BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Nusyuz
Sungguh Islam telah menetapkan dasar-dasar dan menegakkan sandaran untuk membangun keluarga dan melindunginya dari sesuatu yang besar. Termasuk dari bagian permasalahan manusia adalah munculnya perselisihan diantara mereka. Timbullah pertentangan ketika keinginan saling berlawanan, atau ketidaksenangan karakter dengan hal yang ada di keluarga berupa perselisihan dan kedekatan, terkadang terjadi kebosanan sehingga menjadikan udara di dalam keluarga berembus dengan awal yang tebal.
Oleh
karena itu, Islam mengakui adanya kemungkinan terjadinya perselisihan suami
istri dan pertentngan dalam lingkunga keluarga, memberikan penyelesaian,
memberitahukan berbagai penyebabnya yang berjalan bersama peristiwa yang
terjadi. Islam tidak membiarkan dan mengabaikan atas permasalahan yang timbul
di dalam keluarga karena pengabaian tidak dapat mengatasi berbagai kesulitan
hidup sikitpun.[2]
a. Pengertian Nusyuz
Nusyuz
berasal dari kata bahasa Arab yang secara etimologi berarti ارتفاع yaitu meninggi atau terangkat.[3]
Dalam artian lain nusyuz dapat di artikan sebagai kedurhakaan/membangkang terhadap kewajiban-kewajiban dalam kehidupan
perkawinan ini dapat terjadi pada pihak istri dan dapat pula terjadi pada pihak
suami. Nusyuz menurut Slamet Abidin dan Aminudin adalah kedurhakaan yang
dilakukan istri terhadap suaminya.
Apabila istri menentang kehendak suami tanpa alasan yang dapat diterima
menurut hukum syara’, maka tindakan itu dipandang durhaka.[4]
Nusyuz
ini bukan saja terjadi kepada istri, namun si suami juga bisa bernusyuz. Apabila
si suami durhaka kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap istri,
baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi (nafaqah) atau
meninggalkan kewajibannya yang bersifat non-materi di antaranya mu’asyarah
bi al-ma’ruf (menggauli istrinya
dengan baik).[5]
Bentuk seorang istri mendurhakai suami dan menentang suaminya kemudian keluar
dari keridhaannya tanpa unsur atau tindakan yang diterima oleh syara’. Adapun
kemuskilannya adalah syariat Islam memberikan kewenangan penangganan suami
terhadap kedurhakaan istri tanpa memberikan kewenangan tersebut kepada istri
untuk menanganani kedurhakaan suami.[6]
b. Hukum nusyuz
Nusyuz
hukumnya haram. Allah telah menetapkan hukum bagi wanita yang melakukan nusyuz
jika dia tidak mempan dinasehati. Hukuman tidak akan diberikan kecuali karena
adanya pelanggaran terhadap hal yang diharamkan, atau meninggalkan perbuatan
yang wajib dilakukan.[7]
c. Nusyuz
Istri
Seperti yang kita
ketahui, bahwa nusyuz bisa saja terjadi pada perempuan (istri) dan juga
laki-laki (suami). Akan tetapi, watak permpuan berbeda dengan watak laki-laki.
Oleh krena itu, penyembuhannya juga berbeda secara teori, karena berbedanya
bentuk nusyuz antar mereka berdua.
Kadang-kadang perilaku
istri menyalahi aturan, ia berpaling dalam bergaul dengan suaminya, lalu
ucapannya menjadi kasar, tampaklah kedurhakaannya, meninggalkan ketaatan dan
menampakkan perlawanan.
Wajib bagi suami pada
saat itu untuk mencari sebab terjadinya perubahan istri, ia berterus terang
dengannya mengenai apa yang terjadi, maka diharapkan istri dapat menjelaskan
sebab yang membuatnya marah, yang tidak dirasakan oleh suami. Oleh karena itu,
bagi suami jika telah jelas baginya bahwa nusyuz karena berpalingnya perilaku
istri sehingga ia membangkang dan durhaka dengan melakukan dosa dan
permusauhan, kesombongan dan tipu daya, Islam mewajibkan suami untuk menempuh
tiga tingkatan sebagai berikut:
Pertama,
menasehati.
Allah SWT berfirman:
وَالْتِى
تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْ هُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang kamu
khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah mereka.”
Bagi suami hendaknya menjadi psikiater, sekiranya ia
menasehati istri dengan hal yang sesuai baginya dan menyelaraskan wataknya
serta sikapnya, diantaranya hal yang dapat dilakukan oleh suami adalah:
1. Memperingati istri dengan hukuman Allah
SWT bagi perempuan yang bermalam sedangkan suaminya marah dengannya.
2. Mengancamnya dngan tidak memberi
sebagian kesenangan meteril.
3. Mengingatkan istri dengan sesuatu yang
layak dan patut dengan menyebutkan dampak-dampak nusyuz.
4. Menjelaskan istri tentang apa yang
mungkin terjadi diakhirat, bagi perempuan yang ridha dengan Tuhannya dan taat
pada suaminya.
5. Menasehati istri dengan Kitabullah, yang
mewajibkan perempuan untuk bersama dengan baik, bergaul dengan baik terhadap
suami, dan mengakui posisi suami diatas nya.
6. Memilih waktu dan tempat yang sesuai
untuk berbicara.
Dari
sini tampaklah bagi kita pentingnya memilih istri yang shalehah, memusatkan
pada keadaan agama dan berbuat baik kepada perempuan bagi laki-laki yang hendak
menikahinya.
Kedua,
Berpisah Tempat Tidur.
Hal
ini dilakukan dengan memisahkan tempat tidurnya dari tempat tidur istri, meninggalkan
pergaulan dengannya, berdasarkan firman Allah SWT:
وَاَهْجُرُوْ هٌنَّ فِى الْمَضَاجِعِ
“Dan
tinggalkanlah mereka dari tempat tidur.”
Berpisah
dari tempat tidur yaitu suami tidak tidur bersama istrinya, memalingkan
punggungnya, dan tidak bersetubuh dengannya. Jika istri mencintai suami maka
hal itu terasa berat atasnya sehingga ia kembali baik. Jika ia masih marah,
maka dapat diketahui bahwa nusyuz jelas berasal dari dirinya.
Ketiga,
Memukul.
Jika
dengan berpisah belum berhasil, maka bagi suami berdasarkan teks dalam Al-Quran
diperintahkan untuk memukul istri. Pemukulan ini tidak wajib dalam syarai’ dan
juga tidak baik dilakukan. Hanya saja ini merupakan jalan terakhir bagi
laki-laki setelah ia tidak mampu menundukkan istrinya, mengajaknya dengan
bimbingan, nasehat, dan pemisahan.[8]
d. Nusyuz
suami
Allah SWT berfirman:
وَاِنِ امْرَاةٌ
خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوْزًا أوْ اِعْرَاضًا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أنْ
يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا, وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأَحْضِرَتِ الأَنْفُسُ
الشَّحَّ, وَاِنْ تُحْسِنُو وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
خَبِيْرًا
“Dan jika seorang wanita khawatir akan
nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan juga kamu
bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap
tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. An-Nisa’: 128)
Nusyuznya suami yaitu menjauhi
istri, bersikap kasar, meninggalkan untuk menemaninya, meninggalkan dari tempat
tidurnya, mengurangi nafkahnya, atau berbagai beban berat lainnya bagi istri.
Kadang, terdapat berbagai macam masalah pada seorang perempuan, hal ini
menyebabkan nusyuz dan berbagai macam perselisihan dengan suami. Dan terkadang,
penyebab nusyuz ini adalah suami yang berakhlak tercela, mudah marah, atau
kekacauan dalam pembelanjaannya.[9]
e. Kriteria Nusyuz dalam Pandangan Fiqh
Saleh
bin Ganim al-Saldani menjelaskan secara rinci mengenai kriteria tindakan istri
yang termasuk ke dalam perbuatan nusyuz menurut para ulama mazhab, yaitu
sebagai berikut:
a) Menurut ulama Hanafi : apabila seorang
istri(perempuan) keluar dari rumah suami tanpa izin suaminya dan dia tidak mau
melayani suaminya tanpa alasan yang benar .
b) Menurut ulama Maliki: seorang istri
dikatakan nusyuz apabila ia tidak taat terhadap suaminya dan ia menolak untuk
digauli, serta mendatangi suatu tempat yang dia rahu hal itu tidak diizinkan
oleh suaminya, dan ia mengabaikan kewajibannya terhadap Allah SWT, seperti
tidak mandi janabah, dan tidak melaksanakan puasa di bulan ramadhan.
c) Menurut ulama Syafi’i: seorang istri
dikatakan nusyuz apabila istri tersebut tidak mematuhi suaminya dan tidak
menjalankan ketentuan-ketentuan agama yang berkaitan dengan hak-hak suaminya
serta tidak menunaikan kewajiban agama lainnya.
d) Sedangkan menurut ulama Hanbali: seorang
istri dikatakan nusyuz apabila istri
melakukan yang tidak memberikan hak-hak suami yang wajib diterimanya karena
pernikahan.
Dari uraian di atas, kriteria nusyuznya seorang istri
ulama mazhab adalah sebagai berikut:
1.
Istri menolak ajakan suami untuk bersetubuh, tanpa alasan yang
dibenarkan oleh syara’
2.
Istri keluar rumah tanpa izin suami atau tanpa alasan yang benar, serta ketempat
yang telah di larang suami.
3.
Istri meninggalkan kewajiban agama
4.
Istri tidak berpenamplan menarik seperti yang diingikan oleh suami.
B. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga adalah
bentuk kejahatan yang terjadi didalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami
kepada istrinya atau sebaliknya oleh istri kepada suaminya. Mayoritas KDRT
dialami oleh istri yang dilakukan oleh suaminya karena istri merupakan objek
yang lemah dan tidak berdaya, meskipun memang ada pula kekerasan yang dilakukan
oleh istri kepada suaminya. Kekerasan terhadap istri adalah bentuk kriminalitas
(jarimah). Penegrtian kriminalitas dalam islam adalah tindakan melanggar
peraturan yang telah ditetapkan oleh syartiat Islam dan termasuk katagori
kejahatan.[10]
Yang termasuk dalam lingkup rumah tangga
disini meliputi:
a) Suami, istri, anak.
b) Orang-orang yang mempunyai hubungan
keluarga, baik karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian yang menetap dalam rumah tangga.
c) Orang-orang yang bekerja membantu rumah
tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
a. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah
tangga
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah
perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Perilaku
kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar,
memukul, meludahi, menarik/menjambak ramput, menendang, menyudut dengan rokok,
memukul dengan senjata dan sebagainya. Biasanya perilaku ini akan nampak
seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah, atau bekas luka yang lainnya.
2. Kekerasan psikis
Kekerasan psikis adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hulangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, atau penderitaan psikis berat
pada seseorang. Perilaku kekerasan ini adalah termasuk penghinaan,
komentar-komentar yang menyakitkan, merendahkan harga diri, mengancam atau
menaku-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual
meliputi: pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
atau tujuan tertentu. Kekerasan jenis ini juga meliputi pengisolasian
(menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa selera sek sendiri, tidak
memperhatikan kepuasan pihak istri.
4. Penelantaran rumah tangga
Setiap orang dilarang
menelantarkan orang dalam lingkup rumahnya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Penelantaraan dimaksud
juga berlaku bagi setiap orang yang melibatkan ketergantungan ekonomi dengan
cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar
rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Contoh dari
kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang
istri.[11]
b. Kekerasan dalam rumah tangga perpekstif
Islam
1. Qadzaf,
yakni melempar tuduhan.
Misalnya, menuduh
perempuan baik-baik berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa diterima oleh
syariat Islam. Sanksi hukumannya adalah 80 kali cambukan. Hal ini berdasarkan
firman Allah SWT:
وَالّذِيْنَ يَرْمُوْنَ
الْمُحْصَنَتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةٍ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ
ثَمَنِيْنَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوْ لَهُمْ شَهَادَةًاَبَدًا وَاُوْلَئِكَ هُمْ
الْفَسِقُوْنَْ اِلاَّ الَّذِ يْنَ تَابُوْا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَاَصْلَحُوْا
فَاِنَّ اللَّهَ غَفُوْرٌرَّحِيْمٌْ
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan
yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,maka
deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali mereka yang
bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 4-5)
2. Membunuh,
yakni menghilangkan nyawa dengan sengaja.
Pelaku diberi sanksi
hukum qisas, sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 179 berikut:
وَلَكُمْ
فِى الْقِصَاصِ حَيَوةٌ يَّاُولىِ الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَْ
“Dan dalam qisas itu
ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 175)
3. Menyodomi,
yakni menggauli perempuan dengan duburnya.
Haram hukumnya sehingga
pelaku wajib dikenai sanksi. Sanksi hukumnya adalah ta’zir, berupa
hukuman yang diserahkan bentuknya kepada pengadilan yang berfungsi untuk
mencegah hal yang sama terjadi.
Ibnu Abbas berkata,
Rasulullah Saw. bersabda: “Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang
mendatangi laki-laki (homoseksual) dan mendatangi istrinya pada duburnya,”
4. Penyerangan terhadap anggota tubuh.
Sanksinya adalah
kewajban membayar diyat (100 ekor unta), bergantung pada organ tubuh yang disakiti.
5. Perbuatan-perbuatan cabul.
Seperti berusaha
melakukan zina dengan perempuan (namun, belum sampai melakukannya) dikenakan
sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran. Kalau perempuan itu
adalah orang yang berada dibawah kendalinya, seperti pembantu rumah tangga,
diberi sanksi yang maksimal.
6. Penghinaan.
Jika ada dua orang yang
saling menghina sementara keduanya tidak memiliki bukti tentang faktanya,
keduanya akan dikenakan sanksi penjara sampai 4 tahun.[12]
C.
Pandangan Islam Terhadap kekerasan
dalam Rumah Tangga
Pandangan seperti mi, tentu saja juga didasarkan pada banyak teks-teks
hadits Nabi Muhammad SAW. Di antaranya:
Dalam riwayat Bahz bin Hakim bin Muawiyah, bahwa kakeknya bertanya kepada
Nabi saw: “Wahai Rasulullah, apa hak isteri kita, dan apa yang boleh kita
lakukan dengannya dan apa yang tidak boleh dilakukan? Nabi menjawab: “Kamu
berhak menggauli istrimu bagaimanapun cara yang kamu suka, kamu harus memberi
makan dari yang kamu makan, memberinya pakaian seperti yang kamu pakai, jangan
mencemooh muka istri dan jangan memukulnya.” (Hadits Riwayat Imam Abu Dawud,
lihat: Ibn al-Atsir, Juz VII, hlm. 329, Nomor Hadits: 4717).
Iyas bin Ibdillah bin Abi Dzubab ra berkata: “Bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Janganlah kalian memukul para perempuan!”. Lalu datang Umar ra
kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Para istri itu nanti berani (melawan) suami
mereka, berikan kami izin untuk tetap memukul mereka”. Tetapi kemudian banyak
sekali perempuan yang mendatangi keluarga Rasulullah SAW, mengadukan perilaku
suami mereka. Maka Rasulullah saw pun bersabda, “Sesungguhnya banyak perempuan
mendatangi keluarga Muhammad sambil mengadukan perilaku suami mereka. Mereka
(para suami yang memukul isteri) itu bukanlah orang-orang yang baik”. (Riwayat
Abu Dawud) (lihat: Ibn al-Atsir, juz VII hal. 330, no. hadits: 4719).
Riwayat lain, dalam hadits Bukhari, Muslim, dan at-Turmudzi, dan ‘Abdullah
bin Zam’ah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Janganlah sekali-kali seseorang di
antara kamu memukul isterinya, layaknya seorang hamba saja, padahal di
penghujung hari, Ia mungkin akan menggaulinya.” (Hadits Riwayat Imam Bukhari,
lihat: Shahih Bukhari, Kitab al-Nikah, Ma Yakrahu li dharb al-Nisa’, Nomor
Hadits: 4805).
Ini peringatan yang tegas dan Nabi SAW agar suami tidak memukul isterinya.
Karena masih banyak cara dan media lain, yang tidak mencederai kemanusiaan
perempuan. Tidak sekadar berbicara, Nabi SAW memiliki teladan baik dengan
melaksanakan pandangannya itu. Selama hidup berumah tangga, Nabi tidak pernah
sekalipun memukul
isteri-isterinya. Padahal,
perbedaan di antara Nabi dan isteri-isterinya kerap terjadi dan beberapa di
antaranya menimbulkan ketegangan hubungan suami-isteri. Namun, Nabi tak
sekalipun menempuh cara kekerasan, baik kekerasan fisik, perkataan, psikis,
seksual, maupun ekonomi. Seperti yang diceritakan ‘Aisyah ra, dalam suatu
hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dan Imam Abu Diwud:
“Bahwa Rasulullah tak pernah memukul pembantu dan tidak juga perempuan.”
(Hadits Riwayat Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab al-Adab, Fi al-Tajawuz fi
al-Amri, Nomor Hadits: 4154)
Nabi sendiri bersedia bersabar ketika menghadapi berbagai perbedaan dan
perlakuan dan isterinya. Bahkan, Nabi memberikan kesempatan kepada mereka untuk
mengekspresikan keinginan mereka, memberikan masukan, dan menentukan pilihan
yang sesuai dengan harapan mereka. Tanpa ada kata-kata penghinaan, pelecehan,
menghardik, apalagi ucapan-ucapan keji dan kotor, Nabi menghadapi mereka dengan
kesabarannya.
Dari beberapa teks hadits ini, dengan jelas bisa ditegaskan bahwa kekerasan
sama sekali tidak sesuai dengan perilaku, nasehat, dan peringatan Nabi SAW.
Pemukulan atau segala bentuk periaku kekerasan lain adalah bertentangan dengan
prinsip pergaulan yang baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf), tidak sesuai dengan anjuran
penghinaan terhadap perempuan (ma akramahunna illa karim), dan pelanggaran
terhadap wasiat Nabi SAW untuk berbuat baik terhadap perempuan (istawshu bin
nisa’i khairan). Lebih dahsyat lagi, mereka yang memukul isterinya, dijuluki
oleh Nabi SAW sebagai orang-orang yang jahat dan busuk (laysa ula’ika bi
khiyarikum). Memukul isteri, apapun alasannya, adalah bertentangan dengan
anjuran, harapan, dan perilaku sehari-hari Nabi SAW terhadap para isterinya.
Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa pemukulan bukanlah solusi tepat bagi
pendidikan, apalagi pendidikan bagi orang dewasa, seperti isteri. Oleh karena
itu, wajar apabila Nabi saw dalam banyak kesempatan sering menyindir
orang-orang.
Bahz bin Hakim bin Mu’awiyah berkata, bahwa kakeknya bertanya kepada Nabi
saw: “Wahai Rasulullah, apa hak isteri kita, dan apa yang boleh kita lakukan
dengannya dan apa yang tidak boleh dilakukan? Nabi menjawab: “Kamu berhak
menggauli isterimu bagaimanapun cara yang kamu suka, kamu harus memberi makan
dari yang kamu makan, memberinya pakaian seperti yang kamu pakai, jangan
mencemooh muka istri dan jangan memukulnya.” (Sunan Abu Dawud, Lihat: Ibn
al-Atsir, Jami’ al-Ushul, Juz VII, hlm. 329, Nomor Hadits: 4717).
Kekerasan terhadap perempuan, dalam bentuk apapun adalah tindak kedzaliman
yang diharamkan dan bertentangan dengan prinsip kerahmatan. Untuk mereduksi
kejahatan kekerasan ini, Islam menawarkan konsep keadilan relasi antara
laki-laki dan perempuan. Pada
relasi
suami-istri misalnya, Islam menegaskan konsep ‘pasangan’ atau zawaj, yang satu adalah pakaian bagi yang lain: melengkapi, menutupi, menentramkan dan membahagiakan. Jika relasi yang adil ini terbangun dalam kehidupan rumah tangga, maka kekerasan dalam rumah tangga akan dapat dihindari. Karena kekerasan, baik dalam bentuk fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi pada dasarnya adalah cermin ketidakrukunan keluarga akibat relasi yang timpang, relasi yang tidak adil, di antara mereka, dan itu dilarang oleh ajaran Islam.
suami-istri misalnya, Islam menegaskan konsep ‘pasangan’ atau zawaj, yang satu adalah pakaian bagi yang lain: melengkapi, menutupi, menentramkan dan membahagiakan. Jika relasi yang adil ini terbangun dalam kehidupan rumah tangga, maka kekerasan dalam rumah tangga akan dapat dihindari. Karena kekerasan, baik dalam bentuk fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi pada dasarnya adalah cermin ketidakrukunan keluarga akibat relasi yang timpang, relasi yang tidak adil, di antara mereka, dan itu dilarang oleh ajaran Islam.
Kekerasan Bukan Media Pendidikan. Dalam beberapa buku fiqh, terutama yang
membicarakan secara khusus mengenai hak dan kewajiban suami-istri, ada
penegasan bahwa seorang suami diperbolehkan memukul istri, ketika terjadi
kasus-kasus tertentu; seperti nusyuz, meninggalkan kewajiban agama, berbuat
kemungkaran, atau melakukan sesuatu yang mencederai martabat suami. Pemukulan
ini diperbolehkan sebagai media pendidikan, bukan sebagai hak mutlak yang kapan
pun dan di mana pun bisa dilakukan suami.
Kebolehan ini didasarkan pada ayat 34 dan surat an-Nisa dan beberapa teks
hadits. Di antaranya, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Jika si istri
melakukan perbuatan keji yang nyata, maka kamu (suami) bisa melakukan sesuatu
terhadap mereka, dengan meninggalkan tidur bersama mereka, atau memukul yang
tidak mencederai. Jika mereka taat kepadamu (tidak lagi melakukan perbuatan
keji itu), maka janganlah kamu mencari-cari alasan (untuk berbuat aniaya)
terhadap mereka”. (Riwayat Muslim, Lihat: Ibn al-Atsir, juz VII, hal. 328-329,
no. hadits: 4716)
Dalam Mazhab Hanafi, seperti dikatakan Syekh Abdul Qodir ‘Audah, pemukulan
hanya diperbolehkan jika seorang suami sudah melakukan tahapan-tahapan; memberi
nasihat dan berpisah ranjang. Dia tidak diperkenankan menggunakan media
pemukulan, langsung tanpa diawali dengan nasihat baik. Jika suami melakukannya,
maka ia telah melampaui batas, berdosa dan bisa diminta pertanggung-jawaban
atau diajukan ke pengadilan. Pemukulan juga tidak diperkenankan sampai
mencederai dan atau melukai tubuh perempuan. Karena pemukulan yang seperti ini,
bukanlah pemukulan sebagai media pendidikan, tetapi sudah merupakan penyiksaan.
Karena itu, bisa diajukan ke pengadilan. (lihat: Abdul Qadir ‘Audah; at-Tasyri’
al-Jinai’ fi at-Tasyri’ ai-Islami, juz I, halaman 413-418).
Sebelumnya, Imam ‘Atha - (w. 126 H / 744 M) salah seorang ulama pada masa
tabi’in - berpandangan bahwa memukul istri itu hukumnya makruh dan tidak patut
untuk dijadikan media pendidikan; apapun alasan yang ada di benak suami.
Pandangan ini didasarkan pada teks-teks hadits yang secara eksplisit melarang seseorang
memukul perempuan. (Lihat: Ibn ‘Arabi, Ahkim al-Qur’an, Juz I, hlm. 420) . Dan
ulama kontemporer, Syaikh Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur, seorang ulama besar
pemimpin Jaini’ah Zaitunah Tunisia, menyatakan bahwa wewenang memukul istri
diberikan kepada suami demi kebaikan kehidupan rumah tangga. Ketika pemukulan
tidak lagi bisa efektif untuk memulihkan kehidupan rumah tangga yang baik, maka
wewenang itu bisa dicabut. Bahkan, pemerintah bisa melarang tindakan pemukulan
itu dan menghukum mereka yang tetap menggunakan pemukulan sebagai media
pemulihan hubungan suami-isteri.
D.
Teologi Anti Kekerasan terhadap
Perempuan
Jika melihat kekerasan sebagai kekerasan, apalagi dampak yang diakibatkan,
hampir bisa dipastikan semua orang menolak dan menganggapnya sebagai suatu
kejahatan kemanusiaan. Dalam bahasa agama Islam, kekerasan adalah suatu
kedzaliman dan kemudharatan yang pasti diharamkan. Kekerasan adalah tindakan
menyakiti, mencederai dan membuat orang lain berada dalam kesulitan. Dan semua
ini adalah haram.
Perbincangan akan berbeda jika kekerasan dilakukan sebagai alat pertahanan
dan serangan, atau sebagai media pendidikan dan seseorang yang dinobatkan
sebagai pendidik kepada seseorang yang dijadikan sebagai anak didik. Peperangan
misalnya, sebagai suatu kekerasan yang paling dahsyat, banyak memperoleh
legitimasi jika merupakan pertahanan dan serangan atau kemungkinan suatu
penyerangan. Sekalipun, tidak sedikit juga yang saat ini mempertanvakan
efektifitas peperangan untuk membangun peradaban perdamaian. Sementara
kekerasan verbal dan atau fisik, saat ini masih banyak diadopsi oleh negara
terhadap rakyat, orang tua terhadap yang lebih muda, guru terhadap murid,
pelatih terhadap yang dilatih, atau suami terhadap istri, semua dengar alasan
untuk mendidik. Sekalipun, tentu saja sudah sedemikian banyak yang menentang
media kekerasan sebagai pendidikan.
Logika pertahanan, nampaknya tidak relevan dijadikan dasar untuk memahami
fenomena kekerasan yang dialami perempuan. Karena dalam masyarakat kebapakan,
hampir tidak ada anggapan bahwa perempuan adalah sosok yang mengancam dan akan
menyerang, sehingga seseorang perlu mempertahankan diri dengan menyerang
melakukan kekerasan terlebih dahulu kepada perempuan. Bisa dipastikan, bahwa
fenomena kekerasan terhadap perempuan, tidak bisa dipahami sebagai strategi
pertahanan. Karena itu, hampir tidak bisa ditemukan, pandangan keagamaan yang
membolehkan tindakan tertentu yang bisa berupa kekerasan terhadap perempuan,
dengan alasan pertahanan diri dan serangan.
Yang lazim diperbincangkan adalah bahwa perempuan harus dididik sekalipun
pada akhirnya dengan media kekerasan untuk selalu berada pada nilai-nilai
keluhuran. Pada konteks relasi suami-istri misalnya, perempuanlah yang harus
diluruskan suami agar kembali pada keutuhan perkawinan. Perempuan dididik,
diberi nasihat, dipisah dari ranjang atau kamar, dihardik bahkan boleh dipukul;
agar mereka tetap patuh dan berada pada kehidupan perkawinan ideal. Asumsinya,
perempuanlah yang bersalah, karena itu harus diberi pelajaran oleh suami. Padahal,
bisa saja yang terjadi adalah sebaliknya. Suami yang menjadi penyebab. Tetapi
pada konteks ini, perempuan tidak punya wewenang untuk mendidik dengan media
kekerasan. Marah atau suara keras pun tidak diperkenankan. Mungkin perempuan
hanya boleh memberi nasihat lalu kemudian bersabar.
Dengan demikian, membicarakan fenomena Kekerasan yang menimpa perempuan
bisa dijelaskan dalam dua pembahasan. Pertama, kekerasan sebagai tindak
kedzaliman dan kemudharatan. Dan ini diharamkan secara bulat oleh seluruh ulama
Islam. Kedua, kekerasan sebagai media pendidikan. Dan ini yang perlu
didiskusikan lebih lanjut dengan perspektif yang lebih memihak kepada
perempuan.
Kekerasan adalah Kedzaliman. Secara prinsip, Islam adalah agama yang
mengharamkan segala bentuk tindakan menyakiti kepada diri sendiri atau kepada
orang lain; baik secara verbal maupun tindakan nyata terhadap salah satu
anggota tubuh. Secara konseptual, misi utama kenabian Muhammad SAW adalah untuk
kerahmatan bagi seluruh alam. Kekerasan, sekecil apapun bertentangan secara
diametral dengan misi kerahmatan
yang diemban. “Dan tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali untuk (menyebarkan) kasih sayang terhadap seluruh alam”. (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 107)
yang diemban. “Dan tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali untuk (menyebarkan) kasih sayang terhadap seluruh alam”. (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 107)
Prinsip kerahmatan ini secara konseptual menjadi dasar peletakan pondasi
pembahasan hukum Islam dan bangunan etika da1am bangunan etika dalam berelasi
antar sesama. Seperti perlunya berbuat baik, memberikan manfaat, saling
membantu, pengaharaman menipu, pelarangan tindak kekerasan, dan pernyataan
perang terhadap segala bentuk keczaliman. Bentuk-bentuk kekerasan apapun bisa
dikategorikan sebagai tingakan kdzaliman, yang bertentangan dengan misi
kerahmatan.
“Tidak (demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah,
sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka sedih hati.” (Q.S.
Al-Baqarah [2] :112)
‘Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat
kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. al-A’raf [7];56)
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dzalim kepada manusia
dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. mereka itu mendapat azab yang
pedih”. (Q.S. asy-Syura [42]: 42)
“Wahai hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezaliman terhadap diri-Ku, dan Aku
jadikan kedzaliman itu juga haram di antara kamu, maka janganlah kamu saling
mendzalimi satu sama lain.” (Hadis Qudsi, Sahih Muslim, kitab al-Birr wa
ash-Shilah wa al-Adab, no. Hadits: 4674)
“Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara satu dengan yang lain, karena
seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lain, tidak diperkenankan
mendzalimi, menipu, atau melecehkannya.” (Sahih Muslim, no. hadits: 2564)
Prinsip kerahmatan dan anti kedzaliman menjadi basis dan relasi sosial
dalam kehidupan manusia. Itu sebabnya, segala tindak kekerasan seseorang
terhadap yang lain adalah haram. Sebaliknya, setiap orang harus saling berbuat
balk dan membantu satu sama lain. Yang kuat, misalnya, membantu yang lemah.
Yang kaya membantu yang miskin, yang berilmu memberikan ilmu kepada yang tidak
berilmu dan seterusnya. Prinsip ini juga menjadi basis bagi ajaran mengenai
hubungan suami dan isteri. Karena itu, al-Qur’an mengumpamakan keduanya laksana
pakaian bagi yang lain. Suami adalah pakaian bagi isteri. Begitu juga
sebaliknya, isteri adalah pakaian bagi suami. Sebagaimana pakaian, yang satu
adalah pelindung bagi yang lain. Tidak boleh ada kesewenang-wenangan oleh pihak
yang satu terhadap yang lain, karena kesewenang-wenangan adalah tindakan biadab
yang mencederai prinsip kerahmatan Islam dan konsep pasangan suami-istri yang
digariskan al-Qur’an.
Secara tegas, surat an-Nisa ayat 19 menegaskan pentingnya berbuat baik
antara suami dan istri ban surat ath-Thalaq ayat ke-6 melarang keras perlakuan
kekerasan, kemudharatan terhadap istri, termasuk
mempersempit ruang gerak mereka. Perintah berbuat balk dan larangan kekerasan terhadap perempuan, juga bisa kita jumpai dalam banyak wasiat Nabi Muhammad SAW.
mempersempit ruang gerak mereka. Perintah berbuat balk dan larangan kekerasan terhadap perempuan, juga bisa kita jumpai dalam banyak wasiat Nabi Muhammad SAW.
Dan Amr bin al-Ahwash ra, bahwasanya dia mendengar Rasulullah SAW pada Haji
Wada’ bersabda setelah mengawali dengan hamdalah, nasehat-nasehat dan kisah,
baginda bersabda: “Ingatlah, aku wasiatkan kalian untuk berbuat baik terhadap
perempuan, karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan di antara kalian,
padahal kalian tidak berhak atas mereka, kecuali berbuat baik”.
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Orang yang paling
sempurna imannya di antara kamu, adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan
orang yang terbaik di antara kamu, adalah mereka yang berbuat baik terhadap
istri mereka”. (Sunan at-Turmudzi, kitab Ar-radha’, bab ma ja’a fi haqq
al-mar’ah ‘ala zawjiha)
BAB
III
PENUTUP
Berdasarkan
uraian tersebut, dapat disimpilkan bahwa:
Nusyuz adalah tindakan istri yang
dapat ditafsirkan menentang atau membendel atas kehendak suami. Begitu juga
sebaliknya, tentu saja sepanjang kehendak tersebut tidak bertentangan dengan
hukum agama.
Dalam sebuah rumah tangga butuh
komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar terciptanya sebuah rumah
tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam rumah tangga tidak ada
keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi
pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan
istri bisa mengimbangi kebutuhan psikis, diaman kebutuhan itu sangat
mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang bertentangan. Seorang suami atau
istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya masing-masing.
Saran untuk istri yang tengah atau
pernah mengalami tindakan kekerasan yang dilakukan suami, tidak salah jika
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Tenangkan diri
2. Meminta suami untuk saling mengingatkan
3. Diam tidak selalu berarti baik
4. Jangan pernah mau menerima tindakan
kekerasan
5. Introspeksi diri
6. Mengalah saat perselisihan memuncak
7. Carilah penegah yang bisa menuntaskan
pertengkaran
8. Pikirkan dan perhatikan kondisi anda dan
juga anak
9. Lakukan perbaikan sikap dan komunikasi[13]
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin,
Amir, Hukun Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan,
Jakarta:
Kencana,2006
Sarong,
ha,id, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Banda Aceh: Pena,2010
Hasan,
Mustafa ,Pengantar Hukum Keluarga, Bandung: CV. Pustaka Setia,2011
As-Subki,
Ali Yusuf, Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluaga Dalam Islam, Jakarta: Hamzah, 2010
Ghoffar,
Muhammad Abdul, menyikapi Tingkah Laku Suami, Jakarta Timur: Almahira,
2006
Ramadhan,
Muhammad Said, Perempuan Dalam Pandangan Hukum Barat dan Islam,
Yogyakarta: Suluh Press, 2005
Al-Mishri,
Syaikh Mahmud, Perkawinan Idaman, Jakarta: Qisthi Press, 2012
Undang-Undang
Republik Indonesia, No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
[1] Muhammad Abdul Ghoffar, Menyikapi Tingkah Laku Suami, Jakarta Timur:
Almahira, 2006, hal.127
[2] Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam,
Jakarta: Hamzah, 2010, hal 299-300
[3] Prof. Dr. Amir Syarifuddin,Hukun Perkawinan Islam di Indonesia
antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,(Jakarta:
Kencana,2006),hlm.190