Knowledge Is Free

Hot

Sponsor

Rabu, 04 November 2015

MAKALAH KARAKTERISTIK DAN RANCANG BANGUN EKONOMI SYARIAH

November 04, 2015




       2.1       Pengertian Sistem Keuangan Islam
            Definisi sistem ekonomi Islam menurut Taqiyyuddin an-Nabhani adalah kegiatan mengatur urusan harta kekayaan, baik yang menyangkut kepemilikan, pengembangan maupun distribusi. Dengan kata lain, definisi ini memandang aktivitas ekonomi sebagai sesuatu yang harus oleh syariah baik dalam segi kepemilikan, cara kepemilikan, metode pengembangan kekayaan dan cara menjaga keseimbangan ekonomi dalam masyarakat.[1]

       2.2       Karakteristik Sistem Ekonomi Islam

            
Ada beberapa hal yang mendorong perlunya mempelajari karakteristik ekonomi Islam (Yafie, 2003, 27)[2] :
a.       Meluruskan kekeliruan pandangan yang menilai ekonomi Kapitalis (memberikan penghargaan terhadap prinsip hak milik) dan Sosialis (memberikan penghargaan terhadap persamaan dan keadilan) tidak bertentangan dengan metode ekonomi Islam.

b.      Membantu para ekonomi muslim yang telah berkecimpungan dalam teori ekonomi konvensional dalam memahami ekonomi Islam.
c.       Membantu para peminat studi fiqh muamalah dalam melakukan studi perbandingan antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional.
Sumber karakteristik Ekonomi Islam adalah Islam yang meliputi tiga asas. Ketiga asas secara asasi dan bersama mengatur teori ekonomi Islam, yaitu asas akidah, asas akhlak dan asas muamalah (hukum).
Beberapa karakteristik ekonomi Islam dalam Al-Mawsu’ah Al-ilmiyah wa al-amaliyah al-Islamiyah[3] :
1.      Harta Kepunyaan Allah dan Manusia Merupakan Khalifah Atas Harta
            Karakteristik pertama terdiri dari dua bagian, yaitu:
Pertama,semua harta benda  maupun alat  produksi adalah milik Allah, firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 284:
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah MahaKuasa atas segala sesuatu”.
Kedua, manusia adalah khalifah atas harta miliknya. Hal ini dijelaskan dalam QS. Al-Hadiid ayat 7:
“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menfkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”.
            Selain itu terdapat sabda Rasulullah SAW. yang juga mengemukakan peran manusia sebagai khalifah, “Dunia ini hijau dan manis. Allah telah menjadikan kamukhalifah di dunia. Karena itu hendaklah kamu membahas cara berbuat mengenai harta di dunia ini”.
            Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa semua harta yang ada di tangan manusia pada hakikatnya kepunyaan Allah, karena Dia-lah yang menciptakannya. Akan tetapi, Allah  memberikan hak kepada kamu (manusia) untuk memanfaatkannya.
            Sesungguhnya Islam sangat menghormati hak milik pribadi, baik itu terhadap barang-barang konsumsi maupun barang-barang modal. Namun pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain. Jadi, kepemilikan dalam Islam tidak mutlak, karena pemilik sesungguhnya adalah Allah SWT.
            Dalam firman Allah SWT. QS. An-Najm ayat 31:
            “Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga)”.
            Berdasarkan ayat di atas, terlihat jelas perbedaan antara status kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi yang lainnya. Dalam Islam kepemilikan pribadi sangat dihormati walaupun hakikatnya tidak mutlak dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain dan tentu saja tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
2.      Ekonomi Terikat dengan Akidah, Syariah (Hukum) dan Moral
Hubungan ekonomi Islam dengan akidah dan syariah tersebut memungkinkan aktivitas ekonomi dalam Islam menjadi ibadah. Bukti hubungan ekonomi dan moral dalam Islam:
·         Larangan terhadap pemilik dalam penggunaan hartanya yang dapat menimbulkan kerugian atas harta orang lain atau kepentingan masyarakat. Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak boleh merugikan diri sendiri dan juga orang lain”(HR. Ahmad).
·         Larangan melakukan penipuan dalam transaksi .  Rasulullah SAW. bersabda: “Orang-orang yang menipu kita bukan termasuk golongan kita”.
·         Larangan menimbun emas atau perak atau sarana-sarana moneter lainnya, sehingga mencegah peredaran uang, karena uang sangat diperlukan buat mewujudkan kemakmuran perekonomian dalam masyarakat. Dalam firman Allah QS.  At-Taubah ayat 34:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil  dan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah. Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa merka akan mendapatkan) siksa yang pedih”.
·         Larangan melakukan pemborosan, karena akan menghancurkan individu dalam masyarakat.
3.      Keseimbangan antara Kerohanian dan Kebendaan
Beberapa ahli Barat memiliki tafsiran tersendiri terhadap Islam. Mereka menyatakan bahwa Islam sebagai agama yang menjaga diri., tetapi tetap toleran (membuka diri). Selain itu para ahli tersebut menyatakan Islam adalah agama yang memiliki unsure keagamaan (mementingkan segi akhirat) dan sekuleritas (segi dunia).
Sesungguhnya Islam tidak memisahkan antara kehidupan dunia dengan akhirat. Setiap aktivitas manusia di dunia akan berdampak pada kehidupan di akhirat. Sehingga, aktivitas keduniaan tidak boleh mengorbankan kehidupan akhirat. Hal ini ditegaskan Allah  di dalam ayat-ayat berikut :
·         QS. Al-Qashash ayat 7:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaiman Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan si muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
·         QS. Al-Baqarah ayat 201:
“Dan diatara mereka ada orang yang berdoa : Ya Tuahn kami, berilahh kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
4.      Ekonomi Islam Menciptakan Keseimbangan antara Kepentingan Individu dengan Kepentingan Umum
Arti keseimbangan dalam sistem sosial Islam adalah Islam tidak mengakui hak mutlak dan kebebasan mutlak, tetapi mempunyai batasan-batasan tertentu termasuk dalam bidang hak milik.
Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang untuk mensejahterakan dirinya, tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan dan mengorbankan kepentingan orang lain dan masyarakat secara umum. Prinsip ini difirmankan Allah dalam ayat-ayat berikut:
·         QS. Al-Hasyr ayat 7:
“Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertkwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.
·         QS. Al-Maa’mun ayat 1-3:
1.      Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2.      Itulah orang yangmenghardik anak yatim
3.      Dan tidak  menganjurkan memeberi makan orang miskin
·         QS. Al-Ma’arij ayat 24-25:
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu.”.
“Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”.
Dari ayat-ayat diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh setiap individu untuk mensejahterahkan dirinya, tidak boleh mengabaikan kepentingan orang banyak. Prinsip ini harus tercermin pada setiap kebijakan individu maupun lembaga, ketika melakukan kegiatan ekonomi.
5.      Kebebasan Individu Dijamin dalam Islam
Individu-individu dalam perekonomian Islam diberikan kebebasan untuk beraktivitas baik secara perorangan maupun kolektif untuk mencapai tujuan. Namun kebebasan tersebut tidak boleh melanggar aturan-aturan yang telah digariskan Allah dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Dengan demikian kebebasan tidak bersifat mutlak. Firman Allah dalam QS. AL-Baqarah ayat 188 menyebutkan: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebgaian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
Prinsip kebebasan ini sangat berbeda dengan prinsip kebebasan sistem ekonomi Kapitalis maupun Sosialis. Dalam Kapitalis, kebebasan individu dalam berekonomi tidak dibatasi norma-norma ukhrawi, sehingga tidak ada urusan halal atau haram. Sementara dalam Sosialis justru tidak ada kebebasan, karena seluruh aktivitas ekonomi masyarakat diatur dan ditujukan hanya untuk negara.
6.      Negara Diberi Wewenang Turut Campur dalam Perekonomian
Islam memperkenankan negara untuk mengatur masalah perekonomian agar kebutuhan masyarakat baik secara individu maupun sosial dapat terpenuhi secara proporsional. Dalam Islam, negara berkewajiban melindungi kepentingan masyarakat dari ketidakadilan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang ataupun dari Negara lain.
 Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang meninggalkan beban, hendaklah dia datang kepada-Ku; karena akulah maula (pelindung)nya”. (Al-Mustadrak oleh Al-Hakim)
“Siapa yang meninggalkan keturunan (yang tersia-sia), anak (dia datang) kepada-Ku dan (menjadi) tanggung jawab-Ku”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Peran negara dalam perekonomian pada sistem Islam ini jelas berbeda dengan sistem kapitalis yang sangat membatasi peran negara. Sebaliknya juga, berbeda dengan sistem sosialis yang memberikan kewenangan negara untuk mendominasi perekonomian secara mutlak.
7.      Bimbingan Konsumsi
Dalam hal bimbingan konsumsi Allah berfirman dalam QS. Al-A’raaf ayat 31:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang  yang berlebih-lebihan”.
Ada pula larangan untuk bermewah-mewahan dan bersikap angkuh terhadap hukum karena kekayaan, seperti firman Allah dalam QS. Al-Israa ayat 16:
“Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri. Maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhanakan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami). Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”.
8.      Petunjuk Investasi
Tentang kriteria atau standar dalam menilai proyek investasi, al-mawsu’ah Al-ilmiyah wa al-amaliyah al-Islamiyah memandang ada lima kriteria yang sesuai dengan Islam untuk dijadikan pedoman dalam menilai proyek investasi, yaitu :
·         Proyek yang baik menurut Islam
·         Memberikan rezeki seluas mungkin kepada anggota masyarakat
·         Memberantas kekafiran, memperbaiki pendapatan, dan kekayaan
·         Memelihara dan menumbuhkembangkan harta
·         Melindungi kepentingan anggota masyarakat
9.      Zakat
Zakat adalah salah satu karakteristik ekonomi Islam mengenai harta yang tidak terdapat dalam perekonomian lain. Sistem perekonomian di luar Islam tidak mengenal tuntutan Allah kepada pemilik harta, agar menyisihkan sebagian harta tertentu sebagai pembersih jiwa dari sifat kikir, dengki dan dendam.
10.  Larangan Riba
Islam menekankan pentingnya memfungsikan uang pada bidangnyayang normal yaitu sebagai fasilitas transaksi dan alat penilaian barang. Diantara factor yang menyelewengkan uang dari bidangnya yang normal adalah bunga (riba).

       2.3       Rancang Bangun Sistem Ekonomi Islam
            Ekonomi dalam Islam menurut H. Halide berpendapat bahwa yang disimpulkan dari al-Qur’an dan Sunnah yang ada urusannya dengan ekonomi. Maka ekonomi Islam adalah sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari ajaran Islam yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah.
            Ekonomi Islam memiliki beberapa elemen kunci dalam rancangan bangun sistem ekonomi Islam ada 5, diantaranya:
1.      Kepemilikan dalam Islam
Kemilikan dalam Islam, maksudnya kepemilikan mutlak dari keseluruhannya adalah Allah SWT, sedangkan yang mengemban amanah adalah manusia. Dari kepmilikan manusia sendiri dibagi menjadi beberapa , yaitu:
a.       Hak milik individual ( Milkiyah fardhiah / private ownership)
b.      Hak milik umum ( Milkiyah ‘ amah / public ownership)
c.       Hak milik negara (Milkiyah daulah / state ownership)
2.      Mashlahah sebagai intensifnya ekonomi
Di dalam Islam diakui 2 macam intensif yaitu material dan non material, kedua hal ini pelaksanaanya tergantung dari manusianya sendiri memenuhi kegiatan sosial atau kegiatan kunci guna melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Tetapi secara garis besar, intensif dikategorikan menjadi 2 jenisnya, yaitu intensif yang akan diterima di dunia dan di akhirat
3.      Musyawarah sebagai prinsip pengembangan keputusan
Pengambilan dalam ekonomi Islam berdasarkan pada mekanisme pasar, namun guna bertujuan memberi peluang suara kebersamaan dan menjunjung nilai kebaikan maka mengunakan sistem musyawarah serta perjanjian antara beberapa pihak yang bersangkutan untuk mendapatkan kesepakatan dan kemaslahatan bersama. Musyawarah sendiri merupakan kombinasi antara proses sentralisai dan desentralisasi yang dikendalikan oleh nilai-nilai mashlahah.
4.      Pasar yang adil sebagai modal koordinasi
Maksudnya dalam Islam intensif individualistis diakomodasi sebatas tidak bertentangan dengan kepentingan suci (ibadah). Sehingga mekanisme pasar tidak dapat memenuhi intensif tersebut. Kebutuhan individu yang harmoni dengan moralitas Islam akan terwujud dalam suatu meknisme pasar yang mengedepankan moralitas dan kerjasama.
5.      Pelaku ekonomi dalam Islam
Pelaku ekonomi dalam system ini dibagi menjadi 3 pelaku ekonomi, yaitu:
a.       Pasar dalam ekonomi, artinya pasar merupakan tempat terjadinya transaksi yang dimana pembeli dan penjual melakukan pertukaran barang atau sering disebut perdagangan. Yang sering dinamai hubungan jual-beli, sewa , dan hutang piutang. Dalam pasar ekonomi Islam ini hubungan perdagangannya dijadikan wahana perniagaan yang sah atau legal (halal) dan baik (thayyib) agar pengalokasian dan pendistribusian dana teralokasi sesuai dengan hokum Islam serta sesuai dengan ajaran Allah sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
b.      Pemerintah memiliki kedudukan dan peranan penting dalam ekonomi Islam. Pada dasarnya, peranan pemerintah merupakan derivasi dari konsep kekhalifahan dan konsekuensi adanya kewajiban-kewajiban kolektif fard al-kifayah untuk merealisasikan falah. Peran pemerintah dalam dasar ini secra garis besar dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu:
·         Peran yang berkaitan dengan implementasi nilai dan moral Islam
·         Peran yang berkaitan dengan menyempurnakan mekanisme pasar market imperfection
·         Peran yang berkaitan dengan kegagalan pasar market failures
c.       Peran Masyarakat dalam Ekonomi Islam
Kewajiban merealisasikan falah pada dasarnya merupakan tugas seluruh economic agents, termasuk masyarakat. Pemerintah dan masyarakat pada dasarnya adalah dua instuisi yang memiliki fungsi untuk merealisasikan segala kewajiban kolektif untuk mewujudkan falah.
Peranan masyarakat juga muncul karena adanya konsep hak milik public dalam ekonomi Islam, seperti waqf. Kekayaan waqf  adalah kekayaan masyarakat secara keseluruhan dan berlaku sepanjang masa karenanya waqf  merupakan hak milik masyarakat yang tidak tegantung kepada pemerintah yang berkuasa.





BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
            Sistem ekonomi Islam merupakan aktivitas ekonomi yang mengatur urusan harta kekayaan, baik yang menyangkut kepemilikan, pengembangan dan menjaga keseimbangan ekonomi di masyarakat. Hal itu berlandaskan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Sumber karakteristik ekonomi Islam adalah Islam yang meliputi 3 asas, yaitu: asas akidah menyangkut pertanggungjawaban di akhirat, asas akhlak menyangkut perilaku dalam proses kegiatan ekonomi, dan asas muamalah (hukum) bahwa untuk melindungi nilai moral dalam berekonomi.  Dalam Al-mawsu’ah Al-ilmiyah wa Al-amaliyah Al-islamiyah terdapat 10 karakteristik  ekonomi Islam yang berarti kegiatan ekonomi menyangkut di akhirat dan peran pemerintah sangatlah penting. Ekonomi Islam memiliki beberapa elemen kunci, dalam rancangan bangun sistem ekonomi ada 5, yaitu: kepemilikan dalam Islam, mashlahah sebagai intensifnya ekonomi, musyawarah sebagai prinsip pengembangan keputusan, pasar yang adil sebagai koordinasi, pelaku ekonomi dalam Islam.




DAFTAR PUSTAKA

Yusanto M. Ismail dan Yunus M. Arif. 2001. Pengantar Ekonomi Islam. Bogor: Al Azhar       Press

Mustafa Edwin. dkk. . 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana





[1] M. Ismail Yusanto dan M. Arif Yunus, 2001, Pengantar Ekonomi Islam, (Bogor : Al Azhar Press), hlm.,17
[2] Mustafa Edwin. dkk., 2006, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta : Kencana), hlm., 17-18.
[3] Ibid., hlm., 18-32.
Read More

Selasa, 03 November 2015

Makalah Pengertian, Dasar Hukum dan Syarat-Syarat Pemeliharaan Anak (Hadhanah) Dalam Islam

November 03, 2015




A.    Pengertian Hadhanah
Hadhanah secara bahasa, berarti meletakkan sesuatu di dekat tulang rusuk atau di pangkuan,   karena Ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan Ibu disaat itu melindungi dan memelihara anaknya sehingga “Hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya ; pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri, yang dilakukan oleh kerabat anak itu sendiri.

Para  Ulama’ Fiqih mendifinisikan ;Hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar tetapi belum Mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikanya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti, mendidik jasmani dan rohani, agar mampu berdiri sendiri serta bisa mengemban tanggung jawab.[1]


B.     Dasar Hukum Hadhanah
Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya
Dasar hukum ini disebutkan dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim, sebagaimana firman Allah yang berbunyi;
ياايهاالدين امنو اقواانفسكم واهليكم ناراوقودهاالناس والحجارة.
artinya; 
hai orang-orang yan beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (QS. Al-Tahrim: 6).
Sudah jelas kiranya dalam ayat ini para orang tua diperintahkan Allah SWT. untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha  agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah tuhan dan menjauhi larangannya, dan dalam ayat ini yang disebut keluarga adalah seorang anak.[2]
Seorang Hadhanah (Ibu) yang Menangani dan Menyelenggrakan Kepentingan Anak Kecil yang Diasuhnya, yaitu Kecakapn dan Kecukupan.
Kecukupan dan kecakapn juga memerlukan syarat-syarat tertentu.Jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan Hadhanahnya.

C.    Syarat-syarat Hadhinah dan Hadhin
1.      Berakal Sehat, jadi bagi orang yag kurang akal seperti gila, keduanya tidak boleh menangani Hadhanah. Karena mereka tidak dapat mengurusi dirinya sendiri, sebab itu ia tidak boleh diserahi mengurusi orang lain. Sebab orang yang punya apa-apa tentulah ia tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada orang lain.
2.      Dewasa, sebab anak kecil sekalipun Mumayyiz, tetapi ia tetap membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya, karena itu dia tidak boleh menangani urusan orang lain.
3.      Mampu Mendidik, karena itu tidak boleh menjadi pengasuh orang yang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus kepentingan anak kecil, tidak berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri juga perlu diurus oleh orang lain.
4.      Amanah dan Berbudi, sebab orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan tidak dapat dipercaya akan dapat menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan seperti orang yang curang itu.
5.      Islam, anak Muslim tidak boleh diasuh oleh orang yang bukan Muslim, sebab Hadhanan adalah masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan orang mukmin dibawah perwalian orang kafir. Hal ini berdasar pada firman Allah dalam surat Annisa’ ayat 141:
ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا.
“ dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang orang kafir menguasai orang orang mukmin. (QS. Annisa’: 141).
Dalam riwayat lain juga ditegaskan dalam sebuah Hadist:
كل مولوديولدعلى الفطرةإلاأن ابويه يهودانه اوينصرانه اويمجسانه.
'‘setiap anak dilahirkan dalam keadaan Fitrah, hanya ibu bapaknyalah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani, atau Majusi.’’
6.      Ibunya tidak kawin lagi, jika si ibu telah kawin lagi dengan laki-laki lain.
7.      Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan tuannya, sehingga ia tidak punya kesempatan untuk mengasuh anak kecil.[3]

D.    Yang Berhak Dalam Hadhanah
Para Ulama’ berbeda pendapat tentang siapa yang berhak terhadap Hadhanah, apakah yang berhak itu Hadhin atau Mahdhun (anak). Sebagian pengikut Madzhab Hanafi berpendapat bahwa Hadhanah itu merupakan hak anak, sedangkan menurut Syafi;i, Ahmad, dan sebagian pengikut Madzhab Maliki berpendapat bahwa yang berhak terhadap Hadhanah itu adalah Hadhin.
Jika memerhatikan maksud ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist, maka dapat dipahami bahwa, Hadhanah itu disamping hak Hadhin, Hadhanah juga merupakan hak Mahdhun (anak). Dari itu Hadhin berhak mendapatkan pahala dari anaknya meskipun ia telah meninggal dunia, jika ia berhasil mendidik anaknya menjadi orang yang taqwa dikemudian  hari.
Dasarnya adalah Hadist  sbegai berikut;
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:اذامان الإسنان إلفتطع عمله إلامن ثلاث.صدقةجاريةاوعلم ينتفع به وولدصابح يدعواله (رواه مسلم)
Rasululla SAW. Bersabda “apabila seorang manusia meninggal dunia putuslah amalnya, kecuali tiga perkara, pahala dari shadaqah jariyah, atau pahala dari ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakan”(HR. Muslim).[4]
Dasar urutan orang yang berhak melakukan Hadhanah  dari empat Madhab adalah;
·         Kalangan Madzhab Syafi’i
berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari
1.       Ibu kandung.
2.       Nenek dari pihak ibu.
3.       Nenek dari pihak ayah.
4.       Saudara perempuan.
5.      Bibi dari pihak ibu.
6.      Anak perempuan dari saudara laki-laki.
7.      Anak perempuan dari saudara perempuan.
8.      Bibi dari pihak ayah.[5]
·         Kalangan Madzhab Hanafi
 berpendapat bahwa orang yang palin berhak mengasuh anak adalah
1.      Ibu kandungnya sendiri.
2.      Nenek dari pihak ibu.
3.      Nenek dari pihak ayah.
4.      Saudara perempuan (kakak perempuan).
5.      Bibi dari pihak ibu.
6.      Anak perempuan saudara perempuan.
7.      Anak perempuan saudara laki-laki.
8.      Bibi dari pihak ayah.
·         Kalangan Madzhab Maliki
berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari
1.      Ibu kandung.
2.      Nenek dari pihak ibu.
3.      Bibi dari pihak ibu.
4.      Nenek dari pihak ayah.
5.      Saudara perempuan.
6.      Bibi dari pihak ayah.
7.      Anak perempuan dari saudara laki-laki.
8.      Penerima wasiat.
9.      Dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama.


·         Kalangan Madzhab Hanbali
1.      Ibu kandung.
2.      Nenek dari pihak ibu.
3.      Kakek dan ibu kakek.
4.      Bibi dari kedua orang tua.
5.      Saudara Perempuan Se Ibu.
6.      Saudara perempuan seayah.
7.      Bibi dari ibu kedua orangtua.
8.      Bibinya ibu.
9.      Bibinya ayah.
10.  Bibinya ibu dari jalur ibu.
11.  Bibinya ayah dari jalur ibu.
12.  Bibinya ayah dari pihak ayah.
13.  Anak perempuan dari saudara laki-laki.
14.  Anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah.
15.  Kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.

Urutan yang berhak dalam Hadhanah ini memang lebih dekat kepada seorang ibu atau wanita berdasarkan  sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim, yang bercerita bahwa seorang wanita telah datang mengadukan masalahnya kepada Rasulullah SAW. Perempuan itu berkata, “saya telah diceraikan oleh suami saya, dan anak saya akan diceraikannya dari saya.”




Sabda Rasulullah SAW. Kepada perempuan itu ;
انت احق به مالم تنكحي (رواه ابوداودوالحاكم)
“engkaulah yang lebih berhak untuk mendidik anakmu selama engkau belum menikah dengan dengan orang lain.” (riwayat abu dawud dan hakim).[6]
            Dan kenapa pengasuhan anak  lebih di utamatan adalah seorang ibu, ini didasarkan pada Hadits Nabi yang berbunyi:
الام اعطف والطف وارحم واحني واخيروارأف وهي احق بولدها.
“ibu lebih lembut kepada anaknya, lebih halus, lebih pemurah, lebih baik dan lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya selama ia masih belom menikah dengan laki-laki lain.[7]
E.     Masa Hadhanah
Dalam masalah masa atau waktu ini dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan secara jelas, hanya saja terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan ayat tersebut, sehingga para Ulama’ berijtihad sendri-sendiri dalam menetapkan dengan berpedoman kepada isyarat itu. Seperti menurut Imam Hanafi, masa Hadhanah anak laki-laki berakhir ketika anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan dapat mengurus keperluannya sehari-hari, seperti makan, minum, mengatur pakaian, dan lain sebagainya.Sedangkan untuk perempuan berakhir apabila sudah baligh atau telah datang haid pertama. 
Sedangkan pengikut pada generasi akhir menetapkan bahwa masa Hadhanah itu berakhir umur 19 tahun bagi anak laki-laki. Dan 11 tahun untuk  seorang perempuan.
Menurut Imam Syafi’i berpendapat bahwa masa Hadhanah itu berakhir setelah anak itu sudah Mumayyiz, yakni berumur 5 tahun dan 6 tahun. Dengan berdasar pada Hadits:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: خيرغلامابين ابيه وامه كماخيربنتابين ابيهاوامها
Rasulullah SAW bersabda:”anak ditetapkan antara bapak dan ibunya sebagaimana anak(anak yang belum mumayyiz) perempuan ditetapkan antara ibu bapaknya.
Akan tetapi menurut undang-undang mesir tidak ada masalah dalam masa Hadhanah selagi anak tersebut berada di antara ibu bapaknya, hanya saja masa Hadhanah itu terjadi apabila terjadi perceraian dan terdapat perbedaan pendapat antara keduanya, maka masa Hadhanah diserahkan kepada kebijakan hakim  dengan ketentuan minimal 7 tahun dan maksimak 9 tahu, akan tetapi meskipun demikan kemaslahatan anak itu lebih diutamakan. [8]
Lain halnya dengan batas hadhanah menurut KHI pasal 98 yang menjelaskan bahwa batas usia berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak itu tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.[9]

F.     Upah Hadhanah
Seorang ibu tidak berhak menerima upah Hadhanah dan menyusui, selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama masih dalam masa Iddah. Karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai istri atau nafkah masa Iddah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 233:
والوالدت يرضعن اولاد هن حولين كاملين لمن اراد ان يتم الرضاعة.وعلى المولودله رزقهن وكسوتهني بالمعروف.(البقرة:233)
Artinya : para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS. AL-Baqarah: 233).[10]

Adapun sesudah masa Iddahnya, maka ia berhak atas upah itu seperti haknya kepada upah menyusui, Allah SWT, berfirman dalam surat At-Thalaq ayat 6:
فاتوهن اجورهن وأتمروابينكم بمعروف وان تعاسرتم فسترضع له اخرى.(الطلاق:6)
Artinya: maka berikanlah upah kepada merreka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu, untuknya. (QS. AT-Thalaq)[11]
 Karena wanita yang sudah sampai masa Iddahnya, disamakan dengan seorang yang bekerja untuk orang lainnya, dan ayah dari anak itu berkewajiban untuk membayar upah tersebut.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Anak adalah seorang yang wajib untuk dilindungi dari segala yang dapat menyulitkan dirinya, untuk dapat memberikan suatu kebaikan  yang dilakukna oleh kedua orang tuanya,  dan dengan adanya Hadhanah sangat penting kiranya Hadhanah ini diserahkan kepada pihak ibu, karena Hadhanah ini merupaka pekerjaan yang membutuhkan sangat tanggung jawab dan ketelatenan dalam melakukannya..
Dan kenapa sebabnya perempuan itu lebih berhak daripada laki-laki, karena perempuan lebih pantas dalam hal urusan ini.Lebih pandai, lebih sabar dan lebih cinta kepada anak-anaknya, sesuai dengan sabda-sabda Nabi yang telah dijelaskan diatas. Dan semua yang tersebut diatas adalah apabila anak itu belum baligh yaitu umur 15 tahun, apabila ia sudah baligh, maka lebih baik segala urusannya diserahkan kepada dirinya sendiri.




DAFTAR PUSTAKA

Rasjid,Sulaiman H : Fiqh Islam, Sinar Baru, Algensindo, 1994
Prof, Dr, H M A Tihami, dan Drs Sohari, MM M.H :Fikih Munakahat, Raja wali Pers, Jakarta 2010
Sabiq, Sayid: Fiqh Sunnah, Jilid 8, PT Al Ma’arif, Bandung 1980
Rafiq, Ahmad ; Hukum Islam Di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta 1998








[1] Prof. Dr.H.M.A.Tihami M.A. M.M, dan Drs.Sohami Sahrani,M.M. M.H, fiqih munakahat, cet ke 2 (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2010) hlm.,215-216

[2]Ibid hlm.,216
[3] Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah, vol 8, (Bandung, PT.Al-Ma’arif, 1980), hlm.,179-184

[4] Ibid hlm., 222-223
[5] Ibid hlm.,220
[6] H.Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, cet 27, (Bandung, sinar Baru Al Gensindo, 1986), hlm.,426
[7]Ibid hlm.,219
[8]Ibid hlm.,224-225
[9]Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998), hlm., 235
[10] Ibid hlm.,184-185
[11] Ibid hlm.,226
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot