adat dan istiadat.
Fungsi umum
adat istiadat adalah mewujudkan kehidupan yang harmonis dalam kehidupan
bermasyarakat, agar-dalam bahasa hadih maja yang di kutip di awal tadi, “tidak
tabeue dan tidak bateue” (tidak hambar dan tidak batat) lalu apa yang
disebut dengan lembaga adat?.. Secara teknis hal ini dijawab oleh qanun aceh
tentang lembaga aceh, qanun no.9 tahun 2008 menyatakan bahwa lembaga adat adalah
salah satu organisasi kemasyarakatan adat yang di bentuk oleh suatu masyarakat
hukum adat tentu mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai harta kekayaan
tersendiri, serta barhak berwenang untuk mengatur dan mengurus dan
menyelesaikan hal-hal yang berkaitan adat aceh.
Qanun
lembaga adat merupakan turunan dari undang-undang no.11 tahun 2006 tentang
pemerintahaan aceh merinci dengan jelas ada tiga belas lembaga dalam masyarakat
aceh yaitu:
1. Majelis adat aceh
2. Imeum mukim atau nama lain.
3. Imeum chik atau nama lain.
4. Keuchik atau nama lain.
5. Tuha peut atau nama lain.
6. Tuha lapan atau nama lain,
7. Imeum meunasah atau nama lain
8. Keujreun-blang atau nama lain.
9. Panglima laot atau nama lain.
10. Pawang glee/uteun atau nama lain.
11. Petua seuneubok atau nama lain.
12. Haria peukan atau nama lain, dan
13. Syahbanda atau nama lain.[3]
Fungsi lembaga diatas
ialah sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan penyelesaian sosial
kemasyarakatan.
Sedangkan qanun no.9 tahun 2008 diberikannya peluang
bagi lembaga adat untuk menyelesaikan delapan belas sengketa dalam masyarakat
yaitu:
1. Perselisihan dalam rumah tangga.
2. Sengketa antara keluarga yang berkaitan
dengan faraidh.
3. Perselisihan antara warga.
4. Khalwat atau mesum.
5. Perselisihan tentang hak milik.
6. Pencurian dalam keluarga.
7. Perselisihan harta seuharkat.
8. Pencurian ringan.
9. Pencurian ternak pelihaaan.
10. Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian,
dan hutan.
11. Persengketaan di laut.
12. Persengketaan di pasar.
13. Penganiayaan ringan.
14. Pembakaran hutan dalam skala kecil.
15. Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran
nama baik.
16. Pencemaran lingkungan secara ringan.
17. Ancam-mengancam tergantung dari jenis
ancaman dan,
18. Perselisihan lain yang melanggar adat dan
istiadat.[4]
Ditinjau dari perkara diatas, sekurang-kurangnya
terdapat sepuluh perkara yang dapat digolongkan menjadi perkara pidana.
D. SISTEM-SISTEM KEMASYARAKATAN DI ACEH
Di masyarakat aceh memiliki sistem
kekerabatan antara sesama masyarakat. Adanya kekerabatan antara sesama
mayarakat maka dapat membentuk masyarakat dalam berinteraksi dalam hal-hal yang
perlu untuk mereka. Masyarakat aceh mempunyai kekerabatan yang baik contohnya,
yang terjadi di palestina, israel menyerang palestina dengan kejamnya, tanpa
mempunyai rasa penyesalan sedikitpun. Banyak masyarakat palestina disana yang
meninggal. Kita sebagai masyarakat juga merasa disakiti karena adanya rasa
kekerabatan yang erat walau bukan dari darah yang sama. Tapi karena kekerabatan
sesama muslim bukan hanya rasa kekerabatan antara orangtua dan anaknya dengan
keluarga yang ada di sekitar ataupun dengan masyarakat yang ada di
sekelilingnya raja. Murdock menyatakan bahwa sistem kekerabatan berbeda dengan
organisasai sosial dalam masyarakat. Suatu sistem kekerabatan bukanlah kelompok
sosial, serta tidak dikaitkan dengan kumpulan dengan individu-individu yang
terorganisasikan suatu sistem kekerabatan tidak lain merupakan (g.p. murdock
1965:92) a structured system of reletionships in whicch individuals are bound
one to another by complex interlocking and rainifying ties.
Keluarga yang dijadikan titik tolak
menurut pendapat murdock, merupakan satu kelompok kekerabatan (kin-group).
Dengen demikian, maka istilah kelompok kekerabatan menunjuk pada suatu bentuk
kehidupan bersama. Yang sebagaimana halnya dengan kelompok sosial, mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut (koentjaraningrat 1967:104)
1. Suatu sistem norma-norma yang mengatur kelakuan warga
kelompok.
2. Suatu rasa kepribadian kelompok yang disadari oleh
semua warganya.
3. Aktivitas-aktivitas berkumpul dari warga-warga
kelompok secara berulang-ulang.
4. Suatu sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi
antara warga kelompok.
5. Suatu pimpinan atau pengurus yang mengorganisasikan
aktivitas-aktivitas kelompok.
6. Suatu sistem hak dan kewajiban bagi para individunya terhadap
sejumlah harta produktif, harta konsumtif atau harta pustaka tertentu.
Beberapa
point yang tertera diatas juga ada didalam ruang lingkup masyarakat aceh. Ada
norma-norma yang mengatur tata kehidupan masyarakat aceh, masyarakat aceh
mempunyai kepribadian yang berbeda-beda, dan mereka menyadari kepribadian
mereka masing-masing. Aktivitas-aktivitas warga masyarakat didalam lingkungan
atau daerahnya masing-masing. Interaksi juga ada dalam masyarakat, interaksi
dengan orang-orang di sekitarnya. Didalam suatu daerah memupunyai pimpinan yang
membimbing masyarakatnya untuk berbuat hal-hal yang tidak melanggar dengan
aturan-aturan yang telah ditetapkan. Setiap warga masyarakat mempunyai hak dan
kewajibannya masing-masing.
Perilaku warga masyarakat tidak boleh
melewati dari adat-adat yang telah lama ada disuatu daerah, tidak boleh
menyalahi dari ketentuan-ketentuan adat-adat yang telah di tetapkan. Harus ada
sopan-santun terhadap orang lain, menghargai sesama. Karena manusia senantiasa
mengadakan interaksi atau hubungan interpersonal. Proses interaksi yang terus
menerus menimbulkan pola-pola tertentu yang disebut cara atau usage, yakni (
g.a. teodorson & a.g. teodorson 1979:454) A unifrom or customery way of
bebafing whiting a social group.
Adat
istiadat mempunyai ikatan yang sangat kuat dalam masyarakat aceh, warga
masyarakat mendukung adanya adat istiadat asalkan tidak bertantangan dengan
agama, Adat istiadat yang tidak menyalahi dengan norma-norma yang ada di aceh.
bentuk-bentuk dasar masyarakat hukum adat terbagi dua, yaitu
1. Dasar
a. Genealogis.
b. Teritorial.
c. genealogis teritorial.
2. Bentuknya
a. Tunggal.
b. Bertingkat.
c. berangkai.
Dalam masyarakat aceh juga mengatur
tentang pemerintahan desa, yang diatur dalam pasal 3 yang berbunyi:
1. pemerintahan terdiri atas
a. kepala desa.
b. lembaga permusyawarah desa.
2. Pemerintah desa dalam pelaksanaan tugasnya dibantu
oleh perangkat desa
3. Perangkat terdiri atas
a. Sekretaris desa.
b. Kepala-kepala dusun.
4. Susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa
dan perangkat desa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 3 diatur dengan
peraturan daerah sesuai sengan pedoman yang ditetapkan oleh menteri dalam
negara.
5. Peraturan daerah yang dimaksud dalam ayat 4 baru
berlaku sesudah ada pengesahan dari pejabat yang berwenang. Hal-hal tersebut
juga dijelaskan dalam penjelasan umum no 9 halaman 114.
Masyarakat aceh juga mengatur pemerintahan
desa supaya tidak terjadi perselisihan dalam masyarakat aceh, warga masyarakat
aceh juga mengikut adat yang telah ada selama ini dan akan terus berlanjut
sampai turun-temurun. Soepomo mengatakan bahwa antara sistem hukum adat dan
sistem hukum barat terdapat perbedaan
fondaniental (soepomo 1977:25) hal ini disebabkan karena masing-masing sistem
mempunyai latar belakang yang berbeda-beda (walaupun tidak mustahil terdapat
persamaan-persamaan, tekanan pada perbedaan terutama disebabkan oleh kerena
hukum barat dibatasi oleh hukum eropa kontinental saja, padahal ada pula sistem
hukum angiosaxon yang merupakan sistem hukum barat)
Adat-adat yang ada di masyarakat Aceh sangat bermacam ragam dan sangat
berbeda-beda, contohnya adat peusijuk dan lain-lain. Adat tersebut boleh
dilakukan asal tidak bertantangan dengan agama islam dan hukum islam atau
syari’at islam yang ada di aceh. adat yang ada di aceh telah ada dari nenek moyang
mereka dari turun-temurun dan sampai sekarang masih ada dalam kehidupan
masyarakat aceh. Masyarakat aceh termasuk sebagai wilayah yang sangat menjaga
adat istiadatnya, buktinya masyarakat aceh sangat diidentik dengan adatnya dan sangat kentalnya adat istiadat yang masih
berlaku di aceh.
Dalam masyarakat aceh jika terjadi
permasalahan yang rumit, dan telah menyelesaikan ke berbagai pihak, namun belum
menemukan titik temu, dan juga tidak mau menempuk jalan pengadilan. Maka mereka
menempuh jalan yang lebih mudah yaitu menyelesaikannya dengan hukum adat, yaitu
hukum yang telah lama ada dalam kehidupan masyarakat aceh sejak dulu kala. Pada
akhirnya, mau tidak mau meraka harus menempuh jalan damai antara kedua pihak
dan perselisihan yang terjadi akan mudah selesai. jalur ini adalah jalan
terakhir yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah yang ada di aceh.
[1]Dikutip dari Herwanto Aryo Mangolo
“Pranata sosial: Pengertian dan Fungsi” dalam J. Dwi Narwoko-Bango suyanto
(E.d.), sosiaologi, Teks Penghantar dan Terapan, (Jakarta:t.t.p., 2004) hlm
198.
[4] Pasal 13 ayat
(1) Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
Istiadat.
Pasal 13 ayat (3) Qanun Aceh Nomor 9 Tahun
2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.
Tags:
MAKALAH