Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Selasa, 26 Januari 2016

MAKALAH KONSEP NUSYUZ DAN PENGERTIAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Januari 26, 2016 0




BAB II
PEMBAHASAN
A.       Konsep Nusyuz

Sungguh Islam telah menetapkan dasar-dasar dan menegakkan sandaran untuk membangun keluarga dan melindunginya dari sesuatu yang besar. Termasuk dari bagian permasalahan manusia adalah munculnya perselisihan diantara mereka. Timbullah pertentangan ketika keinginan saling berlawanan, atau ketidaksenangan karakter dengan hal yang ada di keluarga berupa perselisihan dan kedekatan, terkadang terjadi kebosanan sehingga menjadikan udara di dalam keluarga berembus dengan awal yang tebal.

Oleh karena itu, Islam mengakui adanya kemungkinan terjadinya perselisihan suami istri dan pertentngan dalam lingkunga keluarga, memberikan penyelesaian, memberitahukan berbagai penyebabnya yang berjalan bersama peristiwa yang terjadi. Islam tidak membiarkan dan mengabaikan atas permasalahan yang timbul di dalam keluarga karena pengabaian tidak dapat mengatasi berbagai kesulitan hidup sikitpun.[2]
a.    Pengertian Nusyuz
Nusyuz berasal dari kata bahasa Arab yang secara etimologi berarti ارتفاع  yaitu meninggi atau terangkat.[3] Dalam artian lain nusyuz dapat di artikan sebagai kedurhakaan/membangkang  terhadap kewajiban-kewajiban dalam kehidupan perkawinan ini dapat terjadi pada pihak istri dan dapat pula terjadi pada pihak suami. Nusyuz menurut Slamet Abidin dan Aminudin adalah kedurhakaan yang dilakukan istri terhadap suaminya.  Apabila istri menentang kehendak suami tanpa alasan yang dapat diterima menurut hukum syara’, maka tindakan itu dipandang durhaka.[4]
Nusyuz ini bukan saja terjadi kepada istri, namun si suami juga bisa bernusyuz. Apabila si suami durhaka kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap istri, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi (nafaqah) atau meninggalkan kewajibannya yang bersifat non-materi di antaranya mu’asyarah bi al-ma’ruf  (menggauli istrinya dengan baik).[5] Bentuk seorang istri mendurhakai suami dan menentang suaminya kemudian keluar dari keridhaannya tanpa unsur atau tindakan yang diterima oleh syara’. Adapun kemuskilannya adalah syariat Islam memberikan kewenangan penangganan suami terhadap kedurhakaan istri tanpa memberikan kewenangan tersebut kepada istri untuk menanganani kedurhakaan suami.[6]
b.    Hukum nusyuz
Nusyuz hukumnya haram. Allah telah menetapkan hukum bagi wanita yang melakukan nusyuz jika dia tidak mempan dinasehati. Hukuman tidak akan diberikan kecuali karena adanya pelanggaran terhadap hal yang diharamkan, atau meninggalkan perbuatan yang wajib dilakukan.[7]
c.    Nusyuz Istri
Seperti yang kita ketahui, bahwa nusyuz bisa saja terjadi pada perempuan (istri) dan juga laki-laki (suami). Akan tetapi, watak permpuan berbeda dengan watak laki-laki. Oleh krena itu, penyembuhannya juga berbeda secara teori, karena berbedanya bentuk nusyuz antar mereka berdua.
Kadang-kadang perilaku istri menyalahi aturan, ia berpaling dalam bergaul dengan suaminya, lalu ucapannya menjadi kasar, tampaklah kedurhakaannya, meninggalkan ketaatan dan menampakkan perlawanan.
Wajib bagi suami pada saat itu untuk mencari sebab terjadinya perubahan istri, ia berterus terang dengannya mengenai apa yang terjadi, maka diharapkan istri dapat menjelaskan sebab yang membuatnya marah, yang tidak dirasakan oleh suami. Oleh karena itu, bagi suami jika telah jelas baginya bahwa nusyuz karena berpalingnya perilaku istri sehingga ia membangkang dan durhaka dengan melakukan dosa dan permusauhan, kesombongan dan tipu daya, Islam mewajibkan suami untuk menempuh tiga tingkatan sebagai berikut:
Pertama, menasehati.
Allah SWT berfirman:

وَالْتِى تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْ هُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah mereka.”
            Bagi suami hendaknya menjadi psikiater, sekiranya ia menasehati istri dengan hal yang sesuai baginya dan menyelaraskan wataknya serta sikapnya, diantaranya hal yang dapat dilakukan oleh suami adalah:
1.    Memperingati istri dengan hukuman Allah SWT bagi perempuan yang bermalam sedangkan suaminya marah dengannya.
2.    Mengancamnya dngan tidak memberi sebagian kesenangan meteril.
3.    Mengingatkan istri dengan sesuatu yang layak dan patut dengan menyebutkan dampak-dampak nusyuz.
4.    Menjelaskan istri tentang apa yang mungkin terjadi diakhirat, bagi perempuan yang ridha dengan Tuhannya dan taat pada suaminya.
5.    Menasehati istri dengan Kitabullah, yang mewajibkan perempuan untuk bersama dengan baik, bergaul dengan baik terhadap suami, dan mengakui posisi suami diatas nya.
6.    Memilih waktu dan tempat yang sesuai untuk berbicara.
Dari sini tampaklah bagi kita pentingnya memilih istri yang shalehah, memusatkan pada keadaan agama dan berbuat baik kepada perempuan bagi laki-laki yang hendak menikahinya.
Kedua, Berpisah Tempat Tidur.
Hal ini dilakukan dengan memisahkan tempat tidurnya dari tempat tidur istri, meninggalkan pergaulan dengannya, berdasarkan firman Allah SWT:
وَاَهْجُرُوْ هٌنَّ فِى الْمَضَاجِعِ
“Dan tinggalkanlah mereka dari tempat tidur.”
Berpisah dari tempat tidur yaitu suami tidak tidur bersama istrinya, memalingkan punggungnya, dan tidak bersetubuh dengannya. Jika istri mencintai suami maka hal itu terasa berat atasnya sehingga ia kembali baik. Jika ia masih marah, maka dapat diketahui bahwa nusyuz jelas berasal dari dirinya.
Ketiga, Memukul.
Jika dengan berpisah belum berhasil, maka bagi suami berdasarkan teks dalam Al-Quran diperintahkan untuk memukul istri. Pemukulan ini tidak wajib dalam syarai’ dan juga tidak baik dilakukan. Hanya saja ini merupakan jalan terakhir bagi laki-laki setelah ia tidak mampu menundukkan istrinya, mengajaknya dengan bimbingan, nasehat, dan pemisahan.[8]
d.   Nusyuz suami
Allah SWT berfirman:
وَاِنِ امْرَاةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوْزًا أوْ اِعْرَاضًا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا, وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأَحْضِرَتِ الأَنْفُسُ الشَّحَّ, وَاِنْ تُحْسِنُو وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan juga kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 128)

Nusyuznya suami yaitu menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan untuk menemaninya, meninggalkan dari tempat tidurnya, mengurangi nafkahnya, atau berbagai beban berat lainnya bagi istri. Kadang, terdapat berbagai macam masalah pada seorang perempuan, hal ini menyebabkan nusyuz dan berbagai macam perselisihan dengan suami. Dan terkadang, penyebab nusyuz ini adalah suami yang berakhlak tercela, mudah marah, atau kekacauan dalam pembelanjaannya.[9]

e.    Kriteria Nusyuz dalam Pandangan Fiqh
Saleh bin Ganim al-Saldani menjelaskan secara rinci mengenai kriteria tindakan istri yang termasuk ke dalam perbuatan nusyuz menurut para ulama mazhab, yaitu sebagai berikut:
a)    Menurut ulama Hanafi : apabila seorang istri(perempuan) keluar dari rumah suami tanpa izin suaminya dan dia tidak mau melayani suaminya tanpa alasan yang benar .
b)   Menurut ulama Maliki: seorang istri dikatakan nusyuz apabila ia tidak taat terhadap suaminya dan ia menolak untuk digauli, serta mendatangi suatu tempat yang dia rahu hal itu tidak diizinkan oleh suaminya, dan ia mengabaikan kewajibannya terhadap Allah SWT, seperti tidak mandi janabah, dan tidak melaksanakan puasa di bulan ramadhan.
c)    Menurut ulama Syafi’i: seorang istri dikatakan nusyuz apabila istri tersebut tidak mematuhi suaminya dan tidak menjalankan ketentuan-ketentuan agama yang berkaitan dengan hak-hak suaminya serta tidak menunaikan kewajiban agama lainnya.
d)   Sedangkan menurut ulama Hanbali: seorang istri  dikatakan nusyuz apabila istri melakukan yang tidak memberikan hak-hak suami yang wajib diterimanya karena pernikahan.
Dari uraian di atas, kriteria nusyuznya seorang istri ulama mazhab adalah sebagai berikut:
1.      Istri menolak ajakan suami untuk bersetubuh, tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara’
2.    Istri keluar rumah tanpa izin suami atau tanpa alasan yang benar, serta ketempat yang telah di larang suami.
3.    Istri meninggalkan kewajiban agama
4.    Istri tidak berpenamplan menarik seperti yang diingikan oleh suami.

B.       Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga adalah bentuk kejahatan yang terjadi didalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami kepada istrinya atau sebaliknya oleh istri kepada suaminya. Mayoritas KDRT dialami oleh istri yang dilakukan oleh suaminya karena istri merupakan objek yang lemah dan tidak berdaya, meskipun memang ada pula kekerasan yang dilakukan oleh istri kepada suaminya. Kekerasan terhadap istri adalah bentuk kriminalitas (jarimah). Penegrtian kriminalitas dalam islam adalah tindakan melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh syartiat Islam dan termasuk katagori kejahatan.[10]
Yang termasuk dalam lingkup rumah tangga disini meliputi:
a)    Suami, istri, anak.
b)   Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, baik karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga.
c)    Orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

a.    Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga
1.    Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik/menjambak ramput, menendang, menyudut dengan rokok, memukul dengan senjata dan sebagainya. Biasanya perilaku ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah, atau bekas luka yang lainnya.
2.    Kekerasan psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hulangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan ini adalah termasuk penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan, merendahkan harga diri, mengancam atau menaku-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
3.    Kekerasan seksual
Kekerasan seksual meliputi: pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu. Kekerasan jenis ini juga meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa selera sek sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
4.    Penelantaran rumah tangga
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumahnya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Penelantaraan dimaksud juga berlaku bagi setiap orang yang melibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.[11]

b.    Kekerasan dalam rumah tangga perpekstif Islam
1.    Qadzaf, yakni melempar tuduhan.
Misalnya, menuduh perempuan baik-baik berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa diterima oleh syariat Islam. Sanksi hukumannya adalah 80 kali cambukan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

 وَالّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةٍ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَنِيْنَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوْ لَهُمْ شَهَادَةًاَبَدًا وَاُوْلَئِكَ هُمْ الْفَسِقُوْنَْ اِلاَّ الَّذِ يْنَ تَابُوْا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَاَصْلَحُوْا فَاِنَّ اللَّهَ غَفُوْرٌرَّحِيْمٌْ

“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 4-5)

2.    Membunuh, yakni menghilangkan nyawa dengan sengaja.
Pelaku diberi sanksi hukum qisas, sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 179 berikut:
                    
وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيَوةٌ يَّاُولىِ الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَْ

“Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 175)

3.    Menyodomi, yakni menggauli perempuan dengan duburnya.
Haram hukumnya sehingga pelaku wajib dikenai sanksi. Sanksi hukumnya adalah ta’zir, berupa hukuman yang diserahkan bentuknya kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang sama terjadi.
Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki (homoseksual) dan mendatangi istrinya pada duburnya,”


4.    Penyerangan terhadap anggota tubuh.
Sanksinya adalah kewajban membayar diyat (100 ekor unta), bergantung pada organ tubuh yang disakiti.

5.    Perbuatan-perbuatan cabul.
Seperti berusaha melakukan zina dengan perempuan (namun, belum sampai melakukannya) dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran. Kalau perempuan itu adalah orang yang berada dibawah kendalinya, seperti pembantu rumah tangga, diberi sanksi yang maksimal.
6.    Penghinaan.
Jika ada dua orang yang saling menghina sementara keduanya tidak memiliki bukti tentang faktanya, keduanya akan dikenakan sanksi penjara sampai 4 tahun.[12]



C.       Pandangan Islam Terhadap kekerasan dalam Rumah Tangga
Pandangan seperti mi, tentu saja juga didasarkan pada banyak teks-teks hadits Nabi Muhammad SAW. Di antaranya:
Dalam riwayat Bahz bin Hakim bin Muawiyah, bahwa kakeknya bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah, apa hak isteri kita, dan apa yang boleh kita lakukan dengannya dan apa yang tidak boleh dilakukan? Nabi menjawab: “Kamu berhak menggauli istrimu bagaimanapun cara yang kamu suka, kamu harus memberi makan dari yang kamu makan, memberinya pakaian seperti yang kamu pakai, jangan mencemooh muka istri dan jangan memukulnya.” (Hadits Riwayat Imam Abu Dawud, lihat: Ibn al-Atsir, Juz VII, hlm. 329, Nomor Hadits: 4717).
Iyas bin Ibdillah bin Abi Dzubab ra berkata: “Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian memukul para perempuan!”. Lalu datang Umar ra kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Para istri itu nanti berani (melawan) suami mereka, berikan kami izin untuk tetap memukul mereka”. Tetapi kemudian banyak sekali perempuan yang mendatangi keluarga Rasulullah SAW, mengadukan perilaku suami mereka. Maka Rasulullah saw pun bersabda, “Sesungguhnya banyak perempuan mendatangi keluarga Muhammad sambil mengadukan perilaku suami mereka. Mereka (para suami yang memukul isteri) itu bukanlah orang-orang yang baik”. (Riwayat Abu Dawud) (lihat: Ibn al-Atsir, juz VII hal. 330, no. hadits: 4719).
Riwayat lain, dalam hadits Bukhari, Muslim, dan at-Turmudzi, dan ‘Abdullah bin Zam’ah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu memukul isterinya, layaknya seorang hamba saja, padahal di penghujung hari, Ia mungkin akan menggaulinya.” (Hadits Riwayat Imam Bukhari, lihat: Shahih Bukhari, Kitab al-Nikah, Ma Yakrahu li dharb al-Nisa’, Nomor Hadits: 4805).
Ini peringatan yang tegas dan Nabi SAW agar suami tidak memukul isterinya. Karena masih banyak cara dan media lain, yang tidak mencederai kemanusiaan perempuan. Tidak sekadar berbicara, Nabi SAW memiliki teladan baik dengan melaksanakan pandangannya itu. Selama hidup berumah tangga, Nabi tidak pernah sekalipun memukul  isteri-isterinya. Padahal, perbedaan di antara Nabi dan isteri-isterinya kerap terjadi dan beberapa di antaranya menimbulkan ketegangan hubungan suami-isteri. Namun, Nabi tak sekalipun menempuh cara kekerasan, baik kekerasan fisik, perkataan, psikis, seksual, maupun ekonomi. Seperti yang diceritakan ‘Aisyah ra, dalam suatu hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dan Imam Abu Diwud:
“Bahwa Rasulullah tak pernah memukul pembantu dan tidak juga perempuan.” (Hadits Riwayat Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab al-Adab, Fi al-Tajawuz fi al-Amri, Nomor Hadits: 4154)
Nabi sendiri bersedia bersabar ketika menghadapi berbagai perbedaan dan perlakuan dan isterinya. Bahkan, Nabi memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengekspresikan keinginan mereka, memberikan masukan, dan menentukan pilihan yang sesuai dengan harapan mereka. Tanpa ada kata-kata penghinaan, pelecehan, menghardik, apalagi ucapan-ucapan keji dan kotor, Nabi menghadapi mereka dengan kesabarannya.
Dari beberapa teks hadits ini, dengan jelas bisa ditegaskan bahwa kekerasan sama sekali tidak sesuai dengan perilaku, nasehat, dan peringatan Nabi SAW. Pemukulan atau segala bentuk periaku kekerasan lain adalah bertentangan dengan prinsip pergaulan yang baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf), tidak sesuai dengan anjuran penghinaan terhadap perempuan (ma akramahunna illa karim), dan pelanggaran terhadap wasiat Nabi SAW untuk berbuat baik terhadap perempuan (istawshu bin nisa’i khairan). Lebih dahsyat lagi, mereka yang memukul isterinya, dijuluki oleh Nabi SAW sebagai orang-orang yang jahat dan busuk (laysa ula’ika bi khiyarikum). Memukul isteri, apapun alasannya, adalah bertentangan dengan anjuran, harapan, dan perilaku sehari-hari Nabi SAW terhadap para isterinya. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa pemukulan bukanlah solusi tepat bagi pendidikan, apalagi pendidikan bagi orang dewasa, seperti isteri. Oleh karena itu, wajar apabila Nabi saw dalam banyak kesempatan sering menyindir orang-orang.
Bahz bin Hakim bin Mu’awiyah berkata, bahwa kakeknya bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah, apa hak isteri kita, dan apa yang boleh kita lakukan dengannya dan apa yang tidak boleh dilakukan? Nabi menjawab: “Kamu berhak menggauli isterimu bagaimanapun cara yang kamu suka, kamu harus memberi makan dari yang kamu makan, memberinya pakaian seperti yang kamu pakai, jangan mencemooh muka istri dan jangan memukulnya.” (Sunan Abu Dawud, Lihat: Ibn al-Atsir, Jami’ al-Ushul, Juz VII, hlm. 329, Nomor Hadits: 4717).
Kekerasan terhadap perempuan, dalam bentuk apapun adalah tindak kedzaliman yang diharamkan dan bertentangan dengan prinsip kerahmatan. Untuk mereduksi kejahatan kekerasan ini, Islam menawarkan konsep keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan.     Pada relasi
suami-istri misalnya, Islam menegaskan konsep ‘pasangan’ atau zawaj, yang satu adalah pakaian bagi yang lain: melengkapi, menutupi, menentramkan dan membahagiakan. Jika relasi yang adil ini terbangun dalam kehidupan rumah tangga, maka kekerasan dalam rumah tangga akan dapat dihindari. Karena kekerasan, baik dalam bentuk fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi pada dasarnya adalah cermin ketidakrukunan keluarga akibat relasi yang timpang, relasi yang tidak adil, di antara mereka, dan itu dilarang oleh ajaran Islam.
Kekerasan Bukan Media Pendidikan. Dalam beberapa buku fiqh, terutama yang membicarakan secara khusus mengenai hak dan kewajiban suami-istri, ada penegasan bahwa seorang suami diperbolehkan memukul istri, ketika terjadi kasus-kasus tertentu; seperti nusyuz, meninggalkan kewajiban agama, berbuat kemungkaran, atau melakukan sesuatu yang mencederai martabat suami. Pemukulan ini diperbolehkan sebagai media pendidikan, bukan sebagai hak mutlak yang kapan pun dan di mana pun bisa dilakukan suami.
Kebolehan ini didasarkan pada ayat 34 dan surat an-Nisa dan beberapa teks hadits. Di antaranya, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Jika si istri melakukan perbuatan keji yang nyata, maka kamu (suami) bisa melakukan sesuatu terhadap mereka, dengan meninggalkan tidur bersama mereka, atau memukul yang tidak mencederai. Jika mereka taat kepadamu (tidak lagi melakukan perbuatan keji itu), maka janganlah kamu mencari-cari alasan (untuk berbuat aniaya) terhadap mereka”. (Riwayat Muslim, Lihat: Ibn al-Atsir, juz VII, hal. 328-329, no. hadits: 4716)

Dalam Mazhab Hanafi, seperti dikatakan Syekh Abdul Qodir ‘Audah, pemukulan hanya diperbolehkan jika seorang suami sudah melakukan tahapan-tahapan; memberi nasihat dan berpisah ranjang. Dia tidak diperkenankan menggunakan media pemukulan, langsung tanpa diawali dengan nasihat baik. Jika suami melakukannya, maka ia telah melampaui batas, berdosa dan bisa diminta pertanggung-jawaban atau diajukan ke pengadilan. Pemukulan juga tidak diperkenankan sampai mencederai dan atau melukai tubuh perempuan. Karena pemukulan yang seperti ini, bukanlah pemukulan sebagai media pendidikan, tetapi sudah merupakan penyiksaan. Karena itu, bisa diajukan ke pengadilan. (lihat: Abdul Qadir ‘Audah; at-Tasyri’ al-Jinai’ fi at-Tasyri’ ai-Islami, juz I, halaman 413-418).
Sebelumnya, Imam ‘Atha - (w. 126 H / 744 M) salah seorang ulama pada masa tabi’in - berpandangan bahwa memukul istri itu hukumnya makruh dan tidak patut untuk dijadikan media pendidikan; apapun alasan yang ada di benak suami. Pandangan ini didasarkan pada teks-teks hadits yang secara eksplisit melarang seseorang memukul perempuan. (Lihat: Ibn ‘Arabi, Ahkim al-Qur’an, Juz I, hlm. 420) . Dan ulama kontemporer, Syaikh Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur, seorang ulama besar pemimpin Jaini’ah Zaitunah Tunisia, menyatakan bahwa wewenang memukul istri diberikan kepada suami demi kebaikan kehidupan rumah tangga. Ketika pemukulan tidak lagi bisa efektif untuk memulihkan kehidupan rumah tangga yang baik, maka wewenang itu bisa dicabut. Bahkan, pemerintah bisa melarang tindakan pemukulan itu dan menghukum mereka yang tetap menggunakan pemukulan sebagai media pemulihan hubungan suami-isteri.

D.    Teologi Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Jika melihat kekerasan sebagai kekerasan, apalagi dampak yang diakibatkan, hampir bisa dipastikan semua orang menolak dan menganggapnya sebagai suatu kejahatan kemanusiaan. Dalam bahasa agama Islam, kekerasan adalah suatu kedzaliman dan kemudharatan yang pasti diharamkan. Kekerasan adalah tindakan menyakiti, mencederai dan membuat orang lain berada dalam kesulitan. Dan semua ini adalah haram.
Perbincangan akan berbeda jika kekerasan dilakukan sebagai alat pertahanan dan serangan, atau sebagai media pendidikan dan seseorang yang dinobatkan sebagai pendidik kepada seseorang yang dijadikan sebagai anak didik. Peperangan misalnya, sebagai suatu kekerasan yang paling dahsyat, banyak memperoleh legitimasi jika merupakan pertahanan dan serangan atau kemungkinan suatu penyerangan. Sekalipun, tidak sedikit juga yang saat ini mempertanvakan efektifitas peperangan untuk membangun peradaban perdamaian. Sementara kekerasan verbal dan atau fisik, saat ini masih banyak diadopsi oleh negara terhadap rakyat, orang tua terhadap yang lebih muda, guru terhadap murid, pelatih terhadap yang dilatih, atau suami terhadap istri, semua dengar alasan untuk mendidik. Sekalipun, tentu saja sudah sedemikian banyak yang menentang media kekerasan sebagai pendidikan.
Logika pertahanan, nampaknya tidak relevan dijadikan dasar untuk memahami fenomena kekerasan yang dialami perempuan. Karena dalam masyarakat kebapakan, hampir tidak ada anggapan bahwa perempuan adalah sosok yang mengancam dan akan menyerang, sehingga seseorang perlu mempertahankan diri dengan menyerang melakukan kekerasan terlebih dahulu kepada perempuan. Bisa dipastikan, bahwa fenomena kekerasan terhadap perempuan, tidak bisa dipahami sebagai strategi pertahanan. Karena itu, hampir tidak bisa ditemukan, pandangan keagamaan yang membolehkan tindakan tertentu yang bisa berupa kekerasan terhadap perempuan, dengan alasan pertahanan diri dan serangan.
Yang lazim diperbincangkan adalah bahwa perempuan harus dididik sekalipun pada akhirnya dengan media kekerasan untuk selalu berada pada nilai-nilai keluhuran. Pada konteks relasi suami-istri misalnya, perempuanlah yang harus diluruskan suami agar kembali pada keutuhan perkawinan. Perempuan dididik, diberi nasihat, dipisah dari ranjang atau kamar, dihardik bahkan boleh dipukul; agar mereka tetap patuh dan berada pada kehidupan perkawinan ideal. Asumsinya, perempuanlah yang bersalah, karena itu harus diberi pelajaran oleh suami. Padahal, bisa saja yang terjadi adalah sebaliknya. Suami yang menjadi penyebab. Tetapi pada konteks ini, perempuan tidak punya wewenang untuk mendidik dengan media kekerasan. Marah atau suara keras pun tidak diperkenankan. Mungkin perempuan hanya boleh memberi nasihat lalu kemudian bersabar.
Dengan demikian, membicarakan fenomena Kekerasan yang menimpa perempuan bisa dijelaskan dalam dua pembahasan. Pertama, kekerasan sebagai tindak kedzaliman dan kemudharatan. Dan ini diharamkan secara bulat oleh seluruh ulama Islam. Kedua, kekerasan sebagai media pendidikan. Dan ini yang perlu didiskusikan lebih lanjut dengan perspektif yang lebih memihak kepada perempuan.
Kekerasan adalah Kedzaliman. Secara prinsip, Islam adalah agama yang mengharamkan segala bentuk tindakan menyakiti kepada diri sendiri atau kepada orang lain; baik secara verbal maupun tindakan nyata terhadap salah satu anggota tubuh. Secara konseptual, misi utama kenabian Muhammad SAW adalah untuk kerahmatan bagi seluruh alam. Kekerasan, sekecil apapun bertentangan secara diametral dengan misi kerahmatan
yang diemban. “Dan tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali untuk (menyebarkan) kasih sayang terhadap seluruh alam”. (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 107)
Prinsip kerahmatan ini secara konseptual menjadi dasar peletakan pondasi pembahasan hukum Islam dan bangunan etika da1am bangunan etika dalam berelasi antar sesama. Seperti perlunya berbuat baik, memberikan manfaat, saling membantu, pengaharaman menipu, pelarangan tindak kekerasan, dan pernyataan perang terhadap segala bentuk keczaliman. Bentuk-bentuk kekerasan apapun bisa dikategorikan sebagai tingakan kdzaliman, yang bertentangan dengan misi kerahmatan.
“Tidak (demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka sedih hati.” (Q.S. Al-Baqarah [2] :112)
‘Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. al-A’raf [7];56)
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dzalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. mereka itu mendapat azab yang pedih”. (Q.S. asy-Syura [42]: 42)
“Wahai hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezaliman terhadap diri-Ku, dan Aku jadikan kedzaliman itu juga haram di antara kamu, maka janganlah kamu saling mendzalimi satu sama lain.” (Hadis Qudsi, Sahih Muslim, kitab al-Birr wa ash-Shilah wa al-Adab, no. Hadits: 4674)
“Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara satu dengan yang lain, karena seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lain, tidak diperkenankan mendzalimi, menipu, atau melecehkannya.” (Sahih Muslim, no. hadits: 2564)
Prinsip kerahmatan dan anti kedzaliman menjadi basis dan relasi sosial dalam kehidupan manusia. Itu sebabnya, segala tindak kekerasan seseorang terhadap yang lain adalah haram. Sebaliknya, setiap orang harus saling berbuat balk dan membantu satu sama lain. Yang kuat, misalnya, membantu yang lemah. Yang kaya membantu yang miskin, yang berilmu memberikan ilmu kepada yang tidak berilmu dan seterusnya. Prinsip ini juga menjadi basis bagi ajaran mengenai hubungan suami dan isteri. Karena itu, al-Qur’an mengumpamakan keduanya laksana pakaian bagi yang lain. Suami adalah pakaian bagi isteri. Begitu juga sebaliknya, isteri adalah pakaian bagi suami. Sebagaimana pakaian, yang satu adalah pelindung bagi yang lain. Tidak boleh ada kesewenang-wenangan oleh pihak yang satu terhadap yang lain, karena kesewenang-wenangan adalah tindakan biadab yang mencederai prinsip kerahmatan Islam dan konsep pasangan suami-istri yang digariskan al-Qur’an.
Secara tegas, surat an-Nisa ayat 19 menegaskan pentingnya berbuat baik antara suami dan istri ban surat ath-Thalaq ayat ke-6 melarang keras perlakuan kekerasan, kemudharatan terhadap istri, termasuk
mempersempit ruang gerak mereka. Perintah berbuat balk dan larangan kekerasan terhadap perempuan, juga bisa kita jumpai dalam banyak wasiat Nabi Muhammad SAW.
Dan Amr bin al-Ahwash ra, bahwasanya dia mendengar Rasulullah SAW pada Haji Wada’ bersabda setelah mengawali dengan hamdalah, nasehat-nasehat dan kisah, baginda bersabda: “Ingatlah, aku wasiatkan kalian untuk berbuat baik terhadap perempuan, karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan di antara kalian, padahal kalian tidak berhak atas mereka, kecuali berbuat baik”.
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Orang yang paling sempurna imannya di antara kamu, adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang terbaik di antara kamu, adalah mereka yang berbuat baik terhadap istri mereka”. (Sunan at-Turmudzi, kitab Ar-radha’, bab ma ja’a fi haqq al-mar’ah ‘ala zawjiha)










        





BAB III
PENUTUP

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpilkan bahwa:
Nusyuz adalah tindakan istri yang dapat ditafsirkan menentang atau membendel atas kehendak suami. Begitu juga sebaliknya, tentu saja sepanjang kehendak tersebut tidak bertentangan dengan hukum agama.
Dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar terciptanya sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa mengimbangi kebutuhan psikis, diaman kebutuhan itu sangat mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang bertentangan. Seorang suami atau istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya masing-masing.
Saran untuk istri yang tengah atau pernah mengalami tindakan kekerasan yang dilakukan suami, tidak salah jika mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1.    Tenangkan diri
2.    Meminta suami untuk saling mengingatkan
3.    Diam tidak selalu berarti baik
4.    Jangan pernah mau menerima tindakan kekerasan
5.    Introspeksi diri
6.    Mengalah saat perselisihan memuncak
7.    Carilah penegah yang bisa menuntaskan pertengkaran
8.    Pikirkan dan perhatikan kondisi anda dan juga anak
9.    Lakukan perbaikan sikap dan komunikasi[13]



DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir, Hukun Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana,2006

Sarong, ha,id, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Banda Aceh: Pena,2010

Hasan, Mustafa ,Pengantar Hukum Keluarga, Bandung: CV. Pustaka Setia,2011
As-Subki, Ali Yusuf, Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluaga Dalam Islam, Jakarta: Hamzah, 2010
Ghoffar, Muhammad Abdul, menyikapi Tingkah Laku Suami, Jakarta Timur: Almahira, 2006
Ramadhan, Muhammad Said, Perempuan Dalam Pandangan Hukum Barat dan Islam, Yogyakarta: Suluh Press, 2005
Al-Mishri, Syaikh Mahmud, Perkawinan Idaman, Jakarta: Qisthi Press, 2012
Undang-Undang Republik Indonesia, No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

                                                                                                     




[1] Muhammad Abdul Ghoffar, Menyikapi Tingkah Laku Suami, Jakarta Timur: Almahira, 2006, hal.127
[2] Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, Jakarta: Hamzah, 2010, hal 299-300
[3] Prof. Dr. Amir Syarifuddin,Hukun Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,(Jakarta: Kencana,2006),hlm.190
[4]Mustafa Hasan, M.Ag,Pengantar Hukum Keluarga,(Bandung: CV. Pustaka Setia,2011),hlm.181

Read More

Makalah Kedudukan Wanita Dalam Ranah Politik Dalam Presfektif Islam

Januari 26, 2016 0



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Kedudukan Perempuan Dalam Politik

Gerakan perempuan di Indonesia memiliki keterlibatan aktif di bidang politik namun masih ada kesenjangan dalam hal partisipasi dan keterwakilan perempuan di struktur politik formal. Mereka belum terwakili secara setara di lembaga legislatif tingkat nasional sejak tahun 1955, ketika perempuan menduduki 5,9 persen kursi di parlemen. Meskipun telah ada kecenderungan meningkat dalam hal keterwakilan perempuan sejak tahun 1971, ada beberapa pengecualian, termasuk pada Pemilu 1977 ketika jumlah perempuan terpilih melorot dari 7,8 persen menjadi 6,3 persen jika dibandingkan dengan

Pemilu sebelumnya (1971) dan kembali mengalami penurunan lagi pada pemilu 1999 menjadi 9 persen jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya sebesar 10,8 persen pada tahun 1997. Meskipun demikian peningkatan keterwakilan perempuan di DPR RI pada dua pemilu terakhir, 11,8 persen pada tahun 2004, dan 18 persen pada pemilu 2009 cukup substantif. Kecenderungan meningkat dalam hal keterwakilan perempuan di DPD RI dari 22,6 persen pada 2004 menjadi 26,5 persen pada pemilu 2009 juga cukup menggembirakan.
Transisi yang dialami Indonesia menuju demokrasi pada periode pasca Orde Baru mengalami berbagai prakarsa perubahan yang berupaya untuk memastikan partisipasi masyarakat dan pengikutsertaan suara mereka dalam tata pemerintahan. Untuk memperbaiki ketidakseimbangan gender di lembaga legislatif tingkat nasional, sub-nasional dan lokal, sebuah kuota yang tidak wajib sifatnya diperkenalkan melalui UU No.12/2003 mengenai Pemilihan Umum. Pasal 65 dari UU tersebut mengatur bahwa setiap partai politik harus setidaknya memiliki 30 persen calon anggota perempuan di tingkat nasional, provinsi dan lokal di masing-masing daerah pemilihan umum. Pada pemilihan umum tahun 2004, selain adanya peraturan hukum untuk kuota gender, tidak ada peningkatan signifikan dalam keterwakilan perempuan yang terlihat. Hanya 11,8 persen perempuan terpilih untuk menduduki kursi di DPR RI karena undangundang yang ada tidak mewajibkan partai politik mencalonkan 30 persen perempuan dalam daftar calon legislatif.
Kondisi ini memunculkan kebutuhan akan adanya gerakan perempuan untuk perubahan lebih jauh supaya menjadikan alokasi kuota 30 persen bagi perempuan dalam daftar calon legislatif menjadi kewajiban bagi partai politik mereka. Hal ini akan sejalan dengan kalimat yang ada dalam UU Pemilu No.10/2008. Pasal 53 dari UU ini mensyaratkan partai politik untuk menominasikan setidaknya 30 persen perempuan dalam daftar calon legislatif terbuka dalam Pemilu 2009. Kekurangan dalam UU ini adalah tidak adanya sangsi bagi partai politik yang tidak mematuhinya. Sebagai hasil, enam dari tiga puluh delapan partai yang ikut serta dalam pemilu 2009 gagal menominasikan 30 persen calon legislative perempuan dalam daftar calon anggota legislatif yang mereka usulkan.
Saat ini keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) meningkat dari 11,8 persen di pemilu yang diselenggarakan pada tahun 2004, menjadi 18 persen pada pemilu 2009. Ini adalah angka tertinggi keterwakilan perempuan di sejarah politik Indonesia. Meskipun demikian, ada variasi persentase perwakilan perempuan di DPR RI dari berbagai partai politik. Perwakilan perempuan terendah di DPR RI adalah Partai Keadilan Sejahtera yang jumlahnya 5,3 persen, sementara Partai Demokrat memiliki keterwakilan tertinggi sebesar 24,3 persen.[1]
Melihat kontek sekrang para pihak perempuan telah banyak memasuki ruang-ruang dalam politik dalam pemerintahan. Pemerintahan telah mengupayakan berbagai hal untuk memenuhi hak-hak kaum perempuan dalam bidang politik dengan menyediakan dan membebasi kepada kaum perempuan mendapatkan kursi-kursi di DPR dan pemberian pekerjaan dalam pemerintahan baik kementerian dan lain sebagainya.
Bersama dengan institusi-institusi lain, MPR memiliki tanggungjawab untuk membuat dan memperbarui Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk pedoman pelaksanaan pemerintahan dan berbagai kebijakan nasional. Sejak tahun 1988, GBHN telah mengandung ketetapan-ketetapan mengenai peranan perempuan, selain keberadaan Menteri Muda Urusan Perempuan dalam kabinet. Posisi ini terus dipertahankan, sekalipun dengan nama serta visi dan misi yang berubah. Isu-isu perempuan dan, yang berkembang menjadi, isu gender tertuang dalam GBHN tahun 1993, 1998 dan 1999.
Dalam GBHN tahun 1999, dinyatakan bahwa pemberdayaan perempuan  dilaksanakan melalui upaya: pertama, peningkatan kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, kedua meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan kaum perempuan dalam melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat.Keterwakilan perempuan di dalam parlemen menjadi sebuah hal yang patut diwujudkan.
Berbeda dengan GBHN pada umumnya yang ditujukan bagi pihak eksekutif, GBHN tahun 1999 merupakan pedoman untuk diberlakukan dan mengikat bagi seluruh institusi kenegaraan seperti eksekutif (Presiden) yudikatif (Mahkamah Agung), legislatif (DPR/MPR), dan lembaga pemeriksa keuangan (BPK), khususnya pernyataan tentang peningkatan kedudukan dan peran peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Affirmative action ini telah mulai dilaksanakan di Indonesia sejak Pemilu 2004, melalui Undang-undang Partai Politik No. 31 tahun 2002 yang mengatur keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai politik dan kuota pencalonan legislatif perempuan sebanyak 30%. Meski upaya penerapan kuota telah dilakukan, namun pada Pemilu 2009 belum menunjukkan angka keberhasilan yang signifi kan karena baru mencapai 18.04% (101 orang dari 560 orang anggota) keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). sementara keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mencapai 26.52% (35 orang dari 132 orang anggota).
Selama satu dekade terakhir ada kecenderungan peningkatan peran dan partisipasi perempuan. Di satu sisi kaum perempuan tidak memilik cukup kepercayaan diri untuk terlibat dalam politik sementara kaum pemilih merasa sanksi akan kemampuan mereka. pada sisi lain, terdapat banyak kaum perempuan yang tidak aktif di dunia politik namum gigih berjuang di garis depan dalam memecahkan persoalan-persoalan publik yang penting.Terbukanya peluang memperbaiki representasi perempuan seharusnya tidak terlalu ditekankan pada sisi kuantitasnya saja. Tentu akan percuma bila kesempatan itu tidak diikuti oleh penyiapan kader yang baik. sesungguhnya, yang paling penting adalah meningkatkan kapasitas dalam aktualisasi politik kaum perempuan, dan lebih jauh lagi mendorong keterlibatan perempuan untuk duduk di posisi-posisi penentu kebijakan publik.
Kesempatan dalam kiprah politik dan peran kepemimpinan bagi perempuan,penting untuk terus ditingkatkan tidak hanya untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik, tetapi juga agar perempuan dapat membangun sistem dan etika politik yang semakin baik. Ini terkait dengan kapasitas perempuan sebagai pemilih, pemimpin partai politik, legislator atau pejabat pemerintah supaya semakin banyak kebijakan publik yang merefleksikan kekhawatiran dan perspektif perempuan serta diiiringi derajat sensitifitas yang makin tinggi pada berbagai persoalan di tanah air. Hasil penelitian di beberapa negara di dunia menunjukkan bahwa efektifitas peran perempuan dalam mendorong kesejahteraan lebih kuat pengaruhnya melalui peran dalam legislatif ketimbang eksekutif.
Merujuk pada kondisi saat ini, mayoritas parlemen di dunia masih didominasi oleh anggota laki-laki. Representasi perempuan di parlemen rata-rata masih rendah, belum mencapai 30%. Kondisi ini mengindikasikan bahwa aturan main atau regulasi atau norma, bangunan struktur, proses kerja maupun penilaian atas kinerja anggota parlemen masih ditentukan melalui ukuran-ukuran dan kriteria yang dibuat para aktor pembuat kebijakan yang sebagian besar terdiri dari laki-laki. Ketika kaum perempuan mulai ikut berpartisipasi di lembaga perwakilan ini, dengan representasi yang terus meningkat, dirasakan bahwa aturan main, regulasi, bangunan struktur kelembagaan di parlemen, norma,proses kerja maupun penilaian atas kinerja dan produk yang dihasilkan belum bisa mengakomodasi kepentingan mereka dan bahkan cenderung bias serta diskriminatif.

B.     Kedudukan Wanita Dalam Politik Menurut Islam
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-TAubah [9]:71)
Dalam ayat ini, Allah memposisikan sebuah kemunitas (masyarakat) sabagai amanah yang harus diemban setiap mukmin dan mukminah yang mendambakan “cahaya”, dan Allah telah menetapkan bahwa masing-masing dari mereka sebagai penanggung-jawab atas amanah tersebut, tidak ada yang dikecualikan dari mereka, baik laki-laki maupun wanita.
Maka Allah menjelaskan bahwa setiap insane baik laki-laki maupun wanita, memiliki tanggung jawab terhadap seluruh komponen masyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi, manajerial, pemikiran, maupun social kemasyarakatan. Karenanya, bagi kaum wanita- dan ini yang hendak kita bicarakan di sini- tuganya adalah melaksanakanya baik melalui Dewan Perwakilan Rakyat (parlemen) atau oraganisasi-organisasi social kemasyarakatan. Namun semua itu harus dilakukan dengan syarat masih berada dalam koridor yang sesuai dengan fitrah dan tingkat keilmuan wanita sehingga memudahkan mereka untuk memahami berbagai persoalan, dan sesuai pula dengan kemampuan mereka untuk dapat menyampaikan kritik (Amar Ma’ruf Nahi Munkar).[2]
Islam mengakui pentingnya peran kaum perempuan dalam kehidupan masyarakat dan dampaknya pada kehidupan politik kita. Sebaian dari hak-hak perepuan tersebuat adalah sebagai berikut:
1.      Kebebasan untuk menyampaikan pendapat
Metodelogi yang disusun oleh islam untuk menciptakan sebuah bangsa yang berhasil ini mengajak setiap anggota masyaraknya untuk saling menasehati dan bermusyawarah baik untuk laki-laki ataupun perempuan. Allah swt berfirman:
“Dan bagi orang yang menerima seruan tuhannya dan mendirikan solat sedang urusan mereka
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
 Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabbnya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS.Asy-Syuura [42]:38)
Ibnu katsier menyebutkan dalam penjelasannya sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka berarti bahwa mereka tidak mengeluarkan kesepakatan apapun tentang persoalan-persoalan seperti perang atau persoalan yang sama-sama penting kalau tidak melalui musyawarah dulu antar mereka dan saling member nasehat satu sama lain.
2.      Hak untuk mendapatkan perlindungan dan perawatan
Bagi perempuan beriman yang berhijrah dari negeri kafir lalu memeluk islam, islam telah menjain perlindungan dan perawatan, dngan demikian menambahkan manfaat lainnya pada daftar hak-hak kaum perempuan. Allah swt telah memerintahkan kaum beriman untuk menolong kaum perempuan meninggalkan kampung halaman mereka karena melepaskan diri dari penganiayaan kaum kafir.
Kita dapat tarik kesimpulan berikut ini:
-wajib melindungi dan menegakkan hak-hak perempuan
-wajib menjaga perempuan yang beriman dari ancaman orang kafir
-wajib membayar ganti rugi kepada suami dari perempuan yang berhijrah jika mereka memintanya.[3]

C.    Kedudukan Perempuan Sebagai Wanita Karir
1.      Pandangan Islam terhadap Wanita Karier
Allah Ta’ala menciptakan laki-laki dan wanita dengan karakteristik yang berbeda. Secara alami (sunnatullah), laki-laki memiliki otot-otot yang kekar, kemampuan untuk melakukan pekerja-an yang berat, pantang menyerah, sabar dan lain-lain. Cocok dengan pekerjaan yang melelahkan dan sesuai dengan tugasnya yaitu menghidupi keluarga secara layak.
Sedangkan bentuk kesulitan yang dialami wanita yaitu: Mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh dan mendidik anak, serta menstruasi yang mengakibatkan kondisinya labil, selera makan berkurang, pusing-pusing, rasa sakit di perut serta melemahnya daya pikir, sebagaimana disindir di dalam Al-Qur’an ,
وَوَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَىَّ الْمَصِيرُ
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman [31]:14)
Ketika dia melahirkan bayinya, dia harus beristirahat, menunggu hingga 40 hari atau 60 hari dalam kondisi sakit dan merasakan keluhan yang demikian banyak, tetapi harus dia tanggung juga. Ditambah lagi masa menyusui dan mengasuh yang menghabiskan waktu selama dua tahun. Selama masa tersebut, si bayi menikmati makanan dan gizi yang dimakan oleh sang ibu, sehingga mengurangi staminanya.
Oleh karena itu, Dienul Islam menghendaki agar wanita melakukan pekerjaan/karir yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang dapat menjaga kehormatan dirinya, kemuliaannya dan ketenangannya serta menjaganya dari pelecehan dan pencampakan.
Dienul Islam telah menjamin kehidupan yang bahagia dan damai bagi wanita dan tidak membuatnya perlu untuk bekerja di luar rumah dalam kondisi normal. Islam membe-bankan ke atas pundak laki-laki untuk bekerja dengan giat dan bersusah payah demi menghidupi keluarganya.
Maka, selagi si wanita tidak atau belum bersuami dan tidak di dalam masa menunggu (‘iddah) karena diceraikan oleh suami atau ditinggal mati, maka nafkahnya dibebankan ke atas pundak orangtuanya atau anak-anaknya yang lain, berdasarkan perincian yang disebutkan oleh para ulama fiqih kita.
Bila si wanita ini menikah, maka sang suamilah yang mengambil alih beban dan tanggung jawab terhadap semua urusannya. Dan bila dia diceraikan, maka selama masa ‘iddah (menunggu) sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah, membayar mahar yang tertunda, memberikan nafkah anak-anaknya serta membayar biaya pengasuhan dan penyusuan mereka, sedangkan si wanita tadi tidak sedikit pun dituntut dari hal tersebut.
Selain itu, bila si wanita tidak memiliki orang yang bertanggung jawab terhadap kebutuhannya, maka negara Islam yang berkewajiban atas nafkahnya dari Baitul Mal kaum Muslimin.
2.      Syarat Seorang Wanita Diperbolehkan Berkarier
Ada kondisi yang teramat mendesak yang menyebabkan seorang wanita terpaksa bekerja ke luar rumah dengan persyaratan sebagai berikut:
1.      Disetujui oleh kedua orangtuanya atau wakilnya atau suaminya, sebab persetujuannya adalah wajib secara agama dan qadla’ (hukum).
2.      Pekerjaan tersebut terhindar dari ikhtilath (berbaur dengan bukan mahram), khalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan laki-laki asing; Sebab ada dampak negatif yang besar. Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seo-rang laki-laki ber-khalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan seorang wanita, kecuali bila bersama laki-laki (yang me-rupakan) 2mahramnya”. (HR. Bukhari).
3.      Menutupi seluruh tubuhnya di hadapan laki-laki asing dan menjauhi semua hal yang berindikasi fitnah, baik didalam berpakaian, berhias atau pun berwangi-wangian (menggunakan parfum).
4.      Komitmen dengan akhlaq Islami dan hendaknya menampakkan keseriusan dan sungguh-sungguh di dalam berbicara, alias tidak dibuat-buat dan sengaja melunak-lunakkan suara. Firman Allah,
يَانِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفًا
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa.Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik, (QS.Al-Ahzab [33]:32)
Hendaknya pekerjaan tersebut sesuai dengan tabi’at dan kodratnya seperti dalam bidang pengajaran, kebidanan, menjahit dan lain-lain.



D.    Perempuan Karir Dalam Islam
Menurut  Yusuf  Qaradhawi ketika ditanya bolehkan bagi wanita untuk berkarir, ia menjawab bahwa wanita adalah sebagaimana laki-laki. Sebagaimana firman Allah swt
 (Ali-Imran : 195) بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ...
sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain”(Ali-Imran:195)
 manusia hidup pada tabiatnya berfikir dan bekerja. Jika tidak maka mereka bukan disebut sebagai manusia.
            Allah menciptakan manusia untuk bekerja, bahkan hanya untuk mengetahui siapakah yang mempunyai kerja yang terbaik. Wanita sebagaimana laki-laki terbebani untuk bekerja(beramal). Sebagaimana firmannya
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّى لآَأُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى
Tuhan mereka memperkenankan permohonannya, dengan berfirman: sesengguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang beriman yang beraramal diantara kamu, baik laki-laki maupun perempuan.”(Ali-Imran:195).
            Wanita merupakan separuh dari komunitas manusia. Tidak bisa dibayangkan bagaiman islam kehilangan dari separuh komunitasnya, lalu ditanyakan sebagai agama yang jumud dan stagnan, yang hanya mengambil dari kehidupan dan yang memberikan kepada kehidupannya, hanya mengkomsumsi akan tetapi tidak pernah berproduksi.
            Pekerjaan wanita yang pertama dan utama yang tidak diperdebatkan adalah mendidik para generasi. Namun tidak mengharamkan bagi wanita untuk bekerja diluar rumah. Sebagaiman diketahui bahwa kaidah dasar setiap aktivitas itu hukumnya boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
            Jika kita memperbolehkan wanita berkarir, maka haruslah dengan beberapa syarat sebagai berikut:
1.      Pekerjaan tersebut memang disyariatkan. Artinya bukan pekerjaan haram atau membawa kepada perkara haram, seperti penari, pelayan bar, sekretaris pribadi direktur yang mengharuskan duduk seruangan dengannya.
2.      Menjaga adab wanita muslimah saat keluar dari rumahnya, dengan menjaga cara berpakaian, berjalan, berbicara, bahkan bergerak. Allah berfirman,
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّمَاظَهَرَ مِنْهَا katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak daripadanya.”(An-Nur:31)
3.      Pekerjaan tersebut tidak sampai melalaikan kewajiban utamanya, seperti kewajiban mengurus suami dan anak-anaknya. Sebab itulah pekerjaan dan kewajiban yang paling utama bagi seorang wanita.
Pemerintah hendaknya menyiapkan perangkat-perangkat berupa undang-undang tenaga kerja dan sarana pekerjaan bagi para wanita ketika kebutuhan mendesaknya bekerja untuk kepentingan dirinya, keluarganya, atau masyarakatnya.
Diantara perangkat dan sarana yang harus disiapkan pemerintah adalah sekolah Agama, sekolah mum, dan universitas khusus untuk kaum wanita, sehingga kaum wanita mempunyai sarana untuk olahraga dan kesehatan fisik yang menyehatkan jiwa dan raganya. Diantaranya juga menyiapkan bagian dan tempat khusus bagi wanita yang bekerja dipemerintahan, yayasan atau bank sehingga menghindarkan terjadinya fitnah, serta fasilitas lainnya yang diperlukan. [4]
Pandangan Para Istri Nabi tentang Hak-Hak Politik Wanita Dan Hasrat Mereka Terhadap Kenikmatan Duniawi:
“Sesungguhnya fitrah penciptaan wanita secara fisik dan mental berperan penting bagi urusan rumah tangga dan perkembangannya, terutama pendidikan anak. Unsur perasaan sentimental yang berlebihan membuat peran tersebut sesuai untuk mereka. Perasaan sentimental tersebut, sebagaimana yang terjadi cenderung mengalahkan akal dan kebijaksaan seorang manusia.”
Para istri Nabi setelah melihat dunia dan kesenangannya, meminta kepada Nabi agar member mereka bagian dari harta rampasan perang, sehingga mereka bisa hidup sebagaimana istri-istri raja dengan segala kenikmatan duniawi yang diperolehnya. Tetapi Al-Quran membimbing para istri Nabi tersebut agar kembali kepada akal dan hikmah yang terkandung didalamnya, sebagiman Allah berfirman dalam Q.S Al-Ahzab:28-29
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلاً {} وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ اْلأَخِرَةَ فَإِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kamu sekalian menginginkan kehidupan duniawi dan perhiasanya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki keridhaan Allah dan Rasulnya serta kesenangan dinegeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa saja yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.” (Al-Ahzab; 28-29)
Inilah yang disebut dengan kondisi kewanitaan. Mereka cenderung dikalahkan oleh perasaan dan melemahkan akal sehat mereka. Para istri Nabi tersebut tumbuh dan berkemabng dalam bimbingan Rasulullah dan kebanyakan wahyu pun turun dirumah mereka. Namun hakikatnya istri Nabi lebih memilih kepada kehidupan akhirat.
Kelemahan yang bersifat manusiawi bisa manimpa kaum laki-laki dan perempuan secara bersamaan. Mengapa mereka tidak menyebutkan pendapat cemerlang yang dikeluarkan Ummu Salamah pada hari Hudaibiyah?
Bahkan mereka yang mengecap kelemahan wanita, tidakkah mereka mengutip kisah Al-Quran tentang seorang wanita cerdas dan bijak yang berhasil membawa kaumnya kepada kebaikan dunia dan akhirat? Wanita tersebut adalah ratu Saba’. Lihatlah kemampuannya menaklukan para penakluknya yang datang dengan tradisi jahatnya terhadap negeri yang dimasukinya.
Mereka yang melarang wanita duduk di parelemen mengambil dalih Al-Quran “ dan hendaklah kamu tetap dirumahmu..”. Jadi  dimaklumi, tidak seorangpun yang membantah bahwa dalil tersebut ditunjukan kepada istri-istri Nabi yang diberikan hukumsecara khusus, karena beban ganjaran dosa dan pahala yang mereka dapatkan dua kali lipat daripada wanita-wanita lain., namun tetap saja ayat tersebut tidak membuat Ummu mukminin siti Aisyah sebagai wanita yang paham sekali hukum Islam, enggan keluar dari rumahnay. Bahkan dia keluar dari kota Madinah mengadakan perjalanan menuju bashrah memimpin sebuha pasukan perang yang dikenal dengan perang jamal. Sebab, tidak mengapa bagi wanita  berkarir diluar rumahnya untuk memberikan faedah yang banyak bagi umat dengan tidak menghilangkan adab/ syarat islami yang telah dijelaskan sebelumnya.

E.     Sejarah Pada Masa Kerasulan Tentang Wanita Karir
Sejak awal Islam telah menetapkan bahwa perempuan sama dengan laki-laki dalam masalah kemampuan dan kedudukannya. Islam tidak mengurangi sedikitpun selamanya hak tersebut. Sebagimana bentuknya sebagi pperempuan. Karena itu, Rasulullah SAW. Meletakkan dasar kaedah penting, “Sesungguhnya wanita pendamping atau belahan jiwa laki-laki.”[5] Sebagaimana juga ditetapkan Beliau dalam wasiatnya kepada wanita, “Aku mewasiatkan kepada kalian agar berbuat baik kepada wanita.”[6] Betapa nasehat itu diulang-ulang dalam haji wada’. Ketika itu beliau berbicara di depan umatnya.[7]
Sebagai pembuka, kita merujuk ke kitab Tahzib al-Tahzib, buku biografi periwayat hadis dalam kutub sittah. Ibnu hajar menyebutkan 240 nama wanita periawayat hadis. Tertulis dalam buku ni karakter dan kualitas para periwayat hadis.
Seorang lulusan Al-Azhar, Rifa’ah Al-Thahtawi  selepas menyelesaikan jenjang pendidikan di Prancis menyeru kepada para pemudi negaranya untuk menggali ilmu. Ia berkeyaninan bahwa perempuan mempunyai hak belajar sebagaimana laki-laki.
Sejak masa nabi muhammad saw. Kaum wanita telah berpartisipasi dalam menyebarkan ilmu. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam kitabnya Al-Ishabah  fi Tamyiz  Ash-Shabahah  menulis biografi 1.543 shahabiyah (sahabat perempuan), diantara mereka ada ahli fiqh, hadis,dan sastra. Beberapa shahbiyah tercatat  sebagai guru bagi para sahabar maupun tabi’in, seperti Aisyah, Ummu Salamah, Maimunah, Ummu Habibah dan sebagainya.
Aisyah adalah seorang wanita ahli fiqh sampai Ibnu Hajar Al-‘asqalani mengatakan, “seperempat hukumsyar’i diambil darinya “. Wanita dari kalangan tabi’in yang terkenal keilmuan dan kewara’annya misalnya Fatimah binti Al-Husain bin Ali. Dalam melakukan kodifikasi terhadap Sirrah Nabawiyyah, Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam banyak bersandar pada riwayat darinya.
Sementara itu diwilayah islam bagian barat, Fatimah Al-Fihriyyah Ummul Banin membangun universitas Al-Qurawiyyin di Fez pada abad ke III H. Unuversitas ini menjadi universitas pertama didunia islam, bahkan diseluruh dunia.
Selain nama-nama di atas masih banyak wanita lainnya yang terlibat  dalam membangun tradisi keilmuwan islam. Dari paparan singkat di atas kita bisa menyimpulkan bahwa laki-laki muslim dan wanita  muslimah sepanjang sejarah selalu bekerja sama dalam membangun keilmuwan dan peradaban islam.tidak ada pertentangan mereka dalam masalah-masalah prinsip dan tidak ada diskriminasi laki-laki terhadap wanita.
1.      Para wanita yang menjadi narasumber dan guru besar
Di masa lalu para wanita memiliki murid-murud  yang berdatangan dari berbgai penjuru islam saat itu. Semua itu tidak akan terjadi jika para wanita tersebut tidak memiliki kemampuan yang tidak memadai dan cukup terkenal.
Tercatat dalam buku sejarah sebagai contoh kecil yaitu Aisyah Binti Muhammad (lahir pada 723 H) dan Fatimah Binti Muhammad. Kedua syikhah ini adalah kakak berdik yang merupakan guru besar Ibnu Hajar.
2.      Para mufti wanita
Mufti adalah pakar fiqh yang menjelaskan hukum syar’i dalam sebuah permasalahan. secara umum seorang mufti harus jujur dan berilmu.
Ternyata wanita dimasa lalu sangat bermutu dan menjadirujukan umat. Penyambung lidah Rasulullah dan sahabt, serta orang-orang soleh. Sebagai contoh dalam sejarah islam antara lain, Amatulwahid binti Husain, Ummu Isa, dan Aisyah binti Yusuf.

3.      Para wanita yang memiliki karya tulis
Di anatra beberapa wanita yang sempat menulis buku dengan tangannya sendiri, diterangi cahaya api seadanya dan setiap sela kesibukan membina rumah tangganya adalah:
a.       Maryam binti Muhammad (719-805H/1319-1402M)
Guru besar dari Ibnu Hajar, berasal dari syiria, menulis buku dalam hadis berjudul Al-Mu’jam, 1 jilid.
b.      Dahma’ binti Yahya (wafat 837H/1434M)
Seorang ahli ilmu fiqh, ilmu waris, dan penyair handal. Berasal dari yaman, menulis buku dalam fiqh mazhab zaidiyah, ilmu waris dan syair. Hasil karyanya Syarh li Al-Azhar (4 jilid), syarh Mandzumah Al-Kufi dan lainnya.
c.       Hamidah binti Muhammad (wafat 1087H/1676M)
Seorang pakar dalam ilmu hadis, menulis kritik tentang beberapa buku hadis, diantaranyan Al-Istibshar li Al-Syaikh Al-Thusi.
Peran aktif muslimah dalam khazanah keilmuanterukir indah sepanjang sejarah. Tidak jarang wafatnya seorang muslimah membawa dampa yang sangat besar yang tidak dapat diabaikan.

4.      Para wanita yang berperan aktif dalam poltik
Didunia islam masa lalu, peranan wanita dalam pengaturan negara juga tidak dalam bentuk jabatan resmi kepemimpinan, tetapi pengaruhnya sangat dirasakan oleh masyarakat saat itu, semua mengisyaratkan bahwa dalam kondisi darurat, wanita harus mengambil tindakan dan berpangku tangan.
a.       Al-Adir Al-Karimah (wafat 762H/1361M)
Ia adalah ibu dari Sulthan Al-Mujtahid (penguasa yaman), berotak cemerlang, berjiwa kepemimpinan,dermawan dan berkemauan kuat. Saat putra beliau dipenjarakan di Mesir, Yaman kacau dan hampir timbul pemberontakan, dengan sigap beliau mengambil alih kepemimpinan, hingga Sulthan kembali ke yaman.

5.      Para wanita dermawan yang bergerak dalam bidang sosial dan kesejahteraan umat.
Pribadi-pribadi dermawan yang aktif berkorban, memberikan perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat adalah wanita-wanita istimewa yang berjiwa besar, diantaranya adalah: Zainab binti AliBerasal dari Mesir, seorang wanita berwibawa, disegani oleh pembesar kerajaan, ditaati perintahnya. Memiliki kekayaan yang berlimpah dan sebagian hartnya digunakan untuk membangun panti-panti untuk janda.[8]









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Melihat kontek sekrang para pihak perempuan telah banyak memasuki ruang-ruang dalam politik dalam pemerintahan. Pemerintahan telah mengupayakan berbagai hal untuk memenuhi hak-hak kaum perempuan dalam bidang politik dengan menyediakan dan membebasi kepada kaum perempuan mendapatkan kursi-kursi di DPR dan pemberian pekerjaan dalam pemerintahan baik kementerian dan lain sebagainya.
2.      Perempuan dalam Islam dibolehkan untuk berkecimbung di bidang politik asalkan dilakukan dengan syarat masih berada dalam koridor yang sesuai dengan fitrah dan tingkat keilmuan wanita sehingga memudahkan mereka untuk memahami berbagai persoalan, dan sesuai pula dengan kemampuan mereka untuk dapat menyampaikan kritik.
3.      Allah Ta’ala menciptakan laki-laki dan wanita dengan karakteristik yang berbeda. Secara alami (sunnatullah), laki-laki memiliki otot-otot yang kekar, kemampuan untuk melakukan pekerja-an yang berat, pantang menyerah, sabar dan lain-lain.
4.      Allah menciptakan manusia untuk bekerja, bahkan hanya untuk mengetahui siapakah yang mempunyai kerja yang terbaik. Wanita sebagaimana laki-laki terbebani untuk bekerja(beramal).
5.      Sejak awal Islam telah menetapkan bahwa perempuan sama dengan laki-laki dalam masalah kemampuan dan kedudukannya. Islam tidak mengurangi sedikitpun selamanya hak tersebut. Sebagimana bentuknya sebagai perempuan.

B.     Saran
1.      Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut andil dalam penulisan makalah ini, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Dan tidak lupa kami menyadari bahwa dari penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan, dari itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan perhatikan
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahan
Al-Bukhari, Muhammad Bin Ismail Abu Abdullah Al-Ja’fi: Al-Jami’ Ash-Shahih Al-Mukhtashar, Tahqiq oleh Mustafa Dib Al-Bugha, Dar Ibnu Al-Katsir, Yamamah, Beirut, Cet. III, 1407 H/1987 M.
Al-Iman Al-Hafiz Imamuddin Abu Al-Fida Ismail Ibnu Katsier, Tafsir Alquran Al Adzim, jil.4, Mekkah Al-Munawaarah, Beirut, Daar Al Baaz, Abbas Ahmad AL-Bax, Daar Al-Marifah, 1388 H/1969.
At-Tirmizi, Muhammad Bin Isa Abu Isa As-Salami: Al-Jami’ Ash-Shahih, Tahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir dan yang lain, Dar Ihya’ At-Turats Al-A’rabi, Beirut.
Dr.Amru Abdul Karim Sa’dawi, Wanita Dalam Fiqh Al-Qaradhawi,Qathrunwada, Mesir, 2009
Muhammad Ustman Al-Khasty, Kitab Fikih Wanita Empat 4 Mazhab Untuk Seluruh Muslimah, Jakarta: Kunci Iman, 2014
Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.
Thoborani.M Cendekiawan Muslim dan Penemuan-Penemuan Paling Brilian, Jogyakarta:Titan, 2000
UNDP Indonesia, Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pemerintah, Jakarta: UNDP Indonesia 2010.




[1] UNDP Indonesia, Partisipasi Perempuan Dalam Politik Dan Pemerintah, (Jakarta: UNDP Indonesia 2010), hal. 3-4.
[2] Muhammad Ustman Al-Khasty, Kitab Fikih Wanita Empat 4 Mazhab Untuk Seluruh Muslimah, (Jakarta: Kunci Iman, 2014), hal. 523-524.
[3] Al-Iman Al-Hafiz Imamuddin Abu Al-Fida Ismail Ibnu Katsier, Tafsir Alquran Al Adzim, jil.4, Mekkah Al-Munawaarah, Beirut, Daar Al Baaz, Abbas Ahmad AL-Bax, Daar Al-Marifah, 1388 H/1969, hal 118
[4]Dr.Amru Abdul Karim Sa’dawi, Wanita Dalam Fiqh Al-Qaradhawi,(Qathrunwada, Mesir, 2009)hal:269-272.
[5] HR. At-Tirmizi, Abwab Ath-Thaharah, Bab Maa Jaa fiman yastaiqithu Fayara Balalan (113)
[6] HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah, Kitab An-Nikah, Bab Al-Washaya bin Nisa (4890).
[7] Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), hal. 74.
[8] Thoborani.M Cendekiawan Muslim dan Penemuan-Penemuan Paling (Brilian, Jogyakarta:Titan, 2000) hal. 68-89
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot