Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 12 Desember 2015

Makalah Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat dan Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia

Desember 12, 2015 2




1.1 Definisi HAM Secara Global


HAM, apakah maksud sebenarnya ? jika kita berbicara tentang HAM, akan kita jumpai ,permulaannya, namun tidak ada batas akhirnya. HAM memang banyak. Minimal, kita rinci dalam 4 macam hak asasi yang prinsipil. Antara lain, (a) Hak Asasi yang bersifat Natural, (b) Hak-hak Sipil (umum), (c) Hak-hak keperdataan (private), (d) Hak Asasi Manusia (moderen). Hak asasi yang bersifat Natural, seperti hak untuk hidup, hak untuk merdeka, hak medapatkan kehormatan. Hak-hak tersebut yang menyebabkan manusia memperoleh kebebasan, pada kurun waktu yang panjang. Kemerdekaan dan kebebasanya muncul dalam beberapa hal, adakalanya karen pertumbuhan golongan tertindas di masyarakatnya, bangkitnya  para budak, bahkan karena mereka yang punya mata rantai etnis yang direndahkan oleh masyarakatnya.mungkin juga adanya para pendatang asing (yang disingkirkan), bahkan dapat disebabkan perbedaan agama yang dipeluknya dengan agama mayoritas warga negara.

Suatu kebanggaan agama islam, yang telah mengungkapkan sebab-sebab pembebasan itu kemudian mendeklarasikan HAM yang bersifat natural secara mendasar. Ini dilakukan sejak menculnya Islam, bukan hanya untuk bangsa Arab, namun meliputi seluruh umat manusia.
Hak-hak sipil (umum), adalah sebagaiman hak pemilikan dan pengembangannya menurut seleranya masing-masing. Dalam persamaan hak ini tidak terdapat sifat diskriminasi golongan, jenis, bahasa, agama, pandangan politik,asal negara, tingkat sosial, kesejahteraan, kelahiran, kedudukan, politik, perundang-undangan, atau diskriminasi internasional terhadap suatu negara, bahkan terhadap negeri, dimana individu itu berkembang[1].
Dewasa ini, banyak kita jumpai di negara-negara maju ataupun negara terbelakang, yang saling mengingkari hak-hak sipil ini, hanya karena perbedaan etnik, warna kulit, bahasa dan agama mereka. Bagi para wanita, anak-anak, penduduk kampung, mayoritas terhalangi haknya secara mendasar, yang berhubungan dengan deklarasi internasional tentang HAM itu.
Hak-hak keperdataan (private); sejak munculnya orientasi kebangsaan (nasionalisme) ke permukaan sejarah moderen; yang menjadia asas berdirinya negara moderen dengan batas-batas geografisnya, serta upaya mempertahankanya; maka para penduduknya dibebani oleh nilai kebangsaannya, dan norma negaranya.  Akibatnya, negara tersebut  memberikan hak yang tidak diberikan pada negara tetangga, termasuk juga pendatang asing, sepanjang syarat-syarat kebangsaan tidak dipenuhi.
Kita semua tahu hak-hak warga Prancis di negaranya, telah menumbuhkan lembaga-lembaga, biro kerja, lapangankerja, jaminan kesehatan, jaminan sosial, pendidikan dan kebudayaan. Hak yang serupaa juga kita saksikan di Jerman, Inggris, dan Amerika. Namun, hak-hak warga pribumi yang dihormati, justru banyak terampas para pendatang asing. Sebagian negara ada yang tidak peduli dengan warganya, atau menahan mereka, kecuali atas izin hakim dan pengadilan. Namun, ada juga beberapa negara yang memberikan distribusi kesehatan dan pelayanan medis secara gratis.
Hak keperdataan ini, banyak diterapkan oleh sebagian negara, terutama negara-negara maju, sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaganya, pada mulanya lebih tertuju pada negara-negara maju untuk memilih batas geografis, sehubungan dengan penerapan hak ini, kemudian mengakui bahwa hak tersebut sebagai hak perdata umum yang meliputi semua negara. Selanjutnya, PBB dengan lembaganya (terutama UNESCO) ditunjukkan kepada negara-negara yang sedang berkembang, untuk mendapatkan bantuan dengan mengumandangkan hak-hak ini agar dimasukkan dalam undang-undangnya, hingga sejajar hak perdata (private)nya dengan negara-negara maju. Dari sinilah dasar kegiatan kerja yang dimulai dari hasil kawasan geografis sebagai proses yang cukup berhasil dalam kategori negara berkembang, untuk penaggulangan HAM secara global dalam bidang keperdataan yang umum.
Tentang Hak-Hak Asasi Manusia (moderen), HAM yang bersifat natural itu tidak akan berubah, tetapi sebaliknya hak-hak keperdataan yang bersifat khusus maupun umum senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan, bertambah dan berkurang, menurut kondisi lingkungan, taraf sosial kebudayaan. Di samping itu pula kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, syariat hukum, hukum sipil, dan struktur politik turut pula mewarnai perkembangan dan perubahan ini.
1.2 Hakekat, Konsepsi, dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi manusia menjadi pembahasan penting setelah Perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah HAM mengantikan istilah Natural Rights. Hal ini karena konsep hukum alam yang berkaitan dengan hak-hak alam menjadi suatu konroversial. Hak asasi manusia yang dipahami sebagai natural rights merupakan suatu kebutuhan dari realitas sosial yang bersifat universal.
Semula HAM berada di negara-negara maju. Sesuai dengan perkembanagan kemajuan transportasi dan komunikasi secara meluas, maka negara berkembang sepreti Indonesia, mau tidak mau sebagi anggota PBB, harus menerimanya untuk melakukan ratifiksi istrumen HAM internasional sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa Indonesia[2].
Perkembangan HAM di Indonesia, sebenarnya dalam UUD 1945 telah tersurut, namun belum terancam secara transparan. Setelah dilakukan Amandemen I s/d IV Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan tentang HAM tercantum pada Pasal 28 A s/d 28 J. Sebenaranya pada UUDS 1950 yang pernah berlaku dari tahun 1949-1950, telah memuat pasal-pasal tentang HAM yang lebih banyak dan lengkap dibandingkan UUD 1945. Namun Konstituante yang terbentuk mulai pemilihan umum tahun 1955 dibubarkan berdasarkan Keppres Nomor 150 tahun 1959, tanggal 5 Juli 1959. Secara otomatis hal ini mengakibatkan kita kembali lagi pada UUD 1945. 


1.3 HAM Dalam Persepektif Hukum dan Masyarakat
Pemunculan, perumusan dan institusionalisai Hak Asasi Manusia (HAM) memang tak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial atau habitatnya, yaitu tidak lain masyarakat itu sendiri di mana HAM itu dikembangkan. Terjadi semacam korespondensi antara HAM dan perkembangan masyarakat. Kita juga dapat mengatakan, bahwa HAM itu memiliki watak sosial dan struktur sosial sendiri.
“institusi dalam masyarakat berkorespondensi dan berkelindang dengan lingkungan sosialnya”. Oleh karena itu kehadiran suatu institusi ingin dijelaskan dari konteks sosial dan historisnya.
Kita coba melacak HAM dari segi perkembangan historisnya dan meneliti dalam konteks sosial yanga bagaimana ia muncul. Dokumen-dokumen paling awal yang memasuki HAM adalah Bill of Rights (Inggris, 1688), Declaration of the Rights of Man and of the Citizen (Prancis, 1789), dan Bill of Rights (Amerika, 1791). Benar, seperti dikatakan oleh Behr, bahwa HAM itu berasal dari rumusan di Barat. Dokumen-dokumen tersebut mewakili pikiran yang ada di belakangnya yang mendorong dokumen tersebut. Dengan demikian dokumen tersebut kita baca sebagai isyarat (sign) adanya atau kelahiran gagasan yang ada di belakangnya.
Kemudian sejak kemunculannya sampai hari ini HAM telah mengalami perkembangan dan perubahan yang dikenal dengan sebutan generasi HAM.  Generasi pertama meliputi hak-hak sipil dan politik. Generasi kedua meliputi hak-hak sosil, ekonomi dan budaya. Akhirnya generasi ketiga memuat sejumlah hak-hak kolektif, seperti: hak ats perkembangan/ kemajuan (development); hak atas kedamaian, hak atas lingkungan yang bersih hak atas kekayaan alam dan hak ats warisan budaya.
Kita sudah berbicara panjang lebar tentang mainstream HAM di dunia. Tetapi dunia tidak sama dengan Eropa atau Barat, melainkan jauh lebih luas dan besar dari pada itu. Yang dikatakan disinia adalah, bahwa masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia ada beraneka ragam. Beraneka ragam dalam habitat fisiknya, tradisi kultural, nilai-nilainya, kosmologinya serta pandangannya tentang manusia dan dunia.
Selanjutnya perkembangan yang sehat dari usaha pemajuan HAM adalah melalui ‘pengakuan terhadap kemajemukan di dunia ini. Tanpa mengakui kemajemukan tersebut, maka alih-alih memajukan HAM dunia malah akan terjebak ke dalam suasana konflik yang bisa memuncak pada pelanggaran HAM sendiri, terutama sejak HAM sudah memasuki generasi ketiga, yang antara lain memuat hak atas warisan budaya.
Dalam model pemjuan HAM yang demikian itu tidak ada tempat bagi pemaksaan dan dominasi dari satu konsep HAM tertentu di atas yang lain. Apalagi sejak munculnya aliran pemikiran yang kontra-rasional dan kontra-individual di dunia sebagaimana diuraikan dimuka. Yang ada adalah suasana saling penghormatan dan saling memberi tahun serta saling memperkaya satu sama lain. Konferensi-konferensi HAM Internasional hanya akan menjadi medan pertukaran pengalaman dan forum pembelajaran, bukan menjadi tempat untuk menggiring bangsa dan negara di dunia ini kearah pemahaman HAM secara seragam menurut satu standar mutlak[3].        
1.4 Instrumen HAM Nasional
Pada masa pemerintahan orde baru, demokrasi belum berjalan baik. Terlihat misalnya seperti kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum, kebebasan pers maupun kebebasan dalam organisasi dan sebagainya. Hanya kepentingan-kepentingan politik yang menonjol pada saat itu, sehingga gerak-gerik masyarakat terbatas oleh ketentuan politik dan meliterisme. Demi nama baik bangsa dan masyarakat di Indonesia sebagai anggota PBB, maka untuk menghormati Piagam PBB, dan Deklarasi Universal HAM, serta untuk perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila dan Negara berdasarkan atas hukum telah menetapkan[4] :
a.       Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segal Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita;
b.      Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Hak-Hak Anak;
c.       Keputusan Presiden No 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional HAM.
2.1 Karakterisktik Hak Asasi Manusia
a. HAM merupakan sesuatu yang otomatis telah ada pada diri manusia tanpa harus membeli, meminta ataupun hasil variasi dari orang lain karena HAM mutlak ada pada diri manusia sejaka lahir sebagai anugerah dari tuhan YME.
b. HAM berlaku untuk siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, ras, suku, agama, status sosial, assl-usul/daerah kelahiran, warna kulit, etni, pandangan politik ataupun budaya yang dianutnya.
c. Hak asasi tidak bisa dan tidak boleh dilanggar. Karena HAM mutlak dimiliki oleh setiap orang sebagai anugerah dari tuhan YME maka tidak boleh satu orang pun mengabaikan hak asasi orang lain apalagi untuk mempertahankan haknya sendiri. Meskipun negara telah membuat hukum dan tatanan nilai serta norma yang telah disepakati, manusia yang ada di dalamnya masih memiliki kesempatan untuk mempertahankan haknya selama tidak melanggar jauh dari hukum dan norma yang telah ditetapkan tersebut.
Adapun karakteristik dari Hak-Hak Asasi Manusia adalah universal, berlaku umum di mana saja tetap sama, mutlak tidak dapat ditawar-tawar, tak terpisahkan dari hidup manusia, langgeng, kekal-abadi, tidak boleh dilecehkan oleh siapapun. Hak-Hak Asasi Manusia itu sungguh-sunggu merupakan hak yang dasar, fundamental dalam kehidupan manusia itu sendiri.
HAM di dalam Islam salah satunya diabadikan di dalam Al-Qur’an dan tradisi kenabian. Rasulluallah Muhammad SAW bersabda: “Hidupmu, milikmu, dan martabatmu sesuci hari ini (sewaktu naik haji).” [5]
3.1 Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia[6]
            Setelah dunia mengalami dua perang yang melibatkan hampir seluruh kawasan dunia, dimana hak-hak asasi manusia diinjak-injak, timbul keinginan untuk merumuskan hak-hak asasi manusia itu didalam suatu naskah internasional. Usaha ini baru dimulai pada tahun 1948 dengan diterimanya Universal Declaration of Human Right (pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia) oleh negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan kata lain, lahirnya deklarasi HAM Universal merupakan reaksi atas kejahatan keji manusia yang dilakukan oleh kaum sosialis nasionalis di Jerman selama 1933-1945.
            Terwujudnya Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal yang deklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948 harus melewati proses yang cukup panjang. Dalam proses ini telah lahir beberapa naskah HAM yang mendasari kehidupan manusia, dan yang bersifat universal dan asasi. Naskah-naskah tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Magna Charta (Piagam Agung 1215): Suatu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja Jhon dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan Raja Jhon itu.
2.      Bill of Rights (Undang-undang hak 1689): Suatu undang-undang yang diterima oleh parlemen Inggris sesudah berhasil dalam tahun sebelumnya, mengadakan perlawanan terhadap Raja James II dalam suatu revolusi hak berdarah yang dikenal dalam istilah The Glorious Revolution of  1688.
3.      Declaration des Droids de I’homme et du citoyen (pernyataan hak-hak manusia dan warga negara, 1789): Suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan revolusi Prancis, sebagai perlawan terhadap kewenangan regim lama.
4.      Bill of Rights (undang-undang hak): Suatu naskah yang di susun oleh rakyat Amerika pada tahun 1769 dan kemudian menjadi bagian dari undang-undang dasar pada tahun 1791.
Hak-hak manusia yang dirumuskan sepanjang abad ke-17 dan 18 ini sangat dipengaruhi oleh gagasan mengenai Hukum Alam (Natural Law), seperti yang dirumuskan oleh John Luck (1632-1714) dan Jean Jaques Rousseau (1712-1778) dan hanya membatasi pada hak-hak yang bersifat palitis saja, seperti kesamaan hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan sebagainya.
Akan tetapi, pada abad ke-20 hak-hak politik ini dianggap kurang sempurna. Dan mulailah dicetuskan hak-hak lain yang lebih luas cakupannya. Satu diantara yang sangat terkenal ialah empat hak yang dirumuskan oleh Presiden Amerika Serikat F.D.Roosevlelt pada awal PD II; The Four Freedom (empat kebebasan) itu.
Sejalan dengan pemikiran ini maka PBB memprakasai berdirinya sebuah komisi HAM untuk pertama kali yang diberi nama Comission on Human Rights pada tahun 1946. Komisi inilah yang kemudian menetapkan secara terperinci beberapa hak-hak ekonomi dan sosial, disamping hak-hak politis yaitu:
1.      Hak hidup, kebebasan dan keamanan pribadi (pasal 3).
2.      Larang perbudakan (pasal 4).
3.      Larangan peraniaan (pasal 5).
4.      Larangan penangkapan, penahanan, atau pengasingan yang sewenang-wenang (pasal 9).
5.      Hak atas pemeriksaan pengadilan yang jujur (pasal 10).
6.      Hak atas kebebasan bergerak (pasal 13).
7.      Hak atas harta dan benda (pasal 17).
8.      Hak atas berfikir, menyuarakan hati nurani dan beragama (pasal 180).
9.      Hak atas mengemukakan pendapat dan menyurahkan pemikiran (pasal 19).
10.  Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat (pasal 200).
11.  Hak untuk turut serta dalam pemerintahan (pasal 21).
Deklarasi sedunia ini juga menyebutkan beberapa hak sosial dan ekonomi yang penting:
1.      Hak atas pekerjaan (pasal 23).
2.      Hak atas taraf hidup, termasuk makanan, pakaian, perumahan dan kesehatan (pasal 25).
3.      Hak atas pendidikan (pasal 26).
4.      Hak kebudayaan meliputi hak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyaraka, ambil bagian dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan hak atas perlindungan kepentingan moral dan material yang timbul dari hasil karya cipta seseorang dalam bidang ilmu, kesusastrakkan, dan seni (pasal 27).
3.2 Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pemahaman Ham di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Secara garis besar Prof. Bagir Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia ( 2001 ), membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia dalam dua periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 ), periode setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang ).
3.2.1 Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )
• Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
• Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
• Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
• Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.
• Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
• Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
• Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.
3.2.2 Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )
a) Periode 1945 – 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
b) Periode 1950 – 1959
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing – masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
c) Periode 1959 – 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.
d) Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak – hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban Warganegara.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia. Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat akademisi yang concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
e) Periode 1998 – sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa penentuan perundang – undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara ( Undang – undang Dasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang – undangam lainnya.[7]











BAB III
PENUTUP

1.1  Kesimpulan
Menurut hemat penulis, sesungguhnya HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Pada hakikatnya “Hak Asasi Manusia” terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, ialah hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak asasi lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan.
           
           







Daftar Pustaka
Hasbullah, Afif. Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia. 2005. UNISDA: Lamongan.
Hiarieji, Eddy. Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM. 2010. Erlangga: Jakarta.
Hakiem, Luqman. Deklarasi Islam tentang HAM.
Muzaffar, Candra, dkk. Human’s Wrong. 2007. Pilar Media: Yogyakarta.
Muladi. Hak Asasi Manusia. 2009. Refika Aditama: Bandung.









[1] Luqman Hakiem, Deklarasi Islam Tentang HAM, (Jombang: Risalah Gusti) hal 63-66
[2] Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep Dan Implikasinya Dalam Persepektif Hukum Dan Masyarakat,(Bandung: PT Refika Aditama, 2009) hal 3
[3] Muladi, Hak Asasi Manusia.., hal 217-226
[4] Muladi, Hak Asasi Manusia.., hal 4
[5] Candra Muzaffar dkk, Human’s Wrong, hal 426
[6] A. Ubaidillah dkk, Pendidikan Kewarganegaraan...., hal 210
[7] Widjaya, Pancasila dan Hak Asasi di Indonesia, hal 256
Read More

Makalah Pengertian Gender Dalam Islam

Desember 12, 2015 0


1.      Pengertian

Gender adalah kosakata yang berasal dari bahasa Inggris yang bermakan “jenis kelamin”, dalam glosarium disebut sebagai seks dan gender. Gender sendiri diartikan sebagai “suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara social. Kultural atau hubungan social yang terkontruksi antara perempuan dan laki-laki yang bervariasi dan sangat bergantung pada factor-faktor budaya, agama, sejarah dan ekonomi”.[1]

Kosakata gender bagi masyarakat Barat, khususnya Amerika sudah digunakan sejak era tahun 1960-an sebagai bentuk perjuangan secara radikal, koservatif, sekuler maupun agama. Dengan tujuan untuk menyuarakan eksistensi perempuan yang kemudian melahirkan kesadaran gender, pada era tersebut diwarnai dan ditandai dengan tuntutan kebebasan dan persamaan hak agar perempuan dapat menyamai laki-laki dalam ranah social, ekonomi, politik dan bidang public yang lainnya.
Di Indonesia, kata gender bagi sebagian masyarakat masih diasumsikan sebagai segala yang identic dengan perempuan. Bahkan seringkali tidak adanya pembatasan istilah kata gender dengan seks. Kesalahan di dalam memahami kedua istilah tersebut dapat menimbulkan multi tafsir, sehingga pemahaman konsep gender menjadi bias.
Gender secara umum yang lazim dikenal masyarakat digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi (perbedaan komposisi kimia, hormone, dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik lainnya). Atas dasar itulah maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas atau feminimitas seseorang. Dengan kata lain mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis.
Sedangkan konsep lainnya terkait dengan gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki atau perempuan yang dikontruksi secara social maupun kultural. Misalnya perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.[2]
Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara itu juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lainnya. Segala sesuatu yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya adalah merupakan konsep gender.
Menurut pandangan kaum feminis bahwa gender adalah suatu gerakan yang memperjuangkan persamaan antara dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan. Tujuan mereka adalh menuntut keadilan dan pembebasan perempuan dari kungkungan agama, budaya, dan struktur kehidupan lainnya.

2.      Gender dalam Islam
Konsep kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam sesungguhnya telah menjadi bagian substantive nilai-nilai universal Islam melalui pewahyuan (Al-Qur’an dan Al-Hadits) dari Allah Yang Maha Adil dan Maha Pengasih. Laki-laki dan perempuan ditempatkan pada posisi yang setara untuk kepentingan dan kebahagiaan mereka di dunia maupun di akhirat. Karena itu, laki-laki dan permpuan mempunyai hak-hak dasar dan kewajiban yang sama sebagai hamba Allah, yang membedakan hanyalah ketaqwaan di hadapan-Nya.
Berbicara mengenai perempuan, mengantarkan kita agar terlebih dahulu mendudukkan pandangan Al-Qur’an. Dlam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat dalam firman Allah SWT yang berbunyi: “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa”.
Ayat tersebut menjelaskan tentang asal kejadian manusia dari seorang laki-laki dan perempuan sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia, baik sebagai laki-laki ataupu perempuan. Yang didasarkan kemuliaannya bukan keturunan, suku atau jenis kelamin, akan tetapi ketaqwaannya kepada Allah SWT. Hal ini senada dengan pernyataan mantan Syekh al-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut di dalam bukunya “Min Tajwihad Al-Islam” tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir dapat dikatakan sama, Allah SWT telah menganugerahkannya kepada perempuan sebagaimana menganugerahkannya kepada laki-laki potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan menjadikan keduanya dapat melakukan kegiatan maupun aktivitas yang bersifat umum maupun khusus”.
Secara epistimologis, proses pembentukan kesetaraan gender yang dilakukan Rasulullah saw tidak hanya dalam wilayah domestic saja, akan tetapi hampir menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat. Seluruh aspek itu meliputi perempuan sebagai ibu, istri, anak, nenek dan maupun sebagai anggota masyarakat, dan sekaligus juga untuk memberikan jaminan keamanan serta perlindungan hak-hak dasar yang telah dianugerahkan oleh Allah.
Dengan demikian maka Rasulullah saw telah memulai tradisi baru dalam pandangan perempuan, diantaranya adalah:
Pertama, beliau melakukan perombakan besar-besaran terhadap cara pandang (world view) masyarkat Arab yang pada waktu itu di dominasi oleh cara pandang masyarakat ear Fir’aun. Di mana latar historis yang menyertai konstruk masyarakat ketika itu adalah bernuansa misoginis. Salah satu contohnya adalah kebiasaan Rasulullah saw yang dipandang spektakuler pada waktu itu adalah seringnya Rasulullah saw menggendong puterinya (Fatimah az-Zahra) didepan umum. Kebiasaan Rasulullah pada waktu itu dinilai tabu oleh tradisi masyarakat Arab, apa yang telah dilakukan Rasulullah saw tersebut ini adalah merupakan proses pembentukan wacana bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh dibeda-bedakan (sama).
Kedua, Rasulullah saw memberikan teladan yang baik (Mu’asyarah bi al-Makruf) terhadap perempuan di sepanjang hidupnya, yakni beliau tidak pernah sedikitpun melakukan kekerasan terhadap istri-istrinya sekalipun satu sama lainnya berpeluang untuk cemburu. Di dalam menkonstruk masyarakat Islam, Rasulullah melakukan upaya-upaya yang mengangkat harkat dan martabat perempuan, melalui perbaikan (revisi) terhadap tradisi jahiliyah. Hal inilah adalah merupakan proses pembentukan konsep dan kesetaraan gender dalam hokum Islam.
Hal tersebut diantaranya adalah: perlindungan hak perempuan melalui hokum, perbaikan hokum keluarga (hak menentukan jodoh, mahar, waris, pengajuan talak, dsb.), diperbolehkannya mengakses peran-peran public, mempunyai hak mentasaruf-kan hartanya sebagai symbol kemerdekaan dan kehormatan bagi setiap orang, perombakan aturan tersebut menujukkan bahwa penghargaan Islam terhadap perempuan telah dilakukan pada masa Rasulullah SAW masih hidup, di saat citra Islam dalam tradisi Arab jahiliyah masih sangat rendah.
Di samping itu pula Islam juga mengatur tentang kesetaraan gender, bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaan dan menerima petunjuk.
Oleh karena itu Al-Qur’an tidak mengenal pembedaan antara laki-laki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT, laki-laki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Demikian pandangan Islam menempatkan wanita pada posisi yang terhormat. Sehingga, apapun peranannya baik sebagai anak, remaja, dewasa, ibu rumah tangga, kaum profesional, dan lain-lain mereka itu terhormat sejak kecil hingga usia lanjut.
Dari sinilah dapat kita pahami bagaiman Islam muncul pada situasi seperti ini, di mana pribadi pembawa risalahnya pun hanya mempunyai satu anak perempuan (yang hidup), padahal kita ketahuimempunyai anak perempuan pada masa itu adalah keterhinaan, kalau kiat kaji lebih dalam lagi, pasti ada rahasia di balik semua itu, yakni untuk mengangkat derajat kaum perempuan dan merubah kultur, dari kultur jahiliyah menjadi kultur Islami. Islam menggabungkan antara teori dan praktek, sekaligus. Islam mengajarkan bagaimana memandang dan memperlakukan perempuan. Kemudian Rasulullah mempraktekkannya, sehingga terwujud keutuhan dan keselarasan di antara keduanya.

3.      Perempuan Islam dan Politik
a.       Kedudukan Hak-Hak Politik Perempuan
Yang dimaksud dengan hak-hak politik adalah hak-hak yang ditetapkan dan diakui undang undang atau konstitusi berdasarkan keanggotaan sebagai warga Negara. Pada umumnya, konstitusi mengaitkan antara pemenuhan hak-hak ini dan syarat kewarganegaraan. Artinya hak-hak ini tidak berlaku kecuali bagi warga Negara setempat, bukan warga Negara asing. Mislanya teks butir I dari undang-undang yang mengatur hak-hak politik di Mesir Nomor 73 Tahun 1957 yang berbunyi, “Setiap warga Negara Mesir, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah berusia sepuluh tahun masehi dengan sendirinya langsung mendapatkan hak-hak politik”. Hal senada juga tercantum pada butir 5 undang-undang Parlemen Nomor 38 tahun 1972 yang diperbarui dengan Undang Undang Nomor 109 tahun 1980 dan butir 75 undang undang hokum setempat nomor 43 tahun 1979 yang mensyratkan pencalonan atau penunjukkan anggota di majlis-majlis ini harus individu warga Negara asal Mesir. Sebagaimana tercantum dalam undang undang yang berlaku sekarang pada butir 75 bahw disyaratkan bagi orang yang dipilih menjadi presiden harus orang yang lahir dari kedua orang tua yang berkewarganegaraan Mesir.
Dalam hak-hak politik terhimpun antara konsep hak dan kewajiban sekaligus. Sebab hak-hak politik paada tingkat tertentu menjadi hak bagi individu karena hak-hak itu menjadi wajib bagi mereka. Hal itu disebabkan hak mutlak-sebagaimana yang diterima-membolehkan seseorang menggunakannya atau tidak menggunakannya tanpa ikatan apapun kecuali dalam menggunakannya menurut konstitusi.
Adapun jika hak-hak politik itu  tidak digunakan- dalam banyak pembuatan unndang undang-, hal itu mengancam dijatuhkannya sanksi, terutama karena hak-hak politik itu tidak berlaku kecuali bagi orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu disamping syarat kewarganegaraan.
      Hak-hak politik ini menyiratkan partisipasi individu dalam pembentukan pendapat umum, baik dalam pemilihan wakil-wakil mereka di majelis-majelis dan berbagai lembaga perwakilan atau pencalonan diri mereka untuk menjadi anggota majelis atau lembaga perwakilan tersebut.
Hak-hak politik ini mencakup:
1.      Hak dalam mengungkapkan pendapat dalam pemilihan referendum dengan berbagai cara.
2.      Hak dalam pencalonan menjadi anggota lembaga perwakilan dan lembaga setempat.
3.      Hak dalam pencalonan menjadi presiden, dan hal-hal lain yang mengandung dan penyampaian pendapat yang berkaitan dengan politik.

Berkaitan dengan posisi perempuan dalam memperoleh hak-hak politik dalam system dan konsep Islam telah banyak pendapat diungkapkan. Ada yang berpendapat bahwa Islam tidak mengakui hak-hak politik bagi perempuan. Ada yang memandang sama perempuan dan laki-laki dalam masalah ini. Ada pula yang berpendapat bahwa Islam menetapkan dan mengakui hak-hak politik bagi perempuan kecuali menjadi pemimpin Negara. Sementara ada pendapat lain yang mengatakan bahawa masalah ini bukan masalh agama, fikih, atau konstitusi, melainkan masalah social dan politik. Oleh karena itu, masalh ini diserahkan pada kondisi social, politik, dan ekonomi masing-masing Negara.

b.      Tentang Hak-Hak Politik
Pendapat ini mengatakan bahwa Islam tidak menetapkan persamaan antara perempuan dan laki-laki khususnya dalam memperoleh hak-hak politik. Pendapat ini di sokong kuat dengan salh satu fatwa Lajnah Fatwaal-Azhar. Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali mengatakan bahwa kepemimpinan (imamah) tidak dipercayakan pada perempuan walaupun memiliki berbagai kesempurnaan dan kemandirian. Bagaimana perempuan tidak memiliki hak pengadilan dan kesaksian dalam banyak hokum. Sebagaimana hal ini dikemukakan al-Qalqasyandi, “Pemimpin (iman) memerlukan pergaulan dengan orang-orang bermusyawarah dengan berbagai urusan”. Perempuan dilarang dari hal tersebut. Sebab, perempuan memiliki hak menetapkan pernikahan dan tidak bisa menjadi pemimpin terhadap orang lain.
Maslah hak perempuan dalam pencalonan memiliki dua dimensi lain, yaitu
Pertama, perempuan menjadi anggota di parlemen.
Kedua, ikut serta dalam pemilihan anggota parlemen.
Untuk mengetahui ketentuan dalam kedua masalah ini, yang pertama mengandung kewenangan dalam urusan-urusan umum, maka harus dijelaskan bahwa kewenangan itu ada dua, yaitu kewenangan umum dan kewenangan khusus.
Kewenangan umum adalah kekuasaan dalam urusan-urusan masyarkat, seperti kewenangan pembuatan undang-undang, keputusan proses pengadilan, implementasi hokum, dan control terhadap para penegak hokum.
Kewenangan khusus adalah kekuasaan mengatur masalah tertentu, seperti wasiat kepada anak yang masih kecil, kewenangan terhadap harta, dan pengaturan wakaf.
Syariat memberikan kesempatan kepada perempuan dalam kewenangan kedua di atas. Dalam hal itu, ia mmiliki kekuasan seperti laki-laki, sebagaimana memiliki kekuasaan dalam memngatur kepentingan-kepentingan khusus dirinya. Ia pun memiliki hak dalam menggunakan hartanya dalam jual beli, hibah, gadai, persewaan, dan sebagainya. Suaminyan dan siapapun tidak mempunyai hak mencampuri urusan itu. Syariat menguasakan semua itu kepadanya dengan membimbingnya agar memelihara kehormatan dan kedudukannya.

c.       Dalil tentang Wanita Berpolitik[3]
1)      al-Quran
Allah telah berfirman di dalam al-Quran:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS al-Nisa’: 34)

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكُيمٌ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS al-Baqoroh: 228)
Maksud dari ayat-ayat ini adalah bahwasannya laki-laki memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari pada perempuan dalam hal tanggung jawab, dan sebagainya, termasuk dalam hal pemerintahan. Oleh karena itu, laki-laki memiliki kelebihan dari pada perempuan dalam mengatur kepentingan-kepentingan umum, termasuk berpolitik.
Para pihak yang berpendapat bahwa seorang perempuan tidak boleh berpolitik menggunakan ayat ini sebagai penguat argumentasinya. Namun demikian, kelompok lain berpendapat bahwa ayat di atas bukan berkenaan tentang kepemimpinan wanita dalam pemerintahan. Menurut mereka, jika dirunut dari asbabu al-nuzulnya, ayat yang pertama adalah tentang tanggung jawab seorang suami untuk mendidik istrinya dalam kasus nusyuz. Jadi, pernyataan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan dalam ayat ini adalah kepemimpinan seorang laki-laki dalam hal mendidik istrinya dalam kasus nusyuz.
Sedangkan ayat kedua, yang menyatakan bahwa seorang suami memiliki satu derajad lebih dari pada seorang istri, adalah konteksnya dalam hal keluarga. Suami adalah pemimpin yang memiliki tanggung jawab lebih terhadap istri dan anaknya. Jadi ayat ini bukan dalam konteks politik atau pemerintahan, tetapi dalam hal tanggung jawab dalam keluarga.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS al-Ahzab: 33)
Ayat ini menjelaskan bahwa perempuan tidak boleh berkeliaran di luar rumah. Mereka harus selalu berada di dalam rumah. Seorang perempuan harus selalu berada di dalam rumah dan harus mendapatkan izin dari suaminya setiap akan keluar rumah. Selain itu, seorang wanita tidak boleh menghias diri kecuali jika ada di dalam rumah.
Ketentuan ini membuat wanita menjadi terbatas dalam bertindak. Jika seseorang berkecimpung di dalam politik, otomatis orang tersebut harus sering keluar rumah, dan ini bertentangan dengan ayat di atas, yang mangatakan bahwa seorang wanita tidak boleh keluar rumah.
Sedangkan menurut kelompok lain, yang mengatakan bahwa wanita boleh berkecimpung di dalam dunia politik berargumen bahwa ayat ini khusus diturunkan untuk istri-istri Nabi Muhammad. Terbukti jika dirunut berdasarkan segi munasabah ayatnya. Ayat-ayat sebelum ayat ini menjelaskan tentang ketentuan-ketentuan bagi istri Nabi. Dengan kata lain, ayat ini tidak digunakan untuk membatasi wanita untuk berpolitik.

2)      al-Sunnah
“Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan kepada perempuan.”[4]
Hadis ini menunjukkan bahwa jika seorang mengurusi urusan suatu kaum atau golongan, maka kaum tersebut tidak dapat mendapatkan kejayaannya. Dalil inilah yang digunakan oleh kelompok yang mengatakan bahwa seorang perempuan tidak dapat menjadi pemimpin bagi kaumnya. Namun demikian, kelompok yang mengatakan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin berargumen bahwa hadis ini dikhususkan bagi kaum Persia. Selain itu, hadis ini juga termasuk hadis ahad, yang mana hadis ahad ini tidak mendatangkan keyakinan.

“Kaum perempuan itu memiliki kekurangan dalam akal (pengetahuan) dan agama.”[5]
      Hadis ini mengindikasikan bahwa Nabi berpendapat bahwa perempuan itu memiliki sisi negative, yaitu mereka lemah dalam hal akal atau ilmu pengetahuan dan dalam hal agama. Oleh sebab itu, hadis ini dijadikan sebagai landasan untuk melarang wanita menjadi seorang pemimpin. Tetapi kelompok lain berpendapat bahwa hadis ini berdasarkan konteks keadaan perempuan di masa Nabi, yang mana perempuan di masa Nabi masih banyak yang terbelakang. Namun pada zaman ini, tidak sedikit wanita yang lebih luas keilmuannya dibadingkan laki-laki. Jadi, pada masa modern ini, yang mana banyak wanita yang lebih paham akan ilmu pengetahuan dan agama, maka seorang perempuan boleh menjadi pemimpin.



BAB III
PENUTUP

1.      Simpulan
            Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada masa kini, seorang wanita dapat menjadi seorang pemimpin. Namun demikian, peraturan-peraturan yang syar’I harus tetap dijalankan. Kebebasan bagi seorang wanita bukanlah sebuah kebebasan absolut. Seorang wanita yang berkecimpung di dunia laki-laki harus tetap menjaga kehormatan dan tidak melanggar syari’at Islam.

2.      Saran
Saran penulis bagi para wanita adalah agar mereka dapat mewujudkan cita-cita mereka dengan tanpa melanggar ketentuan-ketentuan syariat islam. Perempuan boleh saja melakukan apa yang mereka inginkan dan mereka cita-citakan. Tetapi seorang wanita yang bersuami harus mendapatkan izin dari suaminya, dan wanita yang berada di bawah pengampuan walinya, maka harus mendapatkan izin dari walinya.



DAFTAR PUSTAKA

___. Isu-isu Gender Kontemporer dalam Hukum Keluarga. 2010. UIN-Maliki Press: Malang
Fakih, Mansour dkk. Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam. 1996. Risalah Gusti: Surabaya.
Fauzi, Ikhwan. Perempuan dan Kekuasaan. 2002. Amzah: Jakarta.
al-Syaukani. Nail al-Author. 1963. Mathba’ah al-Babtal-Halabi.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender. 1999. Paramadina: Jakarta.




[1] Isu-isu Gender Kontemporer dalam Hukum Keluarga, UIN Press, Malang: 2010. Halaman 3.
[2] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, Paramadina, Jakarta: 1999. Halaman 35.
[3] Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, Amzah, Jakarta: 2002. Halaman 40
[4] Al-Syaukani, Nail al-Authar, Mathba’ah al-Babtal-Halabi: 1963. Halaman 273
[5] Mukhtashar al-Bukhori. Halaman 327
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot