ariefraihandi
Desember 19, 2015
0
A. Faktor-faktor perkembangan tasyri’
periode mazhab
Berdasarkan sejarah Islam, bahwa munculnya mazhab-mazhab fiqh pada periode ini merupakan puncak dari perjalanan kesejarahan tasyri’. Bahwa munculnya mazhab-mazhab fiqh itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hukum Romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.
Fenomena perkembangan tasyri’ pada
periode ini, seperti tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah, kebebasan
berpendapat, banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, bahwa tasyri’
memiliki keterkaitan sejarah yang panjang dan tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan lainnya.[1]
Seperti contoh hukum
yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah masa
‘iddah wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya.
Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu munculnya mazhab
dalam sejarah terlihat adanya pemikiran fiqh dari zaman sahabat, tabi’in hingga
muncul mazhab-mazhab fiqh pada periode ini pendapat tersebut, sehingga
munculnya mazhab-mazhab yang dianut.[2]
Di samping itu, adanya
pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya
mazhab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong,
diantaranya:[3]
1) Karena
semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum Islammenghadapi berbagai
macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
2) Munculnya
ulama-ulama besar pendiri mazhab-mazhab fiqh berusaha menyebarluaskan
pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat study tentang
fiqih, yang diberi nama al-Madzhab atau al-Madrasah yang
diterjemahkan oleh bangsa Barat menjadi school, kemudian usaha
tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.
3) Adanya
kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari
ulama-ulama mazhab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga pemerintah (khalifah)
merasa perlu menegakkan hukum Islam dalam pemerintahannya.
4) Permasalahan
politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal tentang masalah politik
seperti pengangkatan khalifah-khalifah dari suku apa, ikut
memberikan saham bagi munculnya berbagai mazhab hukum Islam.
B. Mazhab-Mazhab
Fiqh (dasar pemikiran dan perkembangannya)
1. Mazhab Hanafi
a. Biografi Imam Abu
Hanifah
Mazhab Hanafi merupakan
mazhab yang paling tua diantara empat mazhab Ahli Sunnah Wal Jamaah yang
populer. Mazhab ini dinisbahkan kepada Imam Besar Abu Hanifah An-Nu’man bin
Tsabit bin Zutha At-Tamimy, lahir di kuffah tahun 80 H dan wafat di Baghdad
pada tahun 150 H.[4]
Imam Abu Hanifah
seorang yang berjiwa besar dalam arti kata seorang yang berhasil dalam hidupnya,
dia seorang yang bijak dalm bidanng ilmu pengetahuan, tepat dalm memberikan
suatu keputusan bagi suatu masalah atau peristiwa yang dihadapi.[5]
Karena ia seorang yang
berakhlak atau berbudi pekerti yang luhur, ia dapat menggalang hubungan yang
erat dengan pejabat pemerintah, ia mendapat tempat yang baik dalam masyarakat
pada masa itu, sehingga beliau telah
berhasil menyandang jabatan atau gelar yang tertinggi yaitu, Imam Besar (Al
Imam Al-‘Adham) atau ketua agung.[6]
Beliau hidup selama 52
tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman Abbasyiah. Selama hidupnya ia
melakukan ibadah haji lima puluh lima kali. Beliau diberi gelar Abu Hanifah,
karena di antara putranya ada yang bernama Hanifah. Selain itu, menurut riwayat
lain beliau bergelar Abu Hanifah, karena beliau begitu taat beribadah kepada
Allah, yaitu berasal dari bahasa Arab "haniif yang artinya condong
atau cenderung kepada yang benar. Menurut riwayat lain, beliau diberi gelar Abu
Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau berteman dengan tinta. Hanifah
menurut bahasa Irak adalah tinta.
Pada awalnya Imam
Hanafi (Abu hanifah) adalah seorang pedagang, atas anjuran al-Syabi ia kemudian
menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran Irak (ra’yu).
Semua ilmu yang di pelajari bertalian dengan keagamaan. Mula-mula beliau
mempelajari hukum agama, kemudian ilmu kalam. Akan tetapi, difokuskan kepada
masalah fiqh saja, tanpa mengecilkan arti ilmu yang lain, dan Abu Hanifah
sendiri memang sangat tertarik mempelajari ilmu fiqih yang merangkum berbagai
aspek kehidupan.
b. Guru Imam Abu Hanifah
Beliau
berguru dengan seorang ulama terkemuka pada zamannya, yaitu Hammad bin Sulaiman
yang merupakan guru paling senior bagi Imam Abu Hanifah dan banyak memberikan
pengaruh dalam membangun mazhab fiqhnya. Imam Abu Hanifah juga belajar dari tabi’in seperti ‘Atha’ bin Abi Rabah,
dan Nafi’ pembantunya Ibnu Umar.
c. Fiqh Imam Abu Hanifah dan metodologinya
dalam Istinbat Hukum
Fiqh Imam Abu Hanifah memiliki cara
yang modern dan manhaj tersendiri
dalam kancah perfiqihan dan tidak ada sebelumnya. Imam Asy-Syafi’I berkata,
“Semua orang dalam hal fiqh bergantung kepada Imam Abu Hanifah.” Imam Malik
setelah berdiskusi dengan Imam Abu Hanifah berkata, “sungguh ia seorang yang
ahli fiqh.”
Imam Abu Hanifah memiliki manhaj tersendiri dalam meng-istinbat hukum. Beliau pernah berkata,
“Saya mengambil dari kitab Allah, jika tidak ada maka dari sunnah Rasulullah
dan jika tidak ada pada keduanya saya akan mengambil pendapat sahabat. Saya
memilih salah satu dan meninggalkan yang lain, dan saya tidak akan keluar dari
pendapat mereka dan mengambil pendapat orang lain, dan jika sudah sampai kepada
pendapat Ibrahim, Asy-Sya’bi , Al-Hasan, Ibnu Sirin dan sa’id Al- Musayyib maka
saya akan berijtihad seperti mereka berijtihad.
Dari penjelasan di atas dapat kita
simpulkan bahwaManhaj Imam Abu
Hanifah dalam meng-istinbat hukum
adalah sebagai berikut.
a. Alquran,
b. Sunnah
c. Pendapat sahabat
d. Qiyas
e. Al- istihsan
f. Ijma’
g. Al-‘urf (adat-istiadat)
d. Perkembangan
mazhab Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah
meninggalkan tiga karya besar yaitu: fiqh akbar, al-alim wa al-muta’lim dan
musnad fiqh akbar tetapi belum dikodifikasikan. Di samping itu Ia mendirikan
membentuk badan yang terdiri dari tokoh-tokoh cendekiawan yang ia sendiri
sebagai ketuanya. Badan ini berfungsi memusyawarahkan dan menetapkan ajaran
Islam dalam berbagai bentuk tulisan dan mengalihkan syariat Islam kedalam undang-undang.
Kemudian
murid-murid Abu Hanifah yang berjasa di Madrasah Kufah dan membukukan fatwa-fatwanya
sehingga dikenal di dunia Islam antara lain ialah:
a. Abu
Yusuf Ya’cub ibn Ibrahim al-Anshary.
b. Muhammad
ibn Hasan al-Syaibany.
c. Zufar
ibn Huzail ibn al-Kufy.
d. Al-Hasan
ibn Ziyad al-lu’lu’iy.
Dari
keempat murid tersebut yang yang banyak menyusun buah pikiran Abu Hanifah
adalah Muhammad al-Syaibani yang terkenal dengan al-kutub al sittah (enam
kitab), yaitu:
1. Kitab
al-Mabsuth
2. Kitab
al-Ziyadat.
3. Kitab
al-Jami’ as-Shagir.
4. Kitab
Jami’ al-Kabir.
5. Kitab
al-Sair al-Shagir.
6. Kitab
al-Sair al-Kabir.
Para
pengikutnya tersebar di berbagai negara seperti Irak, Turki, Asia Tengah,
Pakistan, India, Tunis, Turkistan, Syria, Mesir dan Libanon. Madzhab hanafi
pada masa khilafah bani Abbas merupakan madzhab yang banyak dianut oleh umat
Islam dan pada pemerintahan kerajaan Utsmani, madzhab ini merupakan madzhab
resmi negara.
C. Contoh Fiqh yang ada dalam madzhab Hanafi.
C. Contoh Fiqh yang ada dalam madzhab Hanafi.
Dalam
kasus batal atau tidaknya orang yang makan atau minum di siang hari ketika
sedang berpuasa karena lupa. Dalam menetapkan hukum atas permasalahan ini Imam
hanafi menggunakan Istihsan dengan nash (berpalingnya mujtahid dari hukum yang
dikehendaki oleh kaidah umum kepada hukum yang dikehendaki oleh nash). Menurut
qiyas (dalam arti kaidah umum) merusak atau membatalkan puasa karena telah
cacat dan menghilangkan rukunnya. Dan sesuatu yang telah hilang rukunnya
berarti batal. Akan tetapi pada makan di siang hari pada bulan ramadhan karena
lupa dilakukan pemalingan dari hukum batalnya puasa yang dikehendaki oleh
kaidah umum kepada hukum yang dikehendaki oleh nash. Berdasarkan sabda Nabi SAW
dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “orang berpuasa yang
makan atau minum karena lupa, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena
Allahlah yang telah memberinya makan dan minum”. Hadits ini menjelaskan bahwa
orang yang makan atau minum karena lupa tidak membatalkan puasanya. Sehingga
menurut Hanafi, hukum yang dikehendaki oleh hadits inilah yang ditetapkan
terhadap masalah tersebut, bukan hukum yang dikehendaki oleh kaidah umum.
7.
D. MAZHAB HANBALI
a.
BIOGRAFI IMAM HANBALI
Mazhab hanbali di bangun oleh imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad
bin Hanbal bin Hilal bin Asad Asy-Syaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun
164 H dan meninggal di tempat yang sama tahun 241 H. Beliau adalah keturunan
Arab asli dari garis ayah dan ibunya, bernasab kepada kabilah Syaiban. Imam
Ahmad telah diperkenalkan dengan ilmu sejak usia dini, apalagi keluarganya
memiliki kemampuan untuk itu.[7]
b.
Pendidikan Imam Ahmad
Imam Ahmad sudah
mulai belajar Alquran sejak masa kecil,
belajar bahasa Arab dan Hadis, riwayat para sahabat dan tabi’in dan sudah
terliahat tanda kecerdasan sejak usianya masih kanak-kanak, selain itu juga
tekun dalam belajar. Beliau belajar hadis dari para ulama yang ada di Baghdad,
kemudian merantau untuk mencari ilmu ke Basrah, Hijaz, Kufah, dan Yaman bahkan
samapai merantau lima kali ke Basrah dan Hijaz. Di Mekkah ia bertemu dengan
Imam Asy-Syafi’i dan selama rantauannya banyak mendapatkan ujian dan kesulitan.[8]
Diantara perjalanannya
yang paling sulit adalah perjalanan mencario hadis dan mendengar dari perawinya
yang masih hidup, dan merasa tidak cukup hanya menukil dari buku untuk kemudian
disampaikan lagi, tetapi harus bertemu langsunh untuk memastikan periwayatan.
Kecenderungan Imam Ahmad tehadap pelajaeran hadis dan periwayatannya telah
memberi dampak besar baginya untuk memperdalam ilmu fiqh. Setiap hadis uang
dirawayatkan dan fatwa dan keputusan hakim oleh sahabat atau tabi’in yang
dikuasainya,semua menjelma menjadi sebuah pemahaman yang sangat dalam, memberi
Imam Ahmad keahlian fiqh yang besar dan kemampuan menggali sehingga ia menjadi
seorang mujtahid mandiri yang memiliki mazhab tersendiri.[9]
c.
Dasar Mazhab Hanbali
Imam Ahmad mendirikan mazhabnya diu atas lima dasar sebagai
berikut.
a.
Nash Alquran dan Sunnah. Jika ia menemukan nash maka ia akan
menggunakannya dalam berfatwa dan tidak melirik yang lain, tidak mendahulukan
pendapat sahabat daripada hadis yang shahih, atau amalan penduduk Madinah atau
yang lainnya.
b.
Fatwa sahabat yang tidak ada pernentangnya, dan tidak menamakannya
sebagai ijma’, namun beliau menamakannya karena wara’ “saya tidak
menemukan ada yang menentangnya.
c.
Jika para sahabat berbeda pendapat maka beliau akan memilih salah
satunya jika sesuai dengan Alquran dan sunnah, dan tidak mencari pendapat orang
lain.
d.
Menggunakan hadis mursal dan hadist dhaif jika tidak ada dalil lain yang menguatkannya
dan didahulukan daripada qiyas.
e.
Qiyas, jika tidak ada nash dari Alquran dan sunnah, atu pendapat
sahabt atau hadis mursal atau hadis dhaif maka ia baru mengambil qiyas.[10]
d.
Guru Imam Hanbali
Gurunya
yang pertama ialah Abiu Yusuf Yakub bin Ibrahim Al-Qadhi, seorang rekan Abu
Hanifah. Beliau mempelajari daripadanya ilmu fiqh dan hadis, Abu Yasuf adalah
seorang yang dianggap gurunya yang pertama.
Imam
Ahmad mempunyai musnad yaitu Musnad Imam Ahmad ialah kumpulan beberapa hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.[11]
Mazhab Maliki
1. Biografi Pendiri Mazhab Maliki
Mazhab
Maliki didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin ‘Amir Al-Ashbahi, lahir di
Madinah pada tahun 93 H dari kedua orang tua keturunan arab. Ayahnya berasal
dari kabilah Dzi Ashbah yang ada di Yaman, dan ibunya bernama Aliyah binti
Syuraik dari kabilah Azdi.
2. Karir Pendidikan Imam Malik
Beliau
sudah hafal Alqur’an dalam usia yang sangat dini, belajar dari Rabi’ah Ar-Ra’yi
ketika beliau masih sangat muda, berpindah dari satu ulama ke ulama yang lain
untuk mencari ilmu sampai beliau bertemu dan ber-mulazamah dengan Abdurrahman
bin Hurmuz.
Imam
Malik mengawali pelajarannya dengan menekuni ilmu riwayat hadis, mempelajari
fatwa para sahabat dan dengan inilah beliau membangun mazhabnya. Imam Malik
tidak hanya berhenti sebatas itu, beliau mengkaji ilmu yang ada hubungannya
dengan ilmu syariat. Beliau memiliki firasat yang tajam dalam menilai orang dan
mengukur kekuatan ilmu fiqh mereka.
3. Guru Imam Malik
Imam
Malik mendapatkan ilmu fiqh dan sunnah dari para gurunya, diantaranya
Abdurrahman bin Hurmuz, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhriy, Abu
Az-Zannad, Abdullah bin Dzakwan (belajar hadis), Yahya bin Sa’id (belajar ilmu
fiqh dan periwayatan), Rabi’ah bin Abdirrahman, darinya Imam Malik belajar fiqh
logika yang sangat ternama sehingga beliau dijuluki Rabi’ah Logika.
4. Majelis Pengajaran Imam Malik
Beliau
memiliki dua majelis taklim, pertama majelis hadis dan kedua majelis fatwa.
Beliau membuat jadwal khusus untuk fatwa dan hadis, selain ada yang datang
langsung kepada beliau dan sang imam kemudian menuliskan jawabannya untuk siapa
pun yang mau.
Imam
Malik sangat komitmen menjaga kekhusyu’an majelis pengajiannya dan jauh dari
gurauan kata. Dalam memberikan fatwa, Imam Malik hanya akan menjawab masalah
yang sudah terjadi dan tidak melayani masalah yang belum terjadi, meskipun ada
kemungkinan akan terjadi.
Imam
Malik sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, tidak mau menjawab pertanyaan
yang ia tidak tahu. Jika ia tidak dapat memastikan hukum suatu masalah, ia akan
mengatakan saya tidak tahu agar ia terlepas dari salah fatwa, tidak
tergesa-gesa menjawab jika ditanya, dan berkata kepada si penanya, “pergilah
nanti saya lihat dulu”.
Imam
Malik tidak pernah menganggap remeh atau susah masalah yang ditanyakan
kepadanya, tetapi semua dianggap berat apalagi ketika terkait halal dan haram.
5. Murid Imam Malik
Imam
Malik tinggal di kota Madinah dan tidak pernah berpindah, sampai ketika
Khalifah Harun Ar-Rasyid memintanya untuk pergi bersamanya ke Baghdad namun ia
menolak dan lebih memilih tinggal di dekat Nabi dari pada Baghdad dan yang
lainnya.
Lamanya
beliau tinggal di Madinah dan ketokohannya dalam bidang fiqh telah memberi adil
besar bagi tersebarnya mazhab beliau dan banyaknya murid yang datang untuk
belajar dari segala penjuru negeri Islam, dari Syam, Irak, Mesir, Afrika Utara,
dan Andalusia. Semuanya datang untuk berguru kepadanya dan dari merekalah,
mazhabnya kemudian menyebar keseluruh negeri Islam. Di antara muridnya adalah
Abdullah bin Wahab yang berguru kepadanya selama dua puluh tahun dan
menyebarkan mazhab Maliki di Mesir dan Maroko.
Di
antara muridnya adalah Abdurrahman bin Al-Qasim Al-Mishriy, memiliki peranan
penting dalam menulis mazhab Imam Malik, berguru kepada Imam Malik selama
hampir dua puluh tahun, meriwayatkan kitab Al-Muwaththa’ dan periwayatannya
termasuk yang paling shahih dan wafat pada tahun 192 H.
Di
antara murid beliau adalah Asyhab bin Abdul ‘Aziz Al-Qaisi, rujukan kaum
muslimin di Mesir dalam bidang fiqh dan Turnisia yang wafat pada tahun 224 H.
Selain itu ada juga Abu Al-Hasan Al-Qurthubiy, belajar dari kitab Al-Muwaththa’
secara langsung kepada Imam Malik dan menyebarkannya di Andalusia. Selain
murid-murid yang sudah disebutkan di atas sebenarnya masih banyak lagi.
6. Dasar Mazhab Imam Malik
Berdasarkan
penjelasan dan isyarat Imam Malik serta hasil istinbat para fuqaha’ mazhab dari
berbagai masalah furu’iyah yang dinukilkan dan juga pendapat yang ada dalam kitab
Al-Muwaththa’ dapat disimpulkan bahwa dasar mazhab Imam Malik adalah Alqur’an, Sunnah, Amalan
penduduk Madinah, Fatwa sahabat, Qiyas Al-Mashalih Al-Mursalah dan Istihsan,
Sadd Adz-Dzara’i, dan Al-‘Urf (adat istiadat).
Muhammad Idris
As-Syafi’i: (Imam Syafi’i) 767-820 M.
A. Biografi Singkat.
Imam
Syafi’i dilahirkan di Gazah (150 H/ 767 M) dan wafat di Mesir (204 H/ 819 M).
Ia mempelajari Quran pada Islmail ibn Qastantin (qari’ di kota Mekah). Kemudian
ia mempelajari hadits dari Imam Malik di Madinah. Sebelumnya ia pernah belajar
hadits kepada Sufyan ibn Uyainah salah seorang ahli hadits di Mekah.
Tahun 195 H, Imam Syafi’i pergi ke Baghdad dan menetap di sana selama 2 tahun. Setelah itu kembali ke Mekah. Pada tahun 198 H ia kembali lagi ke Baghdad dan menetap di sana beberapa bulan, kemudian pergi ke Mesir dan menetap di sana sampai wafatnya.
5. Pengalaman dan pengetahuan Imam Syafi’i tentang masalah kemasyarakatan sangat luas. Ia menyaksikan langsung kehidupan masyarakat desa dan menyaksikan juga kehidupan masyarakat yang sudah maju peradabannya pada tingkat awal di Irak dan Yaman. Juga menyaksikan kehidupan masyarakat yang sudah sangat kompleks peradabannya seperti yang ada di Irak dan Mesir. Pengetahuan Imam Syafi’i dalam bidang kehidupan ekonomi dan kemasyarakatan yang bermacam-macam itu, memberikan bekal baginya dalam ijtihadnya pada masalah-masalah hukum yang beraneka ragam. Ia belajar hukum fiqih islam dari para mujtahid mazhab Hanafi dan Malik bin Anas. Karena itu pula ia mengenal baik keduua aliran hukum itu baik tentang sumber hukum atau metode yang mereka gunakan dan dapat menyatukan kedua aliran itu serta merumuskan sumber-sumber hukum (fiqih) Islam (baru).
Dalam kepustakaan hukum islam ia disebut sebagai master architect (arsitek agung) sumber-sumber hukum (fiqih) islam karena ia lah ahli hukum islam pertama yang menyusun ilmu usl al-fiqh (usul fiqih) yakni ilmu tentang sumber-sumber hukum fiqih Islam dalam bukunya yang terkenal ar-Risalah Al-Qur’an, Sunah , Ijmak dan Qiyas. Syafi,I banyak menulis buku, diantaranya yang terkenal adalah al-Umm (Induk) dan Ar-Risalah tersebut di atas. Ia terkenal pula mempunyai dua pendapat mengenai masalah yang sama atau hampir bersamaan yang di keluarkannya di dua tempat yang berbeda karena perbedaan waktu, situasi dan kondisi. Pendapat yang dikemukakanya ketika ia berada di Baghdad (Irak) terkenal dengan nama qaul qadim (pendapat lama), dan pendapat yang dikeluarkanya di Kairo (Mesir) di tempat ia meninggal dunia dikenal dengan pendapat baru (qaul jaddid). Disini kelihatan bahwa factor waktu dan tempat mempengaruhi pemikiran dan hasil pemikiran hukum, walaupun sumbernya adalah sama.
Tahun 195 H, Imam Syafi’i pergi ke Baghdad dan menetap di sana selama 2 tahun. Setelah itu kembali ke Mekah. Pada tahun 198 H ia kembali lagi ke Baghdad dan menetap di sana beberapa bulan, kemudian pergi ke Mesir dan menetap di sana sampai wafatnya.
5. Pengalaman dan pengetahuan Imam Syafi’i tentang masalah kemasyarakatan sangat luas. Ia menyaksikan langsung kehidupan masyarakat desa dan menyaksikan juga kehidupan masyarakat yang sudah maju peradabannya pada tingkat awal di Irak dan Yaman. Juga menyaksikan kehidupan masyarakat yang sudah sangat kompleks peradabannya seperti yang ada di Irak dan Mesir. Pengetahuan Imam Syafi’i dalam bidang kehidupan ekonomi dan kemasyarakatan yang bermacam-macam itu, memberikan bekal baginya dalam ijtihadnya pada masalah-masalah hukum yang beraneka ragam. Ia belajar hukum fiqih islam dari para mujtahid mazhab Hanafi dan Malik bin Anas. Karena itu pula ia mengenal baik keduua aliran hukum itu baik tentang sumber hukum atau metode yang mereka gunakan dan dapat menyatukan kedua aliran itu serta merumuskan sumber-sumber hukum (fiqih) Islam (baru).
Dalam kepustakaan hukum islam ia disebut sebagai master architect (arsitek agung) sumber-sumber hukum (fiqih) islam karena ia lah ahli hukum islam pertama yang menyusun ilmu usl al-fiqh (usul fiqih) yakni ilmu tentang sumber-sumber hukum fiqih Islam dalam bukunya yang terkenal ar-Risalah Al-Qur’an, Sunah , Ijmak dan Qiyas. Syafi,I banyak menulis buku, diantaranya yang terkenal adalah al-Umm (Induk) dan Ar-Risalah tersebut di atas. Ia terkenal pula mempunyai dua pendapat mengenai masalah yang sama atau hampir bersamaan yang di keluarkannya di dua tempat yang berbeda karena perbedaan waktu, situasi dan kondisi. Pendapat yang dikemukakanya ketika ia berada di Baghdad (Irak) terkenal dengan nama qaul qadim (pendapat lama), dan pendapat yang dikeluarkanya di Kairo (Mesir) di tempat ia meninggal dunia dikenal dengan pendapat baru (qaul jaddid). Disini kelihatan bahwa factor waktu dan tempat mempengaruhi pemikiran dan hasil pemikiran hukum, walaupun sumbernya adalah sama.
Mazhab
Syafi’I sekarang diikuti di Mesir, Palestina, (juga hukumnya adalah di beberapa
tempat di Syiria dan Libanon, Irak, dan India), Muangthai, Filipina, Malaysia
dan Indonesia. Sumbernya adalah Alquran, Sunah, Ijmak, Qiyas dan Istishab,
yaitu penerusan berlakunya ketentuan hukum yang telah ada, Karena tidak
terlihat adanya dalil yang mengubah ketentuan hukum tersebut.
Guru imam Asy-Syafi’i
Imam Asy-syafi’I
mendapatkan ilmunya dari banyak guru yang tersebar diseluruh negeri islam dan
para fiqaha’ yang tersebar dinegeri itu. Di mekkah beliau belajar dari muslim
bin Khalid Az-zanji, seorang mufti mekkah dan beliau belajar degan nya dalam
waktu yang lama sehingga imam asy-syafi’I dapat menguasainya, bahkan muslim bin
Khalid Az-zanji memberikan izin agar member fatwa. Imam Asy-Syafi’i juga
belajar dari imam Maliki di madinah, mempelajari fiqih penduduk madinah dan
tercatat sebagai murid imam malik. Imam Asy-syafi’I jiga belajar dengan
Muhammad bin al-Hasan Asy-Syaibani, sahabat Imam Abu Hanifah, selain itu beliau
juga mengambil ilmu Sufyan bin Uyainah dan Abdurrahman bin Mahdi. Kesemuanya
memuji Imam Asy-Syafi’I atas keluasan ilmuya.
[1] Mun’im.
A.Sirri, Sejarah Fiqh Islam, Islamabad, Risalah Bush, 1996, hlm 76
[2] ..., hlm 76
[4] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh
Tasyri’, (Jakarta, Hamzah 2015), hlm. 172
[5] Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (jakarta,
Hamzah, 2011), hlm.12.
[6] ..., hlm. 12
[7] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh
Tasyri’, (Jakarta, Hamzah 2015), hlm. 193-194
[8] ..., 194
[9] ..., 195
[10] ..., 195-196
[11] Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (jakarta,
Hamzah, 2011) hlm. 195