087
A. Hadits dan Arti
1.
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إِلَّا عَلَى
زَوْجِهَا رواه مسلم
Artinya:
"Tidak
boleh seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk berkabung
atas kematian melebihi tiga hari, kecuali atas kematian suaminya" (H.R Muslim)[1]
Dan dalam
riwayat Bukhari terdapat tambahan lafazh :
فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Artinya:
"Maka ia
berkabung atas hal tersebut selama empat bulan sepuluh hari"[2]
2.
كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ الْأَرْقَمِ الزُّهْرِيِّ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ يُخْبِرُهُ
أَنَّ سُبَيْعَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ بْنِ خَوْلَةَ
وَهُوَ فِي بَنِي عَامِرِ بْنِ لُؤَيٍّ وَكَانَ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا
فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهِيَ حَامِلٌ فَلَمْ تَنْشَبْ أَنْ
وَضَعَتْ حَمْلَهَا بَعْدَ وَفَاتِهِ فَلَمَّا تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا
تَجَمَّلَتْ لِلْخُطَّابِ فَدَخَلَ عَلَيْهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ
رَجُلٌ مِنْ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ فَقَالَ لَهَا مَا لِي أَرَاكِ مُتَجَمِّلَةً
لَعَلَّكِ تَرْجِينَ النِّكَاحَ إِنَّكِ وَاللَّهِ مَا أَنْتِ بِنَاكِحٍ حَتَّى
تَمُرَّ عَلَيْكِ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ قَالَتْ سُبَيْعَةُ فَلَمَّا قَالَ
لِي ذَلِكَ جَمَعْتُ عَلَيَّ ثِيَابِي حِينَ أَمْسَيْتُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ فَأَفْتَانِي
بِأَنِّي قَدْ حَلَلْتُ حِينَ وَضَعْتُ حَمْلِي وَأَمَرَنِي بِالتَّزَوُّجِ إِنْ
بَدَا لِي
"Umar bin Abdillah bin Al Arqam
Az Zuhri menulis surat kepada Abdullah bin ‘Utbah memberitahukan kepadanya,
bahwa Subai’ah telah menceritakan kepadanya bahwa ia (Subai’ah) adalah istri
Sa’ad bin Khaulah yang berasal dari Bani ‘Amir bin Lu’ai dan dia ini termasuk
orang yang ikut perang Badr. Lalu Sa’ad meninggal dunia pada haji wada’
sedangkan Subai’ah dalam keadaan hamil. Tidak lama kemudian setelah suaminya
wafat, ia melahirkan. Ketika selesai nifasnya, maka Subai’ah berhias untuk dinikahi.
Abu Sanaabil bin Ba’kak seorang dari Bani Abduddar menemuinya sembari berkata:
“Mengapa saya lihat kamu berhias, tampaknya kamu ingin menikah? Tidak demi
Allah! Kamu tidak boleh menikah sampai selesai empat bulan sepuluh hari.”
Subai’ah berkata: “Ketika ia bicara demikian kepadaku, maka aku memakai
pakaianku pada sore harinya, lalu aku mendatangi Rasulullah dan menanyakan hal
tersebut. Kemudian Rasulullah memberikan fatwa kepadaku, bahwa aku telah halal
dengan melahirkan dan memerintahkanku menikah bila kuinginkan.”[3]
B. Pengertian yang terkandung
Ibnu
Al Qayyim (wafat tahun 751H) berkata : Umat telah berijma’ tentang kewajiban
Ahdaad bagi wanita yag ditinggal mati suaminya, kecuali yang diriwayatkan dari
Al Hasan dan Al Hakam bin Utaibah.[4]
Ibnu
Hajar (wafat tahun 852 H) menegaskan: Syari’at memperbolehkan seorang wanita
untuk berkabung atas kematian selain suaminya selama tiga hari, karena
kesedihan yang mendalam dan penderitaan yang mendera karena kematian orang
tersebut. Hal itu tidak wajib menurut kesepakatan para ulama. Namun seandainya
suami mengajaknya berhubungan intim (jima’) maka ia tidak boleh menolaknya.[5]
Ibnu
Hazm (wafat tahun 456 H) menyatakan: Seandainya seorang wanita berkabung selama
tiga hari atas kematian bapak, saudara, anak, ibu atau kerabat lainnya, maka
hal itu mubah.[6]
Ibnu
Al Qayyim (wafat tahun 751 H) juga menyatakan: Berkabung atas kematian suami
hukumnya wajib dan atas kematian selainnya boleh saja.[7]
Oleh
karena itu Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: ‘Adapun orang yang hamil, jika telah
melahirkan, maka gugurlah kewajiban berkabungnya tersebut menurut kesepakatan
mereka (para ulama), sehingga ia boleh menikah, berhias dan memakai
wangi-wangian untuk suaminya (yang baru) dan berhias sesukanya.[8]
Sedangkan
Ibnu Hajar menyatakan: Mayoritas ulama dari para salaf dan imam fatwa di
berbagai negeri berpendapat bahwa orang yang hamil jika wafat suaminya menjadi
halal (boleh menikah) dan selesai masa iddahnya dengan melahirkan.[9]
Masa
berkabung ini dimulai dari hari kematian suami, walaupun berita kematiannya
terlambat ia dengar. Demikianlah pendapat mayoritas para sahabat, para imam
empat madzhab, Ishaq bin Rahuyah, Abu Ubaid dan Abu Tsaur.[10]
C. Ayat yang relevan
1.
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur ( #sÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& xsù yy$oYã_ ö/ä3øn=tæ $yJÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î6yz ÇËÌÍÈ
Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui
apa yang kamu perbuat.
(Q.S. al-Baqarah: 234)
[147]
Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan
2..
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³t z`ÏB ÇÙÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts 4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,Gt ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾ÍnÍöDr& #Zô£ç ÇÍÈ
Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barangsiapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
(Q.S. ath-Thalaaq: 4)
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Ketentuan berapa lama masa berkabung itu
sudah ditetapkan sampai kapan dan dalam kondisi apa sehingga tahu berapa lama
masa berkabung itu.
2. Dalam melewati masa berkabung kita harus
senantiasa bersabar, berserah diri dan bertawakal kepada Allah.
3. Sudah menjadi kelaziman kalau kita
berduka saat ada sanak keluarga atau kerabat meninggal.
4. Kita boleh berduka namun jangan sampai
berlarut-larut, sehingga kita lupa bahwa musibah semuanya adalah kehendak
Allah.
B. SARAN
Setelah membaca makalah ini, penulis
berharap kita sebagai orang mukmin agar dapat menyikapi dengan baik tentang
masa berkabung bagi wanita. Karena masa berkabung bagi wanita memang sudah
ditetapkan berapa lama dan sampai kapan masa berkabung itu. Dapat dibayangkan
bila kita tidak dapat menyikapi masa berkabung ini tentu kita akan menjadi
orang yang salah dalam menerima ketetapan Allah.
Bila kita salah dalam menyikapi apa yang
menjadi ketetapan Allah bisa-bisa kita akan terjerumus kepada hal-hal yang
melanggar agama. Untuk itu mari kita sikapi masa berkabung ini dengan sikap
lapang dada, sehingga kita tidak terlalu tersiksa dengan perasaan kita sendiri.
[1] HR Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Thalaq, bab Wujub Al Ihdaad, no.
3714.
[2] HR Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Al Janaaiz, bab Ihdaad Al Mar’ah
‘Ala Ghairi Zaujiha, no. 1280. Lihat Fathul Bari, hlm. 3/146.
[3] HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab Thalaq, bab Inqidha Al Mutawaaffa
‘Anha Zaujuha, no. 3707.
[4] Zaad Al Ma’ad Fi Hadyu Khairul Ibad, Ibnu Al Qayyim, tahqiq Syu’aib Al
Arnauth dan Abdul Qadir Al Arnauth, Cetakan Ketiga, Tahun 1421H Muassasah Ar
Risalah, hlm. 5/618.
[5] Fathul Bari, Op.cit., 3/146.
[6] Al Muhalla, Ibnu Hazm, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, tanpa cetakan dan
tahun, Daar Al Turats, Mesir, hlm. 10/280.
[7] Zaad Al Ma’ad, Op.cit., 5/618.
[8] Zaad Al Ma’ad, Op.cit, hlm. 5/619.
[9] Fathul Bari, Op.cit., hlm. 9/474.
[10] Lihat Al Kalimaat Al Bayyinat, Op.cit., hlm. 19.
Tags:
MAKALAH