Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Rabu, 20 Januari 2016

MAKALAH PENGERTIAN HIWALAH

Januari 20, 2016 0




A.    Pengertian Hiwalah

 Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan

Abdurahman al-jaziri[1] berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang)
لغة : النقل من محل إلى محل
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama’[2] berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
1.      Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah
نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم
Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
2.       Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
نقل الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
3.       Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:

عقد يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.[3]
4.       Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud Hiwalah adalah:
عقد يقتضى تحويل دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.[4]
5.       Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah adalah:
نقل الحق من دمة المحيل إلى دمة المحال عليه
“Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”.[5]
6.       Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah:
إنتقال الدين من دمة إلى دمة
Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.[6]
7.      Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hawalah ialah pemindahan dari tanggungan muhil menjadi tanggunggan muhal ‘alaih.[7]
8.      Idris Ahmad, Hiwalah adalah “Semacam akad (ijab qobul) pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.[8]

B.     Macam-macam Hiwalah
1.       Hiwalah Muthlaqoh
Hiwalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain (orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hiwalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah.
2.       Hiwalah Muqoyyadah
Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hiwalah muqayyadah dan menyariatkan pada hiwalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hiwalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hiwalah tidak sah.
3.       Hiwalah Haq
Hiwalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
4.       Hiwalah Dayn
Hiwalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hiwalah Haq. Pada hakekatnya hiwalah dayn sama pengertiannya dengan hiwalah yang telah diterangkan di depan.
Hiwalah Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari sisi mana melihatnya. Disebut Hiwalah  Dayn jika kita memandangnya sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq, jika kita memandangnya sebagai pengalihan piutang. Berdasarkan definisi ini, maka anjak piutang (factoring) yang terdapat pada praktik perbankan, termasuk ke dalam kelompok Hiwalah Haqq, bukan Hiwalah Dayn.

C.    Rukun Dan Syarat Hiwalah
a.       Rukun-rukun Hiwalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.

Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
1.      Pihak pertama, muhil (المحيل): Yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
2.      Pihak kedua, muhal atau muhtal (المحال او المحتال):  Yakni orang berpiutang kepada muhil.
3.      Pihak ketiga muhal ‘alaih (المحال عليه): Yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
4.      Ada hutang  pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (المحال به), Yakni hutang muhil kepada muhtal.
5.      Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama Utang muhal ‘alaih kepada muhil.
6.      Ada sighoh (pernyataan hiwalah).

b.      Syarat-Syarat Hiwalah
Para ulama fiqih dari kalangan hanafi, Malaiki, Syafi’I, dan Hambali. Berpendapat bahwa  hawalah dapat syah apabila terpenuhinnya syarat-syarat yang berkaitan  dengan pihak petama pihak kedua dan pihak ketiga, serta yang berkaitan tenang hak itu sendiri,
1.      Syarat-syarat pihak pertama yaitu:
a.       Baliq dan berakal
b.      Ada peryataan persetujuan
2.      Syarat-syarat Pihak kedua yaitu:
a.       Baliq dan berakal
b.      Adanya persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah
3.      Syarat-Syarat Pihak ketiga yaitu:
a.       Baliq dan berakal
b.      Menuru hanafi mensyaratkan Adanya peryataan persetujuan dari pihak ketiga, sedangkan madzhab lainya tidak mensyaratkan hal itu.
4.      Syarat-syarat yang diperlukan terhadap al Muhalbih,
a.       Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang-piutang yang sudah pasti.
b.      Apabila penggalihan hutang itu dalam bentuk hiwalah muqayadah, semua ulama fiqih sepakat bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak pertama mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
c.       Ulama dari madzhab syafi’i menambahkan bahwa kedua utang itu mesti sama pula waktu jatuh tempo pembayarannya.

D.    Landasan Hukum Hiwalah
Hiwalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan Ijma’:
1.      Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw, bersabda
مطل ا لغني ظلم فادا أ تبع أ حدكم على ملي فليتبع
“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima pengalihan tersebut)”.(HR Jama’ah)
Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat :bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat  perintah itu bersifat sunnah.
2.      Ijma’
Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial.

E.      Beban Muhil Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya


F.      Berakhirnya akad hiwalah
1.      Apabila kontrak  hiwalah telah terjadi, maka tanggungan muhil menjadi gugur.
2.      Jika muhal’alaih bangkrut (pailit) atau meninggal dunia, maka menurut pendapat Jumhur Ulama, muhal tidak boleh lagi kembali menagih hutang itu kepada muhil. Menurut Imam Maliki, jika muhil “menipu” muhal, di mana ia menghiwalahkan kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh kembali lagi menagih hutang kepada muhil.
3.      Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4.      Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hiwalah karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hiwalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hiwalah itu menurut madzhab Hanafi.
5.      Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
6.      Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.












BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Hiwalah secara bahasa artinya pemindahan atau pengoperan. Sedang menurut istilah hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Hukumnya hiwalah adalah Mubah.
Rukun Hiwalah ada empat yaitu:
1.      Muhil (orang yg meminjami hutang) dgn syarat harus berakal dan baligh.
2.      Muhal (orang yang berhutang) dengan syarat harus berakal dan baligh.
3.      Muhal ‘alaih (orang yang menerima hiwalah).
4.      Muhal Bih (hutang yg dipindahkan) dgn ketentuan barangnya harus jelas.
Sedangkan syarat hiwalah itu ada empat, yaitu :
1.      Ada kerelaan muhil (orag yang berhutang dan ingin memindahkan hutang)
2.      Ada persetujuan  dari muhal (orang yang member hutang) 
3.      Hutang yang akan dialihkan keadaannya masih tetap dalam pengakuan
4.      Adanya kesamaan hutang muhil dan muhal ‘alaih (orang yang menerima pemindahan hutang) dalam jenisnya, macamnya, waktu penangguhannya dan waktu pembayarannya.Dengan hiwalah hutang muhil bebas.
Hiwalah akan berakhir jika akad hiwalah telah fasakh (rusak), karena meninggalnya muhal dan muhal ‘alaih, mewarisi, menghibahkan, menyedekahkan harta hiwalah, dan muhal membebaskan muhal alaih.
Adapun contoh Hiwalah seperti Ali mempunyai sejumlah hutang kepada Bakar dan Bakar mempunyai hutang kepada Umar dalam jumlah byang sama. Karena Bakar tidak mampu membayar hutangnya, ia berunding dengan Ali agar hutangnya itu ditagihkan kepada Umar. Dalam hal ini, Umar yang berhubungan langsung dengan Ali, sedangkan Bakar terlepas dari tanggung jawab hutang.

Demikianlah makalah tentang Pemindahan utang piutang (Hawalah) yang dapat kami uraikan, semoga memberikan manfaat bagi kita dan dapat menambah khazanah keilmuan, khususnya mengenai bahasan dalam Fiqh Mu’amalah.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam tulisan maupun penyusunannya, karena selain kami masih dalam tahap belajar, kami juga manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah dan dosa. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif pembaca demi perbaikan makalah kami selanjutmya.






















DAFTAR PUSTAKA

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap)-cet. 51-,Bandung;Sinar Baru
            Algensindo,2011
      Ath Thayyar, Abdullah bin Muhammad, 2004, Ensiklopedi Fiqh Mu’amalah
Dalam Pandangan 4 Madzhab, cet I, Yogyakarta: Maktabah Al Hanif.
Sabiq, Sayyid, 1987, Fikih Sunnah, Bandung : PT Al-ma'rif.
Suhendi, Hendi, 2008, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Haroen Nasrun, 2007, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama

















[1] al-fiqh ‘Ala Madzahib al-arba’
[2] Ibad
[3] qulyabi wa umaira
[4] I’anat al- thalihin, toha putra, semarang, hlm. 74
[5] al-bajuri, usaha keluarga, semarang, hlm. 376
[6] kifayatur al-akhyar, hlm. 274
[7] fiqh as-sunnah, hlm 42
[8] fiqh as-syafi’yah, hlm. 57
Read More

MAKALAH PENGERTIAN JA'ALAH

Januari 20, 2016 0




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ja'alah

Menurut bahasa ja'alah berarti mengupah. secara syara' sebagaimana dikemukakan oleh sayyid sabiq dalam bukunya yang berjudul fiqh al-sunnah:[1]
عقد على منفعة يظن حصؤ له   
Artinya:"sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh".
Dalam istilah lain, ja'alah selalu pula diartikan dengan "sayembara".[2]Secara istilah, menurut madzhab malikiyyah, ja'alah adalah akad sewa (ijarah) atas suatu manfaat yang belum diketahui keberhasilannya (terdapat probabilitas atas keberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan suatu pekerjaan).[3]


B. Hukum Ja'alah                                              
Ja'alah termasuk salah satu jenis akad yang hukumnya jaiz (diperbolehkan) oleh sebagian ulama, tetapi sebagian lain ada pula yang tidak mengizinkan akad jenis ini. Perbedaan pandangan ini dapat diterima, karena akad dalam lapangan ja'alah tidak sama dengan pelaksanaann akad ijarah yang murni merupakan upah tanpa ada unsur untung-untungan.[4]
Menurut ulama Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabalah, secara akad ja'alah diperbolehkan. [5]
Para ulama yang berpendirian bahwa transaksi ja'alah itu diperbolehkan berargumentasi bahwa secara historis Rasulullah memperbolehkan menerima upah atas pengobatan kepada seseorang dengan mempergunakan ayat-ayat al-Qur'an, seperti dengan ayat-ayat dalam surat al-Fatihah. Namun yang perlu dicatat disini ialah bahwa kebolehan itu hanya berlaku bila diperlukan, dalam arti bahwa kebolehannya itu bukanlah mutlak sebagaimana kebolehan dalam lapangan ijarah. Alasan lain yang mereka pakai ialah firman Allah dalam surat Yusuf ayat 72 yang berbunyi:
ؤ لمن خاء به  حمل بعير ؤ ا نا به زعيم   
"Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan menperoleh bahan makanan beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".[6]
Menurut madzhab Hanafiyyah, akad ja'alah tidak diperbolehkan, karena mengandung unsur gharar  didalamnya. Yakni ketidakjelasan atas pekerjaan dan jangka waktu yang ditentukan.Hal ini ketika dianalogkan (qiyas) dengan akad ijarah yang mensyaratkan adanya kejelasan atas pekerjaan, upah dan jangka waktu. Namun demikian, ada sebagian ulama hanafiyyah yang memperbolehkannya, dengan dasar istihsanan (karena ada nilai manfaat).[7]

C. Perbedaan antara ja'alah dan ijarah[8]
Akad ja'alah berbeda dengan akad ijarah, terutama terkait dengan kesepakatan yang terdapat didalamnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam poin berikut:
Pemilik pekerjaan (ja'il) baru akan merasakan manfaat, ketika pekerjaan telah usai dilaksanakan, seperti ditemukannya aset yang hilang, atau hilangnya penyakit yang diderita. Berbeda dengan ijarah, penyewa (musta'jir) bisa nenerima manfaat, ketika ajur telah melakukan sebagian pekerjaannya. Konsekuensinya, pekerja dalam akad ja'alah tidak akan menerima upah, jika pekerjaannya tidak selesai. Sedangkan dalam ijarah, 'amil (pekerja,ajir) berhak mendapatkan upah atas pekerjaan yang telah dikerjakan, walaupun belum tuntas.
akad ja'alah mengandung unsur gharar didalamnya, yakni ketidakjelasan jenis pekerjaan dan jangka waktu yang dibutuhkan, harus dijelaskan secara detail. Akad ijarah harus dibatasi dengan waktu, berbeda dengan ja'alah. Yang terpenting adalah selesainya sebuah pekerjaan, tidak bergantung pada pembatasan waktu.
Dalam akad ja'alah tidak diperbolehkan mensyaratkan adanya pembayaran upah dibayar dimuka. Berbeda dengan akad ijarah, upah bisa dipersyaratkan untuk dibayar dimuka.
Akad ja'alah bersifat jaiz gharar lazim (diperbolehkan dan tidak mengikat), sehingga boleh dibatalkan. Berbeda dengan akad ijarah bersifat lazim (mengikat), dan tidak bisa dibatalkan sepihak.(zuhaili, 19989,IV,hal. 786)

D. Rukun Ja'alah[9]
Rukun ja'alah ada empat yaitu:
1. Pemberi Ja'alah
Ia harus memiliki dua syarat kualitatif:
pertama, memiliku kebebasan berbuat dengan syarat semua tindakannya sah dengan apa yang dilakukannya sebagai upah baik dia sebagai pemilik atau bukan, termasuk didalamnya wali dan tidak termasuk anak kecil, orang gila dan idiot.
kedua, mempunyai pilihan, jika dipaksa, maka akad tidak sah.
2. Pekerja
Ia harus memenuhi beberapa syarat:
pertama, mempunyai izin untuk bekerja dari orang yang punya harta, jima ia bekerja tanpa ada izin darinya seperti ada harta yang hilang lalu dia menemukannya atau hewan yang tersesat lalu dia mengembalikan kepada pemiliknya, maka dalam hal ini dia tidak berhak mendapat ja'alah sebab dia memberikan bantuan tanpa ada ikatan upah, maka dia tidak berhak dengan upah itu, adapun jika diizinkan olehl si pemilik harta dan disyaratkan ada ja'alah-nya lalu dia bekerja, maka dia berhak mendapatkan ja'alah, sebab si pemilik harta menerima manfaat dari usahanya dengan akad ja'alah, maka si pekerja pun berhak dengan ja'alah itu sama seperti orang yang disewa.
kedua, hendaklah si pekerja orang yang memang ahli dengan pekerjaan itu jika memang dijelaskan bentuknya, maka sah akad ja'alah dengan orang yang memang ahlinya walaupun masih anak-anak, gila atau yang sedang dicabut haknya karena idiot berbeda dengan anak kecil yang tidak sanggup bekerja sebab manfaatnya tidak ada dan memberikan akad ja'alah kepadanya sama dengan menyewa orang yang buta untuk menjaga sesuatu.
Si pekerja boleh bukan orang tertentu seperti ucapannya: "Siapa yang bisa mengembalikan hewanku yang hilang, maka dia berhak mendapat begini," jika dia mengembalikannya, maka dia berhak mendapat ja'alah yaitu upah yang tidak didengar oleh orang yang mengembalikan dari mulut si pemberi ja'alah langsung namun dia mendengarnya dari orang yang dia yakini kejujurannya.
ketiga, si pekerja tidak berhak mendapatkan upah kecuali jika sudah selesai bekerja, jika disyaratkan untuk mengembalikan unta yang lari lalu dia mengembalikannya sampai ke pintu rumah kemudian lari lagi atau mati sebelum diterima oleh si pemberi ja'alah, maka dia tidak berhak mendapatkan sesuatu dari ja'alah yang ada sebab maksud dari akad adalah mengembalikan, dan upah sebagai bayarannya dan disini tidak ada hasil.

3. Upah
upah dalam ja'alah harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Pertama, berupa harta yang memang menjadi maksud untuk dimiliki, terhormat, atau hak khusus dan jika bukan yang menjadi tujuan dari memiliki seperti darah dan lainnya, maka tidak boleh.
Kedua, harus diketahui sebab dia adalah bayarab, maka harus ada pengetahuan tentangnya seperti upah dalam akad sewa, seandainya tidak diketahui seperti ucapannya siapa yang mengembalikan hartaku atau hewanku yang hilang, maka dia mendapat baju atau saya beri dia sesuatu, ini tidak sah sebab akad ja'alah adalah akad saling ganti dan tidak boleh dengan ganti (upah) yang tidak jelas sama dengan akad nikah.
Jika disyaratkan upah yang tidak pasti lalu dia tetap bekerja, maka si pekerja berhak dengan upah standar kerja, sebab setiap akad yang wajib memberikan upah dalam akad yang sahnya, maka wajib dengan upah yang serupa untuk akad yang rusak, seperti jual beli dan nikah, sebab akad ini diperbolehkan untuk keperluan, dan tidak ada keperluan terhadap sesuatu yang tidak diketahui berbeda dengan pekerjaan, karena tidak diketahuinya upah bisa menghilangkan maksud dari akad, atau membuat orang tidak mau bekerja karena upahnya tidak jelas.
Istilah kenal atau tahu dengan upah bisa melalui penglihatan langsung jika memang sudah ditentukan, atau dengan ciri jika masih ada dalam tanggungan, seandainya dia berkata: "siapa yang mengembalikan hewanku yang hilang, maka dia berhak mendapatkan apa yang dibawa oleh hewan tersebut," dan yang dibawa hewan itu memang diketahui seperti pelana, tali kekang atau sesuatu yang lain yang dibawa oleh hewan tersebut dan diketahui oleh si pekerja, maka hukumnya boleh jika dia tahu dan kalau tidak, maka tidak boleh.
 Kesimpulannya bahwa disyaratkan dalam upah sama dengan apa yang disyaratkan dengan harga barang,  apa yang tidak sah untuk dijadikan ja'alah. Dan si pekerja berhak mendapatkan bayaran standar gaji akad yang tidak diketahui bayaranny, dan najis yang dimaksud seperti arak, kulit bangkai, jika bukan yang termasuk tujuan dari pemilikan seperti darah, maka tidak ada upah bagi si pekerja.

4. Pekerjaan
pekerjaan dalam ja'alah harus memenuhi syarat berikut:
Pertama, pekerjaan yang ditawarkan memiliki tingkat kesusahan, maka tidak ada upah bagi pekerjaan yang tidak ada beban seperti ucapannya siapa yang menunjukkan harta saya, maka dia menfapatkan begini, lalu ditunjukkan hartanya yang ada ditangan orang lain sebab apa yang dibebankan padanya tidak perlu ada bayarannya.
Kedua, pekerjaan yang ditawarkan kepadanya bukan satu pekerjaan yang wajib bagi si pekerja secara syar'i, jika ia wajib secara syar'i lalu dia mengembalikannya, maka dia berhak mendapatkan upah, jika dia mengatakan siapa yang mengembalikan hartaku, maka dia mendapatkan begini, kemudian dikembalikan oleh orang yang memang wajib untuk mengembalikannya karena dia seorang perampas dan yang lainnya, maka dia tidak berhak mendapatkan upah yang telah disebutkan sebab sesuatu yang wajib baginya secara syar'i tidak ada upah jika dikerjakan.
Ketiga, hendaklah si pekerja menyerahkan barang yang akan dikembalikan kepada pemiliknya, seandainyaa ia rusak sebelum diserahkan walaupun sudah masuk rumah si pemilik namu. belum diserahkan, maka tidak ada ganti.
Tidak ada perbedaan dalam pekerjaan antara sudah diketahui atau tidak dan susah mengetahuinya karena mebutuhan seperti dalam akad bagi hasil bahkan lebih susah lagi, jik tidak susah mengetahuinya, maka perlu dirincikan, dalam hal membangum tembok perlu dijelaskan tempat, panjang, lebar dan ketinggian dan bahkan materialnya, dan untuk jahitan perlu dijelaskan coraknya, dan jenis kainnya sama seperti akad sewa.
Jika sudah diketahui, maka tidak ada keraguan lagi akan sahnya akad, seperti ucapannya: "Siapa yang bisa mengembalikan kepadaku hewanku yang hilang dari tempat begini, maka baginya begini" dan inilah yang paling baik.
Ada yang mengatakan, bahwa setiap pekerjaan yang diketahui, terperinci tidak boleh dibiarkan walaupun dengan akad sewa.
5. Sighat (Ucapan)
Ucapan ini datang dari pihak pemberi ja'alah sedangkan dari pihak si pekerja, maka tidak disyaratkan ada ucapan dan dengan ada qabul darinya dengan ucapan walaupun barangnya sudah jelas sebab yang dinilai adalah pekerjaannya sama dengan akad perwakilan, dan tidak batal seandainya dia menjawab, ya seandainya ia menjawab kepadanya saya akan kembalikan hewanmu atau mobilmu dan saya mendapat bayaran satu dinar kemudian si pemberi ja'alah berkata ya atau menjawabnya, maka sudah dianggap cukup.
shighat (ucapan) dijadikan rukun sebab akad ja'alah merupakan akad saling memberi dan penetapan syarat ucapan berarti tidak ada penentuan waktu seban penentuan waktu bisa menyebabkan hilangnya tujuan dari akad ja'alah, seandainya ia berkata siapa yang menhembalikan hewanku sampai bulan begini, maka akad tidak sah sam seperti akad qiradh. sebab penentuan waktu bisa merusakkan tujuan akad, bisa jadi dia tidak mendapatkannya sehinhga pekerjaannya sia-sia dan tidak mencapai hasil.

E. Syarat Ja’alah
Upah dalam ja’alah berupa harta yg diketahui jenis dan ukurannya karena upah yang tidak diketahui tidak sesuai dengan tujuan transaksi ja’alah.
F. Sebab-Sebab Gugurnya Akad Ja'alah[10]
Dari segi  wajib dan bolehnya, akad bisa dibagi menjadi tiga bagian:
Pertama, wajib bagi kedua belah pihak yang berakad secara pasti seperti akad jual beli, sewa, salam, damai, pemindahan utang, bagi hasil perkebunan, hibah selain anak setelah diterima dan akad khuluk (meminta cerai).
Akad lain yang berkekuatan wajib bagi kedua belah pihak menurut pendapat yang lebih kuat antara lain akad nikah.  Ia wajib bagi pihak wanita secara pasti dan juga dari pihak lelaki menurut pendapat yang lebih kuat, dan kekuasaannya untuk menjatuhkan talak bukan sebagai fasakh.
Kedua, wajib bagi salah satu pihak dan boleh bagi pihak yang lain secara pasti seperti akad gadai, hibah kepada anak setelah menerima, akad jaminan dan asuransi.
Ketiga, boleh dari kedua pihak seperti akad syirkah (kongsi), perwakilan, peminjaman, penitipan, dan ja'alah sebelum pekerjaan selesai.
Dengan begitu boleh bagi siapa saja dari meraka berdua untuk membatalkan akad sebelum ia pekerjaan selesai sebab akad ini bersifat boleh dari kedua belah pihak, adapun dari aspek ja'alah dikarenakan terkait dengan hak milika dengan syarat sehingga mirip dengan akad wasiat.
Dari aspek pekerja, sebab pekerjaan yang ada tidak diketahui, jika keadaanya begitu, maka tidak menjadi wajib sama seperti akad qiradh, dan fasakh bisa terjadi jika si pekerja dari awal jika pekerjaannya jelas berbeda dengan lainnya, tidak bisa dibayangkan ada fasakh kecuali setelah dia memulai bekerja.
Yang dimaksud dengan fasakh mengangkat akad dan mengembalikannya oleh salah satu pihakl yang berakad atau kedua-duanya dan dengan itu semua kesepakatan mereka berakhir, sedangkan jika fasakh terjadi setelah bekerja, maka tidak ada pengaruh fasakh karena ja'alah sudah wajib dan menjadi miliknya.
Sebagaimana akad ja'alah bisa berakhir dengan fasakh dari salah satu pihak yang berakad seperti yang sidah dijelaskan juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak uang berakad, atau karena gila atau pingsan, seandainya pemilik harta meninggal setelah pekerjaan dimulai lalu dia mengembalikannya kepada ahli warisnya, maka dia berhak mendapatkan upah kerja selama si pemilik harta masih hidup.
Jika sipekerja meninggal kemudian diserahkan oleh ahli warisnya, maka mereka berhak mendapatkan upah yang sudah disepakati.
Jika si pekerja membatalkan akad sebelum ia memulai pekerjaan atau setelah dimulai, maka tidak ada hak upah baginya seban dia belum mengerjakan apa-apa dalam contoh pertama dan dia baru bisa mendapatkan ja'alah pekerjaan selesai untuk contoh yang kedua dan dia mengakhirinya dengan pilihan sendiri.
Jika si pemilik harta membatalkan akad setelah pekerjaan dimulai, mak dia berhak mendapat upah standar harian karena usahanya karena bolehnya dia memberikan akad kepada si pekerja menyebabkan dia mempunyai kuasa untuk membatalkan akad, dan jika akad batal, maka upah yang sudah disepakati tidak wajib baginya sama dengan semua bentuk pembatalan namun pekerjaan si pekerja terjadi secara terhormat dengan begitu tidak boleh dibatalkan dengan fasakh dari pihak lain, dengan begitu dia berhak mendapat upah lain berupa upah standar harian sama seperti akad sewa jika dibatalkan dengan adanya aib dan inilah pendapat yang lebih kuat.
Ada yang mengatakan, si pekerja tidak mendapatkan apa-apa sama dengan jika dia membatalkan akad sendiri. Tidak ada perbedaan antara pendapat ini dengam apa perbuatan si pekerja yang tidak bisa meraih apa yang menjadi tujuan akad seperti mengembalikan hewan yang tersesat sampai setengah perjalanan atau hanya mendapat sebagiannya seperti seseorang yang berkata  kepada orang lain: "Jika kamu mengajari anakku al-Qur'an maka kamu mendapat begini," kemudian dia melarangnya mengajar dan ini tidak bertentangan dengan apa yang sudah disebutkan dimana kita mengatakan: "Jika si pekerja atau pemilik meninggal dunia ketika pekerjaan sedang dilakukan, maka akad berakhir dan pekerja berhak mendapatkan bagian upah dari hari yang sudah ditetapkan" sebab orang yang memberikan akad ja'alah telah menggugurkan upah yang sudah disepakati disini dengan adanya fasakh berbeda dengan masalah yang diatas.
Namun apakah si pemilik harta berhak menambah atau mengurangi ja'alah yanv sudah disepakati? Ya, boleh baginya melakukan itu sebelum pekerjaan selesai baik sebelum memulai bekerja atau setelahnya seperti bolehnya dalam akad jual beli pada saat khiyar bahkan yang ini lebih utama seperti dia mengatakan siapa yang mengembalikan hewanku yang hilang, maka dia berhak mendapat sepuluh juneh mesir kemudian dia berkata lagi, baginya lima atau sebaliknya, maka penilaian memenangkan pendapat kedua dari dua ucapannya dan ini jika dia si pekerja mendengar namun jika dia tidak mendengar, atau setelah pekerjaan dimulai, maka harus ada upah standar harian bagian si pekerja yang menjadi tanggung jawab sebab panggilan terakhir berupa fasakh untuk yang pertama dan fasakh dari pihak pemilik harta pada saat pekerjaan berjalan berarti ada hak menukarnya dengan upah standar harian dan inilah pendapat yang rajih (unggul) menurut Imam Ghazali. Sedangkan Imam Al-Mawardi Rauyani dia berhak untuk mengambil upah yang pertama dan diakui oleh As-Subki dan Al-Balqini dan yang lainnya.
Si pekerja berhak mendapatkan upah standar harian jika dia belum mendengar setelah memulai kerja tidak bertentangan karena dia mengerjakan sesuatu setelah fasakh, maka ia tidak berhak mendapat upah. Sebab dia mengerjakan sesuatu setelah fasakh tanpa ada ganti berbeda dengan masalah yang ini.
Perubahan pada barang yang terjadi setelah pekerjaan selesai tidak berpengaruh, sebab ja'alah sudah wajib baginya, wajibnya ja'alah tergantung dengan kesempurnaan pekerjaan, oleh sebab itu Imam An-Nawawi berkata: "Seandainya hewan yang tersesat mati ditengah perjalanan atau lari, maka si pekerja tidak mendapat apa-apa walaupun sudah berada dirumah si pemilik sebelum diserahkan sebab dia belum mengembalikannya."
Dikecualikan dari hal ini seandainya dia menyewa orang untuk menghajikannya kemudian ia melaksanakannya dengan sebagian amalan haji lalu meninggal, maka dia berhak mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaan yang sudah diselesaikannya.
Perbedaan antar keduanya, pertama, tujuan dari haji adalah pahala dan dia sudah mendapatkannya dengan sebagian amalan haji, dan disini dia tidak mendapatkan tujuannya dan inilah perbedaan pertama.
Perbedaan kedua, akad sewa adalah akad wajib yang dengannya dia akan mendapatkan sesuatu sedikit sedangkan akad ja'alah akad boleh yang bisa menetapkan satu hak kecuali dengan syarat dan disini tidak ada.

G. Aplikasi Ja’alah[11]
Aplikasi akad ja’alah pada perbankan syariah antara lain:
a. kartu atm
b. sms banking
c. pembayaran tagihan
d.  pembayaran gaji elektronik

KESIMPULAN

ja'alah adalah akad sewa (ijarah) atas suatu manfaat yang belum diketahui keberhasilannya (terdapat probabilitas atas keberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan suatu pekerjaan). Ja'alah termasuk salah satu jenis akad yang hukumnya jaiz (diperbolehkan). Akad ja'alah berbeda dengan akad ijarah, terutama terkait dengan kesepakatan yang terdapat didalamnya. Rukun ja’alah diantaranya yaitu pemberi ja’alah, pekerja, upah, pekerjaan. Dan sighat, dan adapun syarat ja;alah yaitu harta yg diketahui jenis dan ukurannya. Sedangkan sebab-sebab yang bisa menggugurkan akad ja’alah bisa dilihat dari segi  wajib dan bolehnya.






















DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Abdul Ghozali dkk, 2010, fiqh muamalat,jakarta:kencana prenada media group.
Karim, Helmi, 1997, fiqh muamalal,jakarta:PT grafindo persada.
Djuawaini, Dimyaudin. 2008,  pengantar fiqh muamalah, yogyakarta:pustaka pelajar.
Mardani. 2012, fiqh ekonommi syariah  jakarta: kencana  prenada media group.
,Aziz,Abdul. 2008.  pengantar fiqh muamalat, Jakarta: Amzah.





                                         




[1] abdul rahman ghozali dkk,fiqh muamalat,(jakarta:kencana prenada media group,2010),cet1.hlm.141
[2] helmi karim,fiqh muamalal,(jakarta:PT grafindo persada,1997),cet2.hlm.45
[3] Dimyaudin, Djuawaini.pengantar fiqh muamalah,(yogyakarta:pustaka pelajar.2008),cet1.hlm.165
[4] helmi karim,fiqh muamalal,(jakarta:PT grafindo persada,1997),cet2.hlm.45
[5] Dimyaudin, Djuawaini.pengantar fiqh muamalah,(yogyakarta:pustaka pelajar.2008),cet1.hlm.165
[6] helmi karim. fiqh muamalah(jakarta:PT raja grafindo persada.1997). cet2. hlm.45-46
[7] Dimyaudin, Djuawaini.pengantar fiqh muamalah,(yogyakarta:pustaka pelajar.2008),cet1. hlm.166
[8] Ibid.hlm.167-168
[9] Abdul, Aziz. pengantar fiqh muamalat, (Jakarta: Amzah.2008), cet1. hlm.341-345


[10] Abdul, Aziz. pengantar fiqh muamalat, (Jakarta: Amzah.2008), cet1. hlm.341-345


[11] Mardani, fiqh ekonommi syariah ( jakarta: kencana  prenada media group, 2012), cet1. Hlm.315

Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot