Gelombang
demokrasi ( democracy wave ) dalam bentuk tuntutan reformasi di Negara-negara
tidak demokrasi, termasuk Indonesia, menjadi ancaman bagi eksistensi ideologi
nasional seperti Pancasila. Namun demekian, globalisasi juga melahirkan
paradoksnya sendiri: di satu sisi globalisasi demokrasi mengakibatkan
kebangkrutan banyak faham ideologi, di sisi yang lain juga mendorong bangkitnya
semangat nasionalisme lokal, bahkan dalam bentknya yang paling dangkal dan
sempit semacam ethno-nasionalisme, bahkan tribalism. Gejala ini,
sering disebut sebagai “balkanisasi” yang terus mengancam integrasi
Negara-negara yang majemuk dari sudut etnis, sosial kultural, dan agama seperti
Indonesia.
Menurut
Azra, paling tidak ada tiga faktor yang membuat Pancasila semakin sulit dan
marjinal dalam perkembangannya saat ini. Pertama, Pancasila terlanjur
tercemar karena kebijakan rezim Soeharto yang menjadikan Pancasila sebagai alat
politik untuk mempertahankan status quo kekuasaannya. Rezim Soeharto,
misalnya, menetapkan Pancasila sebagai azas tunggal bagi setiap organisasi,
baik organisasi kemasyarakatan maupun organisasi politik. Rezim tersebut juga
mendominasi pemaknaan Pancasila yang diindoktrinasikan secara paksa melalui
penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ( P4 ).
Kedua, liberalisasi
politik dengan penghapusan ketentuan yang ditetapkan Presiden BJ. Habibi
tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Penghapusan ini
memberikan peluang bagi adopsi asas ideologi-ideologi lain, khususnya yang
berbasiskan agama. Akibatnya, Pancasila cenderung tidak lagi menjadi common
platform dalam kehidupan politik.
Ketiga,
desetralisasi damotonomisasi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan
sentiment kedaerahan. Jika tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin menumbuhkan
sentiment local- nasionalism yang dapat tumpang tindih dengan ethno-nasionalism.
Dalam proses ini, Pancasila baik sengaja maupun akibat langsung dari proses
desentralisasi akan makin hilang posisi sentralnya. Mempertimbangkan posisi
krusial Pancasila di atas maka, perlu dilakukan revitalisasi makna, peran dan
posisi Pancasila bagi masa depan Pancasila sebagai negara moden. Perlunya
revitalisasi Pancasila karena didasari keyakinan bahwa Pancasila merupakan
simpul nasional yang paling tepat bagi Indonesia yang majemuk. Lebih jauh azra
menyatakan bahwa Pancasila telah terbukti sebagai common platform
ideology negara-bangsa Indonesia yang paling feasible dan sebagai viable
bagi kehidupan bangsa hari ini dan masa datang. Begitu juga melalui pendekatan
“core values” yang inklusif yang secara historis telah mampu menjadi problem
solver terkait dengan perdebatan antara kelompok yang berbeda latar
belakang kulturnya dalam perumusan dasar-dasar negara dan perumusan konstitusi
dalam sidang konstituante tahun 50-an.
Karena
Pancasila yang krusial seperti ini, tegas azra, maka sangat mendesak untuk
dilakukan rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila. Lebih lanjut azra menjelaskan,
Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila sebagai public
discourse (wacana public). Dengan menjadi wacana publik sekaligus dapat
dilakukan reassessment, penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila selama ini,
untuk kemudian menghasilkan pemikiran baru dan pemaknaan baru. Dengan demikian,
menjadikan Pancasila sebagai wacana publik merupakan tahap awal krusial untuk
mengembangkan kembali Pancasila sebagai ideology terbuka yang dapat di maknai
secara terus menerus sehingga dapat terus relevan dalam kehidupan bangsa dan
Negara Indonesia.
Rehabilitasi
dan rejuvenasi Pancasila memerlukan keberanian moral kepemimpinan nasional.
Tiga kepemimpinan nasional pasca Soeharto sejak dari presiden BJ Habibie,
presiden Abdurrahman Wahid, sampai presiden Megawati Soekarno Putri, lanjut
azra, telah gagal membawa Pancasila kedalam wacana dan kesadaran publik. Ada
kesan traumatic untuk kembali membicarakasn Pancasila. Kini, sudah waktunya
para elite dan pemimpin nasional memberikan perhatian khusus kepada ideologi
pemersatu ini jika kita betul-betul peduli pada intregrasi bangsa Negara
Indonesia.
Globalisasi dan
Ketahanan nasional
Globalisasi merupakan fenomena yang berwajah majemuk.
istilah globalisasi sering diidentikkan dengan internasionalisasi,
liberalisasi, Universalisasi, westernisasi, de-Teritirialisasi: perubahan dan
ketakterbatasan wilayah geografis disebabkan teknologi sehingga ruang social
menjadi semakin luas dan tanpa sekat ruang. Jadi, secara umum globalisasi dapat
diartikan sebagai suatu perubahan dalam bentuk semakin bertambahnya keterkaitan
antara masyarakat dan factor-faktor yang terjadi akibat transkulturasasi dan
perkembangan teknologi modern.
Sebagai efek dari teknologi dan globalisasi maka
terjadi peningkatan keterkaitan antaraseseorang dengan lainnya, satu bangsa dan
bangsa lainnya sehingga menggiring dunia ke arah pembetukan deaa global (Global
village). Hal senada terjadi tidak hanya dibidang informasi, dan ekonomi, namun
meluas sampai pada tataran social-politik suatu bangsa.
Ketahanan bangsa disini berarti kondisi dinamis suatu
bangsa dimana keuletan dan ketangguhan suatu bangsa mampu menghadapi berbagai
persoalan yang terjadi termasuk persoalan globalisasi. Dalam hal ketahanan
bangsa saat ini setidaknya terdapat peluang dan tantangan dalam berbagai bidang
yang menjadi pokok persoalan:
Bidang politik.
a. Demokrasi yang
menjadi sistem politik sekarang apakah sudah mampu mewujudkan dan mengaspirasi
suara rakyat dan kesejahteraan.
b. Politik luar negri
yang bebas dan aktif
c. Good government
yang ditandai dengan prinsip partisipasi, transparasi, rule of law, responsive,
efektif serta efisien.
Ekonomi
a. Menjaga kestailan ekonomi
makro dengan menstabilkan nilai tukar rupiah
b. Menyediakan lembaga-lembaga
ekonomi modern, seperti pasar modal dan perbank-an
c. Mengeksploitasi sumber daya
alam secara proporsional dan tidak merusak alam.
Social-budaya
a. Meningkatkan kompetensi
Sumber Daya Manusia melalui demokratisasi pendidikan
b. Penguasaan dan pemanfaatan
teknologi
c. Menyusun kode etik dan
standarisasi profesi sesuai dengan karakter bangsa.
Hakikat dan
Pengertian Globalisasi
Menurut asal katanya, kata
“globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya
ialah universal. jadi Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat
yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya
adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk
diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan
bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia
Globalisasi merupakan kecenderungan
masyarakat untuk menyatu dengan dunia, terutama di bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, dan media komunikasi massa. Selain itu, para cendekiawan Barat
mengatakan bahwa globalisasi merupakan suatu proses kehidupan yang serba luas,
tidak terbatas, dan merangkum segala aspek kehidupan, seperti politik, sosial,
dan ekonomi yang dapat dinikmati oleh seluruh umat manusia di dunia.
Secara umum
globalisasi adalah suatu perubahan sosial dalam bentuk semakin bertambahnya
keterkaitan antara masyarakat denga faktor-faktor yang terjadi akibat transkulturisasi
dan perkembangan teknologi modern. Istilah globalisasi dapat di terapkan dalam
berbagai konteks sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya memahami globalisasi
adalah suatu kebutuhan, mengingat majemuknya fenomena tersebut. Menurut
Stiglitz sebagai mana dikutip sugeng bahagijo dan darmawan triwinowo di sauatu
sisi globalisasi menbawa potensi dan akselerasi pertumbuhan ekonomi banyak
Negara, peningkatan standar hidup serta perluasan akses atas informasi dan
teknologi, di sisi lain telah membawa kesenjangan utara-selatan serta
kemiskinan global.
Globalisasi
merupakan fenomena berwajah majemuk, seperti diuraikan scolte(2000), sebagai
mana dikutip Sugeng Bahagijo dan darmawan triwibowo, bahwa globalisasi sering
di dentikkan dengan: 1. internasionalisasi yaitu hubungan antar Negara,
meluasnya arus perdagangan dan penanaman modal: 2. liberalisasi yaitu
pencabutan pembatasan-pembatasan pemeritah untuk membuka ekonomi tanpa pagar (borderless
world) dalam hambatan perdagangan, pembatasan keluar masuk mata uang,
kendali devisa dan ijin masuk suatu Negara:( visa). 3. Universalisasi
yaitu ragam hidup seoerti makanan Mc Donald, kendaraan, di seluruh pelosok
penjuru dunia. 4. Westernisasi atau Amerikanisasi yaitu ragam hidup dan
budaya barat atau amerika: 5. De-teroterialisasi, yaitu
perubahan-perubahan geografi sehingga ruang sosial dalam perbatasan, tempat dan
distance menjadi berubah. Istilah globalisasi telah menjadi istilah umum yang
dibicarakan oleh setiap orang hingga diskusi ilmiah dalam lingkungan akademik.
Lebih lanjut
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Tilaar, bahwa pada dasar proses
globalisasi menampakkan wajahnya dalam: 1. Keterkaitan (interconnectedness)
seluruh masyarakat; 2. perusahaan-perusahaan trans- nasional berperan dalam
ekonomi global; 3.intergrasi ekonomi internasional dalam produksi global; 4.
Sistem media trans-nasional yang membentuk “kampung global“ (global village);
5. Turisme global dan imperalime media; 6. Konsumerisme dan budaya global
(“macdonaldization”)
Menurut B.
Herry Ppriyono, ada tiga lapis definisi globalisasi. Lapis pertama,
globalisasi sebagai transformasi kondisi spasial temporal kehidupan. Hidup yang
kita alami mengandaikan ruang (space) dan waktu (time). Nama
fakta itu juga berarti jika terjadi perunahan dalan pengelolaan tata ruang
waktu, terjadi juga pengorganisasian hidup. Misalnya, bila sebuah berita yang
dikirim dari Jakarta kepada keluarga dan Papua tidak lagi membutuhkan waktu 30
hari ( seperti 100 tahun lalu ) atau 7 hari ( melalui pos hari ini ), tetapi
membutuhkan satu menit melalui telepon, maka ada yang berubah dalam kordinasi
interaksi manusia. Contoh tersebut jika di bawah ke skala dan lingkup dunia,
kurang lebih itulah globalisasi. Ahli geografi, David Harvey, menyebutnya
sebagai gejala “pemadatan ruang-waktu”. Sedangkan Anthoni Giddens mengartikan
globalisasi sebagai ”aksi dari kejauhan “. Dengan kata lain, pada lapis ini
globalisasi menyangkut transfomasi cara-cara kita menghidupi ruang dan waktu
globalisasi adalah perubahan kondisi special temporal kehidupan; ruang dan
waktu tidak lagi di alami sebatas lingkup suku atau negara bangsa, tetapi
seluas bola dunia.
Lapis kedua,
globalisasi sebagai transformasi lingkup cara pandang. Pada lapisan ini
globalisasi menyangkut transformasi cara memandang, cara berfikir, cara merasa
dan cara mendekati persoalan. Isi dan perasaan kita tidak lagi hanya di
pengaruhi oleh peristiwa yang tejadi dalam lingkup hidup dimana kita berada,
tetapi oleh berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Dermikian pula dalam hal budaya , ekonomi, politik, hukum, bisnis, dan
sebagainya.dengan kata lain, pada lapisan ini globalisasi menyangkut
transformasi isi dan cara merasa serta memandang persoalan ke lingkup dan skala
seluas bola dunia.
Lapisan
ketiga, globalisasi sebagai tansformasi modus tindakan dan praktik. Inilah
lapis arti globalisasi yang banyak di tampilkan secara publik oleh para pelaku
bisnis serta pejabat serta di dalam citra media. Pada lapisan ini, globalisasi
menujuk pada “proses kaitan yang makin erat semua aspek kehidupan pada skala
mondial”. Gejala yang muncul dari interaksi yang makin intensif dalam
perdagangan, transaksi , finansial, media, budaya, tranportasi, teknologi,
infomasi dan sebagainya.
Dalam
keragaman dimensi kultural, hukum dan politik yang terlibat dalam globalisasi,
yang akan diajukan adalah bahwa globalisasi terutama di gerakan oleh praktik
penjelajahan sektor bisnis yang terus menerus mencari wilayah baru bagi
produksi, distibusi dan pasar yang paling menguntungkan bagi proses akumulasi
modal dan laba. Sebuah proyek besar bernama the global history merupakan
penelitian yang sampai sekarang mungkin paling komprehesif mengenai kaitan
antara globalisasi dan bisnis transnasional. Dengan atlas dan data stastistik
yang banyak, Gabel dan Bruner menyimpulkan bahwa “globalisasi dan perusahaan
transnasional terkait satu sama lain seperti ayam dan telur”.
Atlas itu
memetakan dengan rinci evolusi daya penentuan perusahaan-perusahaan trans
nasional terhadap corak globalisasi dewasa ini. Kekuatan-kekuatan bisnis
transnasional itu,dalam istilah Gabel dan Bruner ”sesungguhnya sosok-sosok
levianthan di zaman kita“. Sedangkan Alvaro J. de Ragil menyebut gejala itu
sebagai corpocracy , atau pemeritahan dunia oleh jaringan bisnis
raksasa. Dengan kata lain, pada jantung globalisasi pada coraknya seperti
sekarang ini terlibat ekspansi secara besar-besaran kekuasaan bisnis, terutama
perusahaan-perusahaan transnasional.
Dengan
demikian, peningkatan saling keterkaitan antar seseorang atau satu bangsa
dengan bangsa lainnya telah menggiring dunia pada desa globalisasi (global
village). Desa global merupakan kenyataan sosial yang saling tetpisah
secara fisik tetapi saling berhubungan dan memengaruhi secara non fisik.
seperti harga minyak bumi di pasar dunia yang sangat memengaruhi harga bahan
bakar minyak di Indonesia, fluktuasi harga tomat di Eropa, misalnya, akan
berdampak pada pasar tradisional di Indonesia. Hal serupa terjadi pula dalam bidang
sosial, politik dan kebudayaan. terdapat banyak faktor yang mendorong
terjadinya globalisasi antara lain pertumbuhan kapitalisme, maraknya inovasi
teknologi komunikasi dan informasi serta diciptakanya regulasi-regulasi yang
meningkatkan persaingan dalam skala besar dan luasnya seperti property
rights, standarisasi teknik dan prosedural dalam produk dan sistem produk
serta penghapusan hambatan perdagangan. Beberapa unsur penting yang terkait
dengan globalisasi adalah:
Multikulturalisme
antara Nasionalisme dan Globalisasi
Antara
Nasionalisme dan Globalisasi
Salah satu
penting yang mengiringi gelombang demokrasi adalah munculnya wacana
multikulturisme. Multikulturisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara
sama sebagai kesatuan tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender,
bahasa ataupun agama. konsep multikulturalisme muncul pertama kali di Kanada
dan Australia sekitar 1950-an.
Menurut Achmad Fedyani Saifuddin, ada tiga cara
pandang atau pemahaman orang tentang multikulturisme, yaitu;
1. Popular
Yaitu memahami multikulturalisme dengan menunjuk
hadirnya berbagai jenis makanan, kegiatan yang berasal dari luar daerah bisa
diterima kehadirannya tanpa persoalan dalam masyarakat.
2. Akademik
Secara akademik, multikulturalisme dipandang kontras
dari pluralisme, karena pluralisme lebih merujuk pada hadirnya sejumlah
kebudayaan yang masing-masing mempunyai identitas, ciri-ciri, dan sifat
sendiri. Sedangkan multikulturalisme ingin menumbuhkan sikap dan perilaku
toleran, saling menghargai dan kerukunan antar kebudayaan.
3. Politis.
Secara politis, multikulturalisme dipandang sebagai
gejala meningkatnya kemajemukan kebudayaan sehingga dapat menimbulkan berbagai
persoalan sosial dan politik yang membutuhkan pengaturan. Dalam konteks ini
pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan baru termasuk aturan hukum apabila
terjadi konflik sosial.
Karakter masyarakat multikultur
adalah toleran. Mereka hidup dalam semangat peaceful co-existence, hidup berdampingan
secara damai. Dalam perspektif multikulturisme, baik individu maupun kelompok hidup dalam
societal cohesion tanpa kehilangan identitas etnik dan kultur mereka.
1. Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme
berasal dari kata “Multi” yang berarti plural, “cultural” yang berarti kultur
atau budaya dan “isme” yang berarti paham atau aliran.
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideology yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status social politik yang sama dalam masyarakat modern.
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideology yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status social politik yang sama dalam masyarakat modern.
Multikulturalisme Menurut para ahli:
1)
Menurut S. Saptaatmaja dari buku
Multiculturalisme Educations : A teacher Guide to Linking Context, Process And
Content karya Hilda Hernandes, bahwa multikulturalisme adalah bertujuan untuk
kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan
tidak monokultur lagi.
2)
Menurut Fay, Jary dan Watson,
multikulturalisme adalah ideology yang mengakui dan mengagungkan perbedaan
dalam kesederajatan, baik secara individu maupun kelompok.
3)
Menurut Reed
multikulturalisme digambarkan sebagai sebuah mosaic, sehingga masyarakat
dilihat sebagai sebuah kesatuan hidup manusia yang mempunyai kebudayaan yang
berlaku umum dalam masyarakat tersebut.
4)
Menurut Parsudi Suparlan akar kata
multikulturalisme adalah kebudayaan yaitu kebudayaan yang dilihat dari
fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusi
2. Multikulturalisme Indonesia
Masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat
dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat
multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang
telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan
dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan
batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan
dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman
yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
3.
Multikultural dapat diartikan
sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan
yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok
manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan
dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan
masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya
masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.
4.
Dari sinilah muncul istilah
multikulturalisme. Banyak definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya
multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat
diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang
penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang
terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahamni
sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of
recognition” (Azyumardi Azra, 2007). Lawrence Blum mengungkapkan bahwa
multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas
budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis
orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme tersebut dapat
ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan
penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun
kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan
menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu
kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara
satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
5.
Pada dasarnya, multikulturalisme
yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun
geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia
memiliki banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok
manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah
sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas
pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
6.
Dalam konsep multikulturalisme,
terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka
tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu
bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai
hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.
7.
Multikultural dapat terjadi di
Indonesia karena: 1. Letak geografis indonesia 2. perkawinan campur 3. iklim
Tags:
MAKALAH