September 2015 - Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Selasa, 29 September 2015

Pengertian Tasawuf Akhlaki

September 29, 2015





BAB II
Tasawuf Akhlaki
Dalam kaitan ini pula,menurut Amin Syukur,ada dua aliran dalam tasawuf.Pertama,aliran tasawuf sunni,yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Quran dan Al-hadist secara ketat,serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkatan rohaniah) mereka kedua sumber tersebut.[1] Kedua,aliran tasawuf falsafi,yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat kompromi,dalam pemakaian terma-terma filsafat yang maknanya di sesuaikan dengan tasawuf.Oleh karena it, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenihnya dapat di katakana tasawuf,dan juga tidak sepenuhnya dapat di katakan sebagai filsafat.[2]
A.    AJARAN TASAWUF AKHLAKI
Bagian terpenting dari tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan tuhan, sehingga merasa dan sadar berada di ‘’hadirat’’tuhan.keberadaan di ‘’hadiarat’’tuahan itu di rasakan sebagai kenikmatan dan kebahagian yang hakiki.[3]Bagi kaum sufi,pengalaman Nabi dalam isra``Mi`raj,misalnya, merupakan sebuah contoh puncak pengalaman rohani.Ia pengalaman rohani tertinggi yang hanya di punyanyi oleh seorang Nabi.Kaum sufi berusaha meniru dan mengulangi pengalaman rohani Nabi iti dalam dimensi, skala, dan format sepadan dengan kemampuannya.’’Pertemuan’’dengan tuhan merupakan puncak kebahagiaan yang di lukiskan dalam sebuah hadist sebagai’’sesuatu yang tak pernah di lihat oleh mata’’.[4]

Semua sufi berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang dapat menghantarkan seseorang ke hadhirat Allah hanyalah dengan kesuciaan jiwa.Karena jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari pada zat Dalam tasawuf Akhlaqi,system pembinaan akhlak di susun sebagai berikut.

1.Takhalli
       Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di jalani oleh seorang sufi.Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari prilaku atau akhlak tercela.Salah satu akhlak tercela yang paling banyak membawa pengaruh terhadap timbulnya  akhlak jelek lainnya adalah ketergantunga pada kelezatan duniawi.Hal ini ini dapat di capai denga jalan menjauhakan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.
Dalam menanamkan rasa beni terhadap kehidupan duniawi  serta mematiaknan hawa nafsu, para sufi berbeda pendapat. Sekolompok sufi yang moderat berpendapat bahwa rasa kebencian terhadap kehidupan duniawi  cukup sekedar tidak melupakan tujuan hidupnya dan tidak meninggalkan duniawi sama sekali.Demikian pula ,dengan pematian hawa nafsu itu, cukup dengan sekedar’’di kuasai’’ melalui pengaturan disiplin kehidupan .
Sementara itu,kelompok sufi yang ekstrem berkeyakinan bahwa kehidupan duniawi benar-benar sebagai ‘’’racun pembunuh’’ kelangsugan cita-cita sufi. Persoalan duniawi adalah penghalang perjalanan, karena nya nafsu yang bertebdensi duniawi harus dimatikan agar manusia bebas berjalan menuju yujuan, yaitu memperoleh kebahagiaan spiritual yang hakiki. Bagi mereka, cara memperoleh keridhaan Tuhan tidak sama dengan cara memperoleh kenikmatan material. Pengingkaran ego dengan cara meresapkan didi pada kemauan Tuhan adalah perbuatan utama.[5]



2. Tahalli
       Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaun sufi setelah jiwa dikosongkan dari akhlak-akhlak jelek. Pada tahap tahalli, kaum sufi berusaha agar setiap gerak perilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat luar maupun yang bersifat dalam. Aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal, seperti shalat, puasa, dan haji, sedangkan aspek dalam seperti iman, ketaatan, dan kecintaan kepada Tuhan.
       Dengan demikian, tahap tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan. Sebab, apabila salah satu kebiasaan telah dilepaskan tapi tidak segera ada pengganti nya, kekosongan itu dapat menimbulkan frustasai. Oleh karena itu, ketika kebiasaan lama ditinngalkan, harus segera di isi dengan satu kebiasaan baru yang baik. Jiwa manusia, seperti kata Al-Ghazali, dapat diubah,dilatih, dikuasai, dan dibentuk dengan kehendak manusia itu sendiri .
       Sikap mental dan perbuatan bail yang sangat penting diisikan kedalam jiwa manusia dan dibiasakan dalam perbuatan dalam rangka pembentukan manusia padipurna, antara lain sebagai berikut:
A.    Taubat
       Menurut Qamar Kailani dalam bukunya Fi At-Tasawuf Islam, taubat adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati dengan disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa. Sementara itu, Al- Ghazali mengklasifikasikan taubat kepada tiga tingkatan:
·         Meninngalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih kepada kebaikan karena takut kepada siksa Allah.
·         Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju ke situasi yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf, keadaan ini sering disebut inabah.
·         Rasa penyesalan yang dilakukan semata mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah. Hal ini disebut Aubah.
B.     Cemas dan Harap (khauf dan Raja’)
     Sikap mental rasa cemas (khauf) dan harap (raja’), merupaka salah satu ajaran tasawuf yang selalu dikaitkan kepada Hasan Al Basri. Karena, secara historis memang dialah yang pertama kali memunculkan ajaran ini sebagai cirri kehidupan sufi. Menurut Al Basri, yang dimaksud dengan cemas atau takut adalah suatu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan sering lalai kepad Allah. Karena sering menyadari kekurang sempurnaan nya dalam mengabdi kepada Allah, timbillah rasa takut, khawatir kalau Allah akan murka kepada nya.[6]
C.    Zuhud
            Secara umum, zuhud dapat di artikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari sikap rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat.
D.    Al-Faqru
Istilah Al-faqru bermakna dapat menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah di miliki sehingga tidak meminta sesuatu yang lain.[7]
E.        As-Sabru
Salah satu sikap mental yang fundamental bagi seorang sufi adalah sabar. Sabar di artikan sebagi suatukeadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam pendirian.
F.        Ridha
Istilah ridha mengandung pengertian menerima dengn lapang dada dan hati terbuka terhadap apa saja yang datang dari Allah, aik dalm menerima serta melaksanakan ketentuan-katentuan agam maupun yang berkenaan dengn nasib dirinya.
G.      Muraqabah
Muraqabah memiliki arti intropeksi atau selfcorrection. Dengan kalimat yang lebih popular dapat di katakan bahwa muraqabah adalah setiap saat siap dan siaga meneliti diri sendiri.



3. Tajalli
            Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah di lalui pada fase tahalli, rangkaian pendidikan akhlak disempurnakan pada fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nurghaib[8]. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan terbias melakukan perbuatan luhur tidak berkurang, rasa ketuhanan perlu di hayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dngan sendirinya akan menumbuhkan akan rasa rindu kepadanya.
            Para sufi sependapat bahwa tingkat kesempurnaan kesucuan jiwa hanya dapat di tempuh dengan satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu. Dengan kesucian jiwa jalan unuk mencapai Tuhan akan terbuka tanpa jalan ini, tidak ada kemungkinan terlaksananya tujuan dan perbuatan yang dilakukan pun tiak dianngap sebagai perbuatan yang baik.[9]

B.       Ciri-ciri Tasawuf Akhlaki
1.      Melandaskan diri pada Al-Quran dan Assunnah.
2.      Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagai mana terdapat pada ungkapan-ungkapan syatahat.
3.      Lebih bersifat mengajarkan dualism dalam hubungan antara tuhan dan manusia.
4.      Kesinambungan antara hakikat dan syariat.
5.      Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan jiwa dengan cara riyadah dan langkah takhalli, tahalli, dan tajalli.






C.      Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaki
Berikut ni adalah contoh para sufi beserta ajarannya yang termasuk dalam tasawuf akhlaqi.
1.      Hasan Al-Bashri
Nama lengkapnya hasan al-bashri adalah Abu sa'id al hasan bin yasar. Ia adalah seorang yang masyhur dikalangan tabi'in, ia lahir di madinah pada tahun 21 H/632 M dan wafat pada tahun 110 H/ 728 M. Abu Naim Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf hasan al bashri sebagai berikut, " takut (khouf) dan pengharapan (raja') tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan,tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah.[10] "Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedihhati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Sa'roni berkata, "demikian takutnya sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuknya (hasan al-basri).
2.      Al-Muhasibi
Al-haris bin Asad Al Muhasibi, beliau lahir pada tahun 165 H di Bashroh, wafat pada tahun 243 H/857 M. Beliau menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya tatkala ia mengamati madzhab-madzhab yang dianut umat Islam, ada sekelompok orang yang tahu tentang keakhiratan. Sbagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu karana kesombongan yang motivasi tentang keduniaan. Pandangan al muhasibi tentang ma'rifat sangatlah berhati-hati terutama dalam menjelaskan batasan agama dan tidak mendalami batin agama yanf dapat mengaburkan pengertian lahirnya dan menyebabkan keraguan.
Dalam ajaran Al-Muhasibi, khauf dan roja' menempati posisi penting dalam perjalanan seorang membersihkan jiwa, beliau jaga mengatakan bahwa khauf dan roja' dapat dilakukan sempurna bila berpegang teguh pada Al-quran dan As-sunnah, dan al muhasibi mengatakan bahwa ma'rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah .
3.      Al-Qusyairi
Nama lengkap Al-qusyairi adalah 'abdul karim bin hawazin lahir tahun 376 di istiwa,kawasan Nisyafu yang merupakan salih satu pusat ilmu pengetahuan pada massanya. Beliu juga orang yang mampu mengompromikan syari'at dengan hakikat, beliu wafat tahun 465 H. Seandainya karya Al-quroisyi dikaji secara mendalam akan tampak jelas bagaimana Al-quroisyi cenderung mengembalikan tasawuf ke landasan doktrin-doktrin ahlus Sunnah yaitu dengan mengikuti para sufi sunni abad ketiga dan keempat hijriyah.Ma'rifat menurut Al-quroisyi adalah seorang yang sudah mengenal Allah dan pengamalannya itu sudah pada keyakinan yang kuat .
4.      Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta'us Ath-Thusi Asy-Syafi'i Al-Ghozali.beliau dilahirkan di khurrosan,Iran pada tahun 450 H/1058 M, dan menghebuskan nafasnya pada tanggal 19 Desember 1111 Masehi.Didalam tasawufnya, Al-Ghozali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
Menurut Al-Ghozali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu terlepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah .[11]











[1]. Amin Syukur,Rasionalisme dalam tasawuf,IAIN WALI SONGO,SEMARANG,1994,hlm.22
[2] .Ibid,hlm,26-27.
[3] .Usman said,et.al,pengantar ilmu tasawuf,medan,proyek pembinaan perguruan tonggi institute    agama islam Negeri sumatera Utara,1981,hlm,96
[4] .Nurcholish Majdjid,pengalaman mistik kaum sufi,dalam Tabloid tekad,Nomor18/tahun11, 6-12 Maret 2000,hlm,11

                                                                                                                                                                                                                                                                       
[5]. Said, Pengantar....., hlm. 101.
[6] . R.A. Nicholson, Seperti di Kutip Said, Pengantar....., hlm.
[7] Alkalabazi, Taàruf fi mazhab at`tasawufi, isa albab al halabi, msir,1960, hlm. 105
[8] Kamar Kailani, fi attasawuf fi al-islam, dar al-maàrif, Kairo, 1969, hlm. 27.
[9] M.M. Syarif, History of Muslim philosophy, Vol. II, Otto Harrazpwitz, Wiesbaden, 1963, hlm. 199.
[10] Hamka, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1986, hlm. 76.
[11] Al Subqi, Thabaqat As Syafi’iyat Al kubra, Al Mustafa Babi Al Halabi, Juz 4, Mesir, hlm. 102.
Read More

Makalah Penerjemahaan alquran

September 29, 2015






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Awal Mula Penerjemahan Al-Qur’an
Terjemah berasal dari bahasa Arab, tarjamah atau turjumah, yang berarti (a) menyampaikan perkataan kepada orang yang belum mengetahuinya, (b) menjelaskan perkataan dengan bahasa aslinya, (c) menjelaskan perkataan dengan bahasa lain, (d) mengalihkan bahasa satu kepada bahasa lain. Tetapi secara kebiasaan terjemah biasa dipahami dengan makna yang keempat yakni mengalihkan bahasa satu ke bahasa lain. Dengan demikian, terjemah secara terminologi dapat didefinisikan dengan, mengungkapkan makna sebuah perkataan dari bahasa asal ke bahasa lain dengan tetap memerhatikan semua makna dan maksud yang terkandung dalam bahasa asalnya.[1]

Syarat penerjemahan yang benar ialah mendekati makna asalnya dengan sempurna. Terjemah ialah menjelaskan apa yang diinginkan oleh kalimat dalam bahasa asalnya, bahkan detail-detail teks aslinya, untuk dialihbahasakan ke dalam teks penerjemah.
Dibandingkan dengan menerjemahkan teks-teks lainnya, menerjemahkan teks al-Qur’an sangat sulit karena nilai mukjizatnya. Karenanya, banyak sekali terjadi kesalahan dalam terjemahan-terjemahan al-Qur’an.
Pada dasarnya terjemah (tarjamah) memiliki dua bentuk yang berbeda, terjemah harfiyah dan terjemah tafsiriyah (ma’nawiyah). Terjemah harfiyah adalah mengubah pembicaraan atau perkataan atau kalimat dari satu bahasa ke bahasa yang lain secara leterlek, dengan  tetap memerhatikan struktur bahasa asal. Sedangkan terjemah tafsiriyah adalah menerjemahkan pembicaraan atau perkataan atau kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain tidaqk secara leterlek, tanpa terikat dengan struktur bahasa asal.[2]
Terjemah bisa dibedakan menjadi dua model; model terjemah harfiyah dan terjemah tafsiriyah. Terjemah harfiyah dibagi dua macam yaitu terjemah harfiyah yang sangat leterlek, ketat dan apa adanya, dan model terjemah harfiyah yang meskipun leterlek, tetapi sangat tergantung kemampuan bahasa sang penerjemah.[3] Untuk mendapatkan penjelasan secara komprehensif berikut akan diterangkan satu per satu.
1.      Terjemah harfiyah yang leterlek dan ketat, di mana bahasa penerjemahan sama persis susunannya dan strukturnya dengan bahasa asal, letak kata per katanya pun sama, juga uslubnya juga sama, keindahan balaghanya juga sama. Terjemah harfiyah jenis ini jelas tidak mungkin dilakukan untuk menerjemahkan Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an diturunkan Allah Swt. Untuk dua tujuan:
a.       Al-Qur’an sebagai tanda dan bukti kebenaran Nabi Muhammad Saw. dan apa yang disampaikannya adalah dari Allah Swt. Ini adalah keberadaan dan fungsi Al-Qur’an sebagai mu’jizat yang dapat melemahkan para penentangnya. Dan ini artinya tidak bisa dihadirkan oleh manusia, meski manusia bekerja sama dengan jin sekali pun.
b.      Al-Qur’an diturunkan Allah Swt. sebagai hidayah bagi kebaikan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Terkait dengan tujuan yang pertama di atas, di mana Al-Qur’an sebagai mu’jizat dan pembenar ajaran yang di bawah Nabi Saw., maka jelas bahwa Al-Qur’an tidak bisa dihadirkan terjemahnya yang sama persis. Karena kemu’jizatan Al-Qur’an tidak terlepas dari konteks keindahan balaghah dan uslub Al-Qur’an yang berbahasa Arab, yang tentu ini berarti menyangkut spesifikasi bahasa Arab sebagai bahasa yang digunakan Al-Qur’an. Spesifikasi ini tentu tidak akan sama dengan spesifikasi bahasa lainnya. Meski mungkin bahasa lain itu memiliki keindahan balaghahnya sendiri, tetapi tidak akan sama dengan keindahan dan keelokan bahasa yang digunakan Al-Qur’an.
Jika Al-Qur’an diterjemahkan secara harfiyah, secara leterlek sekali, maka akan hilang keistimewaan balaghah Al-Qur’annya, dan akan menurunkan derajat bahasa Al-Qur’an yang penuh mu’jizat menjadi sekadar bahasa yang dalam jangkauan akal manusia. Dengan demikian, tujuan diturunkannya Al-Qur’an sebagai mu’jizat menjadi terhalang.[4]
Sedangkan tujuan kedua, turunnya Al-Qur’an menjadi hidayah bagi hidup manusia. Agar hidayah bisa sampai kepada manusia maka Al-Qur’an harus dimengerti maksud dan kandungannya. Karena itu perlu dilakukan pengambilan dan penetapan hukum (istinbath al-ahkam), mencari petunjuk (irsyadat) dari Al-Qur’an. Dalam melakukan proses penetapan hukum dan mengambil petunjuk-petunjuk dari Al-Qur’an ini, biasanya para mutajahid tidak hanya berpegangan pada makna harfiyah, tetapi juga acapkali menggunakan makna-makna kedua, seperti makna dilalah an-nash, isyarah an-nash dan seterusnya. Sedangkan  penerjemahan harfiyah secara leterlek akan menghilangkan makna kedua yang sangat penting digunakan untuk memahami kandungan Al-Qur’an itu. Dengan demikian, terjemah harfiyah yang leterlek dan ketat akan menyebabkan fungsi Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk dapat menjadi terhalang.
2.      Terjemah harfiyah yang meski leterlek, tetapi lebih tergantung pada kemampuan bahasa sang penerjemah. Penerjemahan jenis ini, meski dibenarkan untuk diguanakan pada umumnya, tetapi tidak dibenarkan untuk menerjemahkan Al-Qur’an. Karena akan membahayakn dan dapat merusak struktur bahasa Al-Qur’an dan bisa merendahkan kewibawaannya.
Kedua jenis terjemah harfiyah di atas, tidak bisa dikatakan sebagai tafsir Al-Qur’an kepada selain bahasa Arab. Karena, terjemah harfiyah yang leterlek dan sangat ketat, jelas tidak mungkin dilakukan. Sementara terjemah harfiyah yang meski leterlek, tetapi tergantung kemampuan bahasa sang penerjemah, juga adalah penerjemahan yang tidak dibenarkan dilakukan terhadap Al-Qur’an.
3.      Sementara model terjemah yang ketiga adalah terjemah tafsiriyah (ma’nawiyah), yakni menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain, dengan memahami makna bahasa asal, lalu mengungkapkannya kembali dalam bahasa terjemahan, sesuai dengan susunan, struktur dan uslub bahasa yang digunakan untuk menerjemahkan.
Terjemah tafsiriyah (ma’nawiyah) bisa dilakukan terhadap Al-Qur’an. Dan bagaimana para ulama sepakat memperbolehkan kegiatan penafsiran Al-Qur’an, maka para ulama juga sepakat memperbolehkan kegiatan menerjemahkan Al-Qur’an secara tafsiriyah.[5]



B.     Metode Terjemahan
Penerjemahan dapat dilakukan melalui tiga metode, metode tersebut akan dijelaskan sebagai berikut;
1.      Penerjemahan tekstual
Adalah menerjemahkan setiap kata dari bahasa aslinya ke dalam kata dari bahasa penerjemah. Susunan-susunan kalimat, satu demi satu, kata demi kata diubah hingga akhir.
Terjemahan seperti ini sangat sulit sekali, karena menemukan kata-kata yang sama, dengan kriteria-kriteria yang sama dalam dua bahasa asli adalah pekerjaan yang tidak mudah. Kebanyakan penerjemah, karena alasan ini, mengalami banyak kesulitan. Selain itu, dalam banyak kasus, terjemahan-terjemahan seperti ini tidak bisa menjelaskan makna dengan sempurna. Hal ini disebabkan oleh ketidaksepadanan makna kata dalam bahasa asli dengan makna kata bahasa penerjemah.
2.      Penerjemahan bebas
Dalam metode ini, penerjemah berusaha memindahkan suatu makna dari suatu wadah ke wadah yang lain. Tujuannya adalah mencerminkan makna awal dengan sempurna. Maksud dari kalimat awal bisa diartikan tanpa harus mengurangi makna dengan sedapat mungkin menyesuaikan dengan makna dalam bahasa terjemah. Terjemahan ini disebut dengan terjemahan maknawi karena usahanya tercurah untuk mengalihbahasakan pengertian-pengertiannya secara sempurna bukan pada teksnya. Terjemahan seperti ini, selama tidak merusak makna tidak harus mengikuti susunan kata dalam teks aslinya.
3.      Penerjemahan dengan metode penafsiran
Penerjemahan dengan metode tekstual sama sekali tidak bagus karena tidak mungkin digunakan dalam pembahasan panjang dan buku-buku ilmiah. Demikian juga dengan penerjemahan dengan metode penafsiran yang keluar dari batas, juga tidak dianggap sebagai terjemahan yang baik. Penerjemahan yang bagus adalah penerjemahan bebas. Sejak dahulu hingga kini terjemahan-terjemahan Al-Qur’an, jika tidak diterjemahkan secara tekstual, maka diterjemahkan dengan metode penafsiran.[6]

C.    Hukum Penerjemahan Al-Qur’an
Hukum Terjemah Harfiyah
Atas dasar pertimbangan di atas maka tidak seorang pun merasa ragu tentang haramnya menerjemahkan Qur’an dengan terjemah harfiyah. Sebab Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, merupakan mukjizat dengan lafaz dan maknanya, serta membacanya dipandang sebagai suatu ibadah. Di samping itu, tidak seorang manusia pun berpendapat, kalimat-kalimat Qur’an itu jika diterjemahkan, dinamakan pula Kalamullah. Sebab Allah tidak berfirman kecuali dengan Qur’an yang kita baca dalam bahasa Arab, dan kemukjizatan pun tidak akan terjadi dengan terjemahan, karena kemukjizatan itu hanya khusus bagi Qur’an yang diturunkan dalam bahasa arab. Kemudian yang dipandang sebagai ibadah dengan membacanya ialah Qur’an berbahasa arab yang jelas, berikut lafaz-lafaz, huruf-huruf dan tertib kata-katanya. Dengan demikian, penerjemah Qur’an dengan terjemah harfiyah, betapapun penerjemah memahami betul bahasa, uslub-uslub dan susunan kalimatnya, dipandang telah menurunkan Qur’an dari keadaannya sebagai Qur’an.

Hukum Terjemah Maknawiyah
Menerjemahkan makna-makna sanawi Qur’an bukanlah hal mudah, sebab tidak terdapat satu bahasapun yang sesuai dengan bahasa Arab dalam dan ( petunjuk ) lafaz-lafaznya dan makna-makanya oleh ahli ilmu bayan dinamakan khawassut-tarkib, (karakteristik susunan). Hal demikian tidak mudah didakwahkan seseorang. Dan itulah yang dimaksudkan dengan zamakhsyari’. Dalam pernyataan diatas. Segi-segi balaghah Qur’an dalam lafaz dan sususan baik nakhirah dan makhrifahnya taqdim dan ta’khirnya disebutkan dengan dihilangkan maupun hal-hal lain adalah yang menjadi keunggulan bahasa Qur’an, dan ini mempunyai pengaruh tersendiri terhadap jiwa.
Adapun makna-makna asli, dapat dipindahkan ke dalam bahasa lain. Kemudian ia menjelaskan, menerjemahkan Qur’an dengan cara pertama, yakni dengan memperhatikan makna asli adalah mungkin. Dari segi inilah dibenarkan menafsirkan Qur’an dan menjelaskan makna-maknanya kepada kalangan awam dan mereka yang tidak mempunyai pemahaman kuat untuk mengetahui makna-maknanya. Cara demikian diperbolehkan berdasarkan konsensus ulama islam. Dan konsesus ini menjadi hujjah bagi dibernarkannya penerjemahan makna asli Qur’an.
Namun demikian, terjemahan makna-makna asli itu tidak terlepas dari kerusakan karena satu buah lafaz di dalam Qur’an terkadang mempunyai dua makna atau lebih yang diberikan oleh ayat. Maka dalam keadaan demikian biasanya penerjemah hanya meletakkan satu lafaz yang hanya menunjukkan satu makna, karena ia tidak mendapatkan lafaz serupa dengan lafaz arab yang dapat memberikan lebih dari satu makna itu.
Terkadang Qur’an menggunakan sebuah lafaz dalam pengertian majaz (kiasan), maka dalam hal demikian penerjemah hanya mendatangkan satu lafaz yang sama dengan lafaz arab dimaksud dalam perngertiannya yang hakiki. Karena hal ini dan hal lain maka terjadilah banyak kesalahan dalam penerjemahan makna-makna Qur’an . sebagian ulama membatasi kebolehan penerjemahan seperti itu dengan kadar darurat dalam menyampaikan dakwah. Yaitu yang berkenan dengan tauhid dan rukun-rukun ibadah, tidak lebih dari itu. Sedang bagi mereka yang ingin menambah pengetahuannya, diperintahkan untuk mempelajari bahasa Arab.[7]
D.    Syarat-syarat orang yang menerjemahkan Al-Qur’an
1.      Penerjemah Al-Qur’an adalah seorang Muslim, maka penerjemah non-Muslim tidak dibenarkan menerjemahkan Al-Qur’an, karena ia tidak beriman pada kebenaran Al-Qur’an dan kebenaran Islam
2.      Penerjemahan Al-Qur’an adalah orang yang adalah (adil) dan tsiqah (bisa dipercaya). Orang yang fasiq tidak dibenarkan menerjemahkan Al-Qur’an
3.      Penerjemah adalah orang yang menguasai dan mahir dalam bahasa penerjemahannya, memiliki pengetahuan luas akan pernik-penik bahasa tersebut.[8]


E.     Pentingnya Terjemahan Al-Qur’an
Penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa lain dengan tujuan mengenalkan bahasa Arab dan hakikat pengetahuan Qurani kepada bangsa-bangsa asing harus menjadi salah satu alasan keharusan berdakwah. Hingga saat ini tak ada satupun ulama yang melarang penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa lain. Tujuannya adalah berdakwah tentang agama Islam dan memperkenalkan syari’at dan hakikat Al-Qur’an pada semua orang.
                 Penerjemahan Al-Qur’an sejak dulu hingga sekarang sudah menjadi bagian sejarah yang digeluti para ilmuwan muslim bahkan non muslim. Meskipun Al-Qur’an bukan untuk bangsa Arab saja, tidak ada paksaan bagi bangsa-bangsa lain selain Arab untuk belajar bahasa Arab. Meskipun mereka mau belajar hal itu adalah suatu keutamaan.
     Oleh karena itu Al-Qur’an sangat perlu diterjemahkan ke semua bahasa-bahasa dunia untuk bisa mereka miliki agar mengambil manfaat dari Al-Qur’an secara langsung. Tentunya pekerjaan ini harus mendapat bimbingan orang-orang ahli dan sholeh.[9]




[1] Dr. H. Anshori, Ulumul Qur’an, hlm. 167
[2] Dr. H. Anshori, Ulumul Qur’an, hlm. 167
[3] Dr. H. Anshori, Ulumul Qur’an, hlm. 168
[4] Dr. H. Anshori, Ulumul Qur’an, hlm. 169
[5] Dr. H. Anshori, Ulumul Qur’an, hlm. 171
[6] M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an, hlm. 269-272
[7] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an, hlm. 444-446
[8] Dr. H. Anshori, Ulumul Qur’an, hlm. 171
[9] M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an, hlm. 275-276.
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot