A.
Putusnya Perkawinan
Perkawinan merupakan awal hidup bersama dalam suatu ikatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud membentuk keluarga yang bahagia, seperti yang diamanahkan oleh Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi : “Tujuan perkawinan adalah juga untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena perkawinan/pernikahan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal, berarti dalam rumah tangga itu seharusnya tercipta adanya hubungan yang harmonis antara suami isteri dan anggota keluarganya berdasarkan adanya prinsip saling menghormati (menghargai) dengan baik, tenang, tenteram dan saling mencintai dengan tumbuhnya rasa kasih sayang.
Menciptakan sebuah rumah tangga yang damai berdasarkan kasih sayang
yang menjadi performance merupakan idaman bagi setiap pasangan suami isteri
merupakan upaya yang tidak mudah, tidak sedikit pasangan suami isteri yang
gagal dan berakhir dengan sebuah perceraian.
Kenyataan tersebut di atas membuktikan bahwa memelihara kelestarian
dan kesinambungan hidup dalam rumah tangga bukanlah merupakan perkara yang
mudah untuk dilaksanakan. Faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomis,
perbedaan pandangan hidup dan lain sebagainya terkadang muncul dalam kehidupan
rumah tangga bahkan dapat menimbulkan krisis serta dapat mengancam sendi-sendi
rumah tangga.
Keberadaan institusi perkawinan menurut Hukum Islam dapat terancam
oleh berbagai perbuatan para pelaku perkawinan itu sendiri, baik itu dilakukan
pria maupun oleh wanita. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat merusak perkawinan,
terhentinya hubungan untuk bebarapa saat, dalam waktu yang lama bahkan terputus
untuk selamanya, sangat bergantung pada jenis perbuatan yang mereka lakukan.
Pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa sudah menjadi kehendak dari orang-orang
yang melangsungkan perkawinan agar perkawinannya berlangsung terus menerus dan
hanya terputus apabila salah seorang baik suami ataupun isteri meninggal dunia.
Namun dalam kenyataan, banyak pasangan suami isteri yang terpaksa harus putus
ikatan perkawinannya di tengah jalan.
Secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membagi sebab-sebab putusnya perkawinan
ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu seperti yang tercantum dalam Pasal 38 atau
dalam undang-undang Kompilasi Hukum Islam pasal 113, perkawinan dapat putus
karena adanya hal-hal berikut:
1.
Kematian
Hukum perkawinan Agama Islam menentukan bahwa apabila salah seorang
di antara kedua suami istri meninggal dunia, maka telah terjadi perceraian
dengan sendirinya. Dimulai sejak tanggal meninggal tersebut.
2.
Perceraian
Ada dua macam perceraian yang menyebabkan bubarnya perkawinan.
Yaitu perceraian karena talak (cerai talak) dan perceraian karena gugatan
(gugat cerai).
A.
Perceraian
Karena Talak (Cerai Talak)
Menurut UU. No.1/1974 pasal 66 ayat (1) cerai talak adalah
permohonan yang diajukan oleh seorang suami yang beragama Islam kepada
pengadilan guna menceraikan istrinya dengan penyaksian ikrar talak. Sedangkan
talak menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 117 adalah ikrar suami dihadapan
sidang Pengadilan Agama dan menjadi sebab putusnya perkawinan.
1.
Jenis-jenis
Talak
Menurut Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa jenis talak yang
menyebabkan putusnya perkawinan. Antara lain:
a.
Talak
Raj’i
Yaitu talak kesatu atau kedua dimana suami berhak rujuk selama
dalam masa iddah (pasal 118 KHI).
b.
Talak
Ba’in Sughra
Yaitu talak yang tidak boleh rujuk namun boleh akad nikah baru
dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah (pasal 119 KHI). Talak Ba’in
Sughra adalah talak yang terjadi qabla al dukhul, talak dengan tebusan atau
khulu’, dan talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
c.
Talak
Ba’in Kubra
Yaitu talak untuk yang ketiga kalinya. Tidak boleh dirujuk dan
tidak boleh dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah
bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al
dukhul dan masa iddah. (pasal 120 KHI).
d.
Talak
Sunni
Adalah talak yang dibolehkan. Yaitu talak yang dijatuhkan pada
istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. (pasal
121 KHI).
e.
Talak
Bid’i
Adalah talak yang dilarang. Yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu
istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri.
(pasal 122 KHI).
2.
Macam-macam
Alasan Permohonan Cerai Talak
Permohonan cerai talak dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan
berikut ini:
a.
Istri
melalaikan kewajibannya sebagaimana terdapat pada UU. No.1/1974. Pasal 34 ayat
(3) dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 77 ayat (5).
b.
Istri
berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit
atau tidak dapat disembuhkan seperti yang tercantum dalam PP. No.9/1975. Pasal
19 huruf a dan 116 huruf a.
c.
Istri
meninggalkan suami selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa
alas an yang sah seperti yang terdapat dalam PP. No. 9/1975. Pasal 19 huruf b
dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf b.
d.
Istri
mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih terdapat dalam PP. No. 9/1975.
Pasal 19 huruf c dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf c.
e.
Istri
melakukan kekejaman atau penganiayayaan yang membahayakan pihak lain tercantum
dalam PP. No. 9/1975. Pasal 19 huruf d dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116
huruf a.
f.
Istri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri karena cacat badan atau
penyakit sebagaimana tercantum dalam PP. No. 9/1975. PAsal 19 huruf e dan
Kompilasi Hukum Islam Pasal 166 huruf e.
g.
Terus-menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran antara suami istri yang tidak dapat
didamaikan lagi. Tercantum dalam PP. No. 9/1975. Pasal 19 huruf f dan Kompilasi
Hukum Islam Pasal 166 huruf f.
h.
Istri
murtad, yaitu terjadi peralihan agama yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga. Terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal
116 huruf h.
i.
Syiqaq,
dengan syarat harus mendengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga
atau orang-orang yang dekat dengan suami atau istri. Seperti terdapat dalam UU.
No. 7/1989. Pasal 76 ayat (1-2).
j.
Li’an.
Yaitu tuduhan kepada salah satu dari suami istri ada yang berzina, atau suami
mengingkari anak dalam kandungan maupun yang sudah lahir dari istrinya,
sedangkan pemohon atau penggugat tidak mempunyai bukti-bukti dan tergugat
menyanggah tuduhan tersebut. Terdapat dalam UU. No.7/1989. Pasal 87 ayat (1-2)
dan Pasal 88 ayat (1-2), serta dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 125-128.
3.
Tempat
Mengajukan Permohonan Cerai Talak
a.
Menurut
UU. No. 7/1989. Pasal 66 ayat (1-4), seorang suami mengajukan permohonan kepada
Pengadilan daerah setempat atau apabila pemohon dan termohon tinggal di luar
negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang meliputi tempat
perkawinan mereka dilangsungkan untuk mengadakan sidang penyaksian ikrar talak.
Bisa juga diajukan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
b.
Menurut
Kompilasi Hukum Islam Pasal 129, seorang suami yang akan menjatuhkan talak
kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan kepada
Pengadilan Agama di tempat tinggal istri dengan alasan meminta diadakan sidang.
c.
Perceraian
Hanya Dapat Dilakukan di Depan Sidang Pengadilan
d.
Dalam
UU. No. 1/1974. Pasal 39 ayat (1-3), UU. No. 7/1989 Pasal 65, dan Kompilasi
Hukum Islam, ditentukan bahwa perceraian hanya dilakukan di depan sidang
Pengadilan dengan alasan antara suami dan istri tidak bisa didamaikan lagi.
4.
Saat
Mulai Terjadinya Perceraian Karena Talak
Menurut PP. No. 9/1975. Pasal 17 dan 18, serta dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 123, perceraian dihitung setelah keputusan hakim dinyatakan
di depan sidang Pengadilan dengan surat keterangan perceraian yang dibuat oleh
Ketua Pengadilan untuk dikirim kepada Pegawai Pencatat di tempat terjadinya
perceraian.
B.
Perceraian
Karena Gugatan (Gugat Cerai)
Adapun pengertian cerai gugat menurut UU. No.7/1989 pasal 73 ayat
(1) adalah gugatan perceraian yang diajukan istri atau kuasanya kepada
Pengadilan daerah setempat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja
meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa izin tergugat. Dan menurut Kompilasi
Hukum Islam pasal 132 ayat (1), gugatan cerai adalah gugatan yang diajukan oleh
istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama setempat kecuali si istri
meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa izin suami.
a.
Fasakh
Adalah jatuh talak karena tuntutan isteri kepada hakim (Pengadilan Agama) agar dijatuhkan cerai oleh
hakim, baik sebab kepergian maupun karena melanggar takliq talak, atau karena
masuk penjara. Di dalam buku nikah di Indonesia pada takliq talak dijelaskan
bahwa seorang wanita (isteri) boleh meminta fasakh (minta supaya diceraikan)
oleh pengadilan Agama apabila suami sewaktu-waktu :
1.
Meninggalkan
isteri selama dua tahun berturut-turut.
2.
Tidak
memberi nafkah wajib kepada isteri selama tiga bulan berturut-turut.
3.
Menyakiti
badan atau jasmani isteri.
4.
Membiarkan
atau tidak pedulikan isteri selama enam bulan berturut-turut.
Demikian agama Islam memberikan hak fasakh kepada seorang wanita,
jika dia tidak ridha karena :
1.
Membawa
madarat baginya dengan perpisahan itu.
2.
Akan
menjerumuskan dirinya kepada yang diharamkan Allah (antara lain berbuat
serong).
3.
Merasa
tergantung, terkatung-katung karena disia-siakan oleh suami.
b.
Syiqaq
Adalah perceraian terjadi karena keretakan antara suami isteri.
Sedangkan perceraian itu diputuskan oleh hakim (Pengadilan Agama), setelah
berusaha mencari perdamaian (islah) antara kedua belah pihak (isteri dan suami)
melalui utusan masing-masing. Namun demikian, perdamaian itupun tidak
kemungkinan diperdapat lagi. Sebab-sebab terjadi Syiqaq antara lain sebagai
berikut :
1.
Antara
suami isteri mempunyai watak, sehingga tidak dapat dipertemukan, dan
masing-masing mempertahankan wataknya dan tidak mau mengalah.
2.
Disebabkan
oleh suami, misanya perlakuan suami yang amat sewenang-wenang terhadap isteri,
hingga amat berat bagi isteri untuk dapat bertahan sebagai isteri.
c.
Ta’lid
talaq
Inisiatif cerai dapat juga dilakukkan oleh isteri berdasarkan
sighat talaq yang diucapkan oleh suami sesdah akad niah berlangsung. Sesuai
dengan tata cara cerai talaq,isteri mengadukan (memberitahuakan) halnya kepada
pengadilan agama apabila suami tidak menepati kewajiban seperti telah diucapkan
dalam sighat talaq.
3.
Keputusan Hakim
Untuk masalah yang satu ini sebetulnya tidak serumit yang kita
bayangkan. Karena pada dasarnya putusan sidang bisa menjadi alasan bubarnya
suatu perkawinan apabila dilandasi adanya suatu kemaslahatan yang harus dituju
dan ditegakkan. Sebagai satu contoh kasus apabila seorang istri ditinggal
suaminya ke medan perang dan tidak kembali selama 10 tahun sehingga dinyatakan
hilang, maka karena ini si istri meminta kejelasan statusnya kepada pengadilan.
Sebab hal inilah pengadilan berhak memutuskan setatus si istri
tersebut dengan membubarkan perkawinannya demi kemaslahatan dirinya dan
keluarganya.
B.
Akibat dari Perceraian
Ada dua akibat yang muncul apabila terjadi perceraian antara suami
istri. Pertama adalah akibat bagi istri dan harta kekayaan dan yang kedua
adalah akibat bagi anak-anak yang belum dewasa. Putusan perceraian tidak
berlaku surut, hanya mulai berlaku pada saat dibukukannya surat keputusan itu
dalam segister Catatan Sipil. Perceraian berakibat pada adanya pembagian
hak-hak antara bekas suami dan bekas istri menyangkut masalah hak asuh anak
maupun pembaian harta. Perceraian berakibat pada adanya pembagian hak-hak
antara bekas suami dan bekas istri menyangkut masalah hak asuh anak maupun
pembagian harta.
Akibat yuridis yang timbul akibat cerai talak adalah :
1.
Menurut
UU. No. 1/1974 pasal 41 putusnya perkawinan karena perceraian adalah timbulnya
kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya dan yang bertanggung jawab
sepenuhnya atas pembiayaan pemeliharaan dan pendidikan anak adalah bapaknya.
Namun apabila bapaknya tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan
memutuskan bahwa ibunya ikut menanggung biaya tersebut. Jika terjadi
perselisihan tentang penguasaan anak, maka pengadilan yang berhak memberi
keputusan. Pengadilan juga berhak mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan atau menentukan kewajiban bagi bekas istri.
2.
Menurut
KHI pasal 149, apabila perkawinan putus karena cerai talak, maka suami wajib
melunasi mahar (yang terhutang) seluruhnya apabila istrinya sudah dicampuri,
dan setengah bagi istri yang belum dicampuri. Kemudian bekas suami wajib
memberikan mut’ah berupa uang atau benda kepada bekas istri kecuali belum
dicampuri. Selain itu ada juga kewajiban memberi nafkah berupa maskan dan
kiswah selama bekas istri dalam masa iddah kecuali jatuh talak ba’in atau
nusyuz sedang bekas istri dalam keadaan hamil. Serta adanya kewajiban
memberikan biaya hadhanah bagi anak di bawah umur 21 tahun.
3.
Hak
Penguasaan Pemeliharaan Anak (Hadhanah)
a.
Menurut
KHI pasal 156, anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari
ibunya, kecuali ibunya meninggal dunia maka kedudukannya digantikan oleh :
Ø Wanita-wanita dalam garis lurus ibu
Ø Ayah
Ø Wanita-wanita dalam garis lurus ayah
Ø Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
Ø Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu
Ø Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
Sedangkan anak yang sudah mumayyiz berhak memilih hadhanah dari ibu
atau ayahnya. Dan pengadilan berhak memindahkan hak hadhanah kepada kerabat
lain yang berhak hadhanah pula apabila keselamatan jasmani dan rohani anak
tidak terjamin meskipun nafkah hadhanah sudah terpenuhi.
b.
Hak
pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun jika terjadi
perceraian adalah menjadi hak ibunya, sebagaimana tercantum dalam Kompilasi
hukum Islam Pasal 105 huruf a.
c.
Biaya
pemeliharaan dan penyusuan anak menjadi tanggung jawab ayahnya menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus
diri sendiri (21 tahun). Apabila ayahnya meninggal dunia, maka penyusuan
dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau
walinya. Seperti yang tercantum dalam Kompilasi hukum Islam Pasal 104
ayat(1-2), Pasal 105 huruf c, dan Pasal 156 huruf d.
d.
Eksekusi
putusan hadhanah menurut KUH Perdata Pasal 319 f ayat (5) adalah tentang kepada
siapa seharusnya anak itu dipercayakan, terlepas dari ada atau tidaknya orang
tua atau perwalian yang telah mengurus anak tersebut. Apabila pihak yang
menguasai anak itu menolak menyerahkannya, maka juru sita boleh menjadi
perantara untuk melaksanakan keputusan itu.
C.
Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif
Putusnya hubungan pernikahan pada dasarnya diakibatkan oleh adanya
perceraian, baik cerai kerena kematian maupun karena cerai hidup melalui 2 cara
yakni; cerai talak dan cerai gugat. Perceraian tidak mudah untuk dilakukan,
karena harus ada alasan-alasan kuat yang mendasarinya. Cerai adalah terputusnya
hubungan perkawinan antara suami dan isteri.
Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974
mengatur putusnya hubungan perkawinan sebagaimana berikut :
1.
Pasal
113 KHI, menyatakan perkawinan dapat putus karena 1) Kematian; 2) Perceraian,
dan 3) Atas putusan pengadilan.
2.
Pasal
115 KHI dan Pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974 menyatakan, bahwa Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dantidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
3.
Pasal
114 KHI menegaskan, bahwa Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian
dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan cerai.
Sementara itu alasan-alasan perceraian termuat dalam pasal 116 KHI
dan pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974, antara lain:
1.
Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2.
Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
3.
Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
4.
Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
yang lain.
5.
Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
6.
Antara
suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7.
Suami
melanggar taklik talak.
8.
Peralihan
agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah
tangga.
Menurut Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI macam-macam talak
adalah sebagai berikut:
1.
Pasal
117 dalam KHI memut:Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131 Kompilasi Hukum Islam;
2.
Pasal
118 dalam KHI memuat :Talak raj’i adalah talak ke satu atau kedua, dalam talak
ini suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.
3.
Pasal
119 dalam KHI memuat :Talak ba’in shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk
tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam keadaan
iddah. Talak ba’in shughra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :1) Talak
yang terjadi qabla ad-dukhul 2) Talak dengan tebusan atau khuluk; 3) Talak yang
dijatuhkan oleh pengadilan agama.
4.
Pasal
120 dalam KHI menyatakan:Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk
ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan
kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah
dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da ad-dukhul dan habis
masa iddahnya.
5.
Pasal
121 dalam KHI memuat :Talak sunni adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak
yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam
waktu suci tersebut.
6.
Pasal
122 dalam KHI memuat :Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang
dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci
tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
7.
Pasal
123 dalam KHI memuat :Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu
dinyatakan di depan sidang pengadilan.
8.
Pasal
124 dalam KHI memuat :Khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai
ketentuan pasal 116 KHI.
a.
Cerai
Thalaq
Salah satu bentuk perceraian adalah cerai talak. Talak sendiri
dapat dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya. Talak sendiri dapat
dilakkan suami kepada isterinya sebanyak satu, dua, sampai tiga kali. Dalam
al-Qur’an, Surat al-Baqarah ayat 229, Allah SWT berfirman yang artinya “talak
itu ada dua kali, selanjutnya tahanlah secara baik atau ceraikanlah secara baik”.
Dari Firman Allah SWT di atas, dapat disimpulkan bahwa talaq yang di ucapkan suami kepada
isterinya boleh satu, dua, sampai tiga kali. Namun selaku catatan, talaq yang
diucapkan untuk ketiga kalinya tidak memungkinka lagi pihak keduanya untuk
kembali melakukan rujuk, karena talaq ketiga akan memutus total hubungan
perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
Secara harfiyah Thalak itu berarti lepas dan bebas. Dihubungkan
dengan kata thalaq dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan karena antara
suami dengan istri sudah lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas dari
ikatan perkawinan yang mereka sebelumnya jalani. Secara terminologi, banyak
kalangan ulama yang mengemukakan pengertian talak. Menurut Al-Mahalli dalam
kitabnya Minhaj al-Thalibin (Amir Syarifuddin, 2009: hal 198), mengemukakan,
bahwa thalaq pada dasarnya adalah melepaskan hubungan pernikahan dengan
menggunakan lafaz thalaq dan sejenisnya.
Rumusan di atas sebenarnya telah mewakili rumusan pengertian thalaq
dalam kitab-kitab fiqh. Dalam artian ini, terdapat tiga kata kunci yang
menunjukkan hakikat perceraian yang bernama thalaq, yakni: Pertama; kata
“melepaskan” atau membuka atau menanggalkan mengandung arti bahwa thalaq itu
melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat dengan erat yaitu ikatan
perkawinan.Kedua; kata “ikatan perkawinan” mengandun arti bahwa thalaq itu
mengakhiri hubungan perkawinan yang selama ini terjadi antara pasangan suami
dan istri. Ketiga; kata “dengan lafaz tha-la-qa dan sama maksudnya dengan itu”
mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui ucapan. Dan ucapan yang
digunakan adalah kata-kata thalaq tidak dengan: putus perkawinan bila tidak
dengan cara mengucapkan ucapan tersebut, seperti putus karena kematian.
b.
Hukum
Talak
Talak mempunyai beberapa hukum seperti dibawah ini:
1.
Makruh.
2.
Haram,
apabila talak di jatuhkan oleh suami terhadap isteri dalam keadaan haidh, atau
dalam keadaan suci setelah isteri itu di campuri.
3.
Sunnah,
apabila suami sudah tidak mampu lagi menunaikan tugasnya sebagai suami.
4.
Wajib,
apabila suami sudah bersumpah dengan mengatakan ia tidak akan menggauli
isterinya lagi atau karena perselisihan antara suami isteri.
c.
Macam-Macam
Thalaq
Adapun macam-macam thalaq adalah sebagimana yang akan dijelaskan
sebagai berikut:
1.
Thalaq
Raj’I; Adalah suatu talak dimana suami memiliki hak untuk merujuk isteri tanpa
kehendaknya. Dan talak raj’i ini disyaratkan pada isteri yang telah digauli.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya: “Tidak (yang dibolehkan
rujuk) itu hanya dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang patut
atau menceraikannya dengan cara yang baik-baik”. (Al-Baqarah :
2.
Thalaq
Bain Syughra; Adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru
dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. Dalam hal ini Allah SWT berfirman
dalam surat Al-Baqarah ayat 230 yang artinya: “Maka jika (Suami) telah
mentalaknya (tiga kali), maka tidak halal baginya untuk kawin kembali sesudah
itu, kecuali sesudah perempuan tersebut kawin dengan laki-laki lain”.
Termasuk thalaq Bain Syughra ini ada 3 macam, yaitu sebagai berikut
:
1.
Talak
yang terjadi qabla didukhul; adalah talak yang terjadi atas permintaan isteri
terhadap pengadilan agama, dan suami telah mencampuri isterinya.
2.
Talak
dengan tebusan atau khuluk; Khuluk menurut bahasa berarti perpisahan isteri
dengan imbalan harta. Kata tersebut dari kalimat khala’ats tsauba (melepas
baju), karena wanita diibaratkan pakaian laki-laki. Menurut istilah khuluk
adalah perceraian antara suami isteri dengan membayar iwad (tebusan) dari pihak
isteri, dengan mengembalikan mas kawin yang pernah diterima dari suami atau
dengan menebusnya atas kesepakatan kedua belah pihak.
3.
Talak
yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama;Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan
Agama atas permintaan isteri, untuk itu lebih jelas pada keterangan berikut :
d.
Fasakh
Fasakh adalah jatuh talak karena tuntutan isteri kepada hakim (Pengadilan Agama) agar dijatuhkan cerai oleh
hakim, baik sebab kepergian maupun karena melanggar takliq talak, atau karena
masuk penjara. Di dalam buku nikah di Indonesia pada takliq talak dijelaskan
bahwa seorang wanita (isteri) boleh meminta fasakh (minta supaya diceraikan)
oleh pengadilan Agama apabila suami sewaktu-waktu :
1.
Meninggalkan
isteri selama dua tahun berturut-turut.
2.
Tidak
memberi nafkah wajib kepada isteri selama tiga bulan berturut-turut.
3.
Menyakiti
badan atau jasmani isteri.
4.
Membiarkan
atau tidak pedulikan isteri selama enam bulan berturut-turut.
Demikian agama Islam memberikan hak fasakh kepada seorang wanita,
jika dia tidak ridha karena :
1.
Membawa
madarat baginya dengan perpisahan itu.
2.
Akan
menjerumuskan dirinya kepada yang diharamkan Allah (antara lain berbuat
serong).
3.
Merasa
tergantung, terkatung-katung karena disia-siakan oleh suami.
e.
Syiqaq
Syiqaq adalah perceraian terjadi karena keretakan antara suami
isteri. Sedangkan perceraian itu diputuskan oleh hakim (Pengadilan Agama),
setelah berusaha mencari perdamaian (islah) antara kedua belah pihak (isteri
dan suami) melalui utusan masing-masing. Namun demikian, perdamaian itupun
tidak kemungkinan diperdapat lagi. Sebab-sebab terjadi Syiqaq antara lain
sebagai berikut :
1.
Antara
suami isteri mempunyai watak, sehingga tidak dapat dipertemukan, dan
masing-masing mempertahankan wataknya dan tidak mau mengalah.
2.
Disebabkan
oleh suami, misanya perlakuan suami yang amat sewenang-wenang terhadap isteri,
hingga amat berat bagi isteri untuk dapat bertahan sebagai isteri.
f.
Bilangan
Talak
Bilangan talak ada tiga macam, yaitu: Talak Satu, talak dua, dan
talak tiga. Talak satu dan talak dua di sebut dengan talak pas’i, yaitu talak
yang terjadi antara suami dan isteri dan boleh rujuk ketika dalam masa iddah.
Adapun talak tiga yang terjadi antara suami dan isteri, maka tidak boleh
mengadakan rujuk di antara keduanya pada masa iddah. Jika keduanya ingin
kembali bersatu maka harus di lakukan dengan akad nikah yang baru dan telah di
selang orang lain.Talak tiga meliputi tiga cara, sebagai berikut:
Suami
menjatuhkan talak sebanyak tiga kali pada waktu yang berbeda-beda.
1.
Seorang
suami menthlaq isterinya dengan talak satu, setelah habis masa iddahnya isteri
itu di nikahi kembali lagi, kemudian di talak lagi.
2.
Talak
tiga dengan cara suami mengatakan talak kepada isterinya dengan talak tiga pada
sati waktu.
g.
Kalimat
yang di pakai dalam talak ada dua macam, yaitu:
1.
Sharih
(terang) yaitu kalimat yang tidak di ragukan lagi bahasa yang dimaksud adalah
memutuskan ikatan perkawinan.
2.
Kinayah
(sindiran) yaitu kalimat yang masih ragu-ragu boleh dikaitkan untuk perceraian
nikh atau yang lainnya. Kalimat sindiran ini tergantung pada niatnya, artinya
kalau tidak di niatkan untuk perceraian mak tidaklah jatuh talak.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas jelas sudah bahwasanya undang-undang telah
mengatur dan membahas secara rinci atas dapat putusnya suatu perkawinan dengan
adanya tiga hal yaitu kematian, perceraian, dan putusan pengadilan. Pengaturan
hal ini dalam undang-undang dimaksudkan tidak lain demi terciptanya masyarakat
yang tertib, harmonis serta keluarga yang bahagia tanpa adanya saling merugikan
satu sama lain antara suami istri, sehingga terlaksananya hak-hak dan kewajiban
masing-masing.
Dari pembahasasn diatas pula kita dapat menganalisis betapa
berbelit-belitnya suatu perceraian, hal ini disebabkan agar terbentuknya
keluarga yang bahagia dan langgeng, maka perceraian sejauh mungkin dihindarkan
dan hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang dianggap sangat terpaksa dengan
alasan-alasan tertentu yang telah diatur oleh undang-undang.
Demikinlah makalah ini kami buat, dan kami sangat sadar sekali
bahwa didalamnya masih banyak kekurangan disana-sini baik subtansinya, tata
bahasanya, maupun susunannya. Sehingga kami sangat mengharapkan saran dan
masukan para pembaca yang konstruktif demi lebih baik dan sempurnanya makalah
yang kami susun ini.
Semoga adanya makalah ini memberikan khazanah pengetahuan baru dan
dapat memberikan ”ziadatul khair” bagi kita semua sehingga dapat bermanfaat
dikemudian hari, amin.
B.
Saran-Saran
1.
Makalah Hukum Perdata ini diharapkan menjadi
masukan dan bahan tambahan dalam memahami perkara-perkara Terputusnya
Perkawinan. Penulis juga mengharapkan
makalah ini dapat dikembangkan oleh para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Ali. Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian,
Jakarta: Bina Aksara, 1986.
Abdul Qadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT
Aditya Bakti, 2012
Ichsan, Achamad. Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, Jakarta
: CV. Muliasari, 1986.
Manan, Abdul, M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT. Intermasa,
2003.
Tags:
MAKALAH
nice share gan, bagus artikelnya
BalasHapussouvenir pernikahan