Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Rabu, 27 Januari 2016

MAKALAH SEJARAH BERDIRINYA DINASTI ABBASYIAH

Januari 27, 2016 0



A.    Sejarah Berdirinya DAULAH ABBASIYAH

Kekuasaan dinasti Abbasiyah atau khalifah abbasiyah, sebagaimana melanjutkan kekuasaan dinasti bani Umayyah. Dinamakan bani Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturun al- abbas pamannya Nabi Muhammad Saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh oleh Abdullah Al-Saffan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-abbas. Kekuasaan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintah yang diterapkan berbeda-beda     

Menjelang akhir daulah Umayyah I, terjadinya bermacam macam kekacauan yang antara lain disebabkan:
1.        Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya.
2.        Meresahkan kaum muslimin yang bukan bangsa Arab sehingga mereka tidak diberikan kesempatan dalam pemerintahan.
3.        Pelanggaran terhadap ajaran islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan.
Oleh karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan daulah Umawiyah. Gerakan ini menghimpun:
a.         Keturuna Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah;
b.         Keturunan Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim Al-Iman;
c.         Keturunan bangsa Persia pemimpinnnya Abu Muslim Al-Khurasany;
Mereka memutuskan kegiatannnya di Khurasan. Dengan usaha ini, pada tahun 132H/750 M tumbanglah daulah Umawiyah dengan terbunuhnya marwan mulailah berdirinya daulah Abbasiyah dengan diangkatnya Khalifah pertama, Abdullah Bin Muhammad, dengan gelar Abu Al-Abbas Al-Saffah, pada tahun 132-136H /750 -754 M.
Antara daulah Umawiyah dan daulah Abbasiyah terdapat beberapa perbedaan:
1)        Umawiyah masih mempertahankan dan mengagungkan ke Araban murni, baik Khalifah atau pegawai dan rakyatnya. Akibatnya, terjadilah semacam kasta dalam negara yang masih Arab murnimenduduki kelas tertinggi di samping keturunan campuran dan orang asing yang disebut Mawali. Abbasiyah tidak seketat itu lagi, hanya khalifah yang dari Arab sehingga istilah Mawali lenyap, bahkan para menteri, gubernur, panglima dan pegawai diangkat dari golongan Mawali, terutama keturuna Persia.
2)        Ibu kota Umawiyah, Damaskus, masih bercorak adat jahiliyahyang ditaburi oleh kemegahan Byzantium dan Persia. Sedangkan ibu kota Abbasiyah, Baghdad, sudah bercelup Persia secara keseluruhan dan dijadikan kota Internasional.
3)        Umawiyah bukan keluarga Nabi, sedangkan Abbasiyah mendasarkan kekhalifahan pada keluarga (Abbas adalah paman Nabi). Pada awal pergerakannya mereka membentuk gerakan Hasyimiyah yang menghimpunkan keturunan bani Hasyim yang terdiri dari Alawiyah dan Abbasiyah, walaupun pada akhirnya yang menjadi khalifah adalah keturunan Abbas sedangkan keturunan Ali ditindas.
4)        Kebudayan Umawiyah masih bercorak Arab jahiliyah dengan kemegahan bersyair dan berkisah. Sedangkan kebudayaan Abbasiyah membuka pintu terhadap samua kebudayaan yang maju sehingga berasmilasilah kebudayaan Arab, Persia, Yunani dan Hindu.
5)        Khalifah Umawiyah gemar kepada syair dan kasidah seperti zaman kemegahan kesusasteraan Arab jahiliyah. Sedangkan khalifah Abbasiyah, terutama pada masa Abbasiyah I, gemar kepada ilmu pengetahuan akibatnya ilmu pengetahuan menjadi pesat dan bahkan mencapai masa keemasan.
Pada masa daulah Abbasiyah berkali-kali terjadi perubahan corak kebudayaan Islam sesuai dengan terjadinya perubahan di bidang politik ekonomi dan sosial:
1.      Masa Abbasiyah I, semenjak lahirnya daulah Abbasiyah tahun 132 H/1750 M sampai meninggalkan khalifah Al-Wasiq tahun 232 H/847 M.
2.      Masa Abbasy II tahun 232-334 H/847-946 M mulai khalifah Al-Mutawakkil sampai berdirinya daulah Buwaihi di Baghdad.
3.      Masa Abbasy III tahun 334-447 H/946-1055 M, dari berdirinya daulah Bawaihi sampai masuknya kaum Saljuk ke Baghdad.
4.      Masa abbasy IV tahun 447-656 H/1055-1258 M dari masuknya orang-orang Saljuk ke Baghdad ke tangan bangsa Tartar di bawah pemimpin Hulagu.
Politik yang dijalankan oleh daulah Abbasiyah I:
1.      Kekuasaan sepenuhnya dipegang olehg khalifah yang mempertahankan keturunan Arab murni dibantu oleh Wazir, Menteri, Gubernur dan para panglima beserta pegawai-pegawain yang berhasil dari berbagai bangsa dan pada masa ini yang sedang banyak di angkat dari golongan Mawali turunan Persia.
2.      Kota Baghdad sebagai ibu kota  sebagai ibu kota negara, menjadi kegiatan politik, sosial, dan budaya dijadikan sebuah kota internasioanal yang terbuka untuk seluruh bangsa dan keyakinan sehingga berkumpullah disana bangsa-bangsa Arab, Turki, Persia, Romawi, Qibthi, Hindi, Kurdi, dan sebagainya.
3.      Ilmu pengetahuan di pandang sebagai sesuatu yang sangat pentingdan mulia, para khalifah dan para pembesar lainnya membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan para khalifah sendiri pada umumnya adalah ulama yang mencintai ilmu, menghormati sarjana dan memuliakan pujangga.
4.      Kebebasan berpikir diakui sepenuhnya. Pada waktu itu akal dan pikiran dibebaskan benar-benar dari belenggu taklid, kondisi yang menyebabkan orang sangat leluasa mengeluarkan pendapat dalam segala bidang termasuk aqidah, filsafat, ibadah, dan sebagainya.
5.      Para menteri turunan Persia diberikan hak penuh dalam menjalankan pemerintahan sehingga mereka memegang peranan penting dalam membina Tamadun Islam. Mereka sangat mrncintai ilmu dan mengorban kekayaannya untuk meningkatkan kemerdekaan rakyat dan memajukan ilmu pengetahuan.
B.     Khalifah Bani Abbasiyah
Masa proode Abu-Al-abbas, pendiri dinasti ini, sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu pembina abu sebenarnya dari daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far Al-Manshur (754-775). Dia dengan kersa menghadapi lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, Dan Juga Syi’ah yang merasa di kucilkan dari kekuasaan.
Pada awalnya ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah, dekat dengan Kuffah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, Al-Manshur memindahkan ibu kota negara ibu kota yang baru di bangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Catresiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Abbasiyah berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota baru ini Al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahan. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen, Wazir pertama diangkat adalah Khalid bin Barmark, berasal dari Balk, Persia. Juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia juga menunjuk Muhammad  ibn Abd Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara.
Khalifah manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadoci, dan Cicilia pada tahun 756-758 M. 




C.    Periode Daulah Abbasiyah
a.    Priode Pertama (750-847)
Sebagaimana telah kita ketahui daulah Abbasiyah didirikan oleh ibnu Abbas yang sekaligus pendiri dinasti Abbasiyah dikatakan demikian dan dalam daulah Abbasiyah berkuasa dua dinasti lain. Ternyata dia tidak lama dia berkuasa hanya pengembangan dalam arti sesungguhnya dilakukan oleh Abu Ja’far al-Mansyur untuk menunjang langkah menuju masa kejayaan diambil beberapa kebijakan oleh khalifah baru itu seperti memindahkan ibu kota ke Baghdad kota baru yang indah itu yang dibangun di tepi aliran sungai Tigris Efrat sengaja dibangun untuk menjadi ibu kota daulah Abbasiyah. Pada periode pertama, pemerintah Bani Abbas mencapai masa keemasan.
Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik Dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran, masyarakat mencapai tingkat tinggi. Priode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam. Namun menurun priode ini terakhir, pemerintah Bani Abbas mulai menurun bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang. 


b.    Periode Kedua (232 H/ 847 M-334 H/ 945 M)
Kebijakan khalifah al-Mu’tasim (833-842) untuk memilih anasif Turki dalam ketentaraan kekhalifahan Abbasiyah terutama di latar belakangi oleh persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun. Di masa al-mu’tasim (833-842 M) dan khalifah sesudahnya, al-Wasiq (842-847) mereka mampu mengendalikan mereka. Akan tetapi khalifah al-Mutawakkil (847-861) yang merupakan awal dari priode ini adalah seorang khalufah yang lemah. Pada masanya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat setelah al-Mutawakkil wafat mereka telah memilih dan mengangkat khalifah sesuai dengan ke\ehendak mereka dengan demikian bani Abbasiyah tidak mempunyai kekuasaan, meskipun resminya merekalah penguasa.
Usaha untuk melepaskan dari dominasi tentara Turki itu selalu gagal. Adanya persaingan internal di kalangan tentara Turki, mereka memang mulai lemah.
Mulailah khalifah ar-Radi menyerahkan kekuasaan kepada Muhammad bin Raiq, Gubernuh Wasiq dari Bashrah. Disamping itu, Kilalifahi memberikan gelar amirul umara (panglima para panglima). Meskipun dmikian keadaan bani Abbas tidak menjadi lebih baik dari 12 khalifah pada priode ini hanya 4 orang yang wafat wajar, sedangkan selebihnya kalau tidak dibunuh, mereka digulingkan dengan paksa.
Pemberontakan masih bermunculan pada priode ini seperti pemberontakan Zanj di daratan rendah Iraq Selatan dan pembrontakan karamitah yang berpusat di Bahrain. Namun bukan itu semua yang menghambat upaya mewujudkan kekuasaan kesatuan politik daulah Abbasiyah.
c.    Periode Ketiga
Posisi daulah Abbasiyah yang berada dibawah kekuasaan bani Buaihi merupakan ciri utama priode ketiga ini keadaan khalifah sangat buruk ketimbang dimasa sebelumnya. Lebih-lebih karena bani Buaihi menganut aliran Syi’ah. Akibatnya kedudukan khalifah tidak lebih setiap pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu bani Buwaihi membagi kekuasaannya menjadi tiga saudara.
Ali menguasai wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara dan Ahmad menguasai wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahan Islam. Karena telah pindah ke Syiraz dimana berkuasa Ali bin Buwaihi yang memiliki kekuasan bani Buwaihi.
d.   Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/1199 M)
Priode keempat ini ditandai oleh kekuasaan bani Seljuk dalam daulah Abbasiyah. Kehadiran bani seljuk diatas ”undangan” khalifah untuk melumpuhkan kekuatan bani kewibawaannya dalam bidang Agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang-orang syi’ah.
e.    Peiode Kelima (590/1199 M-656 H/1258 M)
Telah terjadi perubahan besar-besaran dalam kekhalifahan Abbasiyah dalainim priode kelima ini. Pada priode, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Baghdad dan disekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masaa inilah datang tentara Mongol dan Tartar menghancurkan baghdad tanpa perlawanan pada tahun 656 H/ 1258 M.
Faktor-faktor yang membuat daulah Abbasiyah menjadi lemah dan kemudian hancur dapat di kelompokkan menjadi faktor-faktor intern dan ekstrn diantara faktor-faktor intrn adalah:
1.      Adanya persaingan tidak sehat diantara beberapa bangsa yang terhimpun dalam daulah Abbasiyah terutama Arab, Persia, dan Turki.
2.      Terjadinya perselisihan pendapat diantara kelompok pemikiran   agama yang ada dan berkembang menjadi petumpahan darah.
3.      Munculnya dinasti-dinasti kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan.
4.      Terjadinya kemerosotan tingkat perekonomian sebagai bentrokan politik.
Sedangkan faktor-faktor ekstrn yang terjadi adalah:
1.      Berlangsungnya perang salip yang berkepanjangan dalam beberapa gelombang. Dan yang paling menentukan adalah
2.      Sebuah pasukan Mongol dan Tarta di pimpi oleh Hulagu Khan yang berhasil menjarah semua Persia baik kekuasaan maupun pusat ilmu yaitu perpustakaan Dibaghdad.
D.    Perkembangan ilmu pada masa Abbasiyah
Abad X masehi disebut abad pembangunan daulah Islam dimana dunia Islam mulai, dan Cordoba Spanyol sampai ke Multan Pakistan meluasnya pembangunan di segala bidang, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Dunia Islam pada waktu itudalam keadaan maju, jaya, makmur sebaliknya dunia baratmasih dalam keadaan gelap, bodoh, primitif. Dunia Islam sudah sibuk mengadakan penyelidikan dilaboratorium dan observasi.
Dunia barat masih sibuk dengan jampi-jampi dan dewa-dewa. Hal ini disebabkan agama yang dibawa Nabi Muhammad telah menimbulkan dorongan untuk menumbuhkan suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam. Dorongan itu mula-mula menggerakkan terciptanya ilmu-ilmu pengetahaun lapangan agama (Ilmu Aqli), bermunculanlah ilmu-ilmu agama dalam berbagai bidang. Kemudian ketika Islam keluar dari Jazirah Arab, mereka menemukan pembendaharaan Yunani. Dorongan dari agama ditambah pengaruh dari pembendaharaan Yunani menimbulkan dorongan untuk munculnya berbagai ilmu pengetahuan di bidang akal (Ilmu Aqli).
Dikatakan pembendaharaan Yunani karena pada waktu Islam datang, Ilmu Yunani sudah mati yang tinggal hanyalah buku-bukunya saja. Ketika Islam sampai Byzantium, Persia, dan lain-lain, mereka tidak lagi menjumpai ilmu Yunani dipelajari orang, yang didapati hanyalah tabib Yunani, perkembangan baru tidak di perolehi lagi.
Diceritakan asal mula kedatanga kebudayaan Yunani adlah filosof-filosof yunani yang lari dinegaranya karena di kejar-kejar oleh rajanya akibat perbedaan madzhab. Sebenarnya  merekalah penyusun ilmu secara sistematis, namun ketika yunani dijajah bangsa romawi, raja-rajanya yang berbangsa Kristen tidak mentolerir. Masa raja konstanti agung (wafat 366M) perpustakaan yang didirikan oleh raja perbeku yang liberal, dibubarkan atau dimusnahkan, pengetahuan dianggap sebagai sihir yang dikutuk, filsafat dan ilmu dibasmi.
Kaisar Yustinius pada tahun 529 M menutup sekolah filsafat yang masih ada pengajarnya diusir. Sarjana itu kemudian lari ke Persia dan mendapatkan kedudukn terhormat di istana Kisra Anusirwan (531-578 M) dan aliran filsafat neo Plato yang mereka bawa diterima baik. Didirikanlah di Yunde Sahpur sebuah perguruan tinggi, dimana sarjana itu mengajar bermacam ilmu, antara lain kedokteran dan filsafat. Sekolah ini berurat dan berakar dikota ini sampai berdirinya daulah Abbasiyah, seperti halnya Harran menjadi pusat kegiatan Yunani di Irak, dimana penduduknya berbicara bahasa Arab.
Gerakan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh Khalifah Ja’far al-Mansur setelah ia mendirikan kota Baghdad (144 H-762 M) dan menjadikan sebagai ibu kota negara. Ia menarik banyak ulama dan para ahli dan berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqih, tafsir, tauhid,hadis, atau ilmu lain seperti ilmu bahasa dan ilmu sejarah. Akan tetapi yang lebih mendapat perhatian adalah penterjemahan buku yang berasal dari luar.

1.      Perkembangan Ilmu Naqli
Ilmu naqli adalah ilmu yang bersumber dari naqli (Al-Quran dan Hadis), yaitu yang berhubungan dengan agama Islam. Ilmu ini mulai disusun dasar perumusannya pada sekitar 200 tahun setelah hijrah Nabi sehingga menjadi ilmu yang kita kenal sekarang. Ilmu-ilmu itu antara lain:
a.       Ilmu Tafsir
Al-Quran adala sumber dari agama Islam. Oleh karena itu segala perilaku umat Islam harus berdasarkan kepadanya, hanya saja tidak semua bangsa Arab memahami arti yang terkandung didalamnya. Sebab untuk memahami suatu kitab tidak cukup hanya mengerti bahasanya saja tetapi diperlukan keseimbangan taraf pengetahuan antara buku yang dibaca dengan pembacanya. Maka bangunlah para sahabat untuk menafsirkannya. Yang pertama antara lain sahabat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dan Ubai ibn Ka’ab. Cara saabat-sahabat ini menafsirkan ialah denagn menafsirkan ayat dengan hadis atau atsar atau kejadian yang mereka saksikan ketika ayat itu turun. Sesudah itu bangun para tabi’in yang mengambil tafsir para sahabat tersebut diatas.
 Tafsir pada masa ini ditambah dengan cerita Israiliyat. Terahir bangunlah para mufasir dengan cara menyebutkan satu ayat kemudian menerangkan tafsirnya yang diambil dari shabat dan tabi’in. Tafsir yang seperti ini yang termasyhur diantaranya tafsir Ibnu Jarir At-Tabary. Kemudian ketika kebangunan ilmumpengetahuan menuncak maka mempengaruhi pula ilmu penafsiran Al-Quran. Tafsir pda masa ini mencakup segala ilmu yang ada baik mengenai aliran keagamaan, peraturan tentang hukum, ataupun ilmu lainnya yang terkandung di dalamnya seperti tafsir Abu Yusuf Abu Salman al-Kuswani. Dengan demikian dari tafsir yang ada cara penafsirannya ada dua macam:
·      Tafsir bil ma’sur, yaitu memikirkan Al-Quran dengan hadis Nabi.
·      Tafsir bil ra’yi, yaitu penafsiran Al-Quran dengan mempergunakan akal dengan memperluas pemahaman yang terkandung didalamnya.
b.      Ilmu Hadis
Hadis adalah sumber hukum Islam setelah Al-Quran. Karena kedudukannya itu, maka setiap abad umat Islam selalu berusaha untuk menjaga dan melestarikannya. Usaha pelestarian dan pengembangannya terjadi pada dua periode besar: masa Mutaqaddimin dam masa Mutaakhirin.
Usaha Mutaqaddimin dapat dibagi menjadi beberapa shop:
1)      Masa Turunnya Wahyu.
2)      Masa Khullafau ar-Rasyidin (12-40 H)
3)      Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in (40 H- akhir abad 1 H)
4)      Masa Pembukuan Hadits (awal-akhir abad ke II H)
5)      Masa Pentasihan dan Penyaringan Hadits (awal-akhir abad III)
Usaha pelestarian masa mutaakhirin menjadi beberapa tahap yang masing-masing mempunyai ciri sendiri:
1.      Abad keempat Hijriyah
2.      Abad kelima sampai abad ketujuh para ulama hanya berusaha untuk memperbaiki susunan kitab
c.      Ilmu Kalam
Lahirnya ilmu Kalam karena dua faktor:
1.      Untuk membela Islam dengan bersenjatakan filsafat seperti halnya musuh memakai senjata itu.
2.      Karena semua masalah termasuk masalah agama telah dikisar dari pola rasa kepada pola akal dan ilmu.



d.      Ilmu Tasauf
Ilmu Tasauf adalah ilmu yang tumbuh dan matang pada zaman Abbasiyah. Inti ajarannya tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia, serta bersunyi diri beribadah. Dalam sejarah sebelumnya timbul aliran Tasauf  terlebih dahulu muncul aliran Zuhud.
Di Basrah sebagai kota yang tenggelam dalam kemewahan, aliran Zuhud mengambil corak lebih ekstrim sehingga akhirnya meningkat kepada ajaran mistik. Zahid-Zahid yang terkenal disini adalah Hasan al-Bashri (110 H) dan Rabiah al-Adawiyah (185 H).
Dari kedua kota ini aliran Zuhud pindah ke kota lain. Di Persia (Khurasan) muncul Ibrahin bin Adhaya (162 H) dan muridnya Syafiq al-Baighi (194 H). Di Madinah muncul Ja’far al- Sidiq (148 H).
e.       Ilmu Bahasa
Dalam masa Abbasiyah ilmu bahasa tumbuh dan berkembang dengan suburnya karena bahasa Arab yang semakin dewasa dan menjadi bahasa Internasional. Ilmu bahasa memerlukan suatu ilmu yang menyeluruh. Yang dimaksud dengan ilmu Bahasa adalah nahwu, sharafi ma’ani, bayan, bad’arudh, qamus dan insya.
Kota- kota Bashrah dan Kuffah merupakan pusat pertumbuhan dan kegiatan ilmu lughah. Keduanya berlomba-lomba dalam bidang tersebut ssehingga terkenal sebutan aliran Bashrah dan Kuffah. Masing-masing penduduknya merasa bangga dengan alirannya. Aliran Bashrah lebih banyak terpengaruh dengan mantik dibandingkan dengan aliran Kuffah. Dalam zaman ini di ciptakan kitab-kitab yang bernilai ilmu nahwu, sarafi ma’ani, arrudh, qamus, dan ilmu maqarnad. Diantara ulama-ulama termsyhur dalam masa ini:
1.        Sibawaihi, wafat 153 H
2.        Muaz al- Harro (wafat, 187 H) yang mula-mula membuat tahrif.
3.        Al-Kasai (wafat, 190 H) mengarang kitab tata bahasa
4.        Abu Usman al-Maziny (wafat 249 H) karangannya banyak tentang nahwu.

f.       Ilmu Fiqh
Zaman Abbasiyah yang merupakan zaman keemasan tamadun Islam telah melahirkan ahli-ahli hukum yang tersohor dalam sejarah Islam dengan kitab-kitab fiqh yang terkenal sampai sekarang. Para fuqaha yang lahir dizaman ini terbagi dua aliran: ahli hadits dan ahli ra’yi.
Ahli hadits adalah aliran yang mengarang yang berdasarkan hadits. Pemuka aliran ini adalah imam Malik dengan pengikut pengikutnya, pengikut imam Syafi’i, pengikut Sufyan, dan pengikut imam Hambali.

Ahli ra’yi adalah aliran yang mempergunakan akal dan pikiran dalam menggali hukum. Pemuka aliran ini adalah Abu Hanifah dan teman-temannya fuqaha dari Iraq.
Read More

MAKALAH PENGERTIAN HAK ASUH ANAK DALAM PERNIKAHAN (MAKALAH )

Januari 27, 2016 0




Kata Hadhanah berasal dari kata “Hidhan”, artinya: lambung. Dan seperti kata: Hadhanah ath-thairu baidhahu, artinya burung itu mengempit telur di bawah sayapnya. Begitu pula dengan perempuan (ibu) yang mengempit anaknya.
Para ahli fiqh mendefinisikan “hadhanah” ialah: melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.

Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib. Sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan.[1] Mengasuh anak juga berarti mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.
Berusaha untuk mendidik anak termasuk sesuatu yang sangat dianjurkan oleh agam dan diutamakan, karena anak merupakan sambungan hidup dari orang tuanya. Cita-cita atau usaha-usaha yang tidak sanggup orang tuanya melaksanakan, diharapkan agar anaknya nanti akan melanjutkannya. Anak yang shaleh merupakan amal orang tuanya. Hanya do’a anak yang shalehlah yang dapat meringankan orang tua yang telah meninggal dunia dari siksaan Allah, sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah SAW. Dalam hadits beliau:
اِذَامَاتَ اْلإِنْسَانُ إِنْقَطَعَ عَمَلِهِ إِلَّامِنْ ثَلاَثٍ:مِنْ وَلَدٍصَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ أِوْصَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْفَعُ بِهِ (رواه مسلم)
Artinya:
“Apabila seorang manusia telah meninggal, putuslah (pahala) amalnya, kecuali dari tiga perkara: dari anak yang shaleh yang mendo’akannya atau shadaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat” (HR. Muslim)
Dan firman Allah SWT:
$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3‹Î=÷dr&ur #Y‘$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou‘$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#y‰Ï© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At Tahrim: 6)

Yang dimaksud dengan memelihara dalam ayat tersebut di atas ialah mendidik mereka sehingga menjadi seorang muslim yang berguna bagi agama. Ayat ini memerintahkan agar semua kaum muslimin berusaha agar mendidik keluarganya.[2]
Hadhanah merupakan kewajiban bersama, akan tetapi jika terjadi perpisahan antara ibu dan ayah, maka ibulah yang lebih berhak terhadap anak itu daripada ayahnya, selama tidak ada suatu alasan yang mencegah ibu melakukan pekerjaan hadhanah tersebut, atau karena anak telah mampu memilih apakah mau ikut ibu atau bapak.  Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً, وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً, وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً, وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي, وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ, مَا لَمْ تَنْكِحِي ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ)
Artinya:
“Dari Abdullah Ibnu Amar bahwa ada seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, susuku yang memberinya minum, dan pangkuanku yang melindunginya. Namun ayahnya yang menceraikanku ingin merebutnya dariku. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim)

Seorang hadhinah (Ibu) yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu kecakapan dan kecukupan. Kecukupan dan kecakapan juga memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya.
Syarat-syaratnya itu ialah:
  1. Berakal Sehat, jadi bagi orang yag kurang akal seperti gila, keduanya tidak boleh menangani Hadhanah. Karena mereka tidak dapat mengurusi dirinya sendiri, sebab itu ia tidak boleh diserahi mengurusi orang lain. Sebab orang yang punya apa-apa tentulah ia tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada orang lain.
  2. Dewasa, sebab anak kecil sekalipun Mumayyiz, tetapi ia tetap membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya, karena itu dia tidak boleh menangani urusan orang lain.
  3. Mampu Mendidik, karena itu tidak boleh menjadi pengasuh orang yang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus kepentingan anak kecil, tidak berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri juga perlu diurus oleh orang lain.
  4. Amanah dan Berbudi, sebab orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan tidak dapat dipercaya akan dapat menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan seperti orang yang curang itu.
  5. Islam, anak Muslim tidak boleh diasuh oleh orang yang bukan Muslim, sebab hadhanan adalah masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan orang mukmin dibawah perwalian orang kafir. Hal ini berdasar pada firman Allah dalam surat Annisa’ ayat 141:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا
Artinya:
“… dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang orang kafir menguasai orang orang mukmin. (QS. Annisa’: 141)

  1.  Ibunya tidak kawin lagi, jika si ibu telah kawin lagi dengan laki-laki lain. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah di atas:
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ, مَا لَمْ تَنْكِحِي ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ)
Artinya:
“Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim)

  1. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan tuannya, sehingga ia tidak punya kesempatan untuk mengasuh anak kecil.[3]

  1. Memberi Nafkah dalam Pernikahan
    1. Kewajiban Nafkah
Kaum Muslimin sepakat bahwa, perkawinan merupakan salah satu sebab yang mewajibkan pemberian nafkah. Nafkah atas istri ditetapkan nashnya dalam surat berikut ini:
4 ’n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%ø—Í‘ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 Ÿw ß#¯=s3è? ë§øÿtR žwÎ) $ygyèó™ãr 4 Ÿw §‘!$ŸÒè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ Ÿwur ׊qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 ’n?tãur Ï^Í‘#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºsŒ 3 ÇËÌÌÈ
Artinya:
Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. (QS. Al-Baqarah:233)
Yang dimaksud para ibu di situ adalah istri-istri, sedangkan yang dimaksud dengan ayah adalah suami-suami.[4]
Ayat tersebut menunjukkan bahwa nafkah menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Pemenuhan terhadap nafkah merupakan bagian dari upaya mempertahankan keutuhan dan eksistensi sebuah keluarga. Dan nafkah wajib atas suami semenjak akad perkawinan dilakukan.
Keberadaan nafkah tentunya sangat penting dalam membangun keluarga. Jika dalam keluarga nafkah tidak terpenuhi, baik itu nafkah untuk isteri maupun anak-anaknya, dapat menimbulkan ketidakharmonisan dan ketidakberhasilan dalam membina keluarga.
Kata nafkah di atas sendiri adalah merupakan kata yang berasal dari bahasa arab yaitu nafakah yang berarti “belanja”, “kebutuhan pokok”. Maksudnya ialah kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya.
Sebagian ahli fiqh berpendapat bahwa yang termasuk dalam kebutuhan-kebutuhan pokok itu ialah: pangan, sandang dan tempat tinggal, sedang ahli fiqh yang lain berpendapat bahwa kebutuhan pokok itu hanyalah pangan saja. Mengingat banyaknya kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga dan anggota-anggota keluarga , maka dari kedua pendapat tersebut di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa yang merupakan kebutuhan pokok yang minimum itu, ialah pangan, sedang kebutuhan-kebutuhan yang lain disesuaikan dengan kemampuan dari orang-orang yang berkewajiban memenuhinya.[5]
  1. Macam-macam Nafkah
Menurut jenisnya nafkah dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
  1. Nafkah lahir, yaitu nafkah bersifat materi seperti sandang, pangan, papan dan biaya hidup lainnya termasuk biaya pendidikan anak
  2. Nafkah batin, nafkah yang bersifat non-materi seperti hubungan intim, kasih sayang,perhatian dan lain-lain.
  3. Syarat-syarat Nafkah
Syarat bagi seorang perempuan berhak menerima nafkah adalah sbb:
  1. Ikatan perkawinan sah
  2. Menyerahkan dirinya kepada suami
  3. Suaminya dapat menikmati dirinya
  4. Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang dikehendaki suaminya
  5. Kedua-duanya saling dapat menikmati.
Jika salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ia tidak wajib diberi belanja.[6] Sedangkan dalam kaitannya ayah menafkahi anak atau dengan kata lain anak di nafkahi ayah, yaitu dengan syarat:
  1. anak dalam keadaan miskin dan tidak mampu bekerja,atau anak yang tidak mempunyai pekerjaan. Hal ini Nampak dalam dua keadaan: pertama, anak-anak tersebut masih kecil, dan kedua, anak-anak tersebut sudah besar tetapi tidak mempunyai pekerjaan atau karena mereka itu anak perempuan.
  2. Hendaklah si ayah dalam keadaan kaya yang mampu memberi nafkah.[7]
  1. Akibat Dari Putusnya Perknikahan
Akibat positif yang bisa didapatkan dari perceraian (putusnya pernikahan) adalah terselesainya satu masalah rumah tangga yang tak bisa dikompromikan lagi. Akan tetapi dampak negatif dari perceraian akan lebih banyak, seperti:
  1. Akibat Perceraian Bagi Suami Istri
    1. Perceraian sering menimbulkan tekanan batin bagi tiap pasangan tersebut, seperti stres dan despresi. Keadaan ini tidak menguntunggakan untuk kehidupan dia dalam hal pergaulan ataupun pekerjaan.
    2. Meranggangkan hubungan silaturahmi diantara keduanya, apalagi kalau perceraiannya karena permusuhan.
    3. Perceraian membuat trauma pada pasangan yang bercerai tersebut sehingga tidak ingin menikah lagi.
    4. Akibat Perceraian Bagi Anak
Anak-anak yang terlahir dari pernikahan mereka juga bisa merasakan sedih bila orangtua mereka bercerai. Bahkan bisa dikatakan korban yang paling parah dari perceraian adalah anak. Anak bisa mengalami despresi, stres dan tertekan, anak juga bisa menjadi sangat membenci orang tuanya, terjebak ke pergaulan bebas, atau anak akan menjadi takut menikah karena melihat kegagalan orang tuanya. Dan masih banyak lagi akibat dari perceraian.
Selain itu akibat dari putusnya perkawinan menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan ialah:
  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,semata-mata berdasarkan kepentingan anak bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan.
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang di perlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut.Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu dapat memikul biaya tersebut.
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk menghidupkan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.[8]
IV. ANALISIS
Selain terhadap harta perkawinan yang didasarkan hukum Islam juga memberi akibat terhadap anak-anak yaitu siapa yang memegang hak asuh anak setelah kedua orang tuanya bercerai. Dalam kasus percerain, persoalan hak asuh anak merupakan masalah yang sering menjadi pangkal sengketa diantara suami-istri yang bercerai.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, pada prinsipnya jika terjadi perceraian maka hak asuh jatuh ke tangan ibunya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat ibu yang mengandung selama sembilan bulan dan ibu pula yang menyusui anak tersebut. Kedekatan antara ibu dan anak tentunya bukan hanya kedekatan lahiriyah semata melainkan juga kedekatan batiniyah.
Namun meskipun pada prinsipnya hak asuh anak jatuh ke tangan ibunya, kompilasi hukum islam masih memberi kesempatan kepada si anak untuk memilih antara ikut ayah atau ibunya. Pilihan itu diberikan kepada anak yang telah mumayyiz, yaitu seorang anak yang telah berusia 12 tahun. Seorang anak yang telah berusia 12 tahun oleh hukum dianggap telah dapat menentukan pilihannya sendiri ketika kedua orang tuanya bercerai, yaitu mengikuti ayah atau ibunya.
Pelaksanaan hak asuh anak, baik oleh ibu ataupun ayahnya harus disertai jaminan keselamatan jasmani dan rohani si anak meskipun biaya kehidupan si anak telah terjamin. Apabila memegang hak asuh anak, baik ayah maupun ibunya ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, maka kerabat yang bersangkutan dapat meminta kepada pengadilan agama untuk memindahkan hak asuh anak tersebut kepada kerabat lain yang mempunyai hak asuh. Dan siapaun yang memegang hak asuh, semua biaya hak asuh dan nafkah anak merupakan tanggung jawab ayahnya. Tangggung jawab tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan kemampuannya dan berlangsung sampai anak mencapai dewasa (21 tahun).
  1. KESIMPULAN
Hadhanah ialah: melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
Syarat bagi seorang perempuan berhak menerima nafkah adalah sbb:
  1. Ikatan perkawinan sah
  2. Menyerahkan dirinya kepada suami
  3. Suaminya dapat menikmati dirinya
  4. Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang dikehendaki suaminya
  5. Kedua-duanya saling dapat menikmati.
Dampak positif yang bisa didapatkan dari perceraian adalah terselesainya satu masalah rumah tangga yang tak bisa dikompromikan lagi. Akan tetapi dampak negatif dari perceraian akan lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Hamidy, Mu’ammal, Perkawinan dan Persoalannya, Bagaimana Pemecahannya dalam Islam,Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1984
Masykur A.B., Fiqih Lima Madzhab, Terj. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsah, Jakarta: Lentera, 2007
Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang 1974
Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang 1974
Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah, vol 7, Bandung, PT.Al-Ma’arif, 1980
___________, Fikih Sunnah vol. 8, Bandung: PT Alma’arif, 1980
3.11.12, 13.18



[1] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah vol. 8, (Bandung: PT Alma’arif, 1980), hlm. 173
[2] Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang 1974), 129-130
[3] Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah, vol 8, (Bandung, PT.Al-Ma’arif, 1980), hlm.,179-184
[4] Masykur A.B., Fiqih Lima Madzhab, Terj. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsah, (Jakarta: Lentera, 2007), hlm. 400
[5] Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang 1974), 119-120
[6] Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah, vol 7, (Bandung, PT.Al-Ma’arif, 1980), hlm., 80-81
[7] Mu’ammal Hamidy, Perkawinan dan Persoalannya, Bagaimana Pemecahannya dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1984), hlm., 180

Read More

MAKALAH PENGERTIAN NIKAH MUTAH

Januari 27, 2016 0




A.    NIKAH MUT’AH
Nikah Mut’ah adalah akad yang di lakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan memakai lafaz tamattu’,istimta’, atau sejenisnya. Ada yang mengatakan nikah mut’ah di sebut juga kawin kontrak (muaqqad) dengan jangka waktu tertentu atau tidak tertentu, atau tidak ada wali saksi. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa nikah mut’ah disebut juga kawin sementara, atau kawin terputus karena laki-laki menikahi perempuan itu untuk sehari atau seminggu atau sebulan. Dinamakan nikah mut’ah karena laki-lakinya, bermaksud untuk bersenang-senang secara temporer.


Nikah Mut’ah menurut Abdul Wahad merupakan perkawinan yang dilarang (bathil). Larangan tersebut telah di sepakati oleh jumhur ulama. Dengan menyatakan bahwa tidak ada yang mengakui perkawinan tersebut.
Seluruh Imam Mazhab mengharamkan nikah mut’ah dengan alasan sebagai berikut.
1.      Nikah Mut’ah tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah yang berkaitan dengan talak, iddah, dan kewarisan. Jadi, hukumnya batal sebagaimana bentuk perkawinan-perkawinan lain yang dibatalkan Islam.
2.      Banyak Hadits yang dengan tegas menyebutkan haramnya nikah mut’ah. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah SAW. Mengharamkan nikah mut’ah dengan sabdanya:
يا ايها النا س اني كنت اذ نت لكم ف الا ستمتاع الا وان الله قد حر مها الى يوم القيا مة
Artinya:
wahai manusia! Saya telah pernah mengizinkan kamu nikah mut’ah, tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat.”
Zufar berpendapat nikah mut’ah di sebut dengan tegas dan jelas batas waktunya maka kawinnya sah, tetapi pembatasan waktunya yang batal. Hal ini apabila di dalam ijab qabulnya di gunakan kata-kata tazwij (kawin), tetapi kalau digunakan kata-kata mut’ah (sementara), hukumnya haram dan batal sebagaimana jumhur ulama.
Hadits lain yang di kemukakan oleh Ali bin Abi Thalib menyebutkan:
وعن علي رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم نهي عن متعة النساء يوم خيبر وعن لحوم الخمرالاهلية
Artinta:
Dari Ali, Rasulullah SAW. Telah melarang kawin mut’ah pada waktu perang khaibar dan melarang makan daging keledai penduduknya. (H.R.Imam Muslim)
3.    Ketika menjadi khalifah, Umar berpidato menyatakan keharaman nikah mut’ah. Ketika itu, para sahabat langsung menyetujuinya padahal mereka tidak akan mau menyetujui sesuatu yang salah, jika pernyataan Umar tentang haramnya nikah mut’ah itu salah.
Nikah Mut’ah itu sebenarnya baru diharamkan pada tahun penaklukan kota Mekkah, sebagaimana diriwayatkan di dalam shahih Muslim, bahwa para sahabat pada penaklukan kota Mekkah masih ada diizinkan oleh Nabi melakukan nikah mut’ah. Jika benar pada perang khabar itu di haramkan, brarti terjadi nasakh (pembatalan hukum) dua kali. Padahal, tidak pernah terjadi pembatalan hukum samppai dua kali, karena itulah muncul ikhtilaf di kalangan ulama tentang hadits yang bersangkutan. Ada yang berpendapat bahwa Nabi pernah melarang memakan daging keledai penduduk Khaibar pada waktu Perang Khaibar dan melarang nikah mut’ah, tetapi tidak di sebutkan dengan tegas sejak kapan nikah mut’ah itu di larang, sedangkan hadits Muslim di atas menjelaskannya, yaitu pada tahun penaklukan Mekkah.
Imam Syafi’i tetap berpegang pada lahiriyah hadits itu. Ia berkata,”Tidak pernah saya mengetahui sesuatu yang di halalkan Allah lalu di haramkann-Nya, lalu di halalkan-Nya kemudian di haramkan-Nya lagi, kecuali soal kawin mut’ah”. 
4.      Al-Khattabi menyatakan bahwa Nikah Mut’ah telah dispakati keharamannya oleh ulama mazhab, kecuali ulama Syi’ah Imam 12 yang membolehkannya. Dalil yang mereka rujuk adalah riwayat yang membolehkan perkawinan ini pada awal priodisasi munculnya Islam, sebelum turun dalil yang me-nasakh-nya. Dalil lain yang di jelaskan alasan adalah firman Allah An-Nisa’ ayat 24 :
فما استمتعتم به منهن فا تو هن اجورهن فريضةَ
Artinya:
Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban.
Ayat tersebut mewajibkan memberikan harta bagi perempuan sebagi ganti telah bersenang senang  dengannya. Ayat tersebut menyebutkan ajran (upah). ‘bersenang-senang‘ dengan seorang perempuan berarti tidak menikahinya. Upah di situ juga bukan berarti mahar. Hal itu menjadi dalil terhadap kebolehan mut’ah.
Sayyid Sabiq mengatakan bahwa kelompok syi’ah Imamiyah jika menghadapi masalah ikhtilah selalu merujuk pada dalil-dalil yang dikeluarkan oleh Ali bin Abi Thalib, tetapi kali ini, justru dalil yang menyatakan bahwa nikah mut’ah telah di hapus, adalah dalil yang dinyatakan oleh Ali bin Abi Thalib dengan hadits yang kedudukannya sahih. Bahkan, di perkuat oleh Baihaki yang meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad ketika ia di tanya tentang nikah mut’ah. Baihaqi menjawab bahwa nikah mut’ah sama dengan zina.
5.      Nikah Mut’ah  sekedar bertujuan melampiaskan Syahwat, bukan untuk mendapatkan keturunan dan memeliharanya. Nikah Mut’ah hanyalah pelampiasan nafsu yang menjadikan perempuan sebagai objek seksualitas laki-laki dengan mengatasnamakan kondisi darurat. Oleh karena itu, nikah mut’ah disamakan dengan zina, jika dilihat dari segi tujuan untuk semata-mata bersenang senang.
Selain itu, nikah mut’ah dapat membahayakan posisi perempuan, karena ia ibarat sebuah benda yang pindah dari satu tangan ke tangan lain, juga merugikan anak-anak, karena mereka tidak mendapatkan tempat tinggal dan tidak memproleh pemeliharaan serta pendidikan dengan baik.
Diriwayatkan dari beberapa orang sahabat dan tabi’in bahwa nikah mut’ah  itu halal, sebagaimana di sebut dalam riwayat dari Ibnu Abbas dalam kitab Tahdzin Al-sunan bahwa Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah bila di perlukan dalam keadaan darurat dan bukan membolehkan secara mutlak. Akan tetapi, pendapat ini kemudian di cabut ketika banyak orang melakukannya secara berlebihan. Jadi, nikah mut’ah tetap haram bagi orang yang tidak memiliki alasan yang sah. 
Al-Khattabi menyebutkan pernyataan Said bin Jubair yang pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang fatwanya menegenai kebolehan nikah mut’ah, sehingga diikuti oleh para khalifah yang sedang berdagang di negeri orang. Para khalifah tersebut memanfaatkan pendapat Ibnu Abbas mengenai kebolehan nikah mut’ah. Mereka berkata, “Ibnu Abbas telah mmebolehkan nikah mut’ah maka bersenang senanglah sampai engkau kembali ke rumah”. Mendengar itu Ibnu Abbas kaget dan bersumpah dengan nama Allah, bahwa ia tidak pernah mengeluarkan fatwa tentang kebolehan nikah mut’ah. Ia pun membaca Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Demi Allah saya tidak berfatwa begitu, dan tidak dan tidak pula bermaksud begitu. Kalaupun saya menghalalkan, itu seperti Allah menghalalkan bangkai, darah, dan daging babi, yang semua itu tidak halal, kecuali bagi orang-orang yang terpaksa. Nikah mut’ah itu ibarat bangkai, darah, dan daging babi.
Jumhur fuqaha menyatakan bahwa nikah mut’ah itu batil dengan mengambil dalil dari Al-Qur’an surat Al-Mu’min yat 5-6:
والذين هم لفروجهم حفظون ّ الا على ازواجهم اوماملكت ايما نهم فانهم غير ملومين
Artinya:
Dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela.
Pada dasarnya, orang-orang melakukakan nikah mut’ah bukan karena adanya pandangan Ibnu Abbasatau pandangan ulama Syi’ah Imamiyah dan Jumhur ulama. Menurut Sayyid Sabiq, kebanyakan yang nikah mut’ah adalah orang-orang yang tidak mau memberi harta pusaka bagi anak isttinya, sebagaimana pada zaman jahiliyah. Perempuan dan anak-anak hanyalah objek penderitaan yang selalu dikuasai raga dan hartanya oleh wali-wali mereka.
Kelompok Syi’ah memandang bahwa nikah mut’ah dibolehkan sepanjang kondisi darurat. Hal ini karena semenjak awal di perbolehkannya nikah mut’ah adalah karena keadaan emergensi, yaitu ketika para sahabat sedang berpereng, sedangkan mereka jauh dari istri-istrinya maka ketika itu Rasulullah SAW, membolehkannya. Akan tetapi, Umar bin Khattab melarangnya karena perajurit yang sedang berpereng dan melakukan nikah mut’ah akan mengalami kelengahan dan mengakibatkan kalah dalam berperang. Di samping itu, pembolehan nikah mut’ah hanyalah salah satu bagian dari proses penegakan syari’at Islam yang di sampaikan secara bertahap.
Orang-orang Jahiliyah telah lama menjadikan perempuan sebagai objek hawa nafsu, kemudian Islam membawa kebiasaan tersebut dengan menyodorkan salah satu syarat, yaitu “jika kondisi darurat”. Setelah itu, lahirlah hadits yang menyatakan keharaman nikah mut’ah. Hadits ini memancing Ikhtilaf di kalangan ulama, karena “kondisi darurat” dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu, bagi kaum syi’ah, tidak ada nasakh dalam kaitannya dengan kedaruratan, sebagaimana kaidah ushul fiqh yang menegaskan adh-dhararu yuzal dan adh-dharuratu tubih al-mahdurah, artinya kemudharatan memebolehkan sesuatu yang dilarang.
Rasulullah SAW, mengeluarkan larangan mut’ah sebanyak enam kali pada kesempatan yang berbeda untuk menguatkan pengharamannya bagi kaum muslim. Ketika para sahabat meminta Rasulullah SAW untuk memberikan rukhsah (keringanan) untuk pengendalian syahwat mereka, Rasulullah SAW, tidakmengabulkan permintaan tersebut. Seandainya nikah mut’ah itu halal, para sahabat tentu akan melakukannya pada saat peperangan, tetapi mereka tidak melakukannya. Hal ini menunnjukkan bahwa pada akhirnya nikah mut’ah hukumnya haram.
Dalam Al-Muhadzdzab di katakan bahwa nikah mut’ah itu tidak di perbolehkan, yaitu mngucapkan akad “Aku nikahkan engkau dengan putriku sehari atau sebulan” ini sesuai dengan hadits yang di riwayatkan oleh Muhammad bin Ali r.a yang mendengarkan ayahnya, Ali bertemu Ibnu Abbas. Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah dengan perempuan. Ali pun berkata, “Engkau orang yang bertindak gegabah, sesungguhnya Rasulullah SAW, telah melarangnya pada hari Khabir. Tidak boleh ada pembatasan dalam akad nikah, seperti jual beli. Nikah mut’ah tidak terkait dengan talaq, nafkah, waris-mewarisi, dan iddah wafat. Oleh karena itu, nikah seperti itu batal, seperti nikah batal lainnya.

B.     HIKMAH PENGHARAMAN NIKAH MUT’AH
Adapun hikamh pengharaman nikah mut’ah adaalah tidak terealisasinya tujuan-tujuan dasar pernikahan yang abadi dan langgeng, serta tidak bertujuan untuk membentuk keluarga yang langgeng. Dengan diharamkannya tidak akan lahir anak-anak zina dan lelaki yang memanfaatkan nikah mut’ah untuk berbuat lacur.
Adapun ayat Al-qur’an yang di pakai oleh golongan Syi’ah bukanlah dalil untuk nikah mut’ah melainkan untuk nikah abadi, dengan dalil bahwa ayat sebelum dan sesudahnya, serta ungkapan dalam ayat dengan kata istamta’ makssudnya bukan mut’ah sebagaimana yang di yakini Syi’ah Imamiyah, melainkan istimta’ dengan istri yang sah menurut sayriat (bersenang-senang dengan istri). Kemudian yang di maksud dengan ‘ujur (upah) dalam ayat tersebut adalah mahar. Al-Qur’an menyatakan mahar dengan ‘ujur sebagai majaz (kiasan), seperti di jelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 25:
   فانكحو هن باذن اهلهن وا توهن اجورهن باالمعروف
Artinya:
Karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka mas kawin yang pantas  
  
Q.S An-Nisa 25
اذا اتيتمو هن اجورهن محصنين غير مسا فحين
Artinya:
Apabila kamu membayar maskawin mereka untuk manikahinya, tidak bermaksud berzina.

Ibnu Hazm dan sebagian ulama fiqh dari mazhab maliki berpendapat bahwa hadd (saksi hukum) wajib di tegakkan untuk orang yang bersetubuh dalam nikah mut’ah, padahal dia tau bahwa hukum mut’ah itu haram. Mereka mengatakan bahwa kesepakatan yang diambil setelah dan keharamanya. Hal ini seperti nikah yang kelima, atau menikahi orang yang dalam masa  iddah. Dengan demikian wajib menegakkan hadd bagi mereka yang mengakui keharamannya.
Banyak ulama fiqh mengingatkan adanya iijma’ tentang keharaman mut’ah setelah terjadinya berbedaan mengenai hukumnya. Al-Baji mengatakan keharaman nikah mut’ah itu berdasarkan perkataan umar. Ia melihat perkataan Umar tidak bertentangan dengan ijma’.  Ibnu Munzdir berkata, “Aku tidak mengetahui seorang pun yang membolehkan mut’ah pada hari ini, kecuali segelintir orang yang menolak pengharaman itu. Tidak ada artinya perkataan yang bertentangan dengan firman Allah dn sunnah Rasulullah Saw. Dengan demikian, pendapat yang datang dari para ulama salaf sudah menguatkan kebenaran adanya nasakh (menghapuskan) terhadap hukum bolehnya nikah mut’ah. Jadi, jelaslah bahwa nikah mut’ah haram berdasarkan ijma’ ulama. Itu berarti pula batallah nikah mut’ah, dan persetubuhan di dalamnya adalah zina, yang pelakunya wajib di hukum (rajam atau jillid), yakni bagi mereka yang  mengetahui hukumnya dan dengan sengaja melakukan persetubuhan.
  Golongan Syi’ah imamiyah Imamiyah membolehkannya dengan syarat-syarat berikut.
1.      Ucapan Ijab qabulnya dengan lafazh: Zawwaj atau unkihuka (saya kawinkan kamu) atau matta’tuka (saya kawinkan kamu sementara).
2.      Istrinya haruslah seorang muslim atau ahli kitab, tetapi di utamakan memilih perempuan mukmin yang tahu menjaga diri dan tidak suka berzina.
3.      Membayar mahar/ maskawin: harus di sebutkan maskawinnnya dan boleh dengan membawa saksi dan perhitungkan jumlahnya dengan suka sama suka sekalipun jumlahnya hanya segenggam gandum.
4.      Batas waktunya jelas, dan hal ini menjadi syarat di dalam pernikahan tersebut.
5.      Diputuskan berdasarkan persetujuan masing-masing, misalnya sehari, sebulan, atau setahun, pokoknya harus ada pembatasan waktu.

Menurut golongan Syi’ah, hukum nikah mut’ah adalah sebagai berikut.
1.      Kalau maskawinnya tidak disebut, tetapi batas waktunya di sebutkan akad nikahnya batal. Akan tetapi, kalau maharnya di sebutkan, sedangkan batas waktunya tidak disebutkan, perkawinannya berubah menjadi kawin biasa.
2.      Anak yang lahir menjadi anaknya
3.      Tidak ada talak dan li’an
4.      Tidak ada hak pusaka-memusakai antara suami istri
5.      Anaknya berhak mewarisi ayah ibunya dan ayah ibunya pun berhak mewarisi anaknya.
6.      Masa Iddah dua kali masa Haid, bagi yang masih berhaid. Bagi yang berhaid, tetapi ternyata berhenti haidnya, masa iddahnya 45 hari.

Imam Syauqani berkata : “sepenuhnya kami hanya berpegang pada syariat yang telah kami terima, bahwa menurut kami, nikah mut’ah itu di haramkan untuk selama-lamanya”. Adapun sekelompok sahabat yang menyalahi hukum ini berarti telah mencederakan hukum ini, dan kami pun tidak mendapatkan suatu alasan yang dapat di jadikan dasar untuk meringankan hukum nikah mut’ah. Bagaimana mungkin nikah mut’ah ini bisa di berikan keringanan, padahal sebagian besar sahabat telah mengetahui keharamannya dan mereka pun menjauhinya. Bahka mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits mengenai keharaman nikah mut’ah bahkan Ibnu Umar pernah berkata dalam hadits riwayat Ibnu Majah dengan sanadnya sahih.
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذن لنا فى المتعة شلاثا ثم حرمها والله لااعلم احد ا تمتع وهو محصن الا رجمتها با الحجا رة  


Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot