Pada
saat berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa(UU No. 30/1999), ketentuan-ketentuan
mengenai arbitrase sebagaimana yang diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal
651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg, dinyatakan tidak berlaku lagi. UU No.
30/1999 berusaha mengatur semua aspek baik hukum acara maupun substansinya,
serta ruang lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase nasional dan
internasional.
Di
Indonesia minat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase mulai meningkat
sejak diundangkannya UU No. 30/1999. Arbitrase sendiri adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS).
Rachmadi Usman, mengatakan dengan diberlakukannya
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, sebagai pengganti Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka setiap perkara perdata tertentu yang akan
diadili oleh hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan
agama diwajibkan terlebih dahulu untuk menempuh prosedur mediasi di pengadilan.
Lebih lanjut, Rachmadi Usman, sebagaimana ia kutip
dari naskah akademis yang dibuat oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum
dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengatakan bahwa
sebenarnya lembaga mediasi bukanlah merupakan bagian dari lembaga
litigasi, dimana pada mulanya lembaga mediasi berada di luar pengadilan. Namun
sekarang ini lembaga mediasi sudah menyeberang memasuki wilayah pengadilan.
Negara-negara maju pada umumnya antara lain Amerika, Jepang, Australia,
Singapore mempunyai lembaga mediasi, baik yang berada di luar maupun di dalam
pengadilan dengan berbagai istilah antara lain: Court Integrated
Mediation, Court Annexed Mediation, Court Dispute Resolution, Court Connected
ADR, Court Based ADR, dan lain-lain.