Makalah Pengertian Tarikh Tasyri'

041

A.  Pengertian Tarikh Tasyri’
Sebagai mana telah kita pelajari sebelumnya dari mata kuliah tarikh tasyri’ ini. Tarikh berasal dari kata تأريخا، يورخ، ارخ  yang berarti menentukan waktu terjadinya peristiwa.
Sedangkan tasyri’ berasal dari kata شريعة، يشرع، شرع  yang berarti menuju kesumber, syari’ah memiliki arti umum yaitu sumber mata air dan juga jalan yang lurus.
Jadi yang dimaksud dengan tarikh tasyri’ adalah sejarah pembinaan atau pembentukan hukum. Tarikh tasyri’ akan mengkaji hukum sampai akhir zaman nanti.
B.  Tarikh Tasyri’ Periode Modern

Pada umumnya, penetapan hukum dizaman sahabat himgga sekarang tidaklah jauh berbeda. Jika para sahabat menyelesaikan suatu permasalahan hukum dengan al-qur’an, hadits, ijma’ dan juga qiyas juga seterusnya hingga masa imam mazhab dan taqlid. Pada masa periode modern tidak jauh berbeda dengan masa-masa yang telah terdahulu dalam menetapkan suatu hukum.
Dizaman serba modern ini, kemajuan pesat yang terjadi dalam bidang pengetahuan dan teknologi menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam segala bidang kehidupan manusia. Jika pada masa awal Islam berperang masih mengunakan pedang, sekarang sudah mengunakan senjata canggih. Begitu juga dengan trasportasi, pada awal mula Islam. Jelasnya dengan kemunculan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak sekali muncul hal baru dalam kehidupan manusia dan menimbulkan perubahan-perubahan baru dalam masyarakat, baik perubahan struktur sosial dan munculnya masalah-masalah baru seperti masalah transfusi darah, bayi tabung dan lain-lainnya perlu diatur dan diselesaikan sesuai dengan kaidah islam. Agar agama Islam mampu menghadapi perkembangan zaman, maka hukum Islam perlu dikembangkan dan pemahaman tentang islam harus terus menerus diperbaharui dengan memberikan penafsiran-penafsiran terhadap nash syara’ dengan cara menggali kemungkinan atau alternatif dalam syari’at yang diyakini bisa menjawab masalah-masalah baru. Jadi, pembaharuan hukum Islam dimaksudkan agar hukum Islam tidak ketinggalan zaman dan mampu menjawab pertanyaan yang berkesinambungan di dalamnya.
Tasyri’ sempat redup pada masa periode taklid, tapi bukan berarti pada saat itu tidak ditetapkannya segala hukum islam. Namun pada masa itu mereka hanya mengikutu dari hukum islam yang terdahulu (yang diterapkan oleh imam mazhab). Setelah itu, tepatnya pada abad ke-19 M penetapan akan hukum islam mulai bangkit. Masa itu yang disebut dengan masa periode kebangkitan dan seterusnya periode modern.[1]
C.  Tanda-tanda Kebangkitan Tasyri’ Diera Modern
Tanda-tanda kebangkitan hukum islam pada masa modern dapat kita lihat pada sistem berikut ini :
1. Sistem mempelajari dan menuliskan hukum islam
Kebangunan hukum islam pada masa modern banyak bergantung kepada cara mempelajarinya. Yakni mempelajari hukum-hukum syara’ dengan berbagai pendapat tentang satu persoalan dan alasannya masing-masing, serta aturan-aturan dasar yang menjadi pegangannya. Kemudian pendapat-pendapat tersebut diperbandingkan satu sama lain, untuk dipilih pendapat mana yang lebih benar dan diperbandingkan pula dengan hukum positif. Disana tidak hanya satu madzab yang dikaji dan dipelajai akan tetapi keempat aliran hukum ahlusunnah wal jama’ah. Memang para fuqaha masa-masa dulu sudah mengenal sistem perbandingan hukum dengan menyebutkan pendapat berbagai ulama mujtahidin meskipun dalam bentuk yang sederhana. Akan tetapi semenjak abad ke-4 Hijriah dengan mengecualikan karya Ibnu Rusyd yang sangat bernilai yaitu bidayatul mujtahid, perbandingan tersebut hanya bermaksud untuk mengadakan pembelaan terhadap pendapat imam yang dianutnya dan mengusahakan melemahkan pendapat imam yang lain. Oleh karena itu, maka tidak ada penguatan suatu pendapat atas pendapat lain karena kekuatan dalil itu sendiri. Selanjutnya kemungkinan untuk mencari pendapat yang lebih tepat dan lebih sesuai dengan rasa keadilan orang banyak tidak ada lagi. Karena penguatan salah satu pendapat dalam hukum islam hanya terjadi dalam lingkungan satu madzab.
Sistem perbandingan dalam pembahasan hukum pada masa modern, terlepas dari pendirian sesuatu aliran hukum tertentu, atau dari pembelaan terhadapnya. Kajian ini didasarkan pada kesungguhan dalam mempelajari berbagai pendapat yang berkembang tentang satu persoalan, dengan menjelaskan pendapat setiap mazhab, kemudian mendiskusikannya dan barulah diketahui pendapat yang paling kuat dalilnya dan mampu mewujudkan kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat.
Dengan adanya perubahan-perubahan dalam sistem mempelajari dan menuliskan hukum-hukum islam seperti tersebut diatas, maka kita dapat menyisihkan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam hukum islam selama ini dan menunjukkan wajahnya yang sebenarnya, sebagaimana kita bisa menghadapi kehidupan ini dengan segala peristiwanya yang terjadi untuk menerapkan hukum islam atas peristiwa-peristiwa tersebut.
2. Kedudukan hukum islam dalam perundang-undangan
Usaha-usaha perundang-undangan negara sebenarnya sudah pernah dilakukan beratus-ratus tahun yang lalu, seperti yang pernah dibuat oleh Ibnu Muqaffa’ pada abad ke-2 hijriyah, dimasa khalifah Abbasiyah. Ia pernah mengirim surat kepada khalifah Al-Mansur untuk menbuat undang-undang yang diambil dari Al-qur’an dan sunnah, dan apabila tidak ada nash dari keduanya dapat diambil dari fikiran dengan syarat bisa mewujudkan rasa keadilan dan kepentingan orang banyak. Surat tersebut dikirim karena adanya perbedaan pendapat antara para fuqaha dan hakim dalam memutuskan suatu masalah yang sama. Akan tetapi surat tersebut tidak mendapatkan sambutan yang cukup pada masa itu karena para fuqaha tidak mau memaksa orang untuk mengikuti pendapat-pendapatnya, serta memperingatkan murid-muridnya untuk tidak berfanatik buta serta mengingatkan bahwa ijtihad-ijtihad yang dilakukan bisa kemasukan salah.[2]
Usaha lain telah dilakukan oleh khalifah Mansur dimana ia sedang pergi haji dan singgah dimadinah, kemudian ia meminta Imam Malaik untuk membuat ilmu fiqh dan menuliskan tentang buku-buku ilmu tersebut. Khalifah Harun ar-Rasyid pernah meminta agar kitabnya al-Muwatta’ untuk disebar diseluruh negeri serta menjadi pedoman dalam peradilan dan fatwa, namun Imam Malik menolak karena dirinya tidak lebih berhak dari fuqaha-fuqaha sebelumnya maka dari itu pendapatnya tidak bisa dipaksakan untuk orang banyak. Dalam fatwa Imam Malik bersandar pada kitab Allah untuk pertama kalinya, kemudian kepada as-sunnah. Tetapi beliau mendahulukan amalan penduduk Madinah dari pada hadis ahad kalau terbukti membedainnya.
Pada abad ke-11 hijriah, Sultan Muhammad alamkir(1038-1118), salah seorang raja India, membentuk suatu panitia yang terdiri dari ulama-ulama India terkenal dengan diketuai syekh Nazzan. Panitia tersebut diberi tugas untuk membuat satu kitab yang menghimpun riwayat-riwayat yang disepakati oleh madzab Hanafi, kitab tersebut diberi nama: ‘’Al-Fatawi al-Hidayah’’.
Meskipun kitab tersebut bersifat setengah resmi, namun tidak mengikat para hakim dan pemberi fatwa. Dan dari segi penyusunan bab-babnya tidak memadai susunan buku undang-undang, melainkan merupakan kitab fiqh biasa yang berisi persoalan-persoalan yang benar-benar terjadi atau yang diperkirakan bisa terjadi. Sesudah menyebutkan berbagai pendapat tentang suatu persoalan, kemudian diikuti oleh pilihan pahitnya terhadap pendapat yang dianggapnya kuat.[3]
Usaha nyata untuk menempatkan ketentuan-ketentuan hukum Islam dalam perundang-undangan Negara baru terwujud dengan munculnya buku ‘’Majalatul Ahkam al-Adliyyah’’ dan Qanunul ‘Ailaat (undang-undang) dari turki, yang menjadi tanda permulaan masa kebangkitan hukum islam.
D.  Keadaan atau Kedudukan Tasyri’ Diera Modern
Pada saat ini banyak pemandangan yang sering kita lihat tidak hanya dibarat, bahkan didunia muslim saat ini telah banyak mengalami perubahan dari segala bidang. Baik itu yang berasal dari dunia muslim itu sendiri maupun dari luar. Diera modern yang banyak mengalami perubahan dan perlu adanya pembaharuan hukum islam. Namun dalam pembaharuan hukum islam tidak boleh merubah hukum islam yang ada, artinya kita hanya boleh menetapkan hukum baru yang belum ada pada masa Rasul dan sahabat, sedangkan hukum yang telah ada tidak boleh dirubah ataupun diperbaharui. Pembaharuan hukum islam terdiri dari dua kata, yaitu ‘’pembaharuan’’ yang berarti modernisasi, atau suatu upaya yang dilakukan untuk mengadakan atau menciptakan suatu yang baru, dan ‘’hukum islam’’ yakni koleksi daya upayapara ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini hukum islam lebih didekatkan dengan fiqih, bukan syariat.[4]
Dari hal diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa hukum islam itu harus dinamis, sehingga tidak luput dari perubahan. Untuk melakukan suatu pembaharuan hukum islam zaman modern yang penuh dengan anggapan ataupun kesalah pahaman tentang pemahaman yang harusnya tidak dipermasalahkan lagi dalam agama kita ini maka harus ditempuh melalui metode.
E.   Pembaharuan Tasyri’ (hukum) Pada Periode Modern
Pembaharuan hukum islam di dunia islam pada abad modern secara garis besar dapat dikategorikan menjadi tiga pola. Pola pertama adalah pola pembaharuan yang berorientasi pada peradaban Barat. Pada dasarnya pola ini berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kemajuan yang telah dicapai dunia Barat merupakan hasil perkembangan ilmu penegetahuan dan teknologi modern. Pola kedua adalah pembaharuan pada sumber Islam murni. Pola pembaharuan ini berpandangan bahwa sesungguhnya islam sendiri merupakn sumber peradaban serta ilmu pengetahuan modern. Islam sendiri merupakan ajaran yang pada hakikatnya mengandung potensi membawa kemajuan budaya dan kesejahteraan hidup bagi umat manusia, dan hal ini telah dibuktikan pada masa kejayaan peradaban islam. Pola ketiga adalah pola pembaharuan yang beroirientasi pada nasionalisme.  Pada dasarnya ide nasionalisme berasal dari dunia Barat, yangt memandang bahwa setiap bangsa mempunyai potensi sendiri yang memungkinkan berkembang sistem dan lingkunag budaya yang lebih maju, baik dari sisi potensi sumber daya manusia, kesejarahan, maupun potensi lingkungan.
Ibrahim Husen seorang ahli hukum islam mengajukan beberapa metode untuk pembaharuan hukum islam (tasyri’) pada periode modern, antara lain:
1. Pemahaman atau pengkajian terhadap Al-qur’an
Untuk mengadakan pembaharuan hukum islam, hal ini dilakukan dengan direkontruksi dengan jalan mengartikan al-qur’an dalam konteks dan jiwanya. Pemahaman melalui konteks beerarti mengetahui asbab an-nuzul . sedangkan pemahaman melalui jiwanya berarti memperhatikan makna subtansi ayat tersebut. Perlu ditekankan bahwa al-qur’an adalah sumber hukum yang pertama dan utama sebagaimana yang diungkapkan Allah dalam surat an-Nisa ayat 105:
2. Pemahaman terhadap hadits (sunnah)
Sunah adalah sumber kedua dalam syariah maupun fiqh. Ia juga memberikan dasar bagi munculnya hukum baru. Pemahaman baru terhadap sunah, dapat dilakukan dengan mengklasifikasi sunah, sebagaimana Rasulullah dalam rangka menetapkan suatu hukum dan bagaimana pula dilakukan selaku manusia biasa sebagai sifat basyariyah. Sunah baru dapat dijadikan pegangan wajib apabila dilakukan dalam rangka menetapkan hukum. Sedangkan yang dilakukan sebagaimana manusia biasa tidak wajib diikuti, seperti kesukaann Rasulullah kepada makanan yang manis, pakaian yang beerwarna hijau dan sebagainya. Disamping itu sebagaimana Al-qur’an, sunah juga harus difahami dari segi jiwa dan semangat atau subtansi yang terkandung didalamnya.
3. Pendekatan ta’aqquli (rasional)
Ulama’ zaman dahulu menerima rukun islam dilakukan dengan taabbudi yang menerima hukum islam apa adanya tanpa komentar, sehingga kwalitas illat hukum dan tinjauan filosofinya banyak tidak terungkap. Oleh karena itu pendekatan ta’aqquli harus di tekankan dalam rangka pembaharuan hukum islam (ta’abbudi dan ta’aqquli). Dengan pendekatan ini illat hukum hikmahat-tashih dapat dicerna umat islam terutama dalam masalah kemasyarakatan.

4. Penekanan zawajir (zawajir dan jawabir) dalam pidana
Dalam masalah hukum pidana ada unsur zawajir dan jawabir. Jawabir artinya dengan hukum itu dosa atau kesalahan pelaku pidana akan diampuni dosanya oleh Allah. Dengan memperhatikan jawabir ini hukum pidana harus dilakukan sesuai dengan nash, seperti pencuri yang harus dihukumi dengan potong tangan, pezina muhsan yang dirajam, dan pezina ghairu muhsan yang didera. Sedangkan zawajir adalah hukum yang bertujuan untuk membuat jera pelaku pidana sehingga tidak menggulanginya lagi. Dalam pembaharuan hukum islam mengenai pidana, yang harus ditekankan adalah zawahir dengan demikian hukum pidana tidak terikat pada apa yang tertera dalam nash.
5. Masalah ijma’
Pemahaman yang terlalu luas terhadap ijma’ dan keterkaitan kepada ijma’ harus dirubah dengan menerima ijma’ sharih, yang terjadi dikalangan sahabat (ijma’ sahabat) saja, sebagaimana yang dikemukakan oleh syafi’i kemungkinan terjadinya ijma’ sahabat sangatlah sulit, sedangkan ijma’ sukuti masih diperselisihkan. Disamping itu ijma’’ yang dipedomani haruslah mempunyai sandaran qath’i yang pada hakikatnya kekuatan hukumnya bukan kepada ijma’ sendiri, tetapi pada dalil yang menjadi sandarannaya.
6. Masalik al-‘illat (cara penetapan illat)
Kaidah-kaidah yang dirumuskan untuk mendeteksi illat hukum yang biasa dibicarakan dalam kaitan dengan kias. Dalam kaidah pokok dikatakkan bahawa ‘’hukum beredar sesuai dengan illatnya’’. Ini ditempuh dengan merumuskan kaidah dan mencari serta menguji illat yang benar-benar baru.
7. Masalah mursalah
Dimana ada kemaslahatan disana ada hukum Allah SWT adalah ungkapan yang populer dikalangan para ulama. Dalam hal ini masalah mursalah dijadikan sebagai dalil hukum dan berdasarkan ini, dapat ditetapkan hukum bagi banyak masalah yang baru yang tidak disinggung oleh Al-qur’an dan sunah.
8. Sadd az-zari’ah
Sadd az-zari’ah berarti sarana yang membawa kehal yang haram. Pada dasarnya sarana itu hukumnya mubah, akan tetapi karena dapat membawa kepada yang maksiat atau haram, maka sarana itu diharamkan. Dalam rangka pembaharuan hukum islam sarana ini digalakkan.
9. Irtijab akhalf ad-dararain
Dalam pembaharuan hukum islam kaidah ini sangat efektif untuk pemecahan masalah baru. Umpamanya perang dibulan muharram hukumnya haram, tetapi karena pihak musuh menyerang, maka boleh dibalas dengan berdasarkan kaidah tersebut, karena serangan musuh dapat menggangu eksistensi agama islam.
10. Keputusan waliyy al-amr
Atau disebut juga ulil amri yaitu semua pemerintah atau penguasa, mulai dari tingkat yang terendah sampai tingkat yang tertingi. Segala peraturan undang-undang wajib ditaati selagi tidak bertentangan dengan agama. Hukum yang tidak dilarang dan tidak diperintahkan hukumnya mubah. Contohnya, pemerintah atas dasar masalah mursalah menetapkan bahwa pembatasan umur calon mempelai laki-laki dan peremuan yaitu perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.[5]
Pembaharuan hukum islam dimaksudkan agar ajaran islam tetap ada dan diterima oleh masyarakat modern. Untuk mengembalikan aktualitas hukum islam atau menjembatani ajaran teoritas dalam kitab-kitab fiqih hasil pemikiran mujtahid dengan kebutuhan masa kini. Tujuan diadakannya pembaharuan dalam hukum islam yaitu Memberikan kebijakan, Membuat atura tambahan, Talfiq (meramu) dan Melakukan reinterpretasi dan reformulasi.[6]
F.   Para Ulama Pada Masa Periode Modern
Adapun beberapa ulama (mujtahid) pada masa periode modern adalah:
1.      Sultan Mahmud II (1758-1838), dari turki.
2.      Rasyid Ridha( 1865-1935 ).
3.      Muhammad Abduh (1849- 1905 ).
4.      Jamaluddin Al-Afghani ( 1839-1897).
5.      At-Tahtawi (1801-1873 ).
6.      Muhammad Ali pasya ( 1795- 1849 ).
G.  Mengulas sedikit hasil dari diskusi kelompok
Sebagaimana kita telah mengetahui dari diskusi yang telah lalu, bahwasanya awal mulanya bangkit tasyri’ (periode kebangkitan) adalah pada abad 13 M, hingga abad 18 M. Dan kemudian dari abad 19 M sampai dengan sekarang itu adalah yang disebut dengan periode modern. Tidak jauh berbeda para ulama dalam menetapkan hukum diperiode kebangkitan dengan periode modern. Karena pada dasarnya para ulama menentukan hukum itu dari Al-qur’an dan sunnah, begitu juga dengan qiyas dan juga ijma’. Dan kemudian mereka berijtihad apabila tidak menemukan nashnya.
Pada periode modern ini, tidak semua ulama memiliki pendapat yang sama. Karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat beberapa ulama berbeda pendapat anatara satu sama lain. Di Indonesia misalnya, penetapan 1 syawal dan 1 ramadhan sering kali berbeda penetapan antara kalangan Ahlussunnah waljama’ah dengan kalangan Muhammaddiyah. Begitu juga dalam hal lain sebagainya. Jadi, salah satu jalan untuk meyakini perbedaan tersebut adalah dengan cara kepercayaan.
Jadi setiap ada permasalahan hukum islam yang timbul pada zaman modern ini, para ulama harus paham betul atas permasalah tersebut, dan melakukan ijtihad atas permasalahan tersebut.

























BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dizaman modern seperti ini telah mengalami berbagai kemajuan dibeberapa bidang, hal tersebut menyebabkan perlu adanya pembaharuan dibidang tasyri’ (hukum) Islam,  supaya hukum Islam tidak ketinggalan zaman. Tanda-tanda kebagkitan hukum Islam dimasa ini dapat kita lihat pada tiga sistem yaitu: sistem mempelajari dan menuliskan hukum Islam, kedudukan hukum Islam dan penilaian orang-orang orientalis terhadap hukum Islam.
Dalam pembaharuan hukum islam tidak boleh merubah hukum islam yang ada, artinya kita hanya boleh menetapkan hukum baru yang belum ada pada masa Rasul dan sahabat, sedangkan hukum yang telah ada tidak boleh dirubah ataupun diperbaharui. Tujuan diadakannya pembaharuan dalam hukum islam yaitu Memberikan kebijakan, Membuat atura tambahan, Talfiq (meramu) dan Melakukan reinterpretasi dan reformulasi.
B.  Saran
Sekian makalah dari saya, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kritik dan saran dari anda sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.







[1] . Harun Nasution, Pembaharuan dalam islam: Sejarah pemikiran dan Gerakan ( Jakarta : Bulan Bintang , 1995 ), hlm. 18
[2] Mubarak, jaih, sejarah dan perkembangan hukum islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003).hlm 105
[3] Khalil Rasyad Hasan, Tarikh Tasyri’, ( Jakarta: Amzah,2009). hlm 76
[4] Safiuddin, Tarikh tasyri’ sejarah pembentukan hukum islam, (Jakarta: Amri), hlm 84
[5] Mubarak, jaih, sejarah dan perkembangan hukum islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2003), hlm 53
[6] Muhammad zuhri, terjemah tarikh tasyri’ al-islami, (Semarang: Darul Ihya,1997), hlm 117
Lebih baru Lebih lama

Sponsor

Close Button
CLOSE ADS
CLOSE ADS