Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Sabtu, 12 Desember 2015

MAKALAH PENGERTIAN HUKUM PIDANA (PEMIDANAAN)

Desember 12, 2015 0





A.    Pengertian Pidana (Sanksi Pidana)

Pidana adalah istilah yuridis sebagai terjemahan dari bahasa Belanda straf, dan dalam bahasa Inggris disebut sentence,  serta dalam bahasa latin sanctio. Digunakannya istilah pidana di sini dan  bukan hukuman  adalah bertujuan untuk memfokuskan makna yang terkandung dari istilah pidana tersebut. Selain itu, hukuman merupakan istilah konvesional  yang mempunyai arti yang luas. Karena dapat berkaitan dengan bidang-bidang lainnya.[1]

Menurut  Pradjodikoro pidana berarti hal yang dipidanakan olen istansi yang berkuasa dan dilimpahkan kepada seseorang sebagai hal yang tidak enak dirasakan. Sedangkan Soesilo mendefinisikan pidana sebagai suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hukum dwngan vonis kepada orang yang telah  melanggar undang-undang hukum pidana.[2]
Selain itu menurut Soedarto bahwa pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap  ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.[3]
Dari berbagai pengertian pidana tersebut dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur sebagai berikut :[4]
a.       Penggunaan atau pemberian penderitaan atau norma yang tidak enak dirasakan atau yang tidak menyenangkan.
b.      Diberikan dengan sengaja oleh penguasa atau instansi yang berkuasa.
c.       Dibebankan atau dilimpahkan kepada seseorang yang dipersalahkan melakukan tindak pidana menurut ketentuan undang-undang.
Sebagaimana penjelasan dari definisi pidana tersebut, bahwasanya tujuan pemidanaan ini berkaitan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana yang mana aliran-aliran ini berusaha untuk memperoleh suatu sistem hukum pidana positif  yang prektis yang bermanfaat sesuai dengan perkembangan persepsi manusia tentang hak-hak asasi manusia. Aliran tersebut antara lain.
a.       Aliran Klasik
Aliran ini menghendaki hukum pidana tersusun secara sistematis serta menitikberatkan kepada kepastian hukum.  Dengan pandangan yang identerminis mengenai kebebasan kehendak manusia, aliran ini juga menitikberatkan kepada perbuatan, tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana.[5]
Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana karena tema aliran klasik ini, sebagaimana dinyatakan oleh Beccarian adalah doktrin pidana harus sesuai dengan kejahatan.Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran.[6]
Pada masa permulaan timbulnya aliran klasik pembentukan undang-undang sangat ketat sekali dalam menentukan sanksi pidananya. Hakim sama skali tidak mempunyai kebebasan untuk menetapkan sendiri jenis pidana dan ukuran pidananya. Artinya hakim diikat oleh sistem pidana yang ketat dan tidak boleh berubah, hal ini sebagaimana pendapat Cesare Beccaria. Jika seseorang melakukan salah satu perbuatan yang oleh undang-undang pidana diancam dengan pidana, maka pidana harus dijatuhkan tanpa menghiraukan tabiat dan sifat si pelaku.
Salah satu tokoh aliran klasik Jeremy Bentham menyatakan bahwa pidana berat harus dapat difahami dan harus diterima oleh rakyat sebelum diterapkan. Hukum pidana jangan dijadikan sebagai sarana pembalasan terhadap kejahatan, tetapi tetap harus dipergunakan untuk tujuan mencegah kejahatan. [7]
Indonesia masih menggunakan aliran ini dalam Hukum Pidana Adat seperti yang terdapat di derah Papua pedalaman yang masih kental dengan hukum adatnya. Sanksi adat yang dijatuhkan terhadap pelaku pembunuhan bagi masyarakat adat adalah pihak dari korban yang meninggal dunia harus membalas membunuh pihak dari pelaku pembunuhan sesuai dengan jumlah korban yang telah meninggal dunia, jadi antara parah pihak korbannya harus sama / seimbang atau dengan istilah “ Nyawa ganti dengan nyawa” sehingga dengan adanya jumlah korban yang telah disebut di atas maka persoalan atau peperanagn akan berakhir (usai).

b.      Aliran Modern/Aliran Positif
Aliran ini menitikberatkan perhatiannya kepada orang yang melakukan tindak pidana. Para pengnut paham ini berpendapat bahwa  kejahatan adalah sebagai fenomena alam. Menurut aliran ini pemberian pidana atau tindakan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana.
Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif.
Disamping itu aliran ini juga lebih memperhatikan kepada pelaku dan sebab-sebab yang mendorong pelaku melakukan kejahatan dan jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan, sehingga pidana tersebut bermanfaat bagi pelaku dan supaya tindakan pidana tersebut tidak terulang agi.
Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.[8]
Salah satu tokoh aliran modern Cesare Lombroso mengemukakan bahwasanya pidana yang kejam pada masa lampau tidak memerikan pemecahan terhadap pencegahan kejahatan. Sebab setiap penjahat mempunyai kebutuhan yang berbeda, sehingga pidana tersebut merupakan suatu kebudakan bagi setiap orang yang telah melakukan tindak pidana.[9]
Penganut Lomoroso, yaitu Enrico frri, dalam bukunya Chriminal Sosiologymemberikan suatu rumusan tentang kejahatan, bahwa setiap kejahatan adalah resultante dari keadaan individu, fsik dan sosial.[10]


c.       Aliran Neo klasik/ Aliran Sosiologis
Aliran ini sebagai kompromis antara aliran klasik dan aliran modern. Dari aliran klasik diterima sistem pidana dan hukum pidana didasarkan atas kesalahan (schudstrafrecht). Dari aliran modern diterima suatu sistem tindakan-tindakan (maatregelen) yang melindungi masyarakat terhadap beberapa golongan penjahat tertentu.[11]
Sistem pidana dan hukum pidana yang dikemukakan oleh ahli hukum pidana yang tergolong dalam aliran ke 3 ini  pada garis besarnya didasarkan atas rumusan Ferri. Aliran ini memperhatikan tabiat dan sifat pribadi pelaku, lingkungan maupun tempat pelaku hidup dan melakukan perbuatannya sebagai faktor-faktor terjadinya kejahatan. Indonesia menganut aliran ini  yang mana sesuai dengan putusan hakim pengadilan.
B.     Teori Dan Tujuan Pidana
Diantara tujuan pidana yang dipandang kuno adalah pembalasan (revenge), yaitu pidana yang bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat maupun pihak yang menjadi korban tindak pidana, dan retribusi  yang bertujuan untuk melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan tindak pidana atau menciptakan  balance yaitu memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh kejahatan.
Adapun tujuan pidana atau pemidanaa yang berlaku sekarang adalah :[12]
a.       Penjeraan  yang ditujukan  kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat.
b.      Perlindungan masyarakat dari perbuatan tindak pidana.
c.       Perbaikan terhadap pelaku tindak pidana.
Sedangkan tujuan pidana atau pemidanaan yang palin modern dewasa ini adalah memperbaiki kondisi pemanjaraan dan mencari alterntif lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum.
KUHP Baru (baca ; RUU) merumuskan secara tegas tujuan pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 47 yang berbunyi :[13]
1.      Pemidanaa bertujuan :
a.       Mencegah dilakukannya pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
b.      Memasasyarakatan terpidana dengan mengadakan pembinaan dengan menjadi orang baik dan berguna.
c.       Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
d.      Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
2.      Pemidanaan tidak dmaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia dengan alasan bahwa:
a.       Tujuan pemidanaan adalah sebagai sarana perlindungan masyarakat, pemenuan pandangan hukum adat serta aspek untuk menghilagkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan.
b.      Pada dasarnya pidana merupakan suatu nestapa. Namun pemidanaan tidak dimaksudkan  untuk menderitakan dan tidak merendahkan martabat manusia.
Tujuan pemidanaan tersebut pada hakekatnya sebagai penjabaran perpaduan teori  gabungan (perpaduan teori pembebasan dan teori tujuan). Sedangkan teori pembinaan  yaitu meliputi provesi, konfeksi, perdamaian dalam masyarakat, memperbaiki dan membebaskan rasa bersalah pada diri tepidana.
Dalam sejarah hukum pidana, tujuan pemidanaan dapat dilacak dengan  empat teori yan berkaitan dengan tujuan pidana dan keempat teori itu membenarkan adanya penjatuhan pidana, teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :[14]
1.      Teori Absolut (Teori Pembalasan)
Teori ini membenarkan pemidanaan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindakan pidana terhadap pelaku tindak pidana. Hal ini  mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana (nestapa, penderitaan).  Teori pembalasan ini tidak mempunya tujuan praktis.
Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai 2 arah, yaitu :[15]
a.       Ditujukan pada penjahat (sudut subyektif dari pembalasannya).
b.      Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikaangan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).
Penganjur teori ini adalah Immanuel Kant yang mengatakan, walaupun besok dunia kiamat, namun penjahat terakhir harus menjalankan pidananya. Kant mendasarkan teorinya pada etika. Penganjur lain adalah Hegel yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah tantangan kepada hukum dan keadilan.
Jadi menurutnya penjahat itu harus dilenyapkan. Menurut Thomas Aquinas pembalasan sesuai dengan ajaran tuhan  karena itu harus dilakukan pembalasan terhadap penjahat.[16]
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa teori pembalasan penjatuhan pidana bertitik pangkal pada pembalasan yang diberikan oleh negara kepada penjahat. Siapa saja yang berbuat jahat harus dibalas dengan memberikan pidana dan tidak melihat akibat-akibat apa saja yang timbul dari dijatuhkannya pidana. Teori pembalasan ini secara  praktik tidak mepunyai relevasi, namun secara teoritik  akademik masih ada relevasinya.
2.      Teori Tujuan (Teori Relative)
Teori ini membenarkan pemidanaan berdasarkan kepada tujuan pemidanaan yaitu untuk melindungi masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan. Untuk mencapai tujuan tersebut harus ada ancaman pidana dan pemidanaan (penjatuhan) pidana kepada si pelaku kejahatan atau tindak pidana. Adapun kedua hal tersebut dimaksudkan :
a.       Menakut-nakuti calon penjahat atau penjahat sendiri serta mencegah dilakukannya tindak pidana.
b.      Memperbaiki atau reclasering terpidana.
c.       Membinasakan atau menyingkirkan terpidana.
Sedangkan sifat pencegahan dari teori ini adalah:[17]
a.       Pencegahan umum
Diantara teori-teori penceahan umum ini, teori pidana yang bersifat menakut-nakuti adalah teori yang paling lama dianut orang. Menurut teori pencegahan umum ini ialah pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang menjadi takut untuk berbuat kejahatan dan penjahat yang dijatuhi pidana dijadikan sebaai contoh agar masyarakat tidak meniru.
b.      Pencegahan khusus
Menurut teori ini, tujuan pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulangi lagi melakukan kejahatan, dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk mewujudkan niatnya itu kedalam kedalam bentuk perbuatan nyata.
Penganjur teori ini adalah Paul Anselm van Feurbach yang mengemukakan hanya dengan mengadakan ancaman pidana saja  tidak akan memadai, melainkan diperlukan penjatuhan pidana kepada si penjahat.[18]
Pembalasanitusendiritidakmempunyainilaitetapisebagaisaranauntukmelindungikepentinganmasyarakat ,makateoriinidisebutteoriperlindunganmasyarakat.
Penjatuhan pidana yang dimaksudkan agar tidak ada perbuatan jahat sebenarnya tidak begitu bisa dipertanggung jawabkan , karena terbukti semangkin hari kualitas dan kuantitas kejahatan semangkin bertambah, jadi penjatuhan pidana tidak menjamin berkurangnya kejahatan.
Teori ini lebih mempersoalkan akibat-akibat dari pemidanaan kepada terpidana atau kepada kepentingan masyarakat juga dipertimbangkan  pencegahannya untuk masa mendatang.[19]
3.      Teori Gabungan (Teori Absolut dan teori Relative)
Teori ini mendasarkan pidana atas azas pembalasan  dan azas pertahanan tata tertib hukum masyarakat. Teori gabungan ini dibagi menjadi 3 golombang yaitu :[20]
a.       Teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan, tetapi pembalasan tersebut tidak boleh melampaui batas dan cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib.Grotius mengembangkanteorigabungan yang menitikberatkankeadilanmutlak yang diwujudkandalampembalasan, tetapi yang bergunabagimasyarakat. Dasartiap- tiappidanaialahpenderitaan yang beratnyasesuaidenganberatnyaperbuatan yang dilakukanolehterpidana, tetapisampaibatasmanaberatnyapidanadanberatnyaperbuatan yang dilakukanolehterpidanadapatdiukur, ditentukanolehapa yang bergunabagimasyarakat.
b.      Teori gabungan yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat, namun penderitaan  atas pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih berat dari pada yang dilakukan oleh terpidana.
c.       `Teori gabungan yang menganggap bahwa pidana memenuhi keharusan pembala an keharusan melindungi masyarakat. Tujuan pidana menurut teori ini adalah mencerminkan jiwa pandangan hidup serta stuktur sosial budaya bangsa yang bersangkutan.
Menurut teori ini pelaku tindak pidana mutlak harus dibalas atau dilakukan pembalasan kepadanya berupa pidana. Dan pidana di sini merupakan pembalasan karena dilakukan tindak pidana. Oleh karena itu pembalasan merupakan sifat pidana bukan merupakan tujuan pidana. Penganut teori ini adalah Binding.[21]
4.      Teori Pembinaan
Menurut teori pembinaan, tujuan pemidanaan adalah untuk merubah tingkah laku atau prilaku terpidana agar ia meninggalkan kebiasaan jelek yang bertentangan atau melawan norma-norma hukum, dan agar supaya ia lebih cenderung menaati norma-norma yang berlaku. Dengan singkat tujuan pidana atau pemidanaan menurut teori ini adalah memperbaiki diri terpidana. [22]







                                                  KESIMPULAN
1.      Pengertian Pidana (Sanksi Pidana)
Pidana adalah istilah yuridis sebagai terjemahan dari bahasa Belanda straf, dan dalam bahasa Inggris disebut sentence,  serta dalam bahasa latin sanctio. Digunakannya istilah pidana di sini dan  bukan hukuman  adalah bertujuan untuk memfokuskan makna yang terkandung dari istilah pidana tersebut.
Dari  penjelasan  definisi pidana tersebut, tujuan pemidanaan ini berkaitan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana yang mana aliran-aliran ini berusaha untuk memperoleh suatu sistem hukum pidana positif  yang prektis yang bermanfaat sesuai dengan perkembangan persepsi manusia tentang hak-hak asasi manusia. Aliran tersebut antara lain:
a.       Aliran Klasik
b.      Aliran Modern/Aliran Positif
c.       Aliran Neo klasik/ Aliran Sosiologis
2.      Teori Dan Tujuan Pidana
Tujuan pidana atau pemidanaa yang berlaku sekarang adalah :
a.       Penjeraan  yang ditujukan  kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat.
b.      Perlindungan masyarakat dari perbuatan tindak pidana.
c.       Perbaikan terhadap pelaku tindak pidana.
Dalam sejarah hukum pidana, tujuan pemidanaan dapat dilacak dengan  empat teori yan berkaitan dengan tujuan pidana dan keempat teori itu membenarkan adanya penjatuhan pidana, teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Teori Absolut (Teori Pembalasan)
2.      Teori Tujuan (Teori Relative)
3.      Teori Gabungan (Teori Absolut dan teori Relative)
4.      Teori Pembinaan




                                          DAFTAR PUSTAKA
Chazawi Adami,Pelajaran Hukum PidanaBagian 1, Jakarta,PT Raja Grafindo Persada: 2002.
Effendi Erdianto, Hukum Pidana Indonesia, Bandung, PT Refika Aditama : 2011.
Maramis Frans, Hukum Pidana Umum dan tertulis di Indonesia, Pt Raja Grafindo Persada, jakarta:2012
Saifullah, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana.2004
Suparni Ninik, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta : 2007























                      














[1]Dr. Saifullah, Sh,M.Hum, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana, Hal 35
[2]ibid
[3] Ninik Suparni, S.H. Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika (Jakarta : 2007) hal 11
[4]Dr. Saifullah, Sh,M.Hum, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana, Hal 35
[5]Dr. Saifullah, Sh,M.Hum, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana, Hal 36
[6]http://donxsaturniev.blogspot.com/2010/08/aliran-dalam-hukum-pidana-1-aliran.html
[7] Dr. Saifullah, Sh,M.Hum, Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana, Hal 37
[8]http://thezmoonstr.blogspot.com/2013/07/teori-teori-pemidanaan-dan-tujuan.html
[9] Dr, Saifullah,SH, M.Hum, Hal:37
[10]Frans Maramis, S.H.,M.H. Hukum Pidana Umum dan tertulis di Indonesia, Pt Raja Grafindo Persada, (jakarta:2012)
[11]ibid
[12] Erdianto Effendi, SH.,Hum. Hukum Pidana Indonesia, Bandung ( PT Refika Aditama : 2011)
[13] Dr, Saifullah,SH, M.Hum, Hal:39
[14] Ibid, hal:40
[15] Drs, Adami Chazawi,S.H. Pelajaran Hukum PidanaBagian 1, Jakarta (PT Raja Grafindo Persada: 2002), hal 154
[16] Erdianto Effendi, SH.,Hum. Hukum Pidana Indonesia, Bandung ( PT Refika Aditama : 2011), Hal 141
[17] Drs, Adami Chazawi,S.H, hal:158
[18] ibid
[19]Frans Maramis, S.H.,M.H. Hukum Pidana Umum dan tertulis di Indonesia, Pt Raja Grafindo Persada, (jakarta:2012)
[20]Dr, Saifullah,SH, M.Hum, Hal:41
[21] Erdianto Effendi, SH.,Hum, hal 143
[22] Dr, Saifullah,SH, M.Hum, Hal:42
Read More

MAKALAH PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA

Desember 12, 2015 0




1.      PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

Pertanggung jawaban bisa terjadi apabila celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa, jadi yang obyektif sifat tercelanya itu, secara subyektif harus dipertanggungjawabkan kepadanya, hal ini terjadi karena musabab dari pada perbuatan itu adalah diri daripada si pembuatnya.

Jadi tidak hanya mengetahui bahwa seseorang telah melakukan perbuatan pidana kepada orang lain, melainkan apakah orang tersebut tercela atau tidak karena melakukan perbuatan pidana tersebut, maka orang tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu, sedangkan dasar dari dipidana atau pertanggungjawaban seseorang adalah “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”. Memanglah benar mana mungkin orang yang tidak melakukan kesalahan dapat dipidana, tapi kapankah seseorang itu dikatakan mempunyai kesalahan.
Pompe menyingkat bahwa kesalahan itu dengan dapatnya dicela dan dapat dihindari perbuatan yang dilakukan, menurutnya akibat dari hal ini adalah dapat dicela, pada hakikatnya dia adalah dapat dihindarinya kelakuan yang melawan hukum itu, karena kehendak si pembuat terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka kesalahan menyebabkan atau mempunyai akibat dapt dicela.
Kemudian pompe mendefinisikan arti dari kelakuan yakni suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seorang yang manpak keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi obyek hukum.
Simons berpendapat mengenai kesalahan adalah keadaan psikis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatannya. Dalam menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak harus diperhatikan :                                                                                       
1.      Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan. 
2.       Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.
Sebagai kesimpulan mengenai hal diatas bahwa yang pertama mengatakan mengenai keadaan bathin dari orang yang melakukan pidana, dalam ilmu hukum pidana merupakan hal yang biasa dikatakan dalam pertanggungjawaban hukum, mengenai hal yang kedua yaitu hubungan antara bathin itu dengan perbuatan yang dilakukan merupakan masalah kesengajaan, kealpaan, sehingga mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan.
Kenyataan bahwa tidak mungkin dipikirkan tentang adanya kesenjangan maupun kealpaan apabila orang itu tidak mampu bertanggungjawab, begitu halnya dengan tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bertanggungjawab.
Kemudian karena tidak ada gunanya mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatan itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut sekarang dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana dan kemudian semua unsur tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan.[1]
Untuk adanya kesalahan terdakwa harus:
a)      Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hokum)
b)      Diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab
c)      Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan kealpaan
d)     Tidak adanya alasan pemaaf[2]
2. KESALAHAN YANG MENGAKIBATKAN SESEORANG TERPIDANA
a.       Kemampuan bertanggungjawab
Dalam menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggungjawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan bathin orang yang normal, yang sehat. Dalam KUHP yang berhubungan dengan kemampuan bertanggungjawab adalah pasal 44. Menurut pasal 44, orang yang tidak dapat dihukum adalah orang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena ; kurang sempurna akalnya, yang dimaksud dengan perkataan akal ialah kekuatan pikiran, daya pikiran dan kecerdasan pikiran. Orang yang dapat dianggap kurang sempurna akalnya ialah idiot,buta,tuli, dan bisu mulai lahir. Sakit berubah akalnya, yang dimaksud ialah sakit gila, epilepsy, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya.
Demikian ketentuan dari hukum positif kita yang mana sesuai dengan yang dikatakan dari segi teori bahwa “ dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dia mampu berbuat. Berbeda dengan system hukum adat, bahwasannya disuatu daerah pedalaman yang masih berlaku hukum adat, yang mana di daerah tersebut mengupayakan pertahanan dari masyarakat terhadap orang gila yang membunuh orang sama dengan upaya pertahanan dari orang yang melakukan perbuatan serupa, di daerah bali berlaku hukum bahwa orang gila dan anak yang berumur dibawah delapan tahun tidak dipidana, kecuali melakukan perbuatan pidana yang tergolong sadtata ji. di batak seorang bapak harus mempertanggungjawabkan perbuatan melawan hukum anaknya yang belum cukup umur.
Lain halnya dengan hukum positif kita yang masih membedakan orang yang mampu bertanggungjawab dan tidak, maka penulis mengatakan bahwa seseorang mampu bertanggungjawab harus memenuhi syarat:
(1)   Dapat memenuhi makna yang senjatanya dari pada perbuatannya;
(2)   Dapat menginsafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;
(3)   Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

Contoh kasus model majalah dewasa Novi Amalia kembali menjadi sorotan setelah mengamuk ingin telanjang di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, tadi pagi. Tahun lalu, Novi pernah kedapatan mengemudi setengah telanjang di Taman Sari, Jakarta Barat.                                                               
Kepala Sub Bagian Psikolog Sumber Daya Manusia Polda Metro Jaya, AKBP Arief Nurcahyo mengindikasi perilaku yang kerap ingin melepaskan pakaiannya ketika 'kumat' merupakan cerminan depresi Novi                                                                                
"Sebenarnya indikasinya sudah jelas, mesti direhabilitasi dan pendampingan seorang psikiater. Ketika menghadapi tekanan, ada dua tipe orang. Yang ingin lari dan menghadapi kenyataan. Novi mungkin termasuk yang pertama.                                                             
            Novi mesti direhabilitasi dengan didampingi psikiater. Dia menuturkan, kejadian tersebut akan terulang jika tidak ditempuh jalur tersebut  .                                                                                    
"Orang lain bisa menjadi korban, tetapi pelaku (Novi) juga seorang korban. Novi korban dari narkoba, lingkungan yang negatif dan dari keluarga yang berantakan                                             .
Novi memang pernah menjalani rehabilitasi di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur. Pengacara Novi Chris Sam Sewu menjelaskan kliennya menjalani detoksifikasi.
Untuk menentukan seseorang mampu bertanggungjawab ada dua faktor, yakni faktor akal dan faktor hendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan. Kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama diperbolehkan dan mana yang tidak, menurut penulis lain bahwa kehendak bukanlah merupakan factor dalam menentukan mampu tidaknya orang bertanggungjawab, dikarenakan bahwa kehendak itu bergantung dan lanjutan saja dari pada akal.
Dalam hal ini tidak mampu bertanggungjawab karena keadaan batinnya tidak normal, sedangkan dalam hal ada alasan pemaaf, karena fungsi batinnya yang tidak normal, dan ini disebabkan karena keadaan dari luar, kalau organ batinnya sendiri normal.
Orang yang tidak sehat akalnya, tidak dapat menentukan kehendaknya sesuai dengna yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, kemampuan bertanggungjawab dalam merumuskan perundang-undangn ada beberapa jalan menurut KUHP kita, apabila seseorang tidak mampu melakukan bertanggungjawab karena sebab-sebab tertentu, sehingga dipandang dan dinilai sebagai tidak mampu bertanggungjawab, merumuskannya dengan cara deskriptif normative jadi, maksudnya menentuakan dalam merumuskan demikian dinyatakan oleh psychiater bahwa terdakwa memang gila, secara normative jika dipandang memang tidak mampu bertanggungjawab.
Anak yang belum cukup umur, dimaksudkan karena mereka belum bisa menginsyafi perbuatannya disebabkan pertumbuhan jiwannya belum cukup penuh atau karena hipnotis dikarenakan mabuk,tidur, maka disitu tidak ada kesengajaan.
Pemisahan anatara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana mempunyai akibat-akibat yang lain dri pada kesimpulan, bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah unsur darin perbuatan pidana, namum simon berkata lain mengenai hal ini dia memandang bahwa kemampuan bertanggungjawab bukanlah merupakan unsur dari perbuatan pidana melainkan sebagai keadaan person yang menghapuskan perbuatan pidana.[3]
Contoh Kasus kecelakaan maut di tol jagorawi dengan tersangka putra musisi ahmad dani, Abdul qadir jailani atau dul (13) ,kalo belum 17 tahun jangan mengendarai sepeda motor atau mobil tanpa SIM.kalo terjadi seperti yang di alami dul (putra bungsu ahmad dani). Orang tua juga ikut bertanggungjawab. Selaku pemerintah,kami berkewajiban menyadarkan orang tua dan memberi pemahaman kepada anak agar jangan melanggar aturan bangsa ini.

a.       Kesengajaan (Dolus) dan Kelalaian (Culpa)
Dolus dapat dikaitkan pada tindakan/perbuatan, akibatnya dan unsur-unsur lain dari delik, dolus tersebut tidak perlu ditujukan pada sifat terlarang dari perbuatan. Lagi pula undang-undang tidak menuntut adanya kesengajaan dengan niat jahat (boss opzet/dolus malus). Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur culpa. Ini layak karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.
Dalam  ilmu pidana sengaja itu dibedakan atas tiga gradasi:
a)      Sengaja sebagai tujuan/arahan hasil perbuatan sesuai dengan maksud (opzet als oogmerk)
b)      Sengaja dengan kesadaran yang pasti mengenai tujuan atau akibat perbuatannya (opzet bij zekerheibewustzjin)
c)      Sengaja dengan kesadaran akan kemungkinan tercapainya tujuan atau akibat perbuatan (opzet bij mogelijkheidsbewustzjin)[4]
Kesengajaan dan kelalaian merupakan unsur kesalahan, jika tidak ada salah satunya maka terdakwa tidak dipidana apabila seseorang sudah dituduh melakukan perbuatan pidana, maka harus diselidiki apakah ada atau tidak dari kedua unsur tersebut, menurut simons tentang kesenjangan dan kealpaan ini mempunyai arti dalam lapangan saja, maka kedua hal tersebut tidak perlu dimasukkan dalam tuduhan dan karenanya pula tidak perlu dibuktikan, apabila seseorang sudah dibuktikan bahwa dia telah melanggar peraturan hukum pidana langsung saja diberi sanksi.
Kedua teori diatas dipengaruhi oleh teori pengetahuan dan kehendak, yang mana dalam praktek teori pengetahuan adalah apakah yang dibayangkan atau diketahui oleh pembuatnya ketika melakukan perbuatan itu, menurut teori kehendak yang dapat diliputi oleh kesengajaan itu hanyalah apa yang dikehendaki oleh pembuatnya, bahwa kehendak adalah merupakan arah yang berhubungan dengan motif dan tujuan.
Pembuktian tentang kesengajaan dapat menempuh dua jalan:
1.      Membuktikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara motif dan tujuan.
2.      Membuktikan adanya penginsyafan atau pengertian terhadap apa yang dilakukan beserta akibat-akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.[5]
Contoh:
Budi memecahkan kaca jendela etalase sebuah toko emas untuk mengambil emas yang dipamerkan dibelakang kaca terasebut. Dapat dikatakan bahwa memecahkan kaca itu dilakukan dengan sengaja sebagai maksud, hal ini disebabkan karena pecahnya kaca tersebut memang dikehendaki oleh budi untuk mengambil emas tersebut. Budi juga tahu perbuatan memukul kaca itu mengakibatkan kaca tersebut akan pecah. Selanjutnya mengambil emas yang ada di dalamnya menjadi bayangan yang ditimbulkan setelah kaca dipukul pecah, yaitu setelah terjadinya akibat yang dimaksud dengan perbuatan memukul kaca tersebut. Motif budi ialah mengambil emas dan bukan pecahnya kaca. Jadi pecahnya kaca merupakan akibat perbuatan




b.      Kesalahan (schuld)
Kesalahan dalam makna ketercelaan (verwijtbaatheid) yang sebenarnya bukan unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam perauran perundang-undangan. Namun, tatkala pembuat undang-undang berupaya menangkap momen kesalahan melalui penerimaan istilah psikologis dolus dan culpa, khususnya dalam kejahatan, kesalahan menjadi unsur yang tidak bias diabaikan.[6]
Dalam hokum pidana inggris dikenal suatu asas yang disebut asas “Actus non facit reum, nisi mens sit rea”, maksud dari kalimat tersebut adalah bahwa “sesuatu perbuatan tidak dapat membuat orang bersalah kecuali bila dilakukan dengan niat jahat”. Actus reus harus dilengkapi dengan “mens rea” dan harus dibuktikan dalam penuntutan bahwa tersangka telah melakukan niat jahat atau suatu kesengajaan untuk menimbulkan perkara yang ditiduhkan kepadanya.
Dua unsur dari actus reus dan mens rea adalah:
a.       Adanya perbuatan lahiriah sebagai penjelmaan dari kehendak, misalnya perbuatan mengambil dalam perkara pencurian.
b.      Kondisi jiwa, iktikad baik yang melandasi perbuatan tadi.[7]
Contoh:
Mengendarai sepeda motor, sedangkan dia belum paham akan tekniknya, sewaktu dikejar anjing lalu menjadi  bingung dan karena itu menabrak orang, padahal seharusnya kemungkinan itu diketahui, sehingga naik sepeda motor dengan orang yang sudah pandai mengendarainya.
c.       Percobaan (poging) dan penyertaan (deelneming)
Yang dimaksud dengan poging adalah pelaksanaan awal suatu kejahatan yang tidak diselesaikan. Dalam hukum pidana, “percobaan” merupakan suatu teknik yang agak banyak segi atau aspeknya. Pasal 53 KUHP (1) percobaan akan melakukan suatu tindak kejahatan, dikenakan hukuman pidana, apabila kehendak si pelaku sudah nampak dengan permulaan pelaksanaan, dan pelaksanaan ini tidak selesai hanya sebagai akibat dari hal-hal yang tidak tergantung dari kemauan si pelaku. (2) maksimum hukuman pokok (hoofdstraffen) pada kejahatan yang bersangkutan dikurangi dengan sepertiga. (3) apabila suatu kejahatan dapat dikarenakan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka maksimum menjadi hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun. (4) hukuman-hukuman tambahan (bijkomende straffen) bagi “ percobaan kejahatan” adalah sama dengan kejahatan yang selesai diperbuat. Percobaan untuk melakukan suatu ”pelanggaran” tidak dikenakan hukuman pidana.














KESIMPULAN
Ø  Pertanggung jawaban bisa terjadi apabila celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa, jadi yang obyektif sifat tercelanya itu, secara subyektif harus dipertanggungjawabkan kepadanya, hal ini terjadi karena musabab dari pada perbuatan itu adalah diri daripada si pembuatnya.

Ø  Dalam menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak harus diperhatikan: :                                                                                    
a.       Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan.  
b.      Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.

Ø  seseorang mampu bertanggungjawab harus memenuhi syarat:
a.       Dapat memenuhi makna yang senjatanya dari pada perbuatannya;
b.      Dapat menginsafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat;
c.       Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
Ø  Kesengajaan dan kelalaian merupakan unsur kesalahan, jika tidak ada salah satunya maka terdakwa tidak dipidana apabila seseorang sudah dituduh melakukan perbuatan pidana, maka harus diselidiki apakah ada atau tidak dari kedua unsur tersebut
Ø  Pembuktian tentang kesengajaan dapat menempuh dua jalan:
a.       Membuktikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara motif dan tujuan.
b.      Membuktikan adanya penginsyafan atau pengertian terhadap apa yang dilakukan beserta akibat-akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Ø  Yang dimaksud dengan poging adalah pelaksanaan awal suatu kejahatan yang tidak diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA
Saifullah. 2004. Buku Ajar Konsep Hukum Pidana.
Moeljanto. 2000. Asas-Asas Hokum Pidana. Jakarta: Rieneka Cipta
Poernomo, Bambang. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia
Kasil, C.S.T dan Christine S.T kansil. 2007. Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita





[1] Saifullah, Buku Ajar Konsep Hukum Pidana, 2004, hlm 27-28
[2] Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2000) hlm 164
[3] Saifullah, Buku Ajar Konsep Hukum Pidana, 2004, hlm 28-31
[4] Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm 156
[5] Ibid, hlm 33
[6] Ibid, hlm 33
[7] C.S.T kasil, Christine S.T kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta:Pradnya Paramita, 2007) hlm. 51
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot