BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ushul Fiqh merupakan salah satu ilmu diantara ilmu-ilmu yang dipelajari dalam Islam, yang berfungsi sebagai alat untuk merumuskan hukum dari hukum yang telah Allah SWT ciptakan untuk manusia. Manusia selaku yang merumuskan hukum, membutuhkan alat untuk menemukannya. Dan dengan bantuan ilmu Ushul Fiqh sebagai alat yang menemukan atau merumuskan hukum, manusia dapat menemukan hukum yang berguna untuk menentukan hukum taklifi dari perbuatannya sehari-hari.
Dalam ilmu Ushul Fiqh terdapat beberapa pembahasan diantaranya, Al-Hakim, Al-hukm, Mahkum FIh, Mahkum Alaih. Pada pembahasan kali ini, penulis mencoba untuk membahas permasalahan yang ada di mahkum alaih. Dikarenakan kita sebagai manusia dan semua kita adalah mukallaf, oleh karena itu, sangat penting bagi kita mendalami pengertian dari mukallaf dengan baik dan jelas, agar timbul sebuah keikhlasan dari kita disaat menjalakan perbuatan hukum karena kita memahami dan mengetahui hakikat kita sebagai mukallaf
B. Rumusan Masalah
Penulis akan membahas beberapa masalah didalam makalah ini, yaitu:
1. Apa itu mahkum alaih atau subjek hukum didalam Ushul Fiqh ?
2. Apa pengertian dan syarat-syarat taklif dalam Ushul Fiqh ?
3. Apa pengertian dan pembagian ahliyyah dalam Ushul Fiqh ?
4. Apa saja hal yang mempengaruhi kecakapan berbuat hukum ?
C. Tujuan Penulisan
Penulis menulis makalah ini dengan tujuan untuk:
1. Agar kita dapat mengetahui pengertian subjek hukum dalam ranah hukum islam.
2. Agar pembaca dapat membandingkan perbedaan antara subjek hukum dalam ranah hukum islam dan hukum konfensional.
3. Untuk memperluas wawasan pembaca dalam memahami hukum islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahkum ‘Alaih
Secara etimologi mahkum ‘alaih memilki pengertian yang sama dengan subjek hukum dan mukallaf, yang artinya orang-orang yang dibebani hukum atau orang yang kepadanya diperlakukan hukum.
Sedangkan secara terminologi, pengertian mahkum ‘alaih adalah orang-orang yang dituntut oleh Allah SWT untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah SWT itu[1]. Menurut Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, didalam bukunya megatakan, pengertian mahkum ‘alaih secara istilah adalah, orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum dan layak mendapatkan beban hukum (taklif), baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun dengan larangannya[2]. Didalam hukum konven-sional, subjek hukum Menurut C.S.T Kansil, S.H. seorang pakar hukum Indonesia adalah, mereka[3] yang memiliki hak[4] dan kewajiban[5].
B. Taklif
a. Pengetian Taklif
Dalam agama islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah di-anggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Tak heran kalau ssebagian besar ulama Ushul Fiqh berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman. Dengan kata lain, seorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang di tujukan kepadanya. Maka orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak bisa memaha-mi taklif dari syar’i. orang yang termasuk kedalam golongan tersebuat adalah, orang dalam keadaan tidur, mabuk, lupa karena dalam keadaan tidak sadar (hilang akal).
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW
رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق
(رواه البخاري وأبو داوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني)
Artinya:
“Diangkatnya pembebanan hukum dari tiga (jenis orang); orang tidur dampai dia bangun, anak kecil sampai baligh, dan orang gila sampai ia sembuh.” (HR. Bukhari, Tirmizi Nasai, Ibnu majah dan Daru Quthni)
Rasulullah SAW juga menjelaskan dalam hadis lainnya:
(رواه ابن ماجة والطبراني) رفع أمتي عن الخطأ والنسيان وما استكره له
Artinya:
“Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah dan dalam keadaan terpaksa.” (HR. Ibnu Majah dan Thabrani)
Dengan landasan kedua hadis tersebut, jelaslah bahawa taklif hanya diperun-tukan kepada mereka yang dianggap cakap dan mampu untuk melakukan tindakan hukum.
b. Syarat-Syarat Taklif
Ulama Ushul Fiqh telah sepakat bahwa seorang mukallaf bisa dikenai taklif apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu:
1. Orang yang mampu memhami khitab syar’i (tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al-quran dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain[6]. Hal ini karena orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khithab syar’i tidak mungkin untuk melak-sanakan suatu taklif[7].
kemampuan untuk memahami taklif tidak bias dicapai, kecuali melalui akal manusia, karena hanya akallah yang bisa mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau ditinggalkan. Akan tetapi, telah dimaklumi bahwa akal adalah sesuatu yang abstrak dan sulit diukur, dan dipastikan berbeda antara satu orang dengan orang lainnya, maka syara’ menentukan patokan dasar lain sebagai indikasi yang jelas[8]dalam menentukan seseorang telah berakal atau belum.
2. Seseoorng harus cakap bertindak hukum atau menerima beban taklif, dalam Ushul Fiqh diebut dengan ahliyah. Sedangkankan orang yang belum atau tidak dapat dibebani taklif maka orang itu belum termasuk kelompok ahliyah dan semua tindakannya belum atau dapat diminta pertanggungjawaban. Maka anak kecil yang belum baligh, yang belum mampu bertindak hukum, tidak dikenakan hukum syara’. Begitu pula orang gila, karena kecakapannya untuk bertindak hukum hilang,
C. Ahliyah
a. Pengertian Ahliyyah
Secara etimologi, ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan[9]. Ada-pun pengertian ahliyyah secara terminologi menurut ulama ushul fiqh adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syar’i untuk menentukan se-seorang telah cakap dikenai tuntutan syara’[10].
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang me-nunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Dengan demikian, jual beli dan hibbahnya diaanggap sah.
Kemampuan untuk bertindak hukum tidak datang kepada seseorang secara sekaligus, tetapi melalui proses tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkem-bangan jasmani dan akalnya. Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqh, membagi ahliyah tersebut sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan jasmani dan akalnya.
b. Pembagian Ahliyyah
Kemampuan atau kecakapan untuk bertindak hukum dan dikenai taklif sejalan dengan perkembangan jasmani dan akalnya. Sehubungan dengan itu, para ulama ushul fiqh, ahliyyah terbagi dalam dua bentuk, yaitu:
1. Ahliyyahtul Ada’
Yaitu sifat kecakapan bertindak hukum yang dimiliki seseorang sehingga setiap perkataan dan perbuatannya telah diperhitungkan secara syara’. Orang yang telah memiliki sifat ini dipandang telah sempurna untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dengan adanya kecakapan ini seseorang disebut sebagai mukallaf, dimana semua perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam, baik positif maupun negatif[11]. Sejak memiliki sifat ini, seseorang dituntut untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larang yang ditetapkan Islam[12]. Ahliyatul Ada’ atau kecakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum terbagi dalam dua bagi-an yaitu:
o Ahliyyatul Ada’ Al-Kamilah
Seseorang dipandang sebagai ahliyatul ada’a al-kamilah adalah apabila dia sudah bukan lagi mumayyiz, baligh, berakal dan bebas dari dari semua yang menjadi penghalang dari kecakapan ini, seperti keadaan tidur, gila, lupa, terpaksa dan lain-lain. Khusus berkaitan dengan harta, kewenangan dan kecakapan seseorang dipandang sah selain telahbaligh, berakal, juga harus cerdas (rusyd)[13]. Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Nisa’ 4:6
وَابْتَلُواالْيَتَامَىحَتَّىإِذَابَلَغُواالنِّكَاحَفَإِنْآَنَسْتُمْمِنْهُمْرُشْدًافَادْفَعُواإِلَيْهِمْأَمْوَالَهُم
Ayat ini menjelaskan seseorang yang telah memiliki sifat rusyd atau cerdas, maka dia berhak mengendalikan hartanya sendiri. Kecerdasan ini dapat diketahui setelah wali melakukan ujian terhadap diri dapat diketahui setelah wali melakukan ujian terhadap diri orang tersebut. Sifat rusyd dimiliki seseorang seiring dengan dia telah baligh dan berakal. Namun, apabila seseorang telah baligh dan berakal, tetapi mampu mengendalikan hartanya karena belum memiliki sifat rusyd, maka ia masih perlu dibimbing oleh penanggung jawab atau walinya dalam membelanjakan harta.
o Ahliyyatul Ada’ Al-Naqishah
Seseorang dipandang sebagai ahliyatul ada’a al-naqishah adalah apabila dia masih berada dalam usia tamyiz sampai pada usia baligh atau sering disebut dengan mumayyiz.Anak yang sudah berakal dan bebas dari semua yang menjadi penghalang atas kecakapannya bertindak hukum akan tetapi belum masuk kedalam usia baligh, maka ia disebut sebagai mumayyiz. Pada tahap ini, seorang anak yang mumayyiz sah untuk menyatakan iman, kafir[14], melakukan shalat puasa dan haji. Namun, ia belum wajib melakukan ibadah kecuali sekedar anjuran dan pendidikan bagi dirinya.
Menurut imam Syafi’i, perbuatan mumayyiz yang terkait dengan hak sesama manusia, baik berbentuk akad mapun pemindahan hak milik tidak sah atau batal. Sementara Abu Hanifah membagi akad yang dilakukan oleh mumayyiz kepada tiga macam. Pertama, akad yang mendatangkan mamfaat semata, yaitu semua akad yang menambah harta anak mumayyiz tersebut tanpa adanya pengganti yang dikeluarkan-nya, seperti menerima hibah, sedekah dan mengendalikan sendiri hartanya. Akad yang pertama ini sah apabila dilakukan oleh seorang anak mumayyiz. Kedua, akad yang menimbulkan kemudharatan semata, meliputi semua akad yang mengurangi harta anak mumayyiz, seperti memerdekakan budak, memberikan hibah, sedekah, wa-kaf dan lain sebagainya. Akad seperti ini tidak sah apabila dilakukan oleh seorang anak yang mumayyiz meskipun diizinkan oleh walinya karena wali tidak mempunyai kuasa menentukan pemindahan hak milik harta anak mumayyiz tersebut. Ketiga, akad pemindahan hak milik yang mendatangkan keuntungan sekaligus kemudharatan, seperti jual beli dan sewa menyewa. Akad seperti ini sah dilakukan oleh anak mu-mayyiz dan akad ini berlangsung atas izi dari walinya.
Didalam bukunya, Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin menambahkan satu tingka-tan lainnya didalam Ahliyyatul Ada’ yaitu:
o Adim Al-Ahliyyah
Adim Al-Ahliyah ini adalah tingkatan dimana seseorang belum cakap sama se-kali untuk melakukan sebuah tindakan hukum, yaitu umur manusia dari semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz, sekitar umur tujuh tahun.
Dalam batas umur imi, seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal. Sedangkan taklif itu dikaitkan dengan sifat berakal. Oleh karena itu, anak seumur ini belum bisa disebut sebagai mukallaf atau belum dituntut untuk mengerjakan hukum. Ia tidak wajib melaksanakan shalat puasa, dan kewajiban badani lainnya. Akam tetapi, dia wajib mengeluarkan zakat atas hartanya[15].
Selain perbuatan anak-anak dalam umur ini tidak dikenai hukum, ucapanya pun tidak mempunyai akibat hukum. Oleh karena itu, transaksi yang dilakukannya dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum. Dan semua tindakan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya tidak dapat dituntut secara badani. Untuk menutupi kerugiannya pihak lain yang menjadi korban kejaatannya dibebankan kepada hartanya atau harta orang tuanya.
2. Ahliyyahtul Wujub’
Ahliyatul wujub adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk menerima hak-hak dan sejumlah kewajiban. Kecakapan ini dimiliki seseorang sejak dia diperhi-tungkan ada[16] sampai dia menghembuskan nafas terakhir dalam segala sifat, kondisi, dan keadaanya[17]. Para ahli fiqh menyebutnya sebagai zimmah[18] Dan mereka membagiahliyyah al-wujub itu kedalam dua tingkatan.
o Ahliyyatul Al-Wujub Naqish
Ahliyyatul al-wujub naqish kecakapaan dikenai hukum secara lemah, yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak. Sifat le-mah pada kecakapan ini disebabkan oleh karena hanya salah satu kecakapan pada dirinya diantara di antara dua kecakapan yang harus ada padanya.
Contoh kecakapan untuk menerima hak, tetapi tidak untuk menerima kewaji-ban adalah bayi dalam kandungan ibunya. Bayi atau janin itu telah berhak menerima hak kebendaan seperti warisan dan wasiat, meskipun dia belum lahir dalam keadaan hidup. Bayi dalam kandungan itu tidak dibebani kewajiban apa-apa, karena secara jelas dia belum bernama manusia.
Contoh kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap menerima hak adalah orang yang mati tetapi masih meninggalkan hutang dengan manusia. Dengan kematiannya itu dia tidak akan mendapatkan hak apa-apa lagi, karena hak hanyalah untuk manusia yang hidup. Akan tetapi dia tetap dikenakan kewajiban untuk memba-yar hutang yang dilakukannya semasa dia masih hidup.
o Ahliyyatul Al-Wujub Kamilah
Ahliyyatul al-wujub kamilah adalah kecakapan dikenai hukum secara sempur-na, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan menerima hak[19]. Adanya sifat sempurna dalam bentuk ini karena kepantasan berlaku untuk keduanya seka-ligus[20]. Kecakapan ini berlaku semenjak dia lahir sampai dia meninggal.
Contoh ahliyah al-wujub kamilah adalah anak yang baru lahir, disamping dia berhak secara pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya dia juga telah dikenai kewajiban seperti zakat fitrah[21]. Hak dan kewajiban yang diterima dan diakukan oleh anak tersebut tidak pernah hilang selama dia masih hidup.
D. Hal-Hal yang Mempengaruhi Kecakapan Berbuat Hukum (Awaridh)
Para ahli ushul fiqh menetapkan ada beberapa hal yang menghalangi seseorang sehingga dipandang tidak cakap untuk bertindak hukum. Sesuatu yang berpengaruh menghalangi kecakapan untuk menjalankan taklif ini disebut awaridh al-ahliyah (halangantaklif). Halangan tersebut terbagi dua, yaitu: pertama, awaridh al-samawiyah yaitu halangan yang datang dari luar diri manusia. Dalam hal ini, manusia tidak mempunya daya atau kehendak menghadapinya. Halangan ini datang-nya dari Allah SWT sehingga disebut halangan samawi. Kedua, awaridh al-muktasabah yaitu halangan yang timbul karena perbuatan manusia[22].
1. Awaridh Al-Samawiyah
Awaridh Al-Samawiyah ada beberapa macam, yaitu.:
a. Anak Kecil
Anak-anak sebelum berakal, dia sudah dianggap sebagai ahliyyatul wujub al-kamilahdan ahliyyatul al-ada’ al-naqishah.
b. Gila
Gila merupakan kelainan yang terjadi pada akal yang menyebabkan ucapan dan perbuatan tidak sebagaimana mestinya. Keadaan gila menye-babkan hilangnya kecakapan seseorang sebagai ahliyyatul ada’, tetapi dia tetap dipandang sebagai ahliyyatul wujub al-kamilah. Orang gila statusnya disamakan dengan anak kecil yang belum mumyyaiz. Dan apabila seseorang telah sembuh dari gilanya, maka statusnya disamakan dengan orang yang berakal.
c. Idiot
Idiot adalah orangyang kurang akalnya. Oranng seperti ini mengalami kelainan pada akal yang menghalanginya berpikir secara baik sehingga ucapannya tidak menentu. Orang seperti ini disamakan hukumnya dengan anak yang belum mumayyiz atau sebelummumayyiz. untuk menentukannya dilihat dari situasi mana lebih dekat diantara keduanya, apakah lebih dekat kepada anak-anak yang mumayyiz atau yang belum mumayyiz.
d. Tidur atau Pingsan
Tidur atau pingsan merupakan sebuah halangan yang bersifat temporer. Orang yang tidur atau pingsan tidak dapat untuk sementara waktu memahami dan melaksanakan tuntutan hukum. Mereka mendapat melaksanakan setelah bangun dan sadar.
e. Lupa
Lupa adalah tidak mampu mengingat sesuatu pada waktu dibutuhkan. Lupa tidak dapat menyebabkan hilangnya status ahliyyatul wujub dan ahliyya-tul al-ada’. Lupa tidak dapat menggugurkan hak hak yang berkaitan dengan manusia[23].
Keadaan lupa tidak menyebabkan seseorang berdosa dan mendapat sik-sa di akhirat karena melanggar hak-hak Allah. Hal ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW
(رواه ابن ماجة والطبراني) رفع أمتي عن الخطأ والنسيان وما استكره له
Artinya:
“Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah dan dalam keadaan terpaksa.” (HR. Ibnu Majah dan Thabrani)
f. Haid dan nifas
Haid dan nifas tidak menghalangi seseorang sebagai ahliyyatul wujub dan ahliyyatul ada’ wanita yang haid dan nifas tidak berkewajiban melakukan shalat dan mengqadhanya, tetapi wajib mengqadha puasa yang ditinggalkan selama haid dan nifas tersebut.
2. Awaridh al-muktasabah
Awaridh al-muktasabah merupakan halangan yang muncul karena perbuatan manusia. Dan awaridh al-muktasabah terdiri dari beberapa bentuk[24], yaitu:
a. Safih
Safih atau bodoh merupakan kelemahan yang dimiliki seseorang yang membawa dia mengikuti hawa nafsu dalam menggunakan hartanya sehingga tidak sebagaimana yang dikehendaki oleh akal sehat. Safih tidak menyebab-kan hilannyaahliyyatul wujub dan ahliyyatul ada’ pada diri seseorang karena akalnya sempurna. Apabila dia melakukan tidak pidana, maka dia didikenai sanksi hukum sebagaimana yang berlaku terhadap orang yang tidak safih.
Persoalan safih hanya terkait dengan harta benda. Untuk itu, tidak boleh diserahkan harta orang safih kepadanya sampai dia cerdas (ruysd). Memper-timbangkan kelemahan pada pada diri orang yang safih, menyebabkan dia berada dalam perlindungan syara’ untuk menjaga hartanya dari kerusakan, seperti diisyaratkan dalam firman Allah SWT surat al-nisa, 4:5:
Artinya:
وَلَاتُؤْتُواالسُّفَهَاءَأَمْوَالَكُمُالَّتِيجَعَلَاللَّهُلَكُمْقِيَامًاوَارْزُقُوهُمْفِيهَاوَاكْسُوهُمْوَقُولُوالَهُمْقَوْلًامَعْرُوفً
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempur-na akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
b. Mabuk
Mabuk adalah hilangnya akal yang menyebabkan pembicaraan tidak menentu karena meminum sesuatu yang mempengaruhi daya akal, seperti khamar dan sejenisnya.
Ulama berbeda pedapat tentang ucapan yang diucapkan oleh orang ma-buk. Sebagian ulama berpendapat ucapan orang mabuk tidak dapat diperhi-tungkan karena kesadarannya tidak ada. Sebagian ulama, terutama mayoritas kalangan Hanafiyah berpendapat apabila dia mabuk karena dipaksa, maka ucapannya tidak memiliki pengaruh apa-apa, termasuk dalam transaksi. Na-mun apabila dia mabuk karena pilihannya sendiri, maka ucapannya berlaku, baik dalam transaksi maupun terhadap sanksi bagi dirinya.
Adapun perbuatan orang mabuk bila menyangkut ganti harta, dia tidak terbebas dan harus dikeluarkan dari hartanya. Sedangkan tindakannya yang menyebabkan hukumam had atau qishash, maka dilihat dulu cara mabuknya. Apakah dia mabuk karena terpaksa, dia tidak dikenakan sanksi. Namun apabila mabuk karena keinginan sendiri, maka dia dikenakan sanksi dari tindakanya
c. Safar (dalam perjalanan)
Safar atau dalam perjalanan tidak menyebabkan hilangnya ahliyyatul wujubdan ahliyyatul ada’ pada seseorang. Safar terkait dengan kesulitan yang membawa kepada keringanan. Atas dasar ini, syar’i menjadikan safar sebagai illat yang membolehkan mengqashar shalat wajib yang empat.
Selain mendapat keringanan untuk mengqashar shalat, orang yang se-dang berada dalam perjalan juga diperbolehkan untuk membuka puasa pada siang hari Ramadhan dengan tetap mengqadha puasa yang ditiggalkan pada bulan lain[25].
d. Tersalah
Tersalah adalah suatu perbuatan yang terjadi, tetapi berbeda dari keinginan yang melakukannya. Apabila tersalah menyangkut dengan hak-hak Allah SWT, baik dalam bidang ibadah maupun jinayah, kesalahan ini merupa-kan sebuah uzur dari Allah SWT selama yang bersangkutan telah berhati-hati. Apabila berkaitan dengan hak hamba atau hak perorangan, tersalah merupa-kan uzur yang membebaskan orang dari sanksi materi. Oleh sebab itu, orang yang merusak harta orang lain karena tersalah, maka dia wajib menggantinya.
e. Jahil (tidak mengerti tentang hukum)
Para ulama memisahkan ketidak tahuan tentang hukum kedalam beberapa macam:
1. Ketidaktahuan tentang hukum yang menyebabkan pelakunya tidak diberi uzur dan keadaanya tidak termasuk subhat yang dapat meniadakan sanksi hukum.
2. Ketidaktahuan yang pelakunya dikenai sifat uzur karena terkait dengan hal-hal yang meragukan dalil hukumnya
3. Ketidaktahuan dalam lapangan ijtihad karena ada faktor-faktor yang membuatnya dia tidak mengetahui hukum tersebut.
4. Ketidaktahuan tentang hukum islam karean seseorang tidak berada di daerah yang minoritanya islam[26].
f. Terpaksa
Terpaksa atau keadaan terpaksa adalah menuntut seseorang untuk melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang berlawanan dengan yang kita inginkan. Orang yang berada didalam keadaan yang terpaksa jelas tidak rela mengucapkan perkataan atan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan keinginannya.
Melihat bentuk keterpaksaan, kalangan hanafiyyah membagi kterpak-saan kepada dua bentuk, yaitu:
1. Ikrahah Mulji’, yaitu suatu bentuk pemaksaan yang tidak me-mungkinkan orang yang terpaksa menghindarkan diri dari ancaman pemaksa.
2. Ikrahah ghaira mulji, yaitu suatu paksaan yang masih memung-kinkan korban yang terpaksa untuk menghindarkan diri untuk mela-kukan perbuatan yang tidak di kehendakinya itu.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Pengertian mahkum alaih adalah, orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum dan layak mendapatkan beban hukum (taklif), baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun dengan larangannya. Sedangkan pengertian taklif itu sendiri adalah, beban hukum, sedangkan orang yang sudah dikenai taklif adalah, mereka yang sudah dikenai beban hukum. Dan taklif ini sendiriri memiliki dua syarat, yaitu: Pertama,Orang yang mampu memhami khitab syar’i (tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al-quran dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Kedua, Seseoorng harus cakap bertindak hukum atau menerima beban taklif, dalam Ushul Fiqh diebut dengan ahliyah.
Ahliyah dalam ilmu Ushul Fiqh terbagi dua, yatu: ahliyahtul wujub dan ahliyatul ada’. Dan kemudian ahliyahtul wujub ini terbagi menjadi ahliyahtul wujub kamilahdanahliyahtul wujub naqisah. Begitu pula dengan ahliyahtul ada’ yang juga terbagi dua, yaitu:ahliyahtul ada’ kamilah dan ahliyahtul ada’ naqisah.
Dan adapula hal-hal yang dapat mempegaruhi kecakapan (ahliyah) berbuat hukum, hal ini sering disebut dengan awaridh. Awaridh ini sendiri terbagi kedalam dua bentuk, yaitu: awaridh samawiyah dan juga awaridh muksabah yang masing-masing terdiri atas pembagiannya masing-masing berdasarkan asal mula kejadian tersebut.
B. Saran
Setelah menyelesaikan tulisan ini, penulis merasa masih memiliki banyak kesalahan dalam penyusunan baik kata maupun kalimat. Pada kesempatan kali ini, penlulis memohon kesedian pembaca untuk mengkritisi setiap kesalahan yang ada guna meminimalisir kesalahan dan mempermudah pemahamam pembaca atas makalah ini. Penulis juga menyarankan pembaca untuk semakin mendalami ilmu ushul fiqh karena ilmu ini merupakan alat dimana asal mulanya semua hukum islam terbentuk dan tersusun secara sistematis dalam ilmu fiqh.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2009) cet. IV
____ Ushul Fiqh, (Jakarta: Zikru Hakim , 2004)
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonensia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) cet. VIII
Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010) cet. IV
Kurdi Muliadi, Ushul Fiqh, (Aceh: Lembaga Kajian Agama dan Sosial, 2011) cet. I
[1] Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, ( Jakarta: Kencana Media Group, 2008) cet.IV hal. 424.
[2] Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, ( Bandung: Pustaka Setia, 2010) cet. IV hal. 334.
[3] Mereka: Manusia dan badan hukum, badan hukum memang tidak bernyawa ataupun tak berjiwa seperti manusia sebagai subjek hukum, akan tetapi badan hukum memiliki hak dan melakukan kewajiban, hak badan hukum adalah melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggota yang berkerja didalam badan hukum tersebut. Kemudian, kewajiban badan hukum seperti membayar pajak dan lain sebagainya. Akan tetapi badan hukum tidak dapat dihukum dengan hukuman pemenjaraan, melainkan hukumannya adalah membayar denda. Contoh badan hukum adalah: Negara, daerah swantara tingkat I dan II, kota madya, perseroan terbatas, yayasan dan lain sebagainya.
[4] Hak yang dimaksud disini adalah hak untuk mendapatkan kehidupan, hak asasi, hak perlindu-ngan, dan juga hak-hak lainnya.
[5] Kewajiban yang dimaksud disini adalah, kewajiban membayar pajak, kewajiban tunduk ke-pada hukum (peraturan) negaranya dan juga kewajiban lainnya.
[6] Syafe’i Rachmat, …., hal. 338.
[7] Akan tetapi didalam beberapa hal, orang yang tidak mampu memahami khithab syar’i juga dibeban taklif atasnya, seperti membayar zakat dari hartanya. Untuk menghndari adanya kesalahpahaman. Imam Al-Ghazali, Al-Amidi, dan Imam Asy-Syaukani menjelsakan bahwa anak kecil dan orang gila memang dikenakan kewajiban membayar zakat, baik zakat mal, zakat fitrah, nafkah diri mereka dan ganti rugi akibat perbuatan mereka bila merusak atau menghilangkan harta orang lain. Akan tetapi, kewajiban tersebut tidak berkaitan dengan perbuatan anak kecil dan orang gila tersebut, tetapi berkaitan dengan harta. Oleh karena itu, yang bertindak untuk membayarkan kewa-jiaban zakat pada mereka, mengambil nafkah untuk diri mereka dan ganti rugi yang disebabkan kelainan mereka adalah wali mereka masing masing.
[8] Indikasi yang jelas ini pada umumnya ditandai keluarnya darah haid pada wanita dan keluarnya mani bagi pria melalui mimpi yang pertama kali, atau telah sempurna berumur lima belas ta-hun
[9] Kecakapan yang maksud disini seperti kemampuan dalam suatu bidang, maka dianggap ahli menangani bidang tersebut
[10] Syafe’i Rachmat, …. hal. 339.
[11] Apabila dia melaksanakan hal yang positif maka dia akan mendapatkan pahala dan mendapatkan dosa apabila melakukan suatu hal yang negatif.
[12] Syarifuddi Amir, Ushul Fiqh, (Jakarta: Zikru Hakim, 2004) hal, 279
[13] Rusyd adalah suatu kemampuan yang harus dimiliki seseorang untuk mengendalikan hartanya.
[14] Ulama berpeda pendapat tentang implkasi atau sahnya anak-anak yang mumayyiz mengucapkan kaliamat kafir dalam kaitannya dengan persoalan dunia. Namun, mereka mereka sepakat kalamat kafir terhadap persoalan akhirat terhadap anak tersebut. Menurut Abu Hanifah, anak mumayyiz yang mengucapkan kalimat kafir dalam persoalan dunia menyebabkan dirinya murtad dan haram atau tidak berhak mendapatkan warisan. Sedangkan menurut Abu Yusuf dan iman Syafi’i berpendapat kalimat kafir dari anak yang demikian tidak menyebabkan murtad dan berimplikasikasi duniawi karena pernyataan murtad itu hanya suatu hal yang mengandung kemudharatan, tetapi tidak menghilangkan mamfaat. Dalam hal ini, anak mumayyiz itu tetap berhak mendapatkan harta warisan
[15] Menurut sebagian ulama yang berpendapat bahwa kewajiban zakat berlaku atas harta
[16] Ada disini bermakna, keberadaanya telah drasakan ada, meskipun masih berbentuk sebagai janin
[17] Syarifuddi Amir, … , hal. 282
[18] Zimmah adalah suatu syarat yang ditetapkan syara’ yang menjadikan seseorang memiliki kewajiban dan hak-hak
[19] Syarifuddin Amir, …. hal. 426 - 427.
[20] Hak dan kewajiban
[21] Menurut sebagian ulama, kewajiban pelaksanaannya dilakukan oleh orang tua atau walinya
[22] Syarifuddi Amir, …., hal, 283
[23] Apabila seseorang melakukan tindak pidana dalam keadaan lupa, dia tetap dikenakan atau dituntut untuk mempertanggungjawabakan tindakannya itu.
[25] Hal ini diperkuat dengan dalil Al-Qur’an dalam surah Al-Baqarah, 2:184
[26] Menurut jumhur ulama, kondisi seperti ini menggugurkan seseorang dari taklif atau beban hukum. Bahkan, seseorang yang memeluk islam dan tidak hijrah ke wilayah islam sehingga dia tidak mengeta-hui hukum islam, maka dia tidak wajib mengerjakannya dan tidak wajib mengqadhanya apa-bila dia mengetahuinya kemudian hari