MAKALAH PENGERTIAN SUNNAH SEBAGAI DALIL - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 07 November 2015

MAKALAH PENGERTIAN SUNNAH SEBAGAI DALIL

A.     Pengertian  Sunnah
Sunnah secara etimologi berarti cara yang dibiasakan atau cara yang terpuji, sunnah lebih umum disebut dengan hadis yang mempunyai beberapa arti secara etimologis, yaitu: Qarib, artinya dekat, jadid artinya baru, dan khabar artinya berita atau warna.
Pengertian sunnah secara terminologi bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu ilmu hadis, ilmu fiqh, dan ilmu ushul fiqh. Menurut ulama ahli hadis, sunnah identik dengan hadis, yaitu semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik perkataan, perbuataan, perbuatan, ataupun ketetapannya sebagai manusia biasa termasuk akhlaknya baik sebelum atau sesudah menjadi Rasul. Adapun sunnah menurut para ahli fiqh, di samping mempunyai arti seperti yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, juga dimaksudkan sebagai sebagai salah satu hukum taklif yang mengandung pengertian, “Perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.”
Adapun Sunnah menurut syara’ adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi saw dan termasuk juga sifat-sifat fisik dan perilaku beliau.
Dari makna ini, berarti bahwa Sunnah mencakup yang wajib, mandub(sunnah) dan mubah, baik dalam perbuatan, perkataan, maupun keyakinan(akidah). Artinya Sunnah itu:
1. Ada yang dikerjakan sebagai suatu kewajiban, seperti penjelasan Nabi saw dalam           masalah ibadah.
2. Ada yang ditunaikan sebagai suatu yang mandub hukumnya, seperti puasa sunnah, shalat tahajud, shalat dhuha, shalat tarawih, shalat Idul Fitri dan Idul Adha dan ketaatan-ketaatan lain yang tidak termasuk perkara wajib, yang dikerjakan sebagai penambah pahala.
3. Ada pula yang bersifat mubah. Seperti perbuatan beliau saw yang berhubungan dengan tabiat kemanusiaan pada umummnya, seperti makan, minum, duduk untuk makan, bagaimana cara makan, bagaimana cara minum, bagaimana mengendarai kendaraan. Dan semua itu serta perbuatan-perbuatan yang lain yang semacamnya adalah perkara mubah bagi Rasulullah saw dan bagi umat beliau.

B.     Pembagian Sunnah

a.       Dari segi bentuknya
Berdasarkan definisi menurut para ahli di atas sunnah atau hadis dibagi tiga, yaitu:

1)      Sunnah Qauliyah, artinya adalah hadis Nabi SAW. Yang disabdakan sesuai dengan tujuan dan kondisi. Dan juga yang sering dinampakan juga dengan khabar atau berita berupa perkataan Nabi SAW., yang didengar dan disampaikan oleh seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain.
Sunnah Qauliyah dapat di bedakan atas 3 bagian:
a)      Diyakini benarnya, seperti kabar yang datang dari Allah dan dari Rasul-Nya yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya dan kabar-kabar mutawatir.
b)      Diyakini dustanya, seperti dua kabar yang menyalahi dari ketentuan-ketentuan syara’, seperti bid’ah-bid’ah sayyi’ah.
c)      Yang tidak diyakini benarnya dan dustanya.

2)      Sunnah fi’liyah, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW., yang diketahui dan disampaikan oleh para sahabat kepada orang lan. Misalnya, cara wudhu yang dipraktekkan Nabi SAW., tata cara shalat, dan haji.
Sunnah fi’liyah terbagi menjadi 6 bentuk, yaitu:
a)      Nafsu yang terkendali oleh keinginan dan gerakan kemanusiaan, seperti gerakan anggota badan dan gerak badan; Sunnah  Fi’liyah seperti ini menunjukkan mubah (boleh).
b)      Sesuatu yang tida berhubungan dengan ibadah,seperti berdiri, duduk, dan lain-lain
c)      Perangai yang membawa kepada syara’ menurut kebiasaaan yang baik dan tertent, seperti makan, minum, berpakaian, dan tidur.
d)     Sesuatu yang tertentu kepada Nabi saja, seperti beristeri lebih dari empat orang.
e)      Untuk menjelaskan hukum-hukum yang mujmal (samar-samar), seperti menjelaskan perbuatan haji dan umrah; perbuatan-perbuatan shalat yang lima waktu (fardhu) dan shalat khusuf (gerhana).

3)      Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan Nabi SAW, tetapi Nabi hanya diam dan tidak menyegahnya. Sikap diam atau tidak mencegah menunjukkan persetujuan Nabi SAW.

b.      Dari segi periwayatannya
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam membagi hadist Nabi. Menurut Jumhur ulama, Sunnah itu terbagi dua, yaitu Sunnah Muttawatirah dan Sunnah Ahad. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah Sunnah dibagi menjadi tiga, yaitu Sunnah Muttawatirah, Sunnah Masyhurah dan Sunnah Ahad.

1)      Sunnah Muttawatirah, yaitu Sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok besar rawi yang tidak mungkin mereka bersepakat melakukan kebohongan, atau secara tidak sengaja bersepakat bohong, dari satu generasi ke generasi-generasi berikutnya secara bersambung. Suatu Sunnah dikategorikan  mutawatirah, apabila memenuhi persyaratan :
a)      Diriwayatkan oleh sejumlah banyak rawi yang menurut adat kebiasaan mereka tidak mungkin bersepakat melakukan kebohongan, atau secara tidak sengaja bersepakat bohong.
b)      Keadaan para perawi yang di sebutkan pada point (a) tersebut harus tetap terjaga pada setiap jenjang (thabaqat) rawi.
c)      Sandaran pengetahuan terhadap apa yang disampaikan haruslah berdasarkan penglihatan atau pendengaran langsung.

2)      Sunnah Masyurah, yaitu sunnah yang diriwayatkan seorang atau dua beberapa orang sahabat, tetapi kemudian, pada masa tabi’in dan tabi tabi’in diriwayatkan oleh rawi yang banyak yang tidak mungkin mereka sepakat berbuat dusta. Menurut Ulama Hanafiyah, hadits Masyhur menghasilkan dugaan kuat mendekati derajat yakin. Di antara contoh hadits Masyhur adalah hadits tentang niat dan hadits tentang keharaman memadu seorang perempuan dengan keponakannya.

3)      Hadits Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang tidak sampai kepada derajat mutawatir dari satu generasi ke generasi berikutnya, meskiun pada tingkat sahabat diriwayatkan oleh sejumlah banyak perawi. Jumlah hadits ahad ini sangat banyak.

Hadits ahad menghasilkan ilmu yang bersifat zanni, tidak memfaedahkan ilmu yakin atau qath’i. Hal inilah yang menyebabkan para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hadits ahad sebgai sumber hukum. Kalangan Mu’tazilah dan Khawarij menolak menjadikan hadits ahad sebagai sumber hukum karena hadits tersebut diragukan kebenarannya berasal dari Nabi AW. dan ada kemungkinan palsu.

Perbedaan antara Sunnah Mutawatirah dan Masyhurah
Rangkaian sanad yang meriwayatkan Sunnah Mutawatirah adalah kelompok mutawatir mulai pertama kali diterima dari Nabi hingga sampai kepada kita. Sedangkan rangkaian sanad yang meriwayatkan sunnah masyhurah pertama kali dari nabi adalah seorang, dua orang atau beberapa orang rawi yang tidak sampai pada hitungan mutawatir, baru kemudian diriwayatkan oleh kelompok-kelompok hingga sampai kepada kita.

C.     Fungsi Sunnah

Sunnah memiliki fungsi penting dalam hukum Islam. Secara umum, fungsi Sunnah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi bayan (penjelas apa yang terdapat di dalam Alquran) dan fungsi insya’ atau tasyri’ (menetapkan hukum sendiri dalam kasus dimana Alquran belum menyebutkannya sama sekali). Kedua fungsi tersebut dapat dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut:
a.       Fungsi bayan ta’kid, yaitu menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang sudah disebutkan dalam Alquran, seperti Sunnah yang melarang durhaka kepada orang tua, larangan membuat kesaksian palsu, dan larangan membunuh.
b.      Fungsi bayan tafsir, yaitu menjelaskan makna lafaz yang maknanya masih samar di dalam Alquan, seperti Sunnah Nabi yang menjelaskan tata cara shalat yang di dalam Alquran disebutkan secara samar. Ketika ada perintah shalat, para shabat bertanya-tanya tentang apa dan bagaimana shalat itu dilakukan, lalu Nabi menjelaskan dengan perbuatan dan ucapannya.
c.       Fungsi bayan tafsil, yaitu memerinci hukum-hukum yang dalam Alquran disebutkan secara mujmal atau global. Seperti Sunnah yang memerinci waktu-waktu shalat wajib, kadar zakat, tata cara ibadah haji dan lain-lain. Termasuk dalam kategori ini adalah Sunnah Nabi yang memperluas hukum-hukum yang sudah disebutkan di dalam Alquran. Misalnya, Sunnah Nabi yang menambah jumlah wanita yang diharamkan dalam Alquran dengan menambah larangan mengawini wanit bersama-sama dengan bibinya.
d.      Fungsi bayan Taqyid dan Takhsis, yaitu mengkhususkan hukum-hukum yang di dalam Alquran disebutkan secara umum. Seperti Sunnah yang mengkhususkan pengertian anak pada ayat mawaris pada anak yang tidak membunuh orang tuanya dan  tidak murtad atau berbeda agama.
e.       Fungsi Insya’ dan Tasyri’, yaitu menetapkan hukum sendiri di mana suatu kasus tidak dijelaskan di dalam Alquran. Misalnya Sunnah yang mengharamkan binatang himar yang jinak, keharaman binatang yang bertaring, keharaman burung yang berkuku tajam, kebolehan memutuskan perkara dengan seorang saksi dan sumpah, menetapkan kebolehan gadai tidak dalam keadaan safat, kewajiban membayar diat atas keluarga yang membunuh, kewarisan nenek dan lain-lain.

Nabi Muhammad SAW. dalam menjalankan tugas kerasulannya berfungsi sebgai penyampai dan penjelas terhadap ajaran Allah (al-Quran) yang diturunkan kepadanya. Tugas Nabi sebagai pemberi bayan (penjelasan) atau tabyin (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam al-Quran).

Secara lebih rinci fungi sunnah terhadap al-Quran adalah:
a.    Memperkuat dan menegaskan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Quran atau disebut juga dengan fungsi ta’kid dan taqrir. Dengan kata lain, sunnah hanya seperti mengulangi apa yang disebutkan dalam al-Quran.
b.    Memberikan penjelasan terhadap al-Quran. Sunnah dapat berupa penjelasan terhadap hal-hal yang masih samar dalam al-Quran. Kadangkala Sunnah datang mentakhsis ayat-ayat umum dalam al-quran, yaitu menjelaskan bahwa yang dimaksud Allah adalah sebagian cakupan lafal mum itu, bukan seluruhnya. Sunnah juga berfungsi sebagai taqyid (membatasi) lafal mutlak dalam al-Quran. Bahkan Sunnah datang memperluas maksud dari sesuatu yang terdapat dalam al-Quran dengan membuat aturan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban.

Dari beberapa fungsi Sunnah yang termasuk dalam poin kedua ini, dapat dikemukakan sebuah contoh mengenai kasus li’an. Li’an terjadi bila seorang suami menuduh isterinya berzina tanpa mampu mengemukakan empat orang saksi, sedangkan isterinya tidak mengakuinya. Jalan keluar menentukan ebenaran atau kedustaan tuduhan itu adalah dengan li’an.




D.     Tingkatan Kekuatan atau Kehujjahan Sunnah

Kedudukan Sunnah sebagai sumber dan dalil hukum kedua setelah Alquran, Ijma’ dan akal. Di antara ayat Alquran dapat disebutkan antara lain ayat yang menjelaskan bahwa apa yang dikatakan Nabi itu tidak lain adalah wahyu (QS al-Najm: 3-4), ayat yang menjelaskan tugas Nabi sebagai penjelas Alquran (al-Nahl: 44), ayat yang mewajibkan kita mengikuti apa yang diperintahkan Nabi  dan menjauhi apa yang dilarang Nabi.

Menurut logika, Muhammad adalah Rasul Allah. Ini berarti kedudukan ia adalah sebagai penyampai wahyu dari Allah. Apa yang disampaikannya kepada umat, pada hakekatnya merupakan wahyu Allah, baik yang dibacakan, maupun yang tidak dibacakan. Konsekwensinya dari keimanan kita kepada kerasulan Muhammad adalah menantinya dan mengikuti hukum-hukum yang dibawanya. Sebab, keimanan tanpa disertai mengikuti ajarannya tidaklah ada artinya.

Bukti atas kekuatan al Sunnah sebagai hujjah sangat banyak, antara lain:

Pertama: Nash-nash al Quran. Karena Allah SWT. sering kali dalam ayat-ayat al Quran memerintahkan untuk taat kepada Rasul-Nya, menjadikan taat kepada Rasul sebagai bukti ketaatan kepada-Nya. Semua ini adalah bukti dari Allah bahwa penetapan hukum yang dilakukan Rasulullah adalah penetapan hukum Thu\\uhan yang wajib dikuti.

Kedua: Kesepakatan para Sahabat ra., baik semasa hidup maupun sepeninggal Rasulullah SAW. akan kewajiban mengikuti sunnah Rasul. Di masa hidup Nabi, para sahabat telah melaksanaakan hukum, menjalankan perintah dan (menjauh) larangan NaBi SAW.; halal dan haram. Dalam pelaksanaan kewajiban mengikuti, mereka tidak membedakan antara hukum yang keluar berasal dari Nabi sendiri.

Ketiga: Allah SWT. Dalam al Quran telah menetapkan berbagai kewajiban yang masih bersifat global, hukum dan petunjunk pelaksanaannya tidak terpecinci.

Chaerul Uman, dkk. (2001: 64-67), menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat jumhur ulama tentang sunnah Rasul sebagai sumber hukum yang kedua sesudah al-Quran di dalam menetapkan suatu keputusan hukum, seperti menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Kekuatannya sama dengan al’Quran. Oleh karena itu, wajib bagi umat islam mengamalkan dan menerima apa-apa yang terkandung di dalamnya selama hadits itu sah dari Rasulullah saw.
          Umat Islam sepakat menjadikan Sunnah Nabi yang meliputi perkataan, perbuatan dan ketetapannya sebagai sumber hukum islam yang kedua. Sunnah ini menjadi sumber bagi para mujtahid untuk mengistinbatkan hukum islam yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.



E.      Hubungan Al-Sunnah dengan Al-Quran

Hubungan al Sunnah kepada al Quran dari segi kedudukannya sebagai hujjah dan rujukan dalam mengeluarkan hukum syara’ adalah menjadi pengiring al Quran. Artinya seorang mujtahid dalam membahas suatu kejadian tidak boleh merujuk kepada al Sunnah kecuali setelah tidak dapat menemukan hukumnya dalam al Quran. Karena al Quran adalah sumber pertama hkum syara’.

Adapun hubungannya kepada al Quran dari segi hukum yang dbawanya, tidak lebih dari salah satu di antara tiga hal berikut:
a.    Al Sunnah menetapkan dan menguatkan hukum yang dibawa al Quran, sehingga hukum itu mempunyai dua sumber dan dua dalil; ayat al Quran dan sunnah Rasul.
b.    Al Sunnah memerinci dan menjelaskan keglobalan hukum yang dibawa al Quran, membatasi kemutlakannya dan mentakhsis keumumannya. Penjelasan, pembatasan, atau pentakhsisan al Sunnah terhadap al Quran adalah menjelaskan makna ayat al Quran.
c.    Al Sunnah juga menetapkan dan membentuk hukum yang tidak dijelaskan oleh al Quran. Sehingga hukum itu ditetapkan berdasarkan dalil al Sunnah, bukan al Quran.

Adapun sumber hukumnya adalah ilham Allah kepada Rasul-Nya atau ijtihad Rasul Sendiri.

Imam Syafi’i dalam kitab ar Risalah (dalam masalah Ushul Fiqh) mengatakan, “Saya tidak mengetahui ada perbedaaan pendapat di antara para ilmuwan bahwa Sunnah Nabi SAW. Itu di peroleh dari tiga cara:
a.    Nash al Quran yang diturunkan oleh Allah SWT., kemudan Nabi membentuk sunnah sesuai dengan nash tersebut.
b.    Allah menurunkan nash secara global kemudian Nabi SAW. (dengan ilham Allah) menetapkan sunnah dengan menjelaskan makna nash yang dimaksud.

c.    Sunnah Rasul yang memang tidak terdapat dalam nash al Quran.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot