Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Kamis, 29 Oktober 2015

MAKALAH ALIRAN-ALIRAN KALAM - METODOLOGI STUDI ISLAM

Oktober 29, 2015
084


A.     ALIRAN-ALIRAN KALAM
Menurut Ibn Khaldun, Ilmu kalam adalah Ilmu berisi tentang alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan Ahli Sunnah. Selain itu ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Dalam ilmu kalam membahas tentang cara ma’rifat (mengetahui secara mendalam) yakni tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-nya dengan menggunakan dalil-dalil yang pasti guna mencapai kebahagiaan hidup abadi. Ilmu ini termasuk induk ilmu agama dan paling utama, bahkan paling mulia, karena berkaitan dengan zat Allah dan zat para rasul-nya.
Adapun Aliran-aliran ilmu kalam diantaranya:
1.      Khawarij.
Khawarij Berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Pada awalnya, Khawarij merupakan aliran atau fraksi politik, kelompok ini terbentuk karena persoalan kepemimpinan umat islam, tetapi mereka membentuk suatu ajaran yang kemudian menjadi ciri umat, aliran mereka yaitu ajaran tentang pelaku dosa besar (murtakib al-kaba’ir). menurut Khawarij orang-orang yang terlibat dan menyetujui hasil tahkim telah melakukan dosa besar. Orang islam yang melakukan dosa besar, dalam pandangan mereka berarti telah kafir, kafir setelah memeluk Islam berarti murtad dan orang murtad halal dibunuh berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa nabi muhammad saw bersabda: Man baddala dinah faktuluh, atas dasar premis-premis yang dibangunnya Khawarij berkesimpulan bahwa orang yang terlibat dan menyetujui tahkim harus dibunuh. Bagi mereka, pembunuhan terhadap orang-orang yag dinilai telah kafir adalah ibadah.
2.      Murji’ah
Kelompok Murji’ah yang dipelopori oleh Ghilam Al-Dimasyqi berpendapat mereka bersifat netral dan tidak mau mengkafirkan para sahabat yang terlambat dan menyetujui tahkim dalam ajaran aliran ini, orang islam yang melakukan dosa besar tidak boleh dihukum kedudukannya dengan hukum dunia. Mereka tidak boleh ditentukan akan tinggal di neraka atau di surga, kedudukan mereka ditentukan di akhirat. Dan bagi mereka Iman adalah pengetahuan tentang Allah secara mutlak. Sedangkan kufur adalah ketidaktahuan tentang Tuhan secara mutlak, iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Imam Al-Syahrastani menjelaskan bahwa Murji’ah terbagi menjadi 6 subsekte.
3.      Qodariah
Qodariah adalah aliran yang memandang bahwa Manusia memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidupnya. menurut paham ini manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. aliran ini disebut Qadariyah karena memandang bahwa manusia memiliki kekuatan (qudrah) untuk menentukan perjalanan hidupnya dan untuk mewujudkan perbuatannya.menurut temuan sementara ajaran ini pertamakali dikenalkan oleh Ma’bad al-Juhani karena tidak terdapat bukti yang otentik tentang siapa yang pertama kali membentuk ajaran Qadariyah.
4.      Jabariyah
Menurut aliran ini manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidup dan mewujudkan perbuatannya, mereka hidup dalam keterpaksaan ( jabbar), karena aliran ini berpendapat sebaliknya,  bahwa dalam hubungan dengan manusia, tuhan itu maha kuasa.karena itu, tuhanlah yang menentukan perjlanan hidup manusia dan yang mewujudkannya. Ajaran ini dipelopori oleh Al-ja’d bin Dirham.
5.      Mu’tazilah
Mu’tazilah secara etimologi berasal dari kata a’tazala yang berarti mengambil jarak atau memisahkan diri. Secara terminologi adalah aliran theologi Islam yang memberi porsi besar kepada akal atau rasio di dalalm membahas persoalan-persoalan ketuhanan.kelompok ini banyak menggunakan kekuatan akal sehingga diberi gelar Kaum Rasionalis Islam dan dikenal dengan nama Muktazilah yang didirikan oleh Washil bin Atha.muncul akibat kontroversi yang terjadi dikalangan ummat islam setelah perang saudara antara pihak Ali bin Abi Thalib melawan Zubayr dan Thalhah.
Ajaran pokok aliran Muktazilah adalah panca ajaran atau Pancasila Muktazilah, yaitu :
a.       Ke-Esaan Tuhan (Al-Tauhid)
b.      Keadilan Tuhan (Al-Adl)
c.       Janji dan ancaman (Al-Wa’d wa Al-Wa’id)
d.      osisi antara 2 tempat (Al-Manzilah bainal Manzilatain)
e.       Amar ma’ruf nahi munkar (Al-Amr bil Ma’ruf wa An-Nahy’an Al-Munkar).

6.      Ahlu sunnah wal jama’ah
Ahu sunnah wal jama’ah terbentuk akibat dari adanya penentangan terhadap aliran Muktazilah oleh orang Muktazilah itu sendiri, mereka adalah Abu al-Hasan, Ali bin Isma’il bin Abi basyar ishak bin Salim bin isma’il bin abd Allah bin Musa bin Bilal bin Abi burdah amr bin Abi musa al-asy’ari.Imam al-asy’ari (260-324 H), menurut Abubakar isma’il al-Qairawani adalah seorang penganut Muktazilah selama 40 tahun kemudian ia menyatakan keluar dari muktazilah. setelah itu ia mengembangkan ajaran yang mengimbangi terhadap gagasan–gagasan Muktazilah.
Ajaran pokok Ahlu sunnah wal jama’ah tidak sepenuhnya sejalan dengan gagasan Imam al-asy’ari. Para pelanjutnya antara lain Imam abu manshur al-maturidi yang kemudian mendirikan aliran Maturidiyyah yang ajarannya lebih dekat dengan muktazilah. Imam al- maturidi pun memiliki pengikut yaitu al-bazdawi yang pemikirannya tidak selamanya sejalan dengan gagasan gurunya. Oleh karena itu para ahli menjelaskan bahwa maturidiah terbagi menjadi dua golongan:
a.       Golongan Maturidiah Samarkand, yaitu para pengikut Imam al-maturidi.
b.      golongan Maturidiah Bukhara,yaitu para pengikut Imam al-bazdawi yang tampaknya     
              lebih dekat dengan ajaran al-asy’ari.
B.     ALIRAN-ALIRAN FIQIH
              Secara historis, hukum Islam telah menjadi dua aliran pada zaman sahabat Nabi Muhammad saw. Dua aliran tersebut adalah Madrasat al-Madinah dan Madrasat al-Baghdad atau Madrasat al-Madis dan Madrasat al-Ra’y. Ibnu al-Qayim al-Jauziyyah menyebutnya sebagai Ahl al-Zhahir dan Ahl al-Ma’na. Aliran Madinah terbentuk karena sebagian besar sahabat tinggal di Madinah, dan aliran Bagdad atau Kufah juga terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di kota tersebut. Maka, atas jasa para sahabat Nabi Muhammad saw yang tinggal di Madinah, terbentuklah fuqaha sab’ah (ahli hukum) yang juga mengajarkan dan mengembangkan gagasan guru-gurunya dari kalangan sahabat. Di antara fuqaha sab’ah adalah Sa’id bin al-Masayyab.
Salah satu murid Said bin al-Musayyab adalah Ibnu Syihab al-Zuhri. Sedangkan di antara murid Ibnu Syihab al-Zuhri adalah Imam Malik, pendiri aliran Maliki. Di antaranya, ajaran Imam Malik yang paling terkenal adalah ia menjadikan ijma dan amal ulama Madinah sebagai hujah. Jasa sahabat Nabi Muhammad saw, yang tinggal di Bagdad, terbentuklah aliran ra’yu. Di antara sahabat yang tinggal di Kufah adalah Abd Allah bin Mas’ud, muridnya adalah al-Aswad bin Yazid al-Nakha’i, Amir bin Syarahil al-Sya’bi, dan Abu Hanifah pendiri mazhab Hanafi. Salah satu ciri fiqih Abu Hanafiah adalah sangat ketat dalam penerimaan Hadis dan banyak menggunakan ra’yi. Di antara pendapatnya adalah bahwa bendak wakaf boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan, kecuali wakaf tertentu karena ia berpendapat bahwa benda yang telah diwakafkan masih tetap menjadi miliki yang mewakafkan. Istimbath al-ahkam yang digunakannya adalah analogi (qiyas) ia menganalogikan wakaf kepada pinjam-meminjam (al-‘ariyyah).
Setelah melalui perkembangan panjang, produk hukum mengkristal menjadi mazhab-mazhab fiqih yang tetap bertahan dan diikuti sampai saat ini. Ulama-ulama fikih mengembangkan dua pendekatan yang berbeda terhadap fikih. Satu didasarkan kepada pemikiran (ra’yi) dan analogi (qiyas). Pendekatan ini diwakili oleh ulama-ulama Iraq. Satunya, produk hukum didasarkan pada sunnah, tradisi-tradisi Nabi. Pendekatan kedua diwakili oleh ulama-ulama Hijaz, dan di kalangan orang-orang Iraq, terdapat sedikit hadis, karena itu mereka lebih menonjol menggunakan pendekatan analogi, sehingga mereka disebut ahlu al ra’yi. Tokoh-tokoh Kufah (Irak) yang menjadi pusat mazhab dari jama’ah dan sahabat adalah imam Hanafiah. Sedangkan di Hijaz adalah Malik bin Annas, dan sesudahnya asy Syafi’i.
Sejalan dengan perkembangan hukum, telah melalui proses yang panjang dan kemudian produk hukumnya mengkristal menjadi mazhab-mazhab fiqih yang tetap bertahan dan diikuti sampai saat ini, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Pertama, Abu Hanifah al-Nu’man ibnu Sabit, berasal dari keturunan Persia dan lahir di Kufa pada tahun 700 M. Ayahnya bekerja sebagai pedagang dan Abu Hanifah sendiri sambil berdagang mementingkah ilmu pengetahuan. Abu Hanifah belajar pada gurunya Hammad, dan setelah gurunya Hammad meninggal dunia, Abu Hanifah menggantikan tempat yang ditinggalkan gurunya itu. Setelah Abu Hanifah menjadi masyhur, kepadanya jabatan resmi ditawarkan di zaman Dinasti Bani Umayyah dan kemudian juga di zaman Dinasti Bani Abbas. Tetapi kedua tawaran tersebut di tolah oleh Abu Hanifah dan atas penolakannya itu akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dan meninggal dunia di tahun 767 M.
Mazhab Hanafi, merupakan mazhab yang resmi digunakan oleh kerajaan Usmani dan di zaman Bani Abbas banyak dianut di Irak. Sekarang penganut mazhab itu banyak terdapat di Turki, Suriah, Afganistan, Turkistan, dan India. Beberapa negara masih memakai mazhab ini sebagai mazhab resmi seperti Suria, Lebanon, dan Mesir.
Malik ibnu Anas, lahir di Madinah pada 713, dan meninggal pada tahun 795 M dan berasal dari Yamam. Malik, tidak pernah meninggalkan kota itu kecuali untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Karya besar yang ditinggal Malik, bernama al-Muwatta suatu buku yang sekaligus merupakan buku hadis dan buku fiqih. Khalifah Harun al-Rasyid, berusaha membuat buku ini sebagai buku hukum yang berlaku untuk umum di zamannya, tetapi tidak disetujui oleh Malik. Dalam perkembangan pemikiran hukumnya, Malik banyak berpegang pada sunnah Nabi dan sunnah Sahabat. Dalam hal adanya perbedaan antara sunnah, ia berpegang pada tradisi yang berlaku di masyarakat Medinah, karena ia berpendapat bahwa tradisi yang terbentuk di Medinah berasal dari sahabat, dan tradisi sahabat lebih kuat dipakai sebagai sumber hukum. Dalam proses menetapkan hukum, apabila Malik, tidak dapat memperoleh dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, Malik, memakai qiyas dan al-masalih al-mursalah, yaitu masalah umum. Mazhab Malik, banyak dianut di Hijaz, Maroko, Tunis, Tripoli, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, dan Kuwait, yaitu di dunia Islam sebelah Barat dan kurang di dunia Islam sebelah Timur.
Ketiga, Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, lahir di Gaza tahun 767 M dan berasal dari suku bangsa Quraisy, meninggal di Mesir pada tahun 820 M. Ia meninggalkan pekerjaannya dan tinggal di Baghdad beberapa tahun untuk mempelajari ajaran-ajaran hukum yang ditinggalkan Abu Hanifah, maka ia mengenal secara dekat fiqih Malik dan fiqih Abu Hanifah. Pada memikiran hukumnya, al-Syafi’i dikenal meninggalkan dua bentuk mazhab, yaitu bentuk bantuk baru dan bentuk lama. Bentuk lama disusun di Baghdad dan terkandung dalam al-Risalah, al-Umm, dan al-Mabsut. Bentuk baru disusun di Mesir dan disini al-Syafi’i, merubah sebagian dari pendapat-pendapat lama. Dalam pemikiran hukumnya, al-Syafi’i, berpegang pada lima tidak diketahui adanya perselisihan mereka di dalamnya, pendapat yang dalamnya terdapat perselisihan dan qiyas atau analogi. al-Syafi’i, banyak memakai sunnah Nabi sebagai sumber hukum, bahkan membuat sunnah dekat derajatnya dengan al-Qur’an. Pemikiran Istihsan yang dibawa Abu Hanifah dan pemikiran al-masalih al-mursalah oleh Malik, ditolak oleh al-Syafi’i sebagai sumber hukum. Dalam perkembangannya, al-Syafi’i lah ahli hukum Islam pertama yang menyusun ilmu usul al-fiqh, ilmu tentang dasar-dasar hukum dalam Islam, sebagai terkandung dalam buku al-Risalah. Mazhab imam al-Syafi’i banyak berkembang dan dianut didaerah pedesaan Mesir, Palestina, Suriah, Libanon, Irak, Hijaz, India, Indonesia, dan juga di Persia dan Yaman.
Ke empat, Ahmad ibnu Hambal, lahir di Bagdad tahun 780 M berasal dari keturunan Arab dan ia meninggal di Bagdad pada tahun 855 M. Dalam pemikiran hukumnya, Ahmad ibn Hambal menggunakan lima sumber, yaitu al-Qur’an, sunnah Nabi, pendapat sahabat yang diketahui tidak mendapat tantangan dari sahabat lain, pendapat seseorang atau beberapa sahabat, dengan syarat sesuai dengan al-Qur’an serta sunnah Nabi, hadis mursal, dan qiyas, tetapi hanya dalam keadaan terpaksa. Penganut mazhab Ahmad ibnu Hambal, terdapat di Irak, Mesir, Suria, Palestina, dan Arabia. Di Saudi Arabia mazhab Ahmad ibnu Hambal merupakan mazhab resmi dari negara. Dilihat dari sisi pengikutnya, diantara keempat mazhab yang ada sekarang, mazhab Ahmad ibn Hambal termasuk paling kecil penganutnya.


C.     ALIRAN-ALIRAN TASAWUF
Dari segi kebahasaan (linguistik) terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. harun nasution menyebutkan ada lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (abl al-sufafab), yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari mekkah ke madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan salat berjama’ah, sufi yaitu bersih dan suci, shophos (bahasa yunani: hikmah), dan suf (kain wol kasar).
Aliran-aliran dalam tasawuf terbagi kepada 5 bagian, yaitu:
1.      Tasawuf Akhlaki
Menurut Amin Syukur,  ada dua Aliran dalam Tasawuf. Pertama, Aliran Tasawuf sunni, yaitu bentuk Tasawuf yang memagari dirinya dengan al-quran dan al-hadis secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqammat (tingkat kerohaniaan) mereka pada dua sumber tersebut. Kedua, Aliran Tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat komprom, dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan Tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan juga tidak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai filsafat.
Para ahli Tasawuf pada umumnya membagi Tasawuf menjadi tiga bagian yakni: Tasawuf falsafi, akhlaqi, dan amali. Tujuan Tasawuf ini sama, namun berbeda dalam pendekatan yang digunakan:
a.       Pendekatan Tasawuf falsafi adalah rasio/akal pkiran, yakni menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat dikalangan para filosof, seperti filsafat tentang tuhan, manusia, dan hubungan manusia dengan tahun.
b.      Pendekatan Tasawuf akhlaqi adalah pendekatan yang terdiri dari takhalli (yang mengosongkan diri dari akhlak yang buruk), tahalli ( menghiasi dengan akhlak yang terpuji), tajalli (terbukanya dinding penghalang) yang membatasi manusia dengan tuhannya.
c.       Pendekatan taswuf amali adalah pendekatan amali wirid , yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat.

2.      Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah rasio (akal pikiran), yakni menggunakan bahan-bahan atau kajian atau pemikiran yang terdapat di kalangan para filosof, seperti filsafat tentang tuhan, manusia, dan hubungan manusia dengan tuhan. Tasawuf falsafi merupakan tindak lanjut dari pemikiran mutakallimin yang membaur dengan filsafat metafisika. Pada tingkat awal ia merupakan upaya menjembatan aqidah dengan filsafat, maka kaum sufi berusaha membuat formulasi baru yang mempertemukan pemikiran dengan perenungan terutama pada konsep etika, estetika, dan kesatuan wujud. Konsep etika disosialisasikan dengan rasa ingin tahu terhadap tuhan, sehingga perlu menghindar dari keduniaan.
Secara etimologi istilah filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan. kata falsafah (arab), philoshopy (inggris), philosopia (latin) semua istilah itu bersumber pada istilah yunani philosophia. Istilah yunani philen berarti mencintai, sedangkan philos berarti teman. Selanjutnya istilah sophos berarti bijaksana, sedangkan Sophia berarti kebijaksanaan.
Dengan demikian ada dua arti filsafat secara etimologi. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu kepada philein dan shopos, maka berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana. Kedua, apabila filsafat mengacu kepada kata philos dan Sophia, maka artinya adalah teman kebijaksanaan (kebijaksanaan dimaksudkan sebagai kata benda).
a.       Ciri-Ciri Filsafat
Melalui filsafat diidentifikasikan masalah-masalah tertentu (yang semula menimbulkan keragu-raguan), kemudian diusahakan mencapai penyelesaiannya. Bersifat berarti mencari kebanaran, dari kebenaran untuk kebenaran, tentang segala sesuatu yang dipermasalahkan, dengan berfikir secara radikal, sistematik, universal.
Berfikir radikal yaitu berfikir sampai ke akar-akarnya, dan tidak kepala tanggung, hingga kepada konsekuensi-konsekuensi terakhir. Sistematik yaitu secara teratur dan tersusun sehingga merupakan pengertian yang sistematis, dan bahwa pendalaman mengenai hakikat sesuatu itu disertai pembuktian yang dapat diterima akal dari tersusun berjalain dan dapat dipertanggungjawabkan. Universal yaitu berfikir secara keseluruhan dan tidak hanya bagian-bagian tertentu saja. Misalnya berfikir tentang hujan, bukanlah sebatas hujan yang kemaren atau hari ini, tapi seluruh yang terjadi beberapa hari yang lewat.



b.      Sumber-Sumber Filsafat
Sumber filsafat itu dimulai dari ketakjuban, dengan keheranan. Hanya manusia yang dapat takjub, yang menjadi subjek adalah manusia yang menjadi objeknya segala sesuatu yang tidak jelas yang belum ada hukumnya.
c.       Tujuan Filsafat untuk Mencari Kebenaran
Para filosof mencari kebenaran filsafat adalah untuk meluruskan benang yang basah dan sebagainya, Ia mencari kebenaran itu demi kebenaran itu sendiri. Dari itu filosof adalah orang yang berani dalam berfikir, ia berani menyaksikan kenyataan yang dihadapinya, warisan (adat, anggapan, umum, kepercayaan, dan pengetahuan). Pikiran ilmuan membatasi diri pada peristiwa hujan yang tadi sebagai contohnya, dari yang terbatas yaitu khusus, bergerak pada umum inilah pemikiran filsafat.

3.      Tasawuf Sunni
Tasawuf sunni banyak berkembang di dunia Islam, terutama di negara-negara yang dominan bermazhab Syafi’i. Tasawuf ini sering digandrungi orang karena paham atau ajaran-ajarannya tidak terlalu rumit.
a.       Ciri-ciri Tasawuf Sunni yaitu:
            Melandaskan diri padaAl-quran dan As-Sunnah, tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan Syathahat. lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. kesinambungan antara hakikat dengan syari’at. lebih terkonsentrasi pada pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan-latihan) dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.
Tasawuf sunni ialah Aliran tasaawuf yang berusaha memadukan aspek hakikat dan syari’at, yang senantiasa memelihara sifat kezuhudan dan mengkonsentrasikan pendekatan diri kepada allah, dengan berusaha sungguh-sugguh berpegang teguh terhadap ajaran al-Qur’an, Sunnah dan Sharah para sahabat. Dalam kehidupan sehari-hari para pengamal Tasawuf ini berusaha untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat keduniawian, jabatan, dan menjauhi hal-hal yang dapat mengganggu kekhusyukan ibadahnya.
Latar belakang munculnya ajaran ini tidak telepas dari pecekcokan masalah aqidah yang melanda para ulama fiqh dan Tasawuf lebih-lebih pada abad kelima hijriah Aliran syi’ah al-islamiyah yang berusaha untuk memngembalikan kepemimpinan kepada keturunan ali bin abi thalib.
Dimana syi’ah lebih banyak mempengaruhi para sufi dengan doktrin bahwa imam yang ghaib akan pindah ketangan sufi yang layak menyandang gelar waliyullah, dipihak lain para sufi banyak yang dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme yang memunculkan corak pemikiranTasawuf falsafi yang tentunya sangat bertentangan dengan kehidupan para sahabat dan tabi’in. dengan ketegangan inilah muncullah sang pemadu syari’at dan hakikat yaitu Imam Ghazali.
Salah satu tokoh Tasawuf sunni adalah Hasan al-Basri adalah seorang sufi angkatan tabi’in, seorang yang sangat taqwa, wara’ dan zahid. Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan ibnu Abi al-Hasan. Lahir di Madinah pada tahun 21 H tetapi dibesarkan di Wadi al-Qura. Setahun sesudah perang Shiffin dia pindah ke Bashrah dan menetap di sana sampai ia meninggal tahun 110 H. setelah ia menjadi warga Bashrah, ia membuka pengajian disana karena keprihatinannya melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah terpengaruh oleh duniawi sebagai salah satu akses dari kemakmuran ekonomi yang dicapai negeri-negeri Islam pada masa itu. Gerakan itulah yang menyebabkan Hasan Basri kelak menjadi orang yang sangat berperan dalam pertumbuhan kehidupan sufi di bashrah. Diantara ajarannya yang terpenting adalah zuhud serta khauf dan raja’.
Dasar pendiriannya yang paling utama adalah zuhud terhadap kehidupan duniawi sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi.
Prinsip kedua Hasan al-Bashri adalah al-khouf dan raja’. Dengan pengertian merasa takut kepada siksa Allah karena berbuat dosa dan sering melalakukan perintah-Nya. Serta menyadari kekurang sempurnaannya. Oleh karena itu, prinsip ajaran ini adalah mengandung sikap kesiapan untuk melakukan muhasabah agar selalu memikirkan kehidupan yang akan datang yaitu kehidupan yang hakiki dan abadi.

4.      Tasawuf Syi’i
Tasawuf syi’i atau syiah. Kaum syiah merupakan golongan yang dinisbatkan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib. Dalam sejarahnya, setelah perang shiffin, orang-orang pendukung fanatik Ali memisahkan diri dan banyak berdiam di daratan Persia, dan di Persia inilah kontak budaya antara Islam dan Yunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa disini.
Oleh karena itu, perkembangan Tasawuf syi’i dapat di tinjau melalui kaca mata keterpengaruhan Persia oleh pemikiran-pemikiran filsafat Yunani.
Ibnu Khaldun dalam AL-Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan syi’ah denganTasawuf, Ibnu Khaldun melihat kedekatan Tasawuf filosofis dengan sekte Isma’iliyyah dari Syiah. Sekte ini menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan pada imam mereka. Menurutnya kedua kelompok ini memiliki kesamaan, khususnya dalam persoalan quthb dan abdal. Bagi para sufi filosof quthb adalah puncaknya kaum ‘arifin, sedangkan abdal merupakan perwakilan.
Ibnu Khaldun menyatakan doktrin seperti ini mirip dengan doktrin Isma’iliyyah tentang imam dan para wakil. Begitu juga dengan pakaian compang-camping yang disebut-sebut berasal dari imam Alina mustahil ada dua cahaya utama secara bersamaan. Pensucian akhlak dapat digambarkan dengan salah satu dari tiga jalan berikut ini, dimana masing-masing jalan ini bagi setiap orang tidaklah mudah.
Jalan pertama: Adanya hubungan dengan seorang ruhaniawan suci yang telah tersucikan jiwa dan akhlaknya. Dengan kekuatan jiwa dan bimbingan paripurna, ia akan menjauhkan seluruh sifat jelek dan akhlak buruk darinya. Dan hal ini tidak mungkin kecuali dengan inayah dan pertolongan jiwa suci Wali Ashr Ajf.
Jalan kedua: Yang mungkin bagi kita, meskipun berat dan sulit adalah sekali dalam sehari semalam atau sekali dalam sepekan, kita duduk merenungi dan memikirkan nikmat-nikmat Tuhan yang ada disekitar kita.Hingga dengan sendirinya (secara fitrawi) terbukti bahwa nikmat-nikmat Tuhan mustahil untuk dapat dihitung. Hal ini bisa menyebabkan munculnya usaha yang patut dan layak dalam mensyukuri nikmat-nikmat Tuhan. Namun, kesulitan pada bentuk ini adalah ketidak sucian jiwa yang menjadi penghalang manusia dalam mengikuti cara dan gagasan seperti ini, karena itu jalan ini pun adalah sulit.
Jalan ketiga adalah dengan membentuk majelis-majelis nasehat dan akhlak serta dengan dukungan kehendak jiwa yang kuat sembari mengingat nikmat-nikmat Tuhan, kita kenalkan pendengaran hati kita pada hal-hal yang demikian ini.
Dan kondisi-kondisi ini butuh kesinambungan, karena itu jika pengadaannya hanya sekali dalam sebulan atau sekali dalam setahun saja maka tidak akan pernah mencapai hasil sebab jiwa kita mesti senantiasa didesak untuk mengulangi bahasan-bahasan ini hingga menjadi kesenangan baginya. Kesimpulannya, pemilik bashirah dapat mendapatkan nikmat agung ini melalui satu di antara tiga jalan tersebut.


5.      Tasawuf Iluminasi
Selanjutnya konsep Filsafat Iluminasi yang dibangunnya juga merupakan sebuah kritik epistemologis terhadap kaum paripatetik yang selalu mengajukan formula-formula dalam memahami hakikat ketuhanan. Kaum paripatetik selalu menggunakan ‘Ilm al-Hushuli sebagai epistemologinya, sementara itu bagi Suhrawardi epistemologi kaum paripatetik tidak mampu memberikan pengetahuan yang sejati.
Pengetahuan hushuli terbagi ke dalam dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama diperoleh dengan memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris. Melalui indra yang dimiliki, manusia mampu menangkap dan menggambarkan segala objek indrawi sesuai dengan justifikasi indrawi yaitu melihat, mendengar, meraba, mencium dan merasa. Kedua diperoleh melalui sarana daya pikir (observasi rasional), yaitu upaya rasionalisasi segala objek rasio dalam bentuk spiritual (ma’qulat) secara silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui kepada hal-hal yang belum diketahui.
Sementara itu untuk melawan epistemologi kaum paripatetik, Suhrawardi memperkenalkan epistemologi Hudhuri atau pengetahuan dengan kehadiran (observasi rohani) yaitu pengetahuan yang bersumber langsung dari pemberi pengetahuan tertinggi berdasarkan musyahadat (pengungkapan tabir) dan iluminasi. Konsep ilmu hudhuri ini dikembangkan Suhrawardî dengan penekanan pada aspek ketekunan dalam mujahadat, riyadhat dan ibadah dari pada memaksimalkan fungsi rasio, atau dengan kata lain ilmuh hudhuri lebih menekankan olah dzikir dari pada olah pikir.
Konsep epistemologi Hudhuri ini dimulainya dengan menjelaskan hakikat cahaya. Menurut Suhrawardi, cahaya adalah sesuatu hal yang tak perlu dijelaskan atau diterangi lagi karena ia sudah terang dengan sendirinya. Selanjutnya cahaya ini terbagi pada dua jenis yaitu pertama cahaya murni atau Nur Al-Mujarrad yang merupakan cahaya yang berdiri sendiri dan cahaya temaram atau Nur Al-Aridh yang merupakan cahaya yang tidak mandiri.

Konsep epistemologis inilah yang akhirnya memberikan pengetahuan pada manusia yaitu dengan memaksimalkan oleh dzikirnya agar tetap dekat dengan Tuhan atau Nur al-Anwar dan mendapatkan Iluminasi pengetahuan. Selain itu Suhrawardi menegaskan bahwa disamping ada dasar pengetahuan akan tetapi pengetahuan yang sebenarnya ialah sesuatu yang datang dari dalam dirinya sendiri dalam makna lahir dari pengenalan terhadap dirinya sendiri, hal inilah yang dalam ajaran Tasawuf dikenal dengan ma’rifah. Dalam tradisi Tasawuf, ma’rifah adalah konsep tertinggi dalam perjalanan manusia yang dalam hal ini juga berarti pengetahuan yang Ilahi. Dari sini cahaya dipancarkan kepada setiap orang yang dikehendaki-Nya yaitu melalui pengungkapan tabir yang akhirnya terpatri dalam diri manusia dan dengan sadar menghilangkan keragu-raguan.
Read More

Rabu, 28 Oktober 2015

Makalah Pengertian Tarikh Tasyri' - Sejarah perkembangan Hukum Islam di Dunia

Oktober 28, 2015





A.  Pengertian Tarikh Tasyri’
Sebagai mana telah kita pelajari sebelumnya dari mata kuliah tarikh tasyri’ ini. Tarikh berasal dari kata تأريخا، يورخ، ارخ  yang berarti menentukan waktu terjadinya peristiwa.
Sedangkan tasyri’ berasal dari kata شريعة، يشرع، شرع  yang berarti menuju kesumber, syari’ah memiliki arti umum yaitu sumber mata air dan juga jalan yang lurus.

Jadi yang dimaksud dengan tarikh tasyri’ adalah sejarah pembinaan atau pembentukan hukum. Tarikh tasyri’ akan mengkaji hukum sampai akhir zaman nanti.

B.  Tarikh Tasyri’ Periode Modern
Pada umumnya, penetapan hukum dizaman sahabat himgga sekarang tidaklah jauh berbeda. Jika para sahabat menyelesaikan suatu permasalahan hukum dengan al-qur’an, hadits, ijma’ dan juga qiyas juga seterusnya hingga masa imam mazhab dan taqlid. Pada masa periode modern tidak jauh berbeda dengan masa-masa yang telah terdahulu dalam menetapkan suatu hukum.
Dizaman serba modern ini, kemajuan pesat yang terjadi dalam bidang pengetahuan dan teknologi menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam segala bidang kehidupan manusia. Jika pada masa awal Islam berperang masih mengunakan pedang, sekarang sudah mengunakan senjata canggih. Begitu juga dengan trasportasi, pada awal mula Islam. Jelasnya dengan kemunculan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak sekali muncul hal baru dalam kehidupan manusia dan menimbulkan perubahan-perubahan baru dalam masyarakat, baik perubahan struktur sosial dan munculnya masalah-masalah baru seperti masalah transfusi darah, bayi tabung dan lain-lainnya perlu diatur dan diselesaikan sesuai dengan kaidah islam. Agar agama Islam mampu menghadapi perkembangan zaman, maka hukum Islam perlu dikembangkan dan pemahaman tentang islam harus terus menerus diperbaharui dengan memberikan penafsiran-penafsiran terhadap nash syara’ dengan cara menggali kemungkinan atau alternatif dalam syari’at yang diyakini bisa menjawab masalah-masalah baru. Jadi, pembaharuan hukum Islam dimaksudkan agar hukum Islam tidak ketinggalan zaman dan mampu menjawab pertanyaan yang berkesinambungan di dalamnya.
Tasyri’ sempat redup pada masa periode taklid, tapi bukan berarti pada saat itu tidak ditetapkannya segala hukum islam. Namun pada masa itu mereka hanya mengikutu dari hukum islam yang terdahulu (yang diterapkan oleh imam mazhab). Setelah itu, tepatnya pada abad ke-19 M penetapan akan hukum islam mulai bangkit. Masa itu yang disebut dengan masa periode kebangkitan dan seterusnya periode modern.[1]
C.  Tanda-tanda Kebangkitan Tasyri’ Diera Modern
Tanda-tanda kebangkitan hukum islam pada masa modern dapat kita lihat pada sistem berikut ini :
1. Sistem mempelajari dan menuliskan hukum islam
Kebangunan hukum islam pada masa modern banyak bergantung kepada cara mempelajarinya. Yakni mempelajari hukum-hukum syara’ dengan berbagai pendapat tentang satu persoalan dan alasannya masing-masing, serta aturan-aturan dasar yang menjadi pegangannya. Kemudian pendapat-pendapat tersebut diperbandingkan satu sama lain, untuk dipilih pendapat mana yang lebih benar dan diperbandingkan pula dengan hukum positif. Disana tidak hanya satu madzab yang dikaji dan dipelajai akan tetapi keempat aliran hukum ahlusunnah wal jama’ah. Memang para fuqaha masa-masa dulu sudah mengenal sistem perbandingan hukum dengan menyebutkan pendapat berbagai ulama mujtahidin meskipun dalam bentuk yang sederhana. Akan tetapi semenjak abad ke-4 Hijriah dengan mengecualikan karya Ibnu Rusyd yang sangat bernilai yaitu bidayatul mujtahid, perbandingan tersebut hanya bermaksud untuk mengadakan pembelaan terhadap pendapat imam yang dianutnya dan mengusahakan melemahkan pendapat imam yang lain. Oleh karena itu, maka tidak ada penguatan suatu pendapat atas pendapat lain karena kekuatan dalil itu sendiri. Selanjutnya kemungkinan untuk mencari pendapat yang lebih tepat dan lebih sesuai dengan rasa keadilan orang banyak tidak ada lagi. Karena penguatan salah satu pendapat dalam hukum islam hanya terjadi dalam lingkungan satu madzab.
Sistem perbandingan dalam pembahasan hukum pada masa modern, terlepas dari pendirian sesuatu aliran hukum tertentu, atau dari pembelaan terhadapnya. Kajian ini didasarkan pada kesungguhan dalam mempelajari berbagai pendapat yang berkembang tentang satu persoalan, dengan menjelaskan pendapat setiap mazhab, kemudian mendiskusikannya dan barulah diketahui pendapat yang paling kuat dalilnya dan mampu mewujudkan kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat.
Dengan adanya perubahan-perubahan dalam sistem mempelajari dan menuliskan hukum-hukum islam seperti tersebut diatas, maka kita dapat menyisihkan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam hukum islam selama ini dan menunjukkan wajahnya yang sebenarnya, sebagaimana kita bisa menghadapi kehidupan ini dengan segala peristiwanya yang terjadi untuk menerapkan hukum islam atas peristiwa-peristiwa tersebut.
2. Kedudukan hukum islam dalam perundang-undangan
Usaha-usaha perundang-undangan negara sebenarnya sudah pernah dilakukan beratus-ratus tahun yang lalu, seperti yang pernah dibuat oleh Ibnu Muqaffa’ pada abad ke-2 hijriyah, dimasa khalifah Abbasiyah. Ia pernah mengirim surat kepada khalifah Al-Mansur untuk menbuat undang-undang yang diambil dari Al-qur’an dan sunnah, dan apabila tidak ada nash dari keduanya dapat diambil dari fikiran dengan syarat bisa mewujudkan rasa keadilan dan kepentingan orang banyak. Surat tersebut dikirim karena adanya perbedaan pendapat antara para fuqaha dan hakim dalam memutuskan suatu masalah yang sama. Akan tetapi surat tersebut tidak mendapatkan sambutan yang cukup pada masa itu karena para fuqaha tidak mau memaksa orang untuk mengikuti pendapat-pendapatnya, serta memperingatkan murid-muridnya untuk tidak berfanatik buta serta mengingatkan bahwa ijtihad-ijtihad yang dilakukan bisa kemasukan salah.[2]
Usaha lain telah dilakukan oleh khalifah Mansur dimana ia sedang pergi haji dan singgah dimadinah, kemudian ia meminta Imam Malaik untuk membuat ilmu fiqh dan menuliskan tentang buku-buku ilmu tersebut. Khalifah Harun ar-Rasyid pernah meminta agar kitabnya al-Muwatta’ untuk disebar diseluruh negeri serta menjadi pedoman dalam peradilan dan fatwa, namun Imam Malik menolak karena dirinya tidak lebih berhak dari fuqaha-fuqaha sebelumnya maka dari itu pendapatnya tidak bisa dipaksakan untuk orang banyak. Dalam fatwa Imam Malik bersandar pada kitab Allah untuk pertama kalinya, kemudian kepada as-sunnah. Tetapi beliau mendahulukan amalan penduduk Madinah dari pada hadis ahad kalau terbukti membedainnya.
Pada abad ke-11 hijriah, Sultan Muhammad alamkir(1038-1118), salah seorang raja India, membentuk suatu panitia yang terdiri dari ulama-ulama India terkenal dengan diketuai syekh Nazzan. Panitia tersebut diberi tugas untuk membuat satu kitab yang menghimpun riwayat-riwayat yang disepakati oleh madzab Hanafi, kitab tersebut diberi nama: ‘’Al-Fatawi al-Hidayah’’.
Meskipun kitab tersebut bersifat setengah resmi, namun tidak mengikat para hakim dan pemberi fatwa. Dan dari segi penyusunan bab-babnya tidak memadai susunan buku undang-undang, melainkan merupakan kitab fiqh biasa yang berisi persoalan-persoalan yang benar-benar terjadi atau yang diperkirakan bisa terjadi. Sesudah menyebutkan berbagai pendapat tentang suatu persoalan, kemudian diikuti oleh pilihan pahitnya terhadap pendapat yang dianggapnya kuat.[3]
Usaha nyata untuk menempatkan ketentuan-ketentuan hukum Islam dalam perundang-undangan Negara baru terwujud dengan munculnya buku ‘’Majalatul Ahkam al-Adliyyah’’ dan Qanunul ‘Ailaat (undang-undang) dari turki, yang menjadi tanda permulaan masa kebangkitan hukum islam.
D.  Keadaan atau Kedudukan Tasyri’ Diera Modern
Pada saat ini banyak pemandangan yang sering kita lihat tidak hanya dibarat, bahkan didunia muslim saat ini telah banyak mengalami perubahan dari segala bidang. Baik itu yang berasal dari dunia muslim itu sendiri maupun dari luar. Diera modern yang banyak mengalami perubahan dan perlu adanya pembaharuan hukum islam. Namun dalam pembaharuan hukum islam tidak boleh merubah hukum islam yang ada, artinya kita hanya boleh menetapkan hukum baru yang belum ada pada masa Rasul dan sahabat, sedangkan hukum yang telah ada tidak boleh dirubah ataupun diperbaharui. Pembaharuan hukum islam terdiri dari dua kata, yaitu ‘’pembaharuan’’ yang berarti modernisasi, atau suatu upaya yang dilakukan untuk mengadakan atau menciptakan suatu yang baru, dan ‘’hukum islam’’ yakni koleksi daya upayapara ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini hukum islam lebih didekatkan dengan fiqih, bukan syariat.[4]
Dari hal diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa hukum islam itu harus dinamis, sehingga tidak luput dari perubahan. Untuk melakukan suatu pembaharuan hukum islam zaman modern yang penuh dengan anggapan ataupun kesalah pahaman tentang pemahaman yang harusnya tidak dipermasalahkan lagi dalam agama kita ini maka harus ditempuh melalui metode.
E.   Pembaharuan Tasyri’ (hukum) Pada Periode Modern
Pembaharuan hukum islam di dunia islam pada abad modern secara garis besar dapat dikategorikan menjadi tiga pola. Pola pertama adalah pola pembaharuan yang berorientasi pada peradaban Barat. Pada dasarnya pola ini berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kemajuan yang telah dicapai dunia Barat merupakan hasil perkembangan ilmu penegetahuan dan teknologi modern. Pola kedua adalah pembaharuan pada sumber Islam murni. Pola pembaharuan ini berpandangan bahwa sesungguhnya islam sendiri merupakn sumber peradaban serta ilmu pengetahuan modern. Islam sendiri merupakan ajaran yang pada hakikatnya mengandung potensi membawa kemajuan budaya dan kesejahteraan hidup bagi umat manusia, dan hal ini telah dibuktikan pada masa kejayaan peradaban islam. Pola ketiga adalah pola pembaharuan yang beroirientasi pada nasionalisme.  Pada dasarnya ide nasionalisme berasal dari dunia Barat, yangt memandang bahwa setiap bangsa mempunyai potensi sendiri yang memungkinkan berkembang sistem dan lingkunag budaya yang lebih maju, baik dari sisi potensi sumber daya manusia, kesejarahan, maupun potensi lingkungan.
Ibrahim Husen seorang ahli hukum islam mengajukan beberapa metode untuk pembaharuan hukum islam (tasyri’) pada periode modern, antara lain:
1. Pemahaman atau pengkajian terhadap Al-qur’an
Untuk mengadakan pembaharuan hukum islam, hal ini dilakukan dengan direkontruksi dengan jalan mengartikan al-qur’an dalam konteks dan jiwanya. Pemahaman melalui konteks beerarti mengetahui asbab an-nuzul . sedangkan pemahaman melalui jiwanya berarti memperhatikan makna subtansi ayat tersebut. Perlu ditekankan bahwa al-qur’an adalah sumber hukum yang pertama dan utama sebagaimana yang diungkapkan Allah dalam surat an-Nisa ayat 105:
2. Pemahaman terhadap hadits (sunnah)
Sunah adalah sumber kedua dalam syariah maupun fiqh. Ia juga memberikan dasar bagi munculnya hukum baru. Pemahaman baru terhadap sunah, dapat dilakukan dengan mengklasifikasi sunah, sebagaimana Rasulullah dalam rangka menetapkan suatu hukum dan bagaimana pula dilakukan selaku manusia biasa sebagai sifat basyariyah. Sunah baru dapat dijadikan pegangan wajib apabila dilakukan dalam rangka menetapkan hukum. Sedangkan yang dilakukan sebagaimana manusia biasa tidak wajib diikuti, seperti kesukaann Rasulullah kepada makanan yang manis, pakaian yang beerwarna hijau dan sebagainya. Disamping itu sebagaimana Al-qur’an, sunah juga harus difahami dari segi jiwa dan semangat atau subtansi yang terkandung didalamnya.
3. Pendekatan ta’aqquli (rasional)
Ulama’ zaman dahulu menerima rukun islam dilakukan dengan taabbudi yang menerima hukum islam apa adanya tanpa komentar, sehingga kwalitas illat hukum dan tinjauan filosofinya banyak tidak terungkap. Oleh karena itu pendekatan ta’aqquli harus di tekankan dalam rangka pembaharuan hukum islam (ta’abbudi dan ta’aqquli). Dengan pendekatan ini illat hukum hikmahat-tashih dapat dicerna umat islam terutama dalam masalah kemasyarakatan.

4. Penekanan zawajir (zawajir dan jawabir) dalam pidana
Dalam masalah hukum pidana ada unsur zawajir dan jawabir. Jawabir artinya dengan hukum itu dosa atau kesalahan pelaku pidana akan diampuni dosanya oleh Allah. Dengan memperhatikan jawabir ini hukum pidana harus dilakukan sesuai dengan nash, seperti pencuri yang harus dihukumi dengan potong tangan, pezina muhsan yang dirajam, dan pezina ghairu muhsan yang didera. Sedangkan zawajir adalah hukum yang bertujuan untuk membuat jera pelaku pidana sehingga tidak menggulanginya lagi. Dalam pembaharuan hukum islam mengenai pidana, yang harus ditekankan adalah zawahir dengan demikian hukum pidana tidak terikat pada apa yang tertera dalam nash.
5. Masalah ijma’
Pemahaman yang terlalu luas terhadap ijma’ dan keterkaitan kepada ijma’ harus dirubah dengan menerima ijma’ sharih, yang terjadi dikalangan sahabat (ijma’ sahabat) saja, sebagaimana yang dikemukakan oleh syafi’i kemungkinan terjadinya ijma’ sahabat sangatlah sulit, sedangkan ijma’ sukuti masih diperselisihkan. Disamping itu ijma’’ yang dipedomani haruslah mempunyai sandaran qath’i yang pada hakikatnya kekuatan hukumnya bukan kepada ijma’ sendiri, tetapi pada dalil yang menjadi sandarannaya.
6. Masalik al-‘illat (cara penetapan illat)
Kaidah-kaidah yang dirumuskan untuk mendeteksi illat hukum yang biasa dibicarakan dalam kaitan dengan kias. Dalam kaidah pokok dikatakkan bahawa ‘’hukum beredar sesuai dengan illatnya’’. Ini ditempuh dengan merumuskan kaidah dan mencari serta menguji illat yang benar-benar baru.
7. Masalah mursalah
Dimana ada kemaslahatan disana ada hukum Allah SWT adalah ungkapan yang populer dikalangan para ulama. Dalam hal ini masalah mursalah dijadikan sebagai dalil hukum dan berdasarkan ini, dapat ditetapkan hukum bagi banyak masalah yang baru yang tidak disinggung oleh Al-qur’an dan sunah.
8. Sadd az-zari’ah
Sadd az-zari’ah berarti sarana yang membawa kehal yang haram. Pada dasarnya sarana itu hukumnya mubah, akan tetapi karena dapat membawa kepada yang maksiat atau haram, maka sarana itu diharamkan. Dalam rangka pembaharuan hukum islam sarana ini digalakkan.
9. Irtijab akhalf ad-dararain
Dalam pembaharuan hukum islam kaidah ini sangat efektif untuk pemecahan masalah baru. Umpamanya perang dibulan muharram hukumnya haram, tetapi karena pihak musuh menyerang, maka boleh dibalas dengan berdasarkan kaidah tersebut, karena serangan musuh dapat menggangu eksistensi agama islam.
10. Keputusan waliyy al-amr
Atau disebut juga ulil amri yaitu semua pemerintah atau penguasa, mulai dari tingkat yang terendah sampai tingkat yang tertingi. Segala peraturan undang-undang wajib ditaati selagi tidak bertentangan dengan agama. Hukum yang tidak dilarang dan tidak diperintahkan hukumnya mubah. Contohnya, pemerintah atas dasar masalah mursalah menetapkan bahwa pembatasan umur calon mempelai laki-laki dan peremuan yaitu perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.[5]
Pembaharuan hukum islam dimaksudkan agar ajaran islam tetap ada dan diterima oleh masyarakat modern. Untuk mengembalikan aktualitas hukum islam atau menjembatani ajaran teoritas dalam kitab-kitab fiqih hasil pemikiran mujtahid dengan kebutuhan masa kini. Tujuan diadakannya pembaharuan dalam hukum islam yaitu Memberikan kebijakan, Membuat atura tambahan, Talfiq (meramu) dan Melakukan reinterpretasi dan reformulasi.[6]
F.   Para Ulama Pada Masa Periode Modern
Adapun beberapa ulama (mujtahid) pada masa periode modern adalah:
1.      Sultan Mahmud II (1758-1838), dari turki.
2.      Rasyid Ridha( 1865-1935 ).
3.      Muhammad Abduh (1849- 1905 ).
4.      Jamaluddin Al-Afghani ( 1839-1897).
5.      At-Tahtawi (1801-1873 ).
6.      Muhammad Ali pasya ( 1795- 1849 ).
G.  Mengulas sedikit hasil dari diskusi kelompok
Sebagaimana kita telah mengetahui dari diskusi yang telah lalu, bahwasanya awal mulanya bangkit tasyri’ (periode kebangkitan) adalah pada abad 13 M, hingga abad 18 M. Dan kemudian dari abad 19 M sampai dengan sekarang itu adalah yang disebut dengan periode modern. Tidak jauh berbeda para ulama dalam menetapkan hukum diperiode kebangkitan dengan periode modern. Karena pada dasarnya para ulama menentukan hukum itu dari Al-qur’an dan sunnah, begitu juga dengan qiyas dan juga ijma’. Dan kemudian mereka berijtihad apabila tidak menemukan nashnya.
Pada periode modern ini, tidak semua ulama memiliki pendapat yang sama. Karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat beberapa ulama berbeda pendapat anatara satu sama lain. Di Indonesia misalnya, penetapan 1 syawal dan 1 ramadhan sering kali berbeda penetapan antara kalangan Ahlussunnah waljama’ah dengan kalangan Muhammaddiyah. Begitu juga dalam hal lain sebagainya. Jadi, salah satu jalan untuk meyakini perbedaan tersebut adalah dengan cara kepercayaan.
Jadi setiap ada permasalahan hukum islam yang timbul pada zaman modern ini, para ulama harus paham betul atas permasalah tersebut, dan melakukan ijtihad atas permasalahan tersebut.

























BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dizaman modern seperti ini telah mengalami berbagai kemajuan dibeberapa bidang, hal tersebut menyebabkan perlu adanya pembaharuan dibidang tasyri’ (hukum) Islam,  supaya hukum Islam tidak ketinggalan zaman. Tanda-tanda kebagkitan hukum Islam dimasa ini dapat kita lihat pada tiga sistem yaitu: sistem mempelajari dan menuliskan hukum Islam, kedudukan hukum Islam dan penilaian orang-orang orientalis terhadap hukum Islam.
Dalam pembaharuan hukum islam tidak boleh merubah hukum islam yang ada, artinya kita hanya boleh menetapkan hukum baru yang belum ada pada masa Rasul dan sahabat, sedangkan hukum yang telah ada tidak boleh dirubah ataupun diperbaharui. Tujuan diadakannya pembaharuan dalam hukum islam yaitu Memberikan kebijakan, Membuat atura tambahan, Talfiq (meramu) dan Melakukan reinterpretasi dan reformulasi.
B.  Saran
Sekian makalah dari saya, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kritik dan saran dari anda sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.







[1] . Harun Nasution, Pembaharuan dalam islam: Sejarah pemikiran dan Gerakan ( Jakarta : Bulan Bintang , 1995 ), hlm. 18
[2] Mubarak, jaih, sejarah dan perkembangan hukum islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003).hlm 105
[3] Khalil Rasyad Hasan, Tarikh Tasyri’, ( Jakarta: Amzah,2009). hlm 76
[4] Safiuddin, Tarikh tasyri’ sejarah pembentukan hukum islam, (Jakarta: Amri), hlm 84
[5] Mubarak, jaih, sejarah dan perkembangan hukum islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2003), hlm 53
[6] Muhammad zuhri, terjemah tarikh tasyri’ al-islami, (Semarang: Darul Ihya,1997), hlm 117
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot