Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 12 Desember 2015

MAKALAH GUGURNYA HAK MENUNTUT PIDANA (MAKALAH HUKUM PIDANA)

Desember 12, 2015 0




A.      Konsep Gugurnya Hak Menuntut Pidana dalam Hukum Pidana
“Kehilangan Hak Menuntut dan Hak Menjalankan Hukuman“, demikianlah judul dari titel VIII Buku I KUHP. Dalam judul itu disebutkan hak menuntut dan hak menjalankan hukuman.
Berbicara tentang hak menuntut, maka perhatian diarahkan kepada istilah subjectief strafrecht (jus puniendi) yang di dalamnya recht tidak berarti “hukum” tetapi “hak” , yaitu hak dari Negara, diwakili oleh alat-alatnya untuk menghukum seorang oknum yang melanggar hukum pidana.Disamping subjectief strafrecht ada objectief strafrecht yang berarti rangkaian peraturan yang merupakan hukum pidana. Jadi, recht dalam objectief strafrecht berarti “hukum”.


Dalam bahasa Belanda, kata recht memang mempunyai dua arti, yaitu hak dan hukum , sedangkan dalam bahasa Indonesia kata “hukum” tidak dapat berarti “hak”. Berhubung dengan ini tidak ganjil apabila dalam Wetboek van Strafrecht ada suatu bagian, yaitu titel VIII Buku I yang dalam judulnya menggunakan kata recht dalam arti “hak”.
Dengan diterjemahkannya Wetboek van Strafrecht menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebenarnya ganjil apabila ada titel VIII Buku I dari KUHP yang dalam judulnya memuat pengertian “hak” yang tidak diliputi perkataan “hukum”.[1]

B.       Sebab-sebab Gugurnya Hak Menuntut Pidana dalam Hukum Pidana
Gugurnya hak menuntut Pidana dalam Hukum Pidana meliputi :
1.    Perbuatan yang diputus dengan Putusan yang menjadi tetap
Pasal 76 KUHP mengandung prinsip penting, yaitu bahwa seseorang tidak dapat dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim dengan putusan yang telah berkekuatan tetap (gewisjde atau res judicata). Prinsip ini juga dikenal sebagai ne bis in idem (tidak dua kali dalam hal yang sama), tidak hanya mengenai hal bahwa seseorang yang telah dihukum karena melakukan suatu tindakan pidana, tidak boleh dituntut lagi mengenai perbuatan itu lagi, tetapi juga jika orang dalam perkara pertama dibebaskan (vrijspraak) atau dilepaskan dari segala tuntutan (ontslag van rechtsvervolging), maka atas perbuatan yang sama itu tidak boleh dilakukan penuntutan lagi.[2]
Keputusan hakim (yang berkekuatan tetap) adalah keputusan terhadap perbuatan atau perkara yang berupa[3] :
a.       Pembebasan (vrijspraak) – pasal 191 ayat (1) KUHAP;
b.      Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtsvervolging)–pasal 191 ayat (2) KUHAP;
c.       Penjatuhan pidana – pasal 193 ayat (1) KUHAP.

2.    Sebab Meninggalnya pembuat/terdakwa/tersangka
Apabila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir dari pengadilan, maka menurut pasal 77 KUHP hak menuntut itu gugur (vervallen).
Jika ini terjadi dalam taraf pengusutan (voor-onderzoek) , maka pengusutan itu dihentikan. Jika penuntutan telah dimajukan, maka penuntut umum harus oleh pengadilan dinyatakan tidak dapat diterima dengan tuntutannya. Begitupun apabila pengadilan banding atau kasasi masih harus memutuskan perkaranya.
Apabila terdakwa meninggal dunia setelah kepadanya dijatuhi hukuman dengan putusan hakim yang memiliki kekuatan tetap (gewisjde), maka menurut pasal 83 KUHP gugurlah hak untuk menjalankan hukumannya, termasuk hukuman tambahan seperti perampasan barang –barang , tetapi tidak termasuk perintah untuk merusakkan barang atau menjanjikan barang itu tidak dapat dipakai lagi.[4]
Namun terdapat pengecualian dalam hal ini,yakni dalam konteks ini yang dimaksud pengecualian contohnya adalah dalam tindak pidana korupsi ( UU No.31 Tahun 1999 ) pasa 32-34. Merujuk pada isi dari pasal-pasal tersebut, maka matinya si terdakwa dalam pelanggaran tersebut tidak menghapuskan tuntutan terhadapnya. Tuntutan tersebut dapat dilakukan terhadap ahli waris atau wakil dari orang yang sudah meninggal dunia itu, dan diselesaikan di hadapan Pengadilan Perdata.[5]
3.    Sebab telah lampau waktu / daluwarsa
Undang-undang memberikan batasan sampai kapan jaksa dapat melaksanakan kewenangannya melakukan penuntutan tersebut. KUHP memberikan batasan kapan kewenangan itu berakhir yakni dalam pasal 78 , antara lain sebagai berikut :
Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa :
a.    Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun.
b.    Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurangan , atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun.
c.    Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun.
d.   Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
e.    Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun , masing- masing tenggang daluwarsa diatas dikurangi menjadi sepertiga.
Pasal 79 KUHP menyatakan, bahwa daluarsa mulai berlaku pada keesokan harinya setelah “ perbuatan “ dilakukan.
Prinsip lewatnya waktu ini juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk mengungkap kasus perkara. Jika dilihat dari teori pembalasan, menjadi tidak penting lagi mengangkat suatu kasus yang sudah dilupakan oleh masyarakat.[6]
4.    Sebab penyelesaian di luar pengadilan
Pada dasarnya tidak semua perkara pidana hanya dapat dilakukan melalui lembaga pengadilan, karena di lembaga pengadilan terjadi penumpukan perkara dan kinerja hakim dipertanyakan , karena semua perkara pidana yang ringan hingga yang berat harus ditangani oleh mereka. Hal ini agaknya tidak perlu terjadi karena KUHP telah memberikan jalan berupa ketentuan dalam pasal 82 KUHP , bahwa penyelesaian perkara pidana oleh penuntut umum yang tentunya ditujukan kepada tindak pidana yang diancam dengan denda saja, dengan syarat :
a.         Jenis tindak pidana adalah pelanggaran
b.        Pelanggaran atas tindak pidana ini oleh UU diancam dengan sanksi denda,
c.         Pelaku berkenan membayar denda maksimum dengan suka rela,
d.        Jika penuntutan telah dimulai biaya-biaya perkara yang berkaitan dengan pelaksanaan penuntutan dibebankan kepada pelaku,
e.         Ancaman pidana tambahan berupa perampasan barang tertentu jika dirumuskan dalam aturan undang-undang dapat dilaksanakan penuntut umum atau dapat dikonversi kedalam sejumlah uang dengan taksiran yang ditentukan oleh undang-undang.
f.         Pelaksanaan penyelesaian perkara pidana melalui lembaga ini dapat diperhitungkan sebagai pemberatan bila terjadi pengulangan atau recidive.[7]
Pasal 83 KUHP membuka kemungkinan dalam hal pelanggaran yang hanya diancam dengan hukuman pokok berupa denda bahwa masalahnya dapat diselesaikan diluar pengadilan , yaitu secara membayar kepada kejaksaan maksimum denda yang diancamkan ditambah dengan biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh jaksa. Akan tetapi , hal ini hanya dengan izin seorang pegawai negeri yang untuk itu ditentukan dalam suatu undang-undang yang juga menentukan tempo di dalamnya maksimum denda yang harus dibayar.
Aturan pasal ini tidak berlaku bagi orang yang umurnya belum dewasa, sebelum melakukan perbuatan itu, belum cukup enam belas tahun. Demikian bunyi ayat 4 dari pasal 82 KUHP. [8]
5.    Sebab Amnesti dan Abolisi
Hingga saat ini , rujukan tentang amnesti dan abolisi diatur dalam Pasal 14 UUD 1945.
Amnesti diartikan dengan hak prerogratif presiden sebagai kepala Negara untuk menghentikan proses peradilan pidana di semua tahapan, sehingga akibat hukum terhadap orang yang telah melakukan suatu tindak pidana menjadi dihapuskan. Oleh karenanya, dengan pemberian amnesti, semua akibat hukum pidana terhadap orang yang telah melakukan suatu tindak pidana dihapuskan.
Sedangkan abolisi dapat diartikan sebagai hak prerogratif presiden sebagai kepala Negara untuk memerintahkan kepada penuntut umum agar menghentikan tindakan penuntutan kepada seseorang. Dengan pemberian abolisi, maka dihapuskan penuntutan terhadap mereka. Jadi, abolisi hanya dapat diberikan pada fase pra adjudikasi atau pada fase adjudikasi sebelum ada putusan hakim.
Merujuk pada ketentuan pasal 14 ayat 2 UUD 1945 tentang Perubahan Pertama, maka syarat dalam pemberian amnesti dan abolisi adalah sebagai berikut :
a.       Diberikan oleh presiden
b.      Dengan memperhatikan pertimbangan DPR.[9]


Contoh Kasus:
Sudi Ahmad, salah seorang terdakwa kasus penyuapan Mahkamah Agung yang ditahan di Polda Metro Jaya, meninggal dunia. Sebelumnya, dia mengeluhkan sidang perkaranya yang terkatung-katung gara-gara hakimnya berseteru. Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi itu mengembuskan napas terakhir di RS Soekanto Bhayangkara, Kramat Jati, Jakarta Timur. Dia dilarikan ke rumah sakit itu Jumat (19/5) pukul 18.00 karena sakit hernia. Sejak saat itu, staf Korpri unit MA tersebut dirawat secara intensif. Sebenarnya, terdakwa akan dioperasi, namun keburu meninggal dunia, kata Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean. Suyati, istri Sudi Ahmad, mengungkapkan, sejak Sabtu (20/5), perut suaminya membesar dan kembung. Penyakit suaminya itu sudah lama terjadi dan sering kambuh. Kami dapat menerima kematian Bapak. Ini sudah menjadi nasib Pak Sudi, ungkap ibu dari Farah Azri dan Dandi Akbar Darmawan itu sambil menangis. Jenazah Sudi diberangkatkan ke pemakaman Pondok Kelapa sekitar pukul 13.00 dari rumah kakak laki-lakinya, Nazirin, di Jalan Gandria, RT 07, RW 07, Kemayoran. Sudi adalah salah seorang di antara empat karyawan MA yang didakwa menerima suap dari Harini Wijoso, penasihat hukum Probosutedjo. Uang itu disebut-sebut akan diberikan kepada Ketua MA Bagir Manan untuk membebaskan Probo dari hukuman korupsi dana reboisasi di tingkat kasasi. Kasusnya masih diproses di pengadilan. Kasus itu beberapa kali memicu pro-kontra mengenai pemeriksaan Bagir Manan, ketua majelis hakim kasasi perkara Probo. Terakhir, tiga hakim yang mengadili Harini walk out untuk memprotes ketua majelis yang tidak mau menghadirkan Bagir sebagai saksi ke sidang. Dua sidang kasus penyuapan itu selanjutnya terkatung-katung hingga kini. Mestinya, Rabu (24/5) jaksa penuntut umum akan membacakan tuntutan terhadap Sudi. Karena dia meninggal, KPK akan meminta majelis hakim yang mengadili perkaranya untuk menggugurkan tuntutan. Perkaranya gugur demi hukum. Sesuai pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK tidak berhak mengeluarkan surat penghentian penyidikan maupun penuntutan. Yang berhak adalah majelis hakim karena perkara sudah bergulir ke pengadilan. (ein)
                                                                   Sumber: JawaPos, 23 Mei 2006.

Analisis:
Jadi menurut kelompok kami, bahwa terdakwa Sudi Ahmad tentang penyidikan kasus penyuapan gugur demi hukum karena Sudi sebagai terdakwa sudah meninggal dunia. Tetapi kalau kasus tersebut dilakukan oleh lebih dari satu orang maka prosesnya jalan terus, karena si terdakwa lainnya masih hidup, tetapi sebaliknya kalau semua terdakwa meninggal maka kasus tersebut ditutup karena batal demi hukum. Dengan gugurnya tuntutan tersebut Majelis Hakim harus membatalkan tuntutan dari jaksa penuntut dengan mengeluarkan NO (Niet Ontvankelijk Verklaard).
Apabila tersangka meninggal saat proses penyidikan masih berlangsung, maka proses penyidikan tersebut batal, sesuai dengan pasal 77 KUHP yang berbunyi ”kewenangan menuntut pidana hapus, jika terdakwa meninggal dunia”.
Penyidikan akan dihentikan demi hukum dengan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan kepada Penuntut Umum dan keluarga almarhum. Apabila kematian tersangka pada saat perkara telah dilimpahkan oleh penyidik pada penuntut umum tapi belum dilimpahkan oleh penuntut umum ke pengadilan atau belum dilakukan penuntutan ke pengadilan, maka jaksa penuntut umum akan ’menutup perkara demi hukum. Penutupan perkara akan dilakukan dengan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penutupan Perkara ke Penyidik dan keluarga almarhum.





BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.    Berbicara tentang hak menuntut, maka perhatian diarahkan kepada istilah subjectief strafrecht (jus puniendi) yang di dalamnya recht tidak berarti “hukum” tetapi “hak” , yaitu hak dari Negara, diwakili oleh alat-alatnya untuk menghukum seorang oknum yang melanggar hukum pidana. Disamping subjectief strafrecht ada objectief strafrecht yang berarti rangkaian peraturan yang merupakan hukum pidana. Jadi, recht dalam objectief strafrecht berarti “hukum”.
2.    Gugurnya hak menuntut Pidana dalam Hukum Pidana meliputi :
1)        Perbuatan yang diputus dengan Putusan yang menjadi tetap
2)        Sebab Meninggalnya pembuat/terdakwa/tersangka
3)        Sebab telah lampau waktu / daluwarsa
4)        Sebab penyelesaian di luar pengadilan
5)        Sebab Amnesti dan Abolisi



DAFTAR PUSTAKA

Prodjodikoro, Wirjono. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama
Saifullah , Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana ( 2004 )
Zulfa Eva, Achjani, 2010. Gugurnya Hak Menuntut. Bogor: Ghalia Indonesia




[1] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia ( Bandung : Refika Aditama, 2008 ), 159
[2] Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, 159-160
[3] Eva Achjani Zulfa , Gugurnya Hak Menuntut ( Bogor : Ghalia Indonesia , 2010 ) , 15
[4] Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, 167
[5] Achjani Zulfa , Gugurnya Hak Menuntut, 24
[6] Saifullah , Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana ( 2004 ) , 48
[7] Achjani Zulfa , Gugurnya Hak Menuntut, 37
[8] Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, 171-172
[9] Achjani Zulfa , Gugurnya Hak Menuntut, 118-119
Read More

MAKALAH ASAS HUKUM PIDANA DAN JENIS-JENIS HUKUM PIDANA BESERTA TINDAKANNYA

Desember 12, 2015 0



A.    JENIS-JENIS PIDANA

            KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP. Pidana dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :
1.         Pidana Pokok Terdiri dari:
a.                               Pidana Penjara

            Dalam pasal 10 KUHP, ada dua jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak, yakni pidana penjara dan pidana kurungan. Dari sifatnya menghilangkan dan atau membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat (Lembaga Permasyarakatan) di mana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan di dalamnya wajib untuk tunduk, menaati dan menjalankan semua peraturan tata tertib yang berlaku, maka kedua jenis pidana itu tampaknya sama. Akan tetapi, dua jenis pidana itu sesungguhnya berbeda jauh
            Perbedaan antara pidana penjara dengan pidana kurungan adalah dalam segala hal pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara.[4]
            Bentuk dari pidana penjara ini merupakan jenis pidana di mana terpidana harus dimasukkan dalam Lembaga Permasyarakatan (LP) yang sudah disediakan seperti halnya dengan KUHP (RUU) juga menganut pola pidana penjara seumur hidup dan penjara untuk waktu tertentu.
            Sedangkan pidana penjara dalam waktu tertentu polanya terbagi menjadi dua yaitu pola minimum dan maksimum. Dalam konsep KUHP (RUU) pola minimum yang bersifat umum yaitu berupa penjara satu hari dan untuk pola minimum yang bersifat khusus bervariasi antara satu sampai lima tahun. Sedangkan untuk pola maksimum khusus bervariasi dengan konsep KUHP (RUU) adalah dalam pola minmum khusus diman didalamnya tidak dijelaskan secara tepat.
            Adapun sanksi pidan penjara ini tertulis di dalam KUHP (WvS) pasal 12 sampai dengan pasal 20. Sedangkan dalam konsep KUHP (RUU) tercantum dalam pasal 64 sampai 70. [5]
b.                              Pidana Tutupan
            Berlainan dengan pidana penjara, pada pidana tutupan hanya dapat dijatuhkan apabila (Rancangan RUU) :
1)        Orang yang melakukan tindak pidana yang di ancam dengan pidana penjara, mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan;
2)        Terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.
            Pengecualian terhadap ketentuan di atas adalah jika cara melakukan atau akibat dari perbuatan tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara.[6]
            Pidana tutupan ini ditambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 Tahun 1946, yang maksudnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Pasal ayat 2 dinyatakan bahwa pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu, cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.
            Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 8 Tahun 1948, dapat diketahui bahwa narapidana  tutupan itu lebih banyak mendapatkan fasilitas dari pada narapidana penjara. Hal ini disebabkan karena orang yang dipidana tutupan itu tidak sama dengan orang-orang yang dipidana penjara. Tindak pidana yang dilakukannya itu merupakan tindak pidana yang didorong oleh maksud yang patut dihormati.
            Berdasarkan bunyi Pasal 2 ayat 1 PP ini, tempatnya pidana tutupan bukan jenis pidana yang berdiri sendiri, melainkan pidana penjara juga. Perbedaannya hanyalah terletak pada orang yang dapat dipidana tutupan hanya bagi orang yang melakukan tindak pidana karena didorong oleh maksud yang patut dihormati. Sayangnya dalam UU itu maupun PP pelaksanaannya itu tidak dijelaskan tentang unsur maksud yang patut dihormati itu. Karena penilaiannya, kriterianya diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
            Dalam praktik hukum selama ini, hampir tidak pernah ada putusan hakim yang menjatuhkan pidana tutupan. Sepanjang sejarah praktik hukum di Indonesia, pernah terjadi hanya satu kali hakim menjatuhkan pidana tutupan, yaitu putusan Mahkamah Tentara Agung RI pada tanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946.[7]
c.                               Pidana Kurungan
            Pidana ini biasanya dikenakan pada kejahatan tentang politik untuk tidak keluar rumah, kota dan keluar wilayah negara RI. Pidana kurungan ini juga dikenal dengan tahanan rumah, kota dan negara. Hal ini sesuai dengan pasal 21 KUHP, bahwa pidana kurungan harus dijalani dalam daerah dimana terpidana berdiam. Ketika putusan hakim dijalankan atau jika tidak mempunyai tempat kediaman di dalam daerah dimana ia berada. Kecuali kalau Menteri Kehakiman atas permintaan terpidana, maka terpidana diperbolehkan menjalani pidananya di daerah lain.
            Adapun sanksi pidana penjara ini tertulis di dalam KUHP (WvS) pasal 12 sampai dengan pasal pasal 20, sedangkan dalam konsep KUHP (RUU) tercantum dalam pasal 64 sampai 70.
d.                              Pidana Denda
            Pola pidana denda dalam KUHP hanya mengenal minimum umum dan maksimum khusus. Minimum umum pidana denda sebesar 25 sen (pasal 30 ayat 1) yang berdasarkan perubahan menurut UU No. 18 Rp.1960 dilipat gandakan menjadi 15 kali sehingga menjadi Rp.375. Sedangkan maksimum khususnya bervariasi baik untuk tindak kejahatan maupun tindak pelanggaran.
            Adapun konsep KUHP (RUU) pasal 75-78 mengenal minimum umum, minimum khusus dan maksimum khusus. Pidana denda minimum umumnya sebesar Rp.1500,-. Ancaman maksimum khusus dibagi menjadi enam kategori dimana kategori terendah adalah Rp.150.000,-. Sedangkan untuk kategori tertinggi adalah Rp.300.000.000,-. Dan untuk ancaman maksimum khusus denda bervariasi menurut bobot deliknya.
            Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran (Buku III) baik sebagai alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri.  Begitu juga terhadap jenis kejahatan-kejahatan ringan maupun kejahatan Culpa, pidana denda sering diancamkan sebagai alternatif dari pidana kurungan. Sementara itu, bagi kejahatan-kejahatan selebihnya jarang sekali diancam dengan pidana denda baik sebagai alternatif dari pidana penjara maupun berdiri sendiri.
            Apabila denda tidak dibayar, maka harus menjalani kurungan pengganti denda. Pidana kurungan pengganti denda ini dapat ditetapkan yang lamanya berkisar antara satu hari sampai enam bulan. Dalam keadaan-keadaan tertentu yang memberatkan, batas waktu maksimum enam bulan ini dapat dilampui sampai paling tinggi menjadi delapan bulan (pasal 30 ayat 5, 6).
            Terpidana yang dijatuhi pidana denda boleh segera menjalani kurungan pengganti denda dengan tidak perlu menunggu sampai habis waktu untuk membayar denda. Akan tetapi, bila kemudian ia membayar denda, ketika itu demi hukum ia harus dilepaskan dari kurungan penggantinya.
e.                               Pidana Kerja Sosial
            Dalam konsep KUHP (RUU) khususnya pasal 78-79, pasal ini memuat adanya pidana kerja sosial akan tetapi rumusan deliknya tidak dicantumkan. Begitu juga di dalam KUHP (WvS), pidana kerja sosial ini tidak dicantumkan secara khusus di dalam pasal-pasalnya.
            Dalam penjatuhan pidana selain dipenuhi syaratnya, juga perlu pertimbangan dan syarat-syarat tertentu, misalnya pidana relatif pendek atau dendanya ringan. Garis besar yang perlu dicermati sehubungan pidana kerja sosial adalah sebagai berikut (Rancangan KUHP) :
1)        Apabila pidana penjara yang dijatuhkan tidak lebih dari enam bulan atau pidana denda yang tidak lebih dari denda kategori I maka pidana penjara atau pidana denda tersebutdapat diganti dengan pidana kerja sosial.
2)        Hal-hal yang harus dipertimbangkan:
a)        Pengakuan terpidana terhadap tindak pidana yang dilakukan;
b)        Usia yang layak kerja terpidana menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c)        Persetujuan terpidana sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial;
d)       Riwayat sosial terpidana;
e)        Perlindungan keselamatan kerja terpidana.
3)        Pidana kerja sosial tidak boleh dikomersilkan dan bertentang dengan keyakinan agama dan politik terpidana.
4)        Jika pidan kerja sosial sebagai pengganti denda maka sebelumnya harus ada permohonan terpidana dengan alasan tidak mampu membayar denda tersebut. Pidana kerja sosial paling singkat tujuh jam.
5)        Waktu pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama:
a)        240 jam bagi terpidana yang telah berusia 18 tahun ke atas;
b)        120 jam bagi terpidana yang berusia dibawah 18 tahun.
6)        Pelaksanaan pidan kerja sosial dapat diangsur paling lama 12 bulan
            dengan dengan tetap diperhatikan :
a)        Kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan atau
b)        Kegiatan lain yang bermanfaat.
7)        Apabila terpidana gagal memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban untuk menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan wajar maka terpidana dapat diperintahkan:
a)        Mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebur;
b)        Menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau
c)        Membayar seluruh atau sebagian pidana dengan tidak dibayar yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut atau menjalani pidan penjara sebagai pengganti denda yang tidak dibayar.
2.         Pidana Tambahan Terdiri dari:
a.                               Pencabutan Hak-hak Tertentu
            Menurut hukum, pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat mengakibatkan kematian perdata (Burgerlijke Daad) tidak diperkenankan (Pasal 3 BW). UU hanya memberikan kepada negara wewenang (melalui alat/lembaganya) melakukan pencabutan hal tertentu saja, yang menurut Pasal 35 ayat 1 KUHP, hak-hak yang dapat dicabut tersebut adalah:
1)        Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
2)        Hak menjalankan jabatan dalam Angkatan Bersenjata/TNI;
3)        Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4)        Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri;
5)        Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6)        Hak menjalankan mata pencaharian.
            Sifat hak-hak tertentu yang dapat dicabut oleh hakim, tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali bila yang bersangkutan dijatuhi pidana penjara seumur hidup atau pidana mati.
            Perlu diperhatikan bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana diterangkan di atas apabila secara tegas diberi wewenang oleh UU yang diancamkan pada rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang diancam dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu antara lain tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal-pasal: 317, 318, 334, 347, 348,350, 362, 363, 365, 372, 374, 375.
b.                              Perampasan Barang-barang Tertentu dan Tagihan
            Salah satu ketentuan yang sangat menarik adalah dapat dijatuhkannya pidana tambahan ini tanpa dijatuhkannya pidana pokok. Pidana ini dapat dijatuhkan apabila ancaman pidana penjara tidak lebih dari tujuh tahun atau jika terpidana hanya dikenakan tindakan. Adapun barang-barang yang dapat dirampas adalah :
1)        Barang milik terpidana atau orang lain yang seluruhnya atau sebagian besar diperoleh dari tindak pidana;
2)        Barang yang ada hubungannya dengan terwujudnya tindak pidana;
3)        Barang yang digunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan tindak pidana;
4)        Barang yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; atau
5)        Barang yang dibuat atau diperuntukkan bagi terwujudnya tindak pidana.
            Apabila penjatuhan pidana perampasan atas barang yang tidak disita maka dapat ditentukan barang tersebut harus diserahkan atau diganti dengan sejumlah uang menurut penafsiran Hakim. Jika terpidana tidak mau menyerahkan barang yang disita maka Hakim dapat menetapkan harga lawanya. Akhirnya, jika terpidana tidak mampu membayar seluruh atau sebagian harga lawan tersebut maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti untuk pidana denda (vide Pasal 99 Rancangan KUHP).
c.                               Pengunguman Putusan Hakim
            Dalam hal diperintahkan supaya putusan diumumkan maka harus ditetapkan cara melaksanakan perintah tersebut dan jumlah biaya pengunguman yang harus ditanggung oleh terpidana. Namun, apabila biaya pengunguman itu tidak dibayar oleh terpidana maka berlaku ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.
            Setiap putusan hakim memang harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP, dulu Pasal 317 HIR). Bila tidak, putusan itu batal demi hukum.
            Hakim bebas menentukan perihal cara melaksanakan pengunguman. Hal tersebut dapat dilakukan melalui surat kabar, plakat yang ditempelkan pada papan pengunguman, melalui media radio maupun televisi, yang pembiayaanya dibebankan pada terpidana.
            Maksud dari pengunguman putusan hakim yang demikian ini, adalah sebagai usaha Preventif, mencegah bagi orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak pidana yang sering dilakukan orang. Maksud yang lain adalah memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati dalam bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan (tindak pidana).

d.                              Pemenuhan Kewajiban Adat.
            Beberapa hal dapat dikemukakan berkaitan dengan pidana tambahan ini (Pasal 102 jo. Pasal 5 Ayat (2) Rancangan KUHP) yaitu sebagai berikut:
1)    Dalam putusan dapat ditetapkan pemenuhan adat setempat, utamanya jika tindak pidana yang dilakukan menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2)    Kewajiban adat tersebut dianggap sebanding dengan pidana denda kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti jika kewajiban adat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana yang dapat berupa pidana ganti kerugian.
3.         Pidana Khusus
a.                               Pidana Mati
            Dalam Rancangan KUHP baru disebut bersifat khusus, penerapan pidana mati dalam praktek sering menimbulkan perdebatan di antara yang setuju dan yang tidak setuju. Bagaimanapun pendapat yang tidak setuju adanya pidana mati, namun kenyataan yuridis formal pidana mati memang dibenarkan. Ada beberapa pasal di dalam KUHP yang berisi ancaman pidana mati, seperti makar pembunuhan terhadap Presiden (Pasal 104), pembunuhan berencana (Pasal 340), dan sebagainya.[8]
            Pidana mati merupakan bentuk pidana yang mana terpidana ditembak oleh satu peleton brimob dengan mata tertutup. Di Prancis terpidana dipotong lehernya (Quilotine). Di negara Arab dikenakan hukuman qishash. Dalam konsep KUHP (RUU) pidana mati yang termasuk pidana khusus ini dicantumkan dalam pidana mati Pasal 61, Pasal 80 sampai Pasal 83. Sedangkan dalam KUHP (WvS) termasuk bagian pidana pokok.[9]
B.     TINDAKAN
1.            Tindakan Bagi Orang Dewasa
            Dalam pengenaan tindakan, pelaku tindak pidana dibagi dua kelompok yaitu tidak dapat dan kurang dapat dipertanggung jawabkan. Terhadap yang tidak dapat dipertanggung jawabkan maka tidak dapat dijatuhi pidana. Terhadap yang kurang dapat dipertanggung jawabkan, pidananya dapat dikurangi atau dikenakan tindakan. Adapun penyebab tidak dapat dan kurang dapat dipertanggung jawabkan tersebut adalah sama yaitu menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardisi mental (vide Pasal 41, 42 Rancangan KUHP).[10]
Bagi orang yang tidak atau kurang mampu bertanggung jawab tindakan dijatuhkan tanpa pidana. Diantara bentuk-bentuk tindakan yang tercantum dalam konsep KUHP (RUU) adalah:
1.      Perawatan di rumah sakit jiwa            (Pasal 96)
2.      Penyerahan kepada pemerintah          (Pasal 97)
3.      Penyerahan kepada seseorang             (Pasal 98)
            Adapun bentuk-bentuk tindakan bagi orang pada umumnya yang mampu bertanggung jawab maka dijatuhkan bersama-sama dengan pidana sesuai dengan konsep KUHP (RUU) ayat (2) Pasal 103 yang menyebutkan:
1.      Pencabutan surat izin mengemudi
2.      Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
3.      Perbaikan akibat-akibat tindak pidana
4.      Latihan kerja
5.      Rehabilitas
6.      Perawatan disuatu lembaga[11]
            Dari rumusan Pasal 105-112 Rancangan KUHP dapat diketengahkan hal-hal pokok sebagai berikut:
1.      Tindakan Perawatan di Rumah Sakit Jiwa
a.       Dijatuhkan setelah pembuat tindak pidana dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan yang bersangkutan masih dianggap berbahaya berdasarkan surat keterangan dari dokter ahli.
b.       Pembebasan dari tindakan perawatan di rumah sakit jiwa dikenakan, jika yang bersangkutan dianggap tidak berbahaya lagi dan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut berdasarkan surat keterangan dokter ahli.
2.      Tindakan Penyerahan Kepada Pemerintah atau Seseorang
a.       Tindakan penyerahan ini dapat dikenakan, baik kepada pembuat tindak pidana dewasa atau anak-anak.
b.       Tindakan penyerahan ini, bagi orang dewasa dilakukan demi kepentingan masyarakat. Bagi anak dilakukan demi kepentingan anak yang bersangkutan.
c.       Tindakan Pencabutan Surat Izin Mengemudi
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam tindakan pencabutan surat izin mengemudi:
a.       Keadaan yang menyertai tindak pidana yang dilakukan,
b.       Keadaanyang menyertai pembuatan tindak pidana, ayau
c.       Kaitan pemilikan surat izin mengemudi dengan usaha mencari nafkah di wilayah negara Indonesia.
Apabila surat izin mengemudi dikeluarkan oleh negara lain maka pencabutan dapat diganti dengan larangan menggunakan surat izin tersebut di wilayah negara Indonesia.
Jangka waktu pencabutan surat izin mengemudi berlaku antara satu sampai lima tahun.
3.      Tindakan Perampasan Keuntungan
a.       Segala keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, baik berupa uang, barang, atau keuntungan lain dirampas.
b.      Jika keuntungan tersebut tidak berupa uang maka pembuat tindak pidana dapat mengganti dengan yang jumlahnya ditentukan oleh hakim.
4.         Tindakan Perbaikan
            Tindakan perbaikan akibat tindak tindak pidana dapat berupa perbaikan, penggantian, atau pembayaran harga kerusakan sebagai akibat tindak pidana tersebut.
5.         Tindakan Latihan Kerja
a.       Dalam penanganan tindakan latihan kerja, yang wajib dipertimbangkan adalah :
1.                  Kemanfaatan bagi pembuat tindak pidana
2.      Kemampuan pembuat tindak pidana, dan
3.      Jenis latihan kerja.
b.      Hal yang wajib diperhatikan dalam penanganan tindakan latihan kerja adalah pengalaman kerja yang pernah dilakukan dan tempat tinggal pembuatan tindak pidana.
6.         Tindakan Rehabilitasi
a.       Pengenaan tindakan rehabilitasi dijatuhkan kepada pembuat tindak pidana yang kecanduan alkohol, obat bius, obat keras, narkotika, yang mengidap kelainan seksual, atau yang mengidap kelainan jiwa.
b.      Rahabilitasi dilaksanakan di dalam suatu lembaga pengobatan dan pembinaan, baik swasta maupun pemerintah.
7.         Tindaka Perawatan
a.       Perawatan di dalam suatu lembaga dapat dikenakan terhadap pembuat tindak pidana dewasa atau anak-anak.
b.      Tindakan perawatan kepada pembuat tindak pidana orang dewasa harus didasarkan atas sifat berbahayanya perbuatan melakukan tindak pidana tersebut sebagai suatu kebiasaan. Tindak perawatan kepada pembuat tindak pidana terhadap anak dimaksudkan untuk membantu orang tua dalam mendidik anak yang bersangkutan.
2.            Tindakan Bagi Anak Nakal
Beberapa tindaka yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal (Pasal 24 ayat (1) ialah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997) adalah:
1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asu
2. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, atau
3. Menyerahkan kepada departemen sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
            Selain tindakan tersebut, Hakim dapat memberi teguran dan menetapkan syarat tambahan. Teguran adalah peringatan dari Hakim baik secara langsung terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali, atau orang tua asuhnya agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatan. Syarat tambahan itu misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada pembimbiing kemasyarakatan. (vide penjelasan Pasal 24 ayat (2).
            Penjatuhan tindakan oleh Hakim dilakukan kepada kepada anak yang melakukan pembuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain. Namun terhadap anak yang melakukan tindak pidana, Hakim menjatuhkan pidana pokok dan atau pidana tambahan atau tindakan.
            Dalam segi usia, pengenaan tindakan terutama bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) tahun samapi 12 (dua belas) tahun. Terhadap anak yang telah melampaui umur 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Hal itu dilakukan mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.
            Jenis tindakan yang dapat dijatuhkan kepda anak berdasar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 24 ayat (1) ternyata lebih sempit (sedikit) apabila dibandingkan dengan rumusan Rancangan KUHP baru. Rumusan pengenaan tindakan terhadap anak (Pasal 132 Rancangan KUHP) adalah:
a.         Pengembalian kepada orang tua, wali atau pengasuhnya
b.        Penyerahan kepada pemerintah atau seseorang
c.         Keharusan menngikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta
d.        Pencabutan surat izin mengemudi
e.         Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
f.         Perbaikan akibat tindak pidana
g.        Rehabilitasi dan atau,
h.        Perawatan di dalam suatu lembaga[12]








KASUS PEMBUNUHAN DI PASAR BINTAN CENTRE

Tersangka        : A Hiang/ Kie Hai/ Apek koboy
Korban                        : A bak/ Tjia Mei
Waktu             : 4 Oktober 2010 sekitar pukul 04.00 WIB.
Tempat            : Pasar Bestari Bintan Center
Modus             : cek-cok mulut dan rasa kesal yang berkepanjangan

  1. Kronologi Kasus
            Kejadian diawali dengan cekcok mulut saat dagangan mulai dipersiapkan. Ketika itu, A Hiang sedang duduk di kedai kopi. Dari kejauhan A Hiang melihat Tjiang Ming alias A Bak sedang memindahkan kayu untuk menggantung kantong plastik miliknya.
            A Hiang mendatangi A Bak dan menanyakan tentang pemindahan gantungan kantong plastik tersebut, A Bak mengungkapkan bahwa gantungan kantong plastik itu mengenai gantungan plastik miliknya. Cekcok mulut pun terjadi hingga A Bak mengeluarkan bahasa kotor dalam bahasa Cina.
            Mendengar bahasa kotor tersebut, A Hiang naik darah dan mengambil parang yang berada di dekatnya dan mendaratkan ke batang leher sebelah kiri A Bak hingga mengeluarkan darah segar.
            A Bak berusaha melarikan diri dengan membalikkan badannya. Tapi tebasan kedua kalinya hinggap di kepalanya dan lalu tersungkur di lantai. Setelah menebas leher A Bak dan meninggalkannya dalam kondisi bersimbah darah, A Hiang mendatangi Polsek Tanjungpinang Timur yang berada di depan Pasar Bestari.
            A Hiang mengatakan ke petugas jaga bahwa ia baru saja membunuh orang dengan parang yang masih berada di tangannya.





  1. Analisa Kasus
Berdasarkan kasus di atas kami menganalisis bahwa tersangka A Hiang/ Kie Hai/ Apek koboy, melakukan pembacokan sebanayk dua kali terhadap korban A bak/ Tjia Mei, bacokan pertama tidak menyebabkan kematian karena hanya mengenai leher dari korban sedangkan bacokan kedua yang dilayangkan oleh tersangka terhadap korban telah menyebabkan korban meninggal di tempat kejadian perkara (TKP) karena mengenai kepala dari si korban.
Pembunuhan yang dilakukan oleh tersangka masuk dalam Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan.
“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”
Dari Pasal di atas jika dikaitkan dengan kasus, maka sudah jelas bahwa tersangka memang dengan sengaja ingin menghilangkan nyawa korban (membunuh) korban, karena pada saat korban sudah terkena bacokan yang pertama yaitu di lehernya, korban masih bisa bangun dan melarikan diri dari tersangka tetapi tersangka malah mengejar korban dan kembali membacok korban di kepalanya sehingga korban jatuh ke lantai dan bersimbah darah dan korban seketika itu meninggal di tepat kejadian perkara.
Setelah melakukan pembunuhan tersebut tersangka langsung pergi ke kantor polisi terdekat untuk menyerahkan dirinya ke pihak yang berwajib dengan menceritakan semua yang telah tersangka lakukan yaitu tersnagka telah melakukan pembunuhan. Dari tindakan yang dilakukan oleh tersangka yaitu dia langsung menyerahkan diri kepada pihak yang berwajib dapat dikatagorikan sebagai tindakan yang tepat dan dapat meringankan hukuman yang akan dijatuhkan terhadap tersangka, tetapi dalam UU hal tersebut memang tidak diatur.
Dengan tindakan yang dilakukan oleh tersangka yang telah menghilangkan nyawa seseorang maka hal ini dapat di kategorikan sebagai jenis pidana pokok, jenis pidana pokok di sini ada lima, tetapi dalam kasus di atas maka jenis pidana yang dapat di jatuhkan kepada tersangka adalah pidana penjara.
Bentuk dari pidana penjara ini merupakan jenis pidana di mana terpidana harus dimasukkan dalam Lembaga Permasyarakatan (LP) yang sudah disediakan seperti halnya dengan KUHP juga menganut pola pidana penjara seumur hidup dan penjara untuk waktu tertentu.
Dalam hal ini tersangka memang harus di masukkan ke dalam LP karena telah melakukan pembunuhan dan harus dihukum penjara kurang lebih lima belas tahun (15 tahun) dan dapat berubah sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh Hakim yang mengadili.


























BAB III
PENUTUP

            Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup manusia yang memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan ketentraman hidup bagi masyarakat. Oleh karena itulah, hukum mengenal adanya adagium ibi societes ibi ius.
            Dalam hal pemidanaan, KUHPidana telah mengklasifikasikan beberapa jenis Pidana yang terdapat pada Pasal 10, yang berupa :
A.    Pidana pokok terdiri dari:
1.      Pidana Mati
2.      Pidana Penjara
3.      Pidana Kurungan
4.      Pidana Denda
B.     Pidana Tambahan terdiri dari:
1.      Pencabutan Hak-hak Tertentu
2.      Perampasan Barang-barang Tertentu
3.      Pengunguman Putusan Hakim
            Sebuah pro dan kontra atau pertentangan pendapat yang masih terus berlangsung dalam domain hukum pidana sebagaimana tersebut di atas ialah mengenai keberadaan lembaga pidana mati baik dalam kedudukan sebagai hukum positif maupun dalam upaya pembaharuan hukum pidana sebagai bagian dari hukuman (pidana).  Sebagaimana diketahui eksistensi lembaga pidana pidana mati



DAFTAR PUSTAKA

Chamzawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: Grafindo Persada, 2005

Darmodiharjo, Darji, Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, , 1995.

Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2005

Sahetapy, J.E., Pidana Mati dalam Negara Pancasila, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2007.

Syaifullah, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana. 2004.

Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.




[1] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 73.
[2] Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 5-6.
[3] J.E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila,( Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2007), h. 5-6.
[4] Adami Chamzawi, Pelajaran Hukum Pidana 1 (Jakarta: Grafindo Persada, 2005), h. 32.
[5] Syaifullah, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana. 2004, h. 42-43
[6] Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan (jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 18-19.
[7] Adami Chamzawi, Pelajaran Hukum Pidana , h. 43-44.
[8] Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, h. 12-13.
[9] Syaifullah, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana. 2004, h. 45.
[10] Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar grafika, 2004) h. 23
[11] Saifullah, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana, (Malang, 2004) h. 45
[12] Bambang, Pidana dan Pemidanaan, h. 22-28

Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot