Saksi
Sebelum menjelaskan lebih lanjut apa itu
saksi ada baiknya terlebih dahulu kita menjelaskan apa itu “Nikah ?”.
Menurut bahasa perkawinan atau pernikahan dalam literature fiqh bahasa Arab di sebut dengan dua kata,yaitu nikah dan zawwaj.Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Alquran dan Hadis nabi.
Menurut ulama sebagian ulama hanafiah nikah
adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk
bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria atau wanita.[1]
Ada empat rukun perkawinan salah satunya adalah saksi.Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, saksi adalah orang yg melihat atau
mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian). Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHAP Pasal 1 (26) dinyatakan
tentang pengertian saksi yaitu:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar
sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengertahuannya
itu”.
Sedangkan dalam
pengertiannya Saksi nikah adalah orang yang menyaksikan secara langsung akad
pernikahan supaya tidak menimbulkan salah paham dari orang lain. Masalah saksi
pernikahan dalam Alqur’an tidak tertera secara eksplisit, namun saksi untuk
masalah lain seperti dalam masalah pidana muamalah atau masalah cerai atau
rujuk sangat jelas diutarakan. Menurut Imam Malik dan para sahabatnya bahwa
saksi dalam akad nikah itu tidak wajib dan cukup diumumkan saja. Mereka beralasan bahwa jual beli yang di
dalamnya disebut soal mempersaksikan ketika berlangsungnya jual beli sebagaimana
tersebut didalam Alqur’an bukan merupakan bagian dari syarat-syarat yang wajib
dipenuhi. Allah tidak menyebutkan di dalam Alqur’an tentang adanya syarat
mempersaksikan dalam suatu pernikahan. Karena itu, tentu lebih baik jika
masalah mempersaksikan tidak termasuk salah satu syaratnya, tetapi cukuplah
diberitahukan dan disiarkan saja guna memperjelas keturunan. Mempersaksikan ini
boleh dilakukan setelah ijab-kabul untuk menghindari perselisihan antara kedua
mempelai. Jika waktu ijab-kabul tidak dihadiri para saksi, tetapi kalau sudah
bercampur belum dipersaksikan maka nikahnya batal. Perhatikan sabda Rasulullah
SAW:
عن ابن عبا س ان رسول
الله عليه صلى الله عليه وسلم قال: البخا يا اللا تى ينكحن انفسهن بخير بينة (
رواه الترمذى )
Artinya:
Dari ibnu Abbas r.a.
katanya, “Rasulullah SAW.bersabda, “ pelacur yaitu perempuan-perempuan yang
mengawinkan dirinya tanpa saksi.” (H.R. Tirmidzi)
Juga hadits lain yang menceritakan dari Aisyah:
لاَ نِكَاحَ إِلاَ
بوَلِيٍِّ وَ شَاهِدَيْ عَدْلٍ
Artinya :
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi.” (H.R.
Daruqutni).
Sabda Rasulullah SAW:
لا نكا ح الا بو لي و شا هد ى عدل(رواه احمد)
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi adil.” (HR. Ahmad
).
Sebuah pernikahan tidak
sah bila tidak disaksikan oleh saksi yang memenuhi syarat. Maka sebuah
pernikahan sirri yang tidak disaksikan jelas diharamkan dalam islam.
Rasulullah SAW bersabda:
ايما امراة نكحت بخير اذن وليها وشاهدي عدل فنكا حها باطلˏفان دخل بها فلها
المهرˏ وان اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له
“Wanita mana saja yang
menikah tanpa izin dari walinya dan dua orang saksi yang ‘adil, maka pernikahan
baathil. Apabila seorang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar
mahar untuknya. Dan bila mereka berselisih, maka sulthan adalah wali bagi
mereka yang tidak mempunyai wali.”
Syarat-syarat saksi
a. Saksi itu berjumlah paling
kurang dua orang.
Bila hanya ada satu orang, maka tidak mencukupi syarat kesaksian
pernikahan yang syah. Sebab demikianlah teks hadits menyebutkan bahwa harus ada
2 orang saksi yang adil. Namun itu hanyalah syarat minimal. Sebaiknya yang
menjadi saksi lebih banyak, sebab nilai ‘adalah dimasa sekarang ini sudah
sangat kecil dan berkurang.
b. Kedua saksi
harus beragama islam.
Kedua orang saksi itu haruslah beragama islam, bila salah satunya
kafir atau dua-duanya, maka akad itu tidak sah.
c. Berakal
Maka seorang yang kurang waras atau idiot atau gila tidak syah bila
menjadi saksi sebuah pernikahan.
d. Baligh.
Maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum
baligh, tidak sah bila menjadi saksi.
e. Merdeka
Abu Hanifah dan Syafii menyaratkan orang yang menjadi saksi harus
orang-orang yang merdeka, tetapi ahmad juga mengharuskan syarat ini. Dia
berpendapat bahwa aqad nikah yang disaksikan oleh dua orang budak, hukumnya sah
sebagimana sahnya kesaksian mereka dalam masalah-masalah lain, karena dalam
alquran maupun hadits tidak ada keterangan yang menolak seorang budak untuk
menjadi saksi dan selama dia jujur serta amanah, kesaksiannya tidak boleh
ditolak.
f. Laki-laki.
Maka kesaksian wanita dalam pernikahan tidak sah. Bahkan meski dengan dua
wanita untuk penguat, khusus dalam persaksian pernikahan, kedudukan laki-laki
dalam sebuah persaksian tidak bisa digantikan dengan dua wanita. Golongan
Syafi’i dan hambali menyaratkan saksi haruslah laki-laki. aqad nikah dengan
saksi seorang laki-laki dan dua perempuan, tidak sah
g.
Adil
Kedua saksi itu bersifat adil
dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa
kecil dan tetap menjaga marwah.Ulama Hanafi tidak mensyaratkan adil pada saksi
perkawinan. (Ibnu Al-Humam :197).
h.
Kedua saksi dapat
melihat dan mendengar.
SAKSI NIKAH MENURUT
ULAMA FUQAHA
1.
Menurut Imam Syafi’i
Imam Syafi’i dengan
keikhtiatannya berpendapat bahwa saksi nikah adalah orang yang harus
menyaksikan aqad pernikahan secara langsung, sesuai dengan KHI pasal 26 yang
berbunyi: “saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah dan
menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan”,
bahkan saksi termasuk rukun yang harus dilaksanakan dalam sebuah pernikahan.
Adapun syarat-syaratnya
ialah:
a.
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki.
b.
Muslim.
c.
Baligh.
d.
Berakal.
e.
Melihat dan mendengar.
Jadi jelas bahwa dalam
hal ini imam syafi’i mengharuskan adanya saksi dalam setiap akad pernikahan,
karena tanpa adanya saksi maka pernikahan aitu tidak sah. sesuai dengan dalil
syara’ yang disebutkan oleh khalifah Umar ra. Dari Abi Zubair Al-Makki bahwa
Umar bin Al-Khattab ra. Ditanya tentang menikah yang tidak disaksikan kecuali
oleh seorang laki-laki dan seorang wanita. Maka beliau berkata: “ini adalah
nikah siirri, aku tidak membolehkannya.
Bila kamu menggaulinya pasti aku rajam.” (riwayat Malik dalam Al-Mutawatho’).
Dalam hadits ini
dikatakan bahwa nikah sirri (nikah tanpa saksi) adalah haram dan tidak boleh
dilakukan, maka kalau seorang melakukan akad nikah tanpa ada dua orang saksi,
maka pernikahannya tidak sah.
Selain syarat saksi
diatas juga menurut Imam Syafi’i banyak sekali hikmah dengan adanya saksi dalam
akad nikah diantaranya: untuk kemaslahatan kedua belah pihakdan masyarakat,
untuk menjaga kesalahpahaman dan lain sebagainya. Misalnya salah seorang ada
yang mengingkari, hal itu dapat dielakkan oleh adanya dua orang saksi. Juga
apabila terjadi kecurigaan masyarakat maka dua orang saksi dapatlah menjadi
pembela terhadap adanya akad perkawinan dari sepasang suami istri.
2.
Menurut Imam Hanafi dan Imam Hambali
Tidak jauh beda, Imam
Hanafi dan Imam Hambali juga berpendapat sama bahwa saksi dalam nikah adalah
termasuk pada rukun sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Syafi’i dan menurut
KHI pasal 24 ayat 1 yang berbunyi : “saksi dalam perkawinan merupakan
pelaksanaan akad nikah.” Akan tetapi menurut mereka boleh juga saksi itu
satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, dengan dalil Al-Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 282:
“....jika tak ada
dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seseorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya...”
Bahkan ia juga
menambahkan boleh dua orang buta dan dua orang adil. Kecuali orang tuli, orang
yang sedang tidur dan mabuk. Jadi pada dasarnya pernikahan barulah bisa sah
kalau ada saksi. Karena kalau tidak ada saksi termasuk pada nikah sirri.
3.
Menurut Imam Maliki
Dalam hal ini Imam
Maliki berbeda pendapat. Sebelum mengutarakan pendapat Malik bin Anas tentang
kedudukan saksi dalam akad nikah, terlebih dahulu kita simak sebuah hadits yang
mengemukakan tentang saksi perkawinan, yang artinya: “Dari Imran bin
Huseein,dari Nabi SAW. Beliau pernah bersabda:’Tidak sah perkawinan kecuali
dengan wali dan dua orang saksi yang adil’. Penuturan Ahmad bin Hambal dalam
riwayat anaknya Abdullah.”
Kedudukan hadits
tersebut menurut at-Tirmidzi dan dikeluarkan oleh al-Daruquthni dan al-Baihaqi
adalah hadits hasan, karena dalam isnadnya ada perawi yang dikategorikan matruk
yaitu Abdullah bin Mahrus. Demikian juga Malik menilai hadits tersebut sebagai
hadits munqathi’. Imam Malik dan ulama hadits lainnya dalam meneliti hadits
yang mengungkapkan imperative adanya saksi dalam perkawinan menggunakan
pendekatan pembahasan. Mereka berpendapat bahwa saksi itu bukan syarat sah,
karena kalimat nafiy “laa ilaaha” dalam hadits diatas menunjukkan makna
kesempurnaan (lil itmam) bukan keabsahan (lishihhah). Karena itu
Imam Malik dan ulama hadits lain, mengatakan bahwa hadits yang mengemukakan
adanya saksi dalam perkawinan semuanya adalah dho’if.
Oleh karena itu Imam
Malik berpendapat bahwa dalil tentang adanya saksi dalam perkawinan bukan
merupakan dalil qath’iy, tapi hanya dimasudkan sad al-Dzari’ah. Dan
menurut saksi tidak wajib dalam akad nikah, tetapi perkawinan tersebut
dii’lankan sebelum dukhul dan saksi bukanlah syarat sah perkawinan.
Alasan yang dikemukakan Imam Malik, yaitu ada hadits yang dinilainya lebih
shahih, diantaranya: “Diterima dari Imam Malik ibn al-Mundzir, dia berkata
“sesungguhnya Nabi SAW. Telah membebaskan shafiyah r.a. lalu menikahkannya
tanpa adanya saksi.” (HR. Al-Bukhari).
Saksi nikah menurut kompilasi hukum islam (KHI)
Pasal 24-26
Setelah KHI membahas
ketentuan wali dalam pernikahan, KHI beranjak pada permasalahan saksi nikah
yang mana ia sebagai salah satu dari rukun nikah seperti yang telah
diterangkan. Dalam hal ini, pasal 24 KHI menyatakan:
Pasal 24
1. Saksi dalam perkawinan
merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2.
Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Ketentuan pasal 24 ini adalah ketetapan yang disepakati madzhab syafi’i
menegaskan bahwa sebuah pernikahan bisa sah apabila disaksikan oleh dua orang
yang adil.
Ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan Ibn Hibban didalam kitab
shahihnya:
عن عا ئشة رضي الله تعالى عنها : لا نكاح الا بولي وشا هدي عدل, وماكان من
نكاح على غير ذلك فهو باطل, فا ن تشاحوا فالسلطان ولي من لا ولي له.
Komplikasi Hukum Islam meneruskan ketentuan bagi saksi nikah dengan pasal
25 sebagai berikut:
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki
muslim, adil, aqil, baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau
tuli.
Ketentuan pasal 25 ini juga merupakan pendapat madzhab Syafi’i. Hanya saja,
menurut pendapat yang lebih sahih, seorang saksi harus juga tidak tuna netra
(tidak buta). Ini dapat dilihat di dalam kitab al-Iqna’ yang mengatakan:
ومما تركه من شروط الشاهدين السمع والبصر والضبط.
Secara spesifik kitab tersebut menentukan penglihatan sebagai salah satu
syarat. Akan tetapi, ternyata KHI telah meninggalkan ketentuan tidak tuna netra
(boleh seorang tuna netra menjadi saksi nikah) karena berpengangan pada
pendapat مقا بل الآ صح dalam madzhab Syafi’i, dan pendapat mayoritas
ulama. Alasan pendapat ini adalah sebuah kesaksian orang yang tuna netra bisa
sah apabila ia mendengar kata-kata kedua orang yang berakad, dan dapat
membedakan suara keduanya yang tidak memiliki keraguan sama sekali, karena tuna
netra adalah orang yang cakap sebagai saksi.
Kesaksian didalam pernikahan adalah berdasarkan ucapan (bukan penglihatan
seperti tindak pidana). Maka kesaksiannya tetap sah sebagaimana kesaksian di
dalam muamalah.
Ketentuan terakhir bagi saksi nikah yang diatur oleh KHI adalah pasal 26
sebagai berikut:
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
mendatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
Dalam pasal ini, kehadiran saksi untuk menyaksikan secara langsung akad
nikah dapatlah difahami dan memang sudah ditetapkan di dalam madzhab Syafi’i.
Akan tetapi, ketentuan pasal 26 yang menyebutkan “serta mendatangani akta nikah
pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan” perlu unntuk dibahas lebih
dalam menurut tinjauan fiqih.
Jadi saksi nikah ini sangat penting sekali dalam sebuah pernikahan karena
selain termasuk pada salah satu rukun nikah juga mejadi syarat sahnya
pernikahan. Akan tetapi, mengenai rukun dan syarat saksi itu sendiri bahkan
mengenai sah atau tidaknya sebuah pernikahan harus adanya saksi.
Dalam pasal 17 (1) Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa :
“sebelum berlangsungnya
perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon
mempelai di hadapan dua saksi nikah.”
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan No.
1 Tahun 1974 pada pasal 11 (2) telah menyatakan bahwa :
“Akta perkawinan yang
telah ditandatangani oleh mempelai itu selanjutnya ditandatangani pula oleh
kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam ditandatangi pula oleh wali Nikah
atau yang mewakilinya”.aksi
UU perkawinan tidak menempatkan kehadiran saksi dalam
syarat-syarat perkawinan,namun UU perkawinan menyinggung kehediran saksi itu
dalam pembatalan perkawinan dan dijadikan sebagai salah satu hal yang
membolehkan pembatalan perkawinan,sebagai terdapat pada pasal 26 ayat (1),yang
rumusannya di sebut di atas.[2]
Kesimpulan
Jumhur ulama sepakat bahwa saksi sangat penting adanya dalam pernikahan.
Apabila tidak dihadiri oleh para saksi, maka hukum pernikahan menjadi tidak sah
walaupun diumumkan oleh khalayak ramai dengan cara lain. Karena saksi merupakan
syarat sahnya pernikahan, bahkan Imam Syafii mengatakan bahwa saksi dalam akad
nikah itu termasuk rukun pernikahan.
Jika para saksi yang
hadir diamanatkan oleh pihak yang mengadakan akad nikah agar merahasiakan dan
tidak memberitahukannya kepada khalayak ramai, maka nikahnya tetap sah.
Tags:
MAKALAH