ariefraihandi
Februari 07, 2016
0
Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua arah perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku; ada pula tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering di sebut sebagai tasawuf Salafi. Tasawuf Akhlaki, tasawuf Sunni. Tasawuf jenis ini banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasikan ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf jenis kedua banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof, disamping sebagai sufi.
Pembagian
dua jenis tasawuf di atas didasarkan atas kecendrunganajaran yang dikembangkan,
yakni kecendrungan pada pemikiran. Dua kecendrungan ini terus berkembang hingga
masing-masing mempunyai jalan sendiri-sendiri, untuk melihat perkembangan
tasawuf ke arah yang berbeda ini, perlu dilihat lebih jauh tentang gerak
sejarah perkembangannya.
A.
SEJARAH
PERKEMBANGAN TASAWUF SALAFI (AKHLAQI) DAN FALSAFI
1. Pengertian Tasawuf
Tasawuf pada
prinsipnya adalah ilmu yang mempelajari usaha untuk membersihkan diri berjuang
menahan hawa nafsu untuk mendekatkan diri kepada Allah.
a.
Tasawuf Salafi (Akhlaqi)
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori
perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode
tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari
akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperti ini dikembangkan
oleh ulama’ ulama sufi.[1]
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di
lakukan oleh seorang sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku
dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan
akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan
duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan
jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan
tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak
tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar)
maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban
yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat
dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah
dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah
fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang
telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan
butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan
yang luhur- tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih
lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan
yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.[2]
b.
Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada
gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis,
karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh
Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai
tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam
bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang
sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan
juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu
juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus
filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari
kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya
dan luas tentang ide-ide ketuhanan.[3]
2. Sejarah Perkembangan Tasawuf
a.
Abad I-II H
Disebut pula
dengan fase asketisme (zuhud). Pada fase ini terdapat individu-individu dari
kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam hidupnya, yaitu tidak
mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak
beramal untuk hal-hal yang berkaitan dalam kehidupan akhirat, yang menyebabkan
mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan atau tingkah laku yang asketis.
Tokoh yang sangat populer dari kalangan mereka adalah Hasan AL-Bashri (wafat
pada 110 H) dan Rabiah Al-Adawiah (wafat pada 185 H). kedua tokoh ini sebagai
zahid.
b.
Abad ke III H
Pada abad ketiga hijriah, para sufi mulai
menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan tentang jiwa dan tingkah
laku. Perkembangan dan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan
upaya menegakkan moral ditengah terjadinya dekadensi moral yang berkembang saat
itu. Sehingga ditangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral
keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan mereka tentang moral,
akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan tentang
akhlak.
Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini
menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah
dipraktekkan oleh semua orang. Kesederhanaannya dilihat dari kemudahan
landasan- landasan atau alur befikirnya. Tasawuf pada alur yang sederhana ini
kelihatannya banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih tertuju
pada realitas pengamalan Islam dalam praktek yang lebih menekankan perilaku
manusia yang terpuji.
c.
Abad ke IV H
Abad ini di
tandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat di bandingkan dengan pada
abad ke tiga hijriah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya
masing-masing. Akibatnya, kota Baghdad yang hanya satu-satunya kota yang
terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa iu,
tersaingi oleh kota-kota besar lainnya.
Perkembangan
tasawuf di berbagai negeri dan kota tidak mengurangi perkembangan tasawuf di
kota Baghdad. Bahkan, penulisan kitab-kitab tasawuf disana mulai bermunculan,
misalnya Qutubul Qultib Fi Mu’amalatil
Mahbub, yang dikarang oleh Abu Thalib Al-Makky.
d.
Abad ke V H
Pada abad kelima hijriah muncullah Imam
Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima taswuf berdasarkan Al-Quran dan
As-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan
pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf berdasarkan tasawuf dikajinya
dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap
para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. Al-Ghazali berhasil mengenalkan
prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran ahlu sunnah waljama’ah,
dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hajjaj dan Abu Yazid Al-Busthami, terutama
mengenai soal karakter manusia.
e.
Abad ke VI H
Sejak abad keenam hijriah, sebagai akibat
pengaruh keperibadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin
meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi
munculnya para tokuoh sufi yang mengembangkan tarikat-tarikat untuk mendidik
para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (wafat pada tahun 570 H) dan
Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (wafat pada tahun 651 H).[4]
B. Tokoh-Tokoh Tasawuf dan
Konsepnya
a.
Tokoh-tokoh tasawuf Salafi
(Akhlaqi)
·
Hasan Al-Basri (21 H –
110 H)
Konsep
tasawuf Hasan al-Basri adalah raja’ dan
khauf yaitu, anjuran kepada setiap
orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan
seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
·
Al-Muhasibi
(165 H – 243 H)
Konsep
tasawuf Al-Muhasibi adalah makrifat
yaitu harus di tempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan
sunnah. Khauf dan raja’ yaitu pengetahuan tentang janji
dan ancaman Allah sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah
perenungan khauf dan raja’ dapat dilakukan dengan sempurna hanya dengan
berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Wara’ yaitu ketakwaan.
·
Al-Qusyairi
(376 H – 465 H)
Konsep
tasawuf Al-Qusyairi adalah doktrin
Al-Qur’an dan As-Sunnah yaitu tauhid merupakan pemisah hal yang lama dengan
hal yang baru, landasan doktrin-doktrin mereka pun di dasarkan pada dalil dan
bukti serta gamblang.
·
Al-
Ghazali
Konsep
tasawuf Al-Ghazali adalah doktrin
Al-Qur’an dan As-Sunnah yaitu menjauhkan semua kecenderungan gnotis yang
memengaruhi para filosof islam, sekte isma’iliyyah, aliran syiah, ikhwan
ash-shafa dan menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles seperti
emanasi dan penyatuan sehingga tasawuf al-ghazali benar-benar bercorak islam
dan lebih mengutamakan pendidikan moral. Makrifat
yaitu mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan
tentang segala yang ada. As-sa’adah yaitu
kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah kebahagiaan
itu sesuai dengan watak sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya.[5]
b.
Tokoh-tokoh tasawuf falsafi
·
Ibnu’
Arabi (560 H – 638 H)
Konsep
tasawuf Ibn ‘Arabi adalah wahdat al wujud
yaitu wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya
adalah wujud khaliq pula. Haqiqah
muhammadiyah yaitu sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud tuhan
dan dari sini muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya. Wahdatul Adyan yaitu kesamaan agama,
semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah.
·
Al-Jili
(767 H – 805 H)
Konsep
tasawuf Al-Jili adalah insane kamil
yaitu manusia sempurna, bahwa perumpamaan hubungan tuhan dengan insane kamil
adalah bagaikan cermin dimana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk
dirinya, kecuali melalui cermin itu. Maqamat
al-martabah yaitu maqam yang harus di lalui seorang sufi yang menurutnya di
sebut al-martabah (jenjang atau tingkat) tingkat-tingkat itu adalah: islam,
iman, shalah, ihsan, syahadah, shiddiqiyah, qurbah.
·
Ibnu Sab’in (lahir tahun 614 H)
Konsep Ibn Sab’in adalah kesatuan
mutlak yaitu wujud Allah semata, asal segala yang ada pada masa lalu, masa
kini, maupun masa depan. Penolakan
terhadap logika aristoteles yaitu realitas-realitas logika dalam jiwa
manusia bersifat alamiah dan keenam kata logika (genus, species, difference,
proper, accident, person) yang member kesan adanya wujud yang jamak sekedar
ilusi belaka.[6]
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Sejarah perkembangan tasawuf terbagi kepada tiga aliran
Tasawuf, aliran pertama adalah aliran Tasawuf Salafi [Akhlaqi], aliran kedua
adalah aliran tasawuf Falsafi, dan aliran ketiga adalah aliran Tasawuf Syi’i.
Tasawuf aliran pertama mengalami Bereberapa fase yakni Pada abad kesatu dan
kedua hijriyah disebut dengan fase asketisme [Zuhud], Abad ketiga hijriyah fase
terlihatnya perkembangan tasawuf yang pesat, Abad keempat hijriyah fase
kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan abad ketiga
hijriyah, Abad kelima hijriyah fase kemunculan imam Al-Ghazali, fase yang
cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikan ke landasan
Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan Abad keenam hijriyah fase pengaruh tasawuf Sunni
semakin luas ke seluruh pelosok dunia Islam. Aliran kedua yakni aliran Tasawuf
Falsafi disebut pula dengan Tasawuf nazhari, yakni tasawuf yang ajaran-ajarannya
memedukan antara visi mistis dan visi rasional sedbagai pengasasnya. Dan Aliran
ketiga yakni aliran Tasawuf Syi’iatau Syi’ah didasarkan atas ketajaman
pemahaman kaum sufi dalam menganalisis kedekatan manusia dengan Tuhan.
B.
SARAN
Setelah penjelasan dalam makalah ini, sebagai manusia
biasa penulis memohon maaf apabila terjadi kesalahan dalam penjabaran masalah
atau penyimpangan-penyimpangannya. Penulis menerima saran yang sifatnya
membangun untuk kesempurnaan dalam penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar ,Rosihan.Solihin, Mukhtar. 2006.Ilmu
Tasawuf.Bandung:CV PUSTAKA SETIA
Sireger,Rivay.2002.Tasawuf. Jakarta:Rajawali après
Hamka.1986.Tasawuf Perkembangan dan pemurniaanya.Jakarta: PT.CITRA SERUMPUN
PADI
Nata,Abudin. 2003.Akhlak Tasawuf,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
[1]Abu
Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-Taftazani, At-Tashawwuf
Al-islam, hlm, 140. Dan Abdul Azis Dahlan, Tasawuf Sunni dan
Tasawuf Falsafi: Tinjauan Filosofis, dalam jurnal ulumul qur’an, vol. ll, 1991/1411 H. , L-Saf, Jakarta, hlm. 28-32
[4]
Solihin dan Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf,
pustaka setia, Bandung, 2008, hlm. 62-67
[5]
Ibid, hlm. 123-144
[6]
Ibid, hlm. 175-201