A.
Pengertian
Hiwalah
Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan
Abdurahman al-jaziri[1]
berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah adalah memindahkan hutang dari
tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih
(orang yang melakukan pembayaran hutang)
لغة : النقل من محل إلى محل
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para
Ulama’[2]
berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
1. Menurut Hanafi, yang dimaksud
hiwalah
نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة
الملتزم
“Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang
lain yang punya tanggung jawab pula”.
2. Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan Hiwalah adalah:
نقل الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan
utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
3. Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud
dengan Hiwalah adalah:
عقد يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة
“Akad yang
menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.[3]
4. Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa
yang dimaksud Hiwalah adalah:
عقد يقتضى تحويل دين من دمة إلى دمة
“Akad yang
menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.[4]
5. Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah
adalah:
نقل الحق من دمة المحيل إلى دمة
المحال عليه
“Pemindahan
kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”.[5]
6. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah
adalah:
إنتقال الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan
utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.[6]
7. Menurut
Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hawalah ialah pemindahan dari tanggungan muhil
menjadi tanggunggan muhal ‘alaih.[7]
8. Idris Ahmad,
Hiwalah adalah “Semacam akad (ijab qobul) pemindahan utang dari tanggungan
seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai
utang pula kepada yang memindahkan.[8]
B.
Macam-macam
Hiwalah
1.
Hiwalah Muthlaqoh
Hiwalah
Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain
(orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari
pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan
A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang
pituang kepada B, maka hiwalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab
Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hiwalah ini
sebagai kafalah.
2.
Hiwalah Muqoyyadah
Hiwalah
Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal
Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hiwalah yang boleh
(jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga
madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hiwalah
muqayyadah dan menyariatkan pada hiwalah muqayyadah agar utang muhal kepada
muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun
jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hiwalahnya. Tetapi
jika salah satunya berbeda, maka hiwalah tidak sah.
3.
Hiwalah Haq
Hiwalah ini
adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam
bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai
Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang
lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti
adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
4.
Hiwalah Dayn
Hiwalah ini
adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini
berbeda dari hiwalah Haq. Pada hakekatnya hiwalah dayn sama pengertiannya
dengan hiwalah yang telah diterangkan di depan.
Hiwalah
Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari sisi mana
melihatnya. Disebut Hiwalah Dayn jika kita memandangnya
sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq, jika kita memandangnya
sebagai pengalihan piutang. Berdasarkan definisi ini, maka anjak piutang
(factoring) yang terdapat pada praktik perbankan, termasuk ke dalam
kelompok Hiwalah Haqq, bukan Hiwalah Dayn.
C. Rukun Dan Syarat Hiwalah
a.
Rukun-rukun Hiwalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah
hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul
(penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan
Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
1.
Pihak pertama, muhil (المحيل): Yakni orang yang berhutang dan sekaligus
berpiutang,
2.
Pihak kedua, muhal atau muhtal (المحال او المحتال): Yakni
orang berpiutang kepada muhil.
3.
Pihak ketiga muhal ‘alaih (المحال عليه): Yakni orang yang berhutang kepada muhil
dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
4.
Ada hutang pihak pertama pada
pihak kedua, muhal bih (المحال به), Yakni hutang muhil
kepada muhtal.
5.
Ada hutang pihak ketiga kepada pihak
pertama Utang muhal ‘alaih kepada muhil.
6.
Ada sighoh (pernyataan hiwalah).
b.
Syarat-Syarat
Hiwalah
Para ulama fiqih dari kalangan
hanafi, Malaiki, Syafi’I, dan Hambali. Berpendapat bahwa hawalah dapat syah apabila terpenuhinnya
syarat-syarat yang berkaitan dengan
pihak petama pihak kedua dan pihak ketiga, serta yang berkaitan tenang hak itu
sendiri,
1.
Syarat-syarat pihak pertama yaitu:
a.
Baliq dan berakal
b.
Ada peryataan persetujuan
2.
Syarat-syarat Pihak kedua yaitu:
a.
Baliq dan berakal
b.
Adanya persetujuan pihak kedua
terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah
3.
Syarat-Syarat Pihak ketiga yaitu:
a.
Baliq dan berakal
b.
Menuru hanafi mensyaratkan Adanya
peryataan persetujuan dari pihak ketiga, sedangkan madzhab lainya tidak
mensyaratkan hal itu.
4.
Syarat-syarat yang diperlukan
terhadap al Muhalbih,
a.
Yang dialihkan itu adalah sesuatu
yang sudah dalam bentuk utang-piutang yang sudah pasti.
b.
Apabila penggalihan hutang itu dalam
bentuk hiwalah muqayadah, semua ulama fiqih sepakat bahwa baik utang pihak
pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak pertama
mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
c.
Ulama dari madzhab syafi’i
menambahkan bahwa kedua utang itu mesti sama pula waktu jatuh tempo
pembayarannya.
D.
Landasan Hukum Hiwalah
1.
Hadits
Imam Bukhari
dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw, bersabda
مطل ا لغني ظلم فادا أ
تبع أ حدكم على ملي فليتبع
“Memperlambat
pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika
salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka
hendaklah ia beralih(diterima pengalihan tersebut)”.(HR Jama’ah)
Pada hadits
ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang
berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia
menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang
yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat
terpenuhi (dibayar).
Kebanyakan
pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat :bahwa
hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka
mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat perintah itu bersifat sunnah.
2.
Ijma’
Para ulama
sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada hutang yang tidak
berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah perpindahan utang, oleh sebab
itu harus pada utang atau kewajiban finansial.
E.
Beban Muhil Setelah Hiwalah
Apabila
hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata
muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal
dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat
ulama jumhur.
Menurut
madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang
fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh
kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang
kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal
dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada
muhil
Abu Hanifah,
Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami
kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan (muhal)
kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya
F.
Berakhirnya akad hiwalah
1. Apabila
kontrak hiwalah telah terjadi, maka tanggungan muhil
menjadi gugur.
2. Jika muhal’alaih bangkrut
(pailit) atau meninggal dunia, maka menurut pendapat Jumhur Ulama, muhal tidak
boleh lagi kembali menagih hutang itu kepada muhil. Menurut Imam Maliki, jika muhil “menipu” muhal,
di mana ia menghiwalahkan kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir),
maka muhal boleh kembali lagi menagih hutang kepada muhil.
3. Jika Muhal
alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hiwalah
benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4. Meninggalnya
Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hiwalah karena pewarisan merupakah
salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hiwalah muqoyyadah, maka
berakhirlah sudah akad hiwalah itu menurut madzhab Hanafi.
5. Jika Muhal
menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah kepada Muhal Alaih dan ia
menerima hibah tersebut.
6. Jika Muhal
menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hiwalah secara bahasa artinya pemindahan
atau pengoperan. Sedang menurut istilah hiwalah adalah pengalihan hutang dari
orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini
terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain.
Hukumnya hiwalah adalah Mubah.
Rukun Hiwalah ada empat yaitu:
1. Muhil (orang
yg meminjami hutang) dgn syarat harus berakal dan baligh.
2. Muhal (orang
yang berhutang) dengan syarat harus berakal dan baligh.
3. Muhal
‘alaih (orang yang menerima hiwalah).
4. Muhal
Bih (hutang yg dipindahkan) dgn ketentuan barangnya harus jelas.
Sedangkan syarat
hiwalah itu ada empat, yaitu :
1. Ada kerelaan
muhil (orag yang berhutang dan ingin memindahkan hutang)
2. Ada
persetujuan dari muhal (orang yang member hutang)
3. Hutang yang
akan dialihkan keadaannya masih tetap dalam pengakuan
4. Adanya
kesamaan hutang muhil dan muhal ‘alaih (orang yang menerima pemindahan hutang)
dalam jenisnya, macamnya, waktu penangguhannya dan waktu pembayarannya.Dengan
hiwalah hutang muhil bebas.
Hiwalah akan berakhir jika akad hiwalah telah fasakh (rusak), karena
meninggalnya muhal dan muhal ‘alaih, mewarisi, menghibahkan, menyedekahkan
harta hiwalah, dan muhal membebaskan muhal alaih.
Adapun contoh Hiwalah seperti Ali mempunyai sejumlah hutang kepada Bakar
dan Bakar mempunyai hutang kepada Umar dalam jumlah byang sama. Karena Bakar
tidak mampu membayar hutangnya, ia berunding dengan Ali agar hutangnya itu
ditagihkan kepada Umar. Dalam hal ini, Umar yang berhubungan langsung dengan
Ali, sedangkan Bakar terlepas dari tanggung jawab hutang.
Demikianlah
makalah tentang Pemindahan utang piutang (Hawalah) yang dapat kami uraikan,
semoga memberikan manfaat bagi kita dan dapat menambah khazanah keilmuan,
khususnya mengenai bahasan dalam Fiqh Mu’amalah.
Kami
menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam
tulisan maupun penyusunannya, karena selain kami masih dalam tahap belajar,
kami juga manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah dan dosa. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif pembaca demi perbaikan
makalah kami selanjutmya.
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap)-cet. 51-,Bandung;Sinar
Baru
Algensindo,2011
Ath Thayyar, Abdullah bin Muhammad, 2004, Ensiklopedi Fiqh Mu’amalah
Dalam
Pandangan 4 Madzhab, cet I, Yogyakarta: Maktabah Al Hanif.
Sabiq, Sayyid, 1987, Fikih Sunnah, Bandung : PT
Al-ma'rif.
Suhendi, Hendi, 2008, Fiqh Muamalah, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Haroen
Nasrun, 2007, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama