MAKALAH PENGERTIAN HIWALAH - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Rabu, 20 Januari 2016

MAKALAH PENGERTIAN HIWALAH





A.    Pengertian Hiwalah

 Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan

Abdurahman al-jaziri[1] berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang)
لغة : النقل من محل إلى محل
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama’[2] berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
1.      Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah
نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم
Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
2.       Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
نقل الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
3.       Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:

عقد يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.[3]
4.       Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud Hiwalah adalah:
عقد يقتضى تحويل دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.[4]
5.       Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah adalah:
نقل الحق من دمة المحيل إلى دمة المحال عليه
“Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”.[5]
6.       Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah:
إنتقال الدين من دمة إلى دمة
Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.[6]
7.      Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hawalah ialah pemindahan dari tanggungan muhil menjadi tanggunggan muhal ‘alaih.[7]
8.      Idris Ahmad, Hiwalah adalah “Semacam akad (ijab qobul) pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.[8]

B.     Macam-macam Hiwalah
1.       Hiwalah Muthlaqoh
Hiwalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain (orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hiwalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah.
2.       Hiwalah Muqoyyadah
Hiwalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hiwalah muqayyadah dan menyariatkan pada hiwalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hiwalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hiwalah tidak sah.
3.       Hiwalah Haq
Hiwalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
4.       Hiwalah Dayn
Hiwalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hiwalah Haq. Pada hakekatnya hiwalah dayn sama pengertiannya dengan hiwalah yang telah diterangkan di depan.
Hiwalah Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari sisi mana melihatnya. Disebut Hiwalah  Dayn jika kita memandangnya sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq, jika kita memandangnya sebagai pengalihan piutang. Berdasarkan definisi ini, maka anjak piutang (factoring) yang terdapat pada praktik perbankan, termasuk ke dalam kelompok Hiwalah Haqq, bukan Hiwalah Dayn.

C.    Rukun Dan Syarat Hiwalah
a.       Rukun-rukun Hiwalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.

Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
1.      Pihak pertama, muhil (المحيل): Yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
2.      Pihak kedua, muhal atau muhtal (المحال او المحتال):  Yakni orang berpiutang kepada muhil.
3.      Pihak ketiga muhal ‘alaih (المحال عليه): Yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
4.      Ada hutang  pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (المحال به), Yakni hutang muhil kepada muhtal.
5.      Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama Utang muhal ‘alaih kepada muhil.
6.      Ada sighoh (pernyataan hiwalah).

b.      Syarat-Syarat Hiwalah
Para ulama fiqih dari kalangan hanafi, Malaiki, Syafi’I, dan Hambali. Berpendapat bahwa  hawalah dapat syah apabila terpenuhinnya syarat-syarat yang berkaitan  dengan pihak petama pihak kedua dan pihak ketiga, serta yang berkaitan tenang hak itu sendiri,
1.      Syarat-syarat pihak pertama yaitu:
a.       Baliq dan berakal
b.      Ada peryataan persetujuan
2.      Syarat-syarat Pihak kedua yaitu:
a.       Baliq dan berakal
b.      Adanya persetujuan pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah
3.      Syarat-Syarat Pihak ketiga yaitu:
a.       Baliq dan berakal
b.      Menuru hanafi mensyaratkan Adanya peryataan persetujuan dari pihak ketiga, sedangkan madzhab lainya tidak mensyaratkan hal itu.
4.      Syarat-syarat yang diperlukan terhadap al Muhalbih,
a.       Yang dialihkan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk utang-piutang yang sudah pasti.
b.      Apabila penggalihan hutang itu dalam bentuk hiwalah muqayadah, semua ulama fiqih sepakat bahwa baik utang pihak pertama kepada pihak kedua maupun utang pihak ketiga kepada pihak pertama mestilah sama jumlah dan kualitasnya.
c.       Ulama dari madzhab syafi’i menambahkan bahwa kedua utang itu mesti sama pula waktu jatuh tempo pembayarannya.

D.    Landasan Hukum Hiwalah
Hiwalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan Ijma’:
1.      Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw, bersabda
مطل ا لغني ظلم فادا أ تبع أ حدكم على ملي فليتبع
“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima pengalihan tersebut)”.(HR Jama’ah)
Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat :bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat  perintah itu bersifat sunnah.
2.      Ijma’
Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial.

E.      Beban Muhil Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya


F.      Berakhirnya akad hiwalah
1.      Apabila kontrak  hiwalah telah terjadi, maka tanggungan muhil menjadi gugur.
2.      Jika muhal’alaih bangkrut (pailit) atau meninggal dunia, maka menurut pendapat Jumhur Ulama, muhal tidak boleh lagi kembali menagih hutang itu kepada muhil. Menurut Imam Maliki, jika muhil “menipu” muhal, di mana ia menghiwalahkan kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh kembali lagi menagih hutang kepada muhil.
3.      Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4.      Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hiwalah karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hiwalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hiwalah itu menurut madzhab Hanafi.
5.      Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
6.      Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.












BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Hiwalah secara bahasa artinya pemindahan atau pengoperan. Sedang menurut istilah hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Hukumnya hiwalah adalah Mubah.
Rukun Hiwalah ada empat yaitu:
1.      Muhil (orang yg meminjami hutang) dgn syarat harus berakal dan baligh.
2.      Muhal (orang yang berhutang) dengan syarat harus berakal dan baligh.
3.      Muhal ‘alaih (orang yang menerima hiwalah).
4.      Muhal Bih (hutang yg dipindahkan) dgn ketentuan barangnya harus jelas.
Sedangkan syarat hiwalah itu ada empat, yaitu :
1.      Ada kerelaan muhil (orag yang berhutang dan ingin memindahkan hutang)
2.      Ada persetujuan  dari muhal (orang yang member hutang) 
3.      Hutang yang akan dialihkan keadaannya masih tetap dalam pengakuan
4.      Adanya kesamaan hutang muhil dan muhal ‘alaih (orang yang menerima pemindahan hutang) dalam jenisnya, macamnya, waktu penangguhannya dan waktu pembayarannya.Dengan hiwalah hutang muhil bebas.
Hiwalah akan berakhir jika akad hiwalah telah fasakh (rusak), karena meninggalnya muhal dan muhal ‘alaih, mewarisi, menghibahkan, menyedekahkan harta hiwalah, dan muhal membebaskan muhal alaih.
Adapun contoh Hiwalah seperti Ali mempunyai sejumlah hutang kepada Bakar dan Bakar mempunyai hutang kepada Umar dalam jumlah byang sama. Karena Bakar tidak mampu membayar hutangnya, ia berunding dengan Ali agar hutangnya itu ditagihkan kepada Umar. Dalam hal ini, Umar yang berhubungan langsung dengan Ali, sedangkan Bakar terlepas dari tanggung jawab hutang.

Demikianlah makalah tentang Pemindahan utang piutang (Hawalah) yang dapat kami uraikan, semoga memberikan manfaat bagi kita dan dapat menambah khazanah keilmuan, khususnya mengenai bahasan dalam Fiqh Mu’amalah.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam tulisan maupun penyusunannya, karena selain kami masih dalam tahap belajar, kami juga manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah dan dosa. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif pembaca demi perbaikan makalah kami selanjutmya.






















DAFTAR PUSTAKA

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap)-cet. 51-,Bandung;Sinar Baru
            Algensindo,2011
      Ath Thayyar, Abdullah bin Muhammad, 2004, Ensiklopedi Fiqh Mu’amalah
Dalam Pandangan 4 Madzhab, cet I, Yogyakarta: Maktabah Al Hanif.
Sabiq, Sayyid, 1987, Fikih Sunnah, Bandung : PT Al-ma'rif.
Suhendi, Hendi, 2008, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Haroen Nasrun, 2007, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama

















[1] al-fiqh ‘Ala Madzahib al-arba’
[2] Ibad
[3] qulyabi wa umaira
[4] I’anat al- thalihin, toha putra, semarang, hlm. 74
[5] al-bajuri, usaha keluarga, semarang, hlm. 376
[6] kifayatur al-akhyar, hlm. 274
[7] fiqh as-sunnah, hlm 42
[8] fiqh as-syafi’yah, hlm. 57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot