ariefraihandi
Januari 16, 2016
0
A. Perkembangan Fiqh di Kerajaan-Kerajaan Islam Di
Nusantara
Sebelum kemerdekaan, wilayah nusantara masih dikuasai oleh kerajaan-kerajaan yang besar dan terkenal. Sebelum kedatangan Islam, kerajaan tersebut masih menganut kepercayaan hindu atau budha. Akan tetapi, setelah abad ke-13, Islam mulai masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan yang dibawa oleh pedagang-pedagang yang berasal dari timur tengah dan berkembang begitu pesat[1].
Berikut perkembangan hukum islam di
kerajaan-kerajaan islam di nusantara.
1. Perkembangan hukum islam di sumatera
Pada pertengahan abad ke-13, di Sumatera telah
berdiri kerajaan Islam Samudera Pasai yang merupakan kerajaan Islam pertama di
Indonesia, kerajaan ini terletak di pesisir timur laut aceh yang sekarang
merupakan wilayah Kabupaten Lhouksumawe. Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan
maritim, samudera pasai telah mengadakan hubungan dengan Sultan Delhi di India
pada pelayaran kerajaan Samudra Pasai merupakan pusat studi agama Islam dan
tempat berkumpulnya para ulama dari berbagai negara Islam[2].
a.
Kerajaan
Samudera Pasai
Samudera pasai
merupakan kerajaan islam pertama di indonesia, kerajaan ini di didirikan
sekitar abad pertengahan abad ke-13 sebagai hasil proses islamisasi
daerah-daerah pantai yang peernah disinggahi pedagang-pedagang muslim asing
sejak abad ke-7, ke-8 M, dan seterusnya. Lahirnya kerajaan samodera pasai
merupakan tonggak sejarah, sekaligus cikal bakal di daerah-daerah lain di
nusantara sehingga dimasa berikutnya
lahir kerajaan islam.
Mazhab hukum islam yang
berkembang di kerajaan samudera pasai yaitu mazhab syafi’i. Dari pasai inilah
tersebar mazhab syafi’inke kerajaanlainnya di di indonesia.
b.
Kerajaan
Aceh
Setelah kerajaan
samudera pasai ditaklukan oleh portugis sekitar tahun 1512, kerajaan itu berada
di bawah pengaruh kesultanan aceh yang berpusat di bandar aceh begawan. Sama
halnya dengan pasai, aceh juga menjadi tempat yang strategis.
Mazhab hukum islam yang
berkembang dikerajaan aceh adalah mazhab Syafi’i yang pada masa pemerintahan
sultan iskandar muda memiliki seorang mufti terkemuka bernama syekh abdul ra’uf
singkel. Selain itu juga terdapat seorang ulama besar nuruddin arraini dengan
karyanya sebuah kitab siratul musthaqim. Kitab tersebut di gunakan sebagai
madia penyebaran islam dan sebagai pedoman bagi guru-guru agama. (Warkum
sumitro 2004 : 18)
2.
Perkembangan
hukum islam di jawa
Perkembangan di Jawa tidak bisa dipisahkan dari
peranan wali, jumlah wali yang terkenal sampai sekarang adalah sembilan, yang
dalam bahasa dikenal dengan sebutan wali
songo[3].
Para wali yang termasuk dalam wali songo
adalah sebagai berikut.
a.
Kerajaan
Demak
Demak merupakan
kerajaan islam pertama yang ada di jawa. Raja yang pertama berkuasa adalah
Raden Patah. Peninggallan kerajaan demak yang hingga kini masih miliki nilai
historisbagi agama islam yakni masjid demak. Selain sebagai narasumber hukum
islam yang berkaitan dengan dengan masalah-masalah kehidupan dalam masyarakat.
Di kerajaan demak juga terdapat jema’ah islam yang sangat besar pegaruhya dan
dapat mengadakan hubungan denaagn pusat-pusat islam internasional di luar
negeri, seperti di mekkah dan turki.
b.
Kerajaan
Mataram
Lahirnya kerajaan
mataram merupakan anugerah dari raja pajang yakni Sultan Adi Wijaya kepada
kepada Ki Gede pamanahan karena telah berhasil menumpas pemberontakan aria
panangsang.
Sebelum sultan agung
berkuasa hukum islam tidak banyak berpengaruh dikalangan kerajaan. Pada masa
sultan agung mulai hidup dan berpengaruh besar di kerajaan tersebut. Hal
tersebut dapat di buktikan denagn berubahnya tata hukum di mataram yang
mengadili perkara-perkara yang membahayakan keselamatan kerajaan.
c.
Kerajaan
Cirebon
Cirebon merupakan
kerajaan islam pertama di jawa barat. Tome Peres menyebutkan bahwa islam sudah
ada di cirebon sekitar tahun 1470-1475M orang yang berhasil meningkatkan status
cirebon menjadi kerajaan yaitu Syarif Hidayat yang terkenal dengan sunan gunung
jati dialah pendiri kerajaan cirebon.
Hukum islam di kerajaan cirebon dapat berkembang
dengan baik, terutama hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah kekeluargaan.
Di bawah pengaruh dan kepemimpinan fatahillah, seorang tokoh wali sanga, hukum
islam di kerajaan cirebon mengalami perkembagan yang pesat. Pesatnya
perkembanagn islam dan kuatnya pengaruh hukum islam di sana, lapangan hukum
terrtentu mampu menggeser hukum jawa kuno sebagai hukum asli penduduk setempat.
d.
Kerajaan
Banten
Banten sudah menjadi
kata penting sejak sebelum islam datang ke Indonesia, yaitu saat banten berada
dalam kekuasaan raja-raja sunda, bahkan mngkin sebelumnya. Dalam cerita
parahyangan (tulisan sunda kuno) terdapat nama wahanten girang. Nama itu dapat
dihubungkan dengan nama banten,sebuah kota pelabuhan di ujung barat pantai
utara jawa.
Pada masa pemerintahan
dipegang oleh yusuf tercatat seorang ulama yang ikut didalam gerakan perlawanan
terhadap pakuan. Orang itu bernama “ molana Judah” ( dari Jeddah arab) berkat
jasa ulama dari Jeddah itulah hokum islam di banten dapat berkembang dengan
baik.
Perkembangan hukum
islam yang baik di banten itu diteruskan oleh Muhammad sebagai penguasa
kerajaan banten ketiga. Bahkan atas ajakan pangeran mas, Muhammad telah
melakukan ekspedisi bersenjata kepalembang guna memperluas daerah islam.
Keberhasilan politk dari kerajaan banten untuk penyebaran islam itu
mekipun menurut certa dilakukan dengan
kekerasan, ternyata memiliki pengaruh yang besar bagi perluasan daerah
raja-raja islam di jawa tengah dan jawa timur. Dengan demikian, di dalam
sejarah tercatat sederetan kerajaan islam di jawa timur dan jawa tengah.
e.
Kerajaan
Tuban
Tuban merukan kota yang
terletak di utara jawa timur, karena keadaan geografisnya, kemudian di jadikan
pelabuhan yang kurang penting jika di bandingan dengan gresik. Meski demikian,
diduga sejak zaman dahulu tuban menjadi kedudukan penguasa-penguasa yang kuat.
Oleh karena itu, tuban juga menjadi kota yang terkenal dan penting didaerah
pantai utara jawa timur.
Para ulama yang muncl
di tuban antara lain Raden Rahmat yang kemudian dikenal sebagai sunan khatib
ngampel Surabaya. Sekitar abad ke-17 dan
ke-18 kota tuban dianggap tidak memiliki arti
di bidang politik dan ekonomi. Namun demikian, kota tuban masih dikenal
sebagai tempat bermukim para ulama besar, antara lain haji Ahmad Mustaqim dan
kemudian terdokumentasi didalm tulisan jawa yang dikenal dengan nama “serat cabolek”.
3.
Perkembangan
hukum islam di sulawesi
Masuknya islam di Sulawesi tidak terlepas dari
peranan Sunan Giri di Gresik. Hal itu karena Sunan Giri menyelenggarakan
pesantren yang banyak didatangi oleh santri dari luar Jawa, seperti ternate dan
hiu. Pada abad ke-16 di sulsel telah berdiri kerajaan hindhu gowa dan tallo.
Penduduknya banyak yang memeluk agama islam karena hubungannya dengan kesultanan
Ternate[4].
4.
Perkembangan
hukum islam di Kalimantan
Pada abad ke-16, islam mulai memasuki kerajaan
Sukadana. Dibagian selatan Kalimantan berdiri kerajaan islam banjar pada
sekitar tahun 1526. Pangeran Suriansyah merupakan tokoh yang amat penting dalam
sejarah islam di Kalimantan. Dalam usaha mengembangkan islam/ Syekh muhamad
arsyad al-Banjari mendirikan pondok pesantren untuk menampung santri yang
datang dari berbagai pelosok Kalimantan. Pada masa berikutnya muncul seorang
pahlawan Kalimatan yang sangat berjasa dalam mengembangkan islam. Ia adalah
sultan amirudin khalifatul mukminin. Yang lebih dikenal nama pangeran Antasar[5]i.
5.
Perkembangan
hukum islam di Maluku dan Irian Jaya
Penyebaran islam di Maluku tidak lepas dari jasa
para santri Sunan Drajat yang berasal dari Ternate dan Hitu. Di Maluku ada 4
kerajaan bersaudara yang berasal dari keturunan yang sama yaitu Ternate,
Tidore, Bacan dan Jailolo. Raja Tidore masuk islam dan mengganti nama menjadi
Sultan Jamalludin. Demikian juga raja Jailolo, ia masuk isalm dan mengganti
nama menjadi Sultan Hassanudin. Peran kesultanan Ternate dalam penyebaran islam
baru dimulai pada masa Sultan Zaenal Abidin. Ia juga berhasil mengambangkan
islam ke Maluku dan Irian Jaya bahkan sampai ke Filipina.
B. Hukum
Islam Pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan
nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah,
atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke
dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian
dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara
perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di
Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian
diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga
belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah
Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat
menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa
kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh.
Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri
Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri
Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut
sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum
Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum
positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang
memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini
dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama
nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga
para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
C. Hukum
Islam Pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap
kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang
Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah
organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya.
Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan
VOC sebagai perpanjang tangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping
menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum
Belanda yang mereka bawa[6].
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum
Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat
menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan
penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat
dicatat beberapa perundingan yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
·
Dalam Statuta Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh
VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama
Islam.
·
Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah
berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi
ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
·
Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain,
seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil
kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar).
Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer,
dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.
Pengakuan terhadap hukum Islam ini
terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan
Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles
menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali
memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak
Belanda berusaha keras untuk berkuasa di wilayah ini. Namun upaya itu menemui
kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat
jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar
al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk
menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan
1. Menyebarkan agama Kristen kepada
rakyat pribumi,
2. Membatasi keberlakuan hukum Islam
hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
Bila ingin disimpulkan, maka upaya
pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara
kronologis adalah sebagai berikut :
1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah
Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara
sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan
hukum Belanda.
2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr.
Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan
undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal
persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan
asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian
menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
3. Atas dasar teori resepsi yang
dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922
kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di
Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima
oleh hukum adat setempat).
4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan
terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78
Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan
diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum
adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.
Lemahnya posisi hukum Islam ini
terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah
Indonesia pada tahun 1942.
D. Hukum
Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten
menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan
Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan
berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepang meneruskan segala kekuasaan yang
sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini
tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam
sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah
Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat
Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk
melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan
Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam,
seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura
Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah
sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh
Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang
ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan
tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan
alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka
Dengan demikian, nyaris tidak ada
perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di
Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada
Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam
mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,
Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak
memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau
pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang
memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa
Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan[7].
E. Hukum Islam
pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang
memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun
pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang
memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk
kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai
“melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia.
Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk
memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan
komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945,
komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang
mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa
BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis,
meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup
representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.
Perdebatan panjang tentang dasar
negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan
Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada
pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini
menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara
Islam.
Dengan rumusan semacam ini
sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan
undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi
rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan
disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan
dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang
menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia
mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore
hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir
AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan
menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan
tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan
Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui
rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.
Pada akhirnya, di periode ini,
status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian
mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan
sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada
cita-cita umat Islam.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan
Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir
lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa
revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu,
Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran,
Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian
mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik
Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga
akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan
Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS
tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik
Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi RIS sendiri jika
ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung
aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak
menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati
oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh
faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan
Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS pada
awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan
negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir,
mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai
upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19
Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan
tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika
dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang
signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam
Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang
rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang
Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan
agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara
dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini
adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan
dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD
sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam
saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada
tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis
yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah
itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi
undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti
UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara
itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis
Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu
kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan
bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit
Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan
hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan
bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan
“suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan
memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih
dari sekedar sebuah “dokumen historis”.
Namun bagaiamana dalam tataran
aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini.
Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak
didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini
adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam
dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori
oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan
negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya
untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI
terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah
diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun
memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu
konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu,
menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan
Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri
dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka
sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya.
F. Hukum
Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika
dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara
kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan
cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu,
Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan
alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat).
Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno. bersama dengan
PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom.
Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan,
salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan
kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah
salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar
itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam
sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu
membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali
tidak mendapatkan tempat yang semestinya[8].
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada
1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat
menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana
mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde
Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh
Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela
Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer
tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.
Meskipun kedudukan hukum Islam
sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde
ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini
ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU,
yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan
dukungan kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian
dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga
peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil
dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah
satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan
sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai
hukum yang berdiri sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya hukum
Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama
ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk
mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan
hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil
kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama[9].
G. Hukum
Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh
demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah
melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai
menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum
Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan
daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan
bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang
bersifat umum[10].
Lebih dari itu, disamping peluang
yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud
undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah
satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi
Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi
ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya
khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah
pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan
sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang
berlaku dalam hukum Nasional kita.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara
menurut sebagian ahli sejarah
dimulai pada
abad pertama
hijriyah,
atau
pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara
pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Pengaruh dakwah Islam yang
cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka,
lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan
Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan
Ternate serta Tidore. Pengaruh
dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian
menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan
Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di
pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi
dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Pada masa ini
hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa
dikatakan sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah
(perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah
ibadah. Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di
kerajaan-kerajaan Islam nusantara. Tidaklah berlebihan jika dikatakan pada masa
jauh sebelum penjajahan belanda, hukum islam menjadi hukum yang positif di
nusantara.
B. SARAN
Dalam menegakkan syariat islam, para
pendahulu harus merintangi jalan berbatu dan berliku. Kita sebagai penerus
harus dan sepatutnya mengikuti dan melanjutkan perjuangan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.
Jimly
Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar
Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem
Nasional, Jakarta, 27 September 2000.
Darmawan Rahmat, Perkembangan Islam di Indonesia. (Surabaya:
Pustaka Kencana. 1999).
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana, 2007).
Fatah
Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2012).
[1]
Hutabarat, Ramly. Kedudukan Hukum Islam dalam
Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia. 2005. hlm 61 -62
[7]
Ramly
Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, 2005. hlm 145
[10] Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional,
makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi
Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000. hlm 46