ariefraihandi
Desember 12, 2015
0
A. JENIS-JENIS PIDANA
KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP. Pidana dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :
1.
Pidana
Pokok Terdiri dari:
Dalam
pasal 10 KUHP, ada dua jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak, yakni pidana
penjara dan pidana kurungan. Dari sifatnya menghilangkan dan atau membatasi
kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat
(Lembaga Permasyarakatan) di mana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan
di dalamnya wajib untuk tunduk, menaati dan menjalankan semua peraturan tata
tertib yang berlaku, maka kedua jenis pidana itu tampaknya sama. Akan tetapi,
dua jenis pidana itu sesungguhnya berbeda jauh
Perbedaan antara pidana penjara
dengan pidana kurungan adalah dalam segala hal pidana kurungan lebih ringan
dari pada pidana penjara.[4]
Bentuk dari pidana penjara ini
merupakan jenis pidana di mana terpidana harus dimasukkan dalam Lembaga
Permasyarakatan (LP) yang sudah disediakan seperti halnya dengan KUHP (RUU)
juga menganut pola pidana penjara seumur hidup dan penjara untuk waktu
tertentu.
Sedangkan pidana penjara dalam waktu
tertentu polanya terbagi menjadi dua yaitu pola minimum dan maksimum. Dalam
konsep KUHP (RUU) pola minimum yang bersifat umum yaitu berupa penjara satu
hari dan untuk pola minimum yang bersifat khusus bervariasi antara satu sampai
lima tahun. Sedangkan untuk pola maksimum khusus bervariasi dengan konsep KUHP
(RUU) adalah dalam pola minmum khusus diman didalamnya tidak dijelaskan secara
tepat.
Adapun sanksi pidan penjara ini
tertulis di dalam KUHP (WvS) pasal 12 sampai dengan pasal 20. Sedangkan dalam
konsep KUHP (RUU) tercantum dalam pasal 64 sampai 70. [5]
b.
Pidana Tutupan
Berlainan
dengan pidana penjara, pada pidana tutupan hanya dapat dijatuhkan apabila
(Rancangan RUU) :
1)
Orang
yang melakukan tindak pidana
yang di ancam dengan pidana penjara, mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya
dapat dijatuhi pidana tutupan;
2)
Terdakwa
yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.
Pengecualian
terhadap ketentuan di atas adalah jika cara melakukan atau akibat dari
perbuatan tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa lebih tepat untuk dijatuhi
pidana penjara.[6]
Pidana
tutupan ini ditambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 Tahun 1946,
yang maksudnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa
dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana
penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh
menjatuhkan pidana tutupan. Pasal ayat 2 dinyatakan bahwa pidana tutupan tidak
dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu, cara melakukan
perbuatan itu atau akibat dari perbuatan itu adalah sedemikian rupa sehingga
hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.
Dari ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam PP Nomor 8 Tahun 1948, dapat diketahui bahwa narapidana tutupan itu lebih banyak mendapatkan
fasilitas dari pada narapidana
penjara. Hal ini disebabkan karena orang yang dipidana tutupan itu tidak sama
dengan orang-orang yang dipidana penjara. Tindak pidana yang dilakukannya itu
merupakan tindak pidana yang didorong oleh maksud yang patut dihormati.
Berdasarkan
bunyi Pasal 2 ayat 1 PP ini, tempatnya pidana tutupan bukan jenis pidana yang
berdiri sendiri, melainkan pidana penjara juga. Perbedaannya hanyalah terletak
pada orang yang dapat dipidana tutupan hanya bagi orang yang melakukan tindak
pidana karena didorong oleh maksud yang patut dihormati. Sayangnya dalam UU itu
maupun PP pelaksanaannya itu tidak dijelaskan tentang unsur maksud yang patut
dihormati itu. Karena penilaiannya, kriterianya diserahkan sepenuhnya kepada
hakim.
Dalam
praktik hukum selama ini, hampir tidak pernah ada putusan hakim yang
menjatuhkan pidana tutupan. Sepanjang sejarah praktik hukum di Indonesia,
pernah terjadi hanya satu kali hakim menjatuhkan pidana tutupan, yaitu putusan
Mahkamah Tentara Agung RI pada tanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para
pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946.[7]
c.
Pidana Kurungan
Pidana
ini biasanya dikenakan pada kejahatan tentang politik untuk tidak keluar rumah,
kota dan keluar wilayah negara RI. Pidana kurungan ini juga dikenal dengan
tahanan rumah, kota dan negara. Hal ini sesuai dengan pasal 21 KUHP, bahwa
pidana kurungan harus dijalani dalam daerah dimana terpidana berdiam. Ketika
putusan hakim dijalankan atau jika tidak mempunyai tempat kediaman di dalam
daerah dimana ia berada. Kecuali kalau Menteri Kehakiman atas permintaan
terpidana, maka terpidana diperbolehkan menjalani pidananya di daerah lain.
Adapun
sanksi pidana penjara ini tertulis di dalam KUHP (WvS) pasal 12 sampai dengan
pasal pasal 20, sedangkan dalam konsep KUHP (RUU) tercantum dalam pasal 64
sampai 70.
d.
Pidana Denda
Pola
pidana denda dalam KUHP hanya mengenal minimum umum dan maksimum khusus.
Minimum umum pidana denda sebesar 25 sen (pasal 30 ayat 1) yang berdasarkan perubahan
menurut UU No. 18 Rp.1960 dilipat gandakan menjadi 15 kali sehingga menjadi Rp.375.
Sedangkan maksimum khususnya bervariasi baik untuk tindak kejahatan maupun
tindak pelanggaran.
Adapun
konsep KUHP (RUU) pasal 75-78 mengenal minimum umum, minimum khusus dan
maksimum khusus. Pidana denda minimum umumnya sebesar Rp.1500,-. Ancaman
maksimum khusus dibagi menjadi enam kategori dimana kategori terendah adalah Rp.150.000,-.
Sedangkan untuk kategori tertinggi adalah Rp.300.000.000,-. Dan untuk ancaman
maksimum khusus denda bervariasi menurut bobot deliknya.
Pidana
denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran (Buku III) baik sebagai
alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri. Begitu juga terhadap jenis
kejahatan-kejahatan ringan maupun kejahatan Culpa, pidana denda sering
diancamkan sebagai alternatif dari pidana kurungan. Sementara itu, bagi
kejahatan-kejahatan selebihnya jarang sekali diancam dengan pidana denda baik
sebagai alternatif dari pidana penjara maupun berdiri sendiri.
Apabila
denda tidak dibayar, maka harus menjalani kurungan pengganti denda. Pidana
kurungan pengganti denda ini dapat ditetapkan yang lamanya berkisar antara satu
hari sampai enam bulan. Dalam keadaan-keadaan tertentu yang memberatkan, batas
waktu maksimum enam bulan ini dapat dilampui sampai paling tinggi menjadi
delapan bulan (pasal 30 ayat 5, 6).
Terpidana
yang dijatuhi pidana denda boleh segera menjalani kurungan pengganti denda
dengan tidak perlu menunggu sampai habis waktu untuk membayar denda. Akan
tetapi, bila kemudian ia membayar denda, ketika itu demi hukum ia harus
dilepaskan dari kurungan penggantinya.
e.
Pidana Kerja Sosial
Dalam
konsep KUHP (RUU) khususnya pasal 78-79, pasal ini memuat adanya pidana kerja
sosial akan tetapi rumusan deliknya tidak dicantumkan. Begitu juga di dalam
KUHP (WvS), pidana kerja sosial ini tidak dicantumkan secara khusus di dalam
pasal-pasalnya.
Dalam
penjatuhan pidana selain dipenuhi syaratnya, juga perlu pertimbangan dan
syarat-syarat tertentu, misalnya pidana relatif pendek atau dendanya ringan.
Garis besar yang perlu dicermati sehubungan pidana kerja sosial adalah sebagai
berikut (Rancangan KUHP) :
1)
Apabila
pidana penjara yang dijatuhkan tidak lebih dari enam bulan atau pidana denda
yang tidak lebih dari denda kategori I maka pidana penjara atau pidana denda
tersebutdapat diganti dengan pidana kerja sosial.
2)
Hal-hal
yang harus dipertimbangkan:
a)
Pengakuan
terpidana terhadap tindak pidana yang dilakukan;
b)
Usia
yang layak kerja terpidana menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c)
Persetujuan
terpidana sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan
dengan pidana kerja sosial;
d) Riwayat sosial terpidana;
e)
Perlindungan
keselamatan kerja terpidana.
3)
Pidana kerja sosial tidak
boleh dikomersilkan dan bertentang dengan keyakinan agama dan politik
terpidana.
4)
Jika
pidan kerja sosial sebagai pengganti denda maka sebelumnya harus ada permohonan
terpidana dengan alasan tidak mampu membayar denda tersebut. Pidana kerja
sosial paling singkat tujuh jam.
5)
Waktu
pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama:
a)
240
jam bagi terpidana yang telah berusia 18 tahun ke atas;
b)
120
jam bagi terpidana yang berusia dibawah 18 tahun.
6)
Pelaksanaan
pidan kerja sosial dapat diangsur paling lama 12 bulan
dengan
dengan tetap diperhatikan
:
a)
Kegiatan
terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan atau
b)
Kegiatan
lain yang bermanfaat.
7)
Apabila
terpidana gagal memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban untuk menjalankan
pidana kerja sosial tanpa alasan wajar maka terpidana dapat diperintahkan:
a)
Mengulangi
seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebur;
b)
Menjalani
seluruh atau sebagian pidana penjara diganti dengan pidana kerja sosial
tersebut; atau
c)
Membayar
seluruh atau sebagian pidana dengan tidak dibayar yang diganti dengan pidana
kerja sosial tersebut atau menjalani pidan penjara sebagai pengganti denda yang
tidak dibayar.
2.
Pidana
Tambahan Terdiri dari:
a.
Pencabutan Hak-hak Tertentu
Menurut
hukum, pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat mengakibatkan
kematian perdata (Burgerlijke Daad) tidak diperkenankan (Pasal 3 BW). UU hanya
memberikan kepada negara wewenang (melalui alat/lembaganya) melakukan
pencabutan hal tertentu saja, yang menurut Pasal 35 ayat 1 KUHP, hak-hak yang
dapat dicabut tersebut adalah:
1)
Hak
memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
2)
Hak
menjalankan jabatan dalam Angkatan Bersenjata/TNI;
3)
Hak
memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4)
Hak
menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi
wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak
sendiri;
5)
Hak
menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak
sendiri;
6)
Hak
menjalankan mata pencaharian.
Sifat hak-hak tertentu yang dapat
dicabut oleh hakim, tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu
saja, kecuali bila yang bersangkutan dijatuhi pidana penjara seumur hidup atau
pidana mati.
Perlu diperhatikan bahwa hakim baru
boleh menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana diterangkan di
atas apabila secara tegas diberi wewenang oleh UU yang diancamkan pada rumusan
tindak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang diancam dengan pidana
pencabutan hak-hak tertentu antara lain tindak pidana yang dirumuskan dalam
Pasal-pasal: 317, 318, 334, 347, 348,350, 362, 363, 365, 372, 374, 375.
b.
Perampasan Barang-barang Tertentu dan Tagihan
Salah
satu ketentuan yang sangat menarik adalah dapat dijatuhkannya pidana tambahan
ini tanpa dijatuhkannya pidana pokok. Pidana ini dapat dijatuhkan apabila
ancaman pidana penjara tidak lebih dari tujuh tahun atau jika terpidana hanya
dikenakan tindakan. Adapun barang-barang yang dapat dirampas adalah :
1)
Barang
milik terpidana atau orang lain yang seluruhnya atau sebagian besar diperoleh
dari tindak pidana;
2)
Barang
yang ada hubungannya dengan terwujudnya tindak pidana;
3)
Barang
yang digunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan tindak pidana;
4)
Barang
yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; atau
5)
Barang
yang dibuat atau diperuntukkan bagi terwujudnya tindak pidana.
Apabila
penjatuhan pidana perampasan atas barang yang tidak disita maka dapat
ditentukan barang tersebut harus diserahkan atau diganti dengan sejumlah uang
menurut penafsiran Hakim. Jika terpidana tidak mau menyerahkan barang yang
disita maka Hakim dapat menetapkan harga lawanya. Akhirnya, jika terpidana
tidak mampu membayar seluruh atau sebagian harga lawan tersebut maka berlaku
ketentuan pidana penjara pengganti untuk pidana denda (vide Pasal 99 Rancangan
KUHP).
c.
Pengunguman
Putusan Hakim
Dalam
hal diperintahkan supaya putusan diumumkan maka harus ditetapkan cara
melaksanakan perintah tersebut dan jumlah biaya pengunguman yang harus
ditanggung oleh terpidana. Namun, apabila biaya pengunguman itu tidak dibayar
oleh terpidana maka berlaku ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.
Setiap
putusan hakim memang harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum
(Pasal 195 KUHAP, dulu Pasal 317 HIR). Bila tidak, putusan itu batal demi
hukum.
Hakim
bebas menentukan perihal cara melaksanakan pengunguman. Hal tersebut dapat
dilakukan melalui surat kabar, plakat yang ditempelkan pada papan pengunguman,
melalui media radio maupun televisi, yang pembiayaanya dibebankan pada
terpidana.
Maksud
dari pengunguman putusan hakim yang demikian ini, adalah sebagai usaha Preventif,
mencegah bagi orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak pidana yang
sering dilakukan orang. Maksud yang lain adalah memberitahukan kepada
masyarakat umum agar berhati-hati dalam bergaul dan berhubungan dengan
orang-orang yang dapat disangka tidak jujur sehingga tidak menjadi korban dari
kejahatan (tindak pidana).
d.
Pemenuhan Kewajiban Adat.
Beberapa
hal dapat dikemukakan berkaitan dengan pidana tambahan ini (Pasal 102 jo. Pasal
5 Ayat (2) Rancangan KUHP) yaitu sebagai berikut:
1)
Dalam
putusan dapat ditetapkan pemenuhan adat setempat, utamanya jika tindak pidana
yang dilakukan menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2)
Kewajiban
adat tersebut dianggap sebanding dengan pidana denda kategori I dan dapat
dikenakan pidana pengganti jika kewajiban adat itu tidak dipenuhi atau tidak
dijalani oleh terpidana yang dapat berupa pidana ganti kerugian.
3.
Pidana
Khusus
a.
Pidana Mati
Dalam
Rancangan KUHP baru disebut bersifat
khusus, penerapan pidana mati dalam praktek sering menimbulkan
perdebatan di antara yang setuju dan yang tidak setuju. Bagaimanapun pendapat
yang tidak setuju adanya pidana mati, namun kenyataan yuridis formal pidana
mati memang dibenarkan. Ada beberapa pasal di dalam KUHP yang berisi ancaman
pidana mati, seperti makar pembunuhan terhadap Presiden (Pasal 104), pembunuhan
berencana (Pasal 340), dan sebagainya.[8]
Pidana
mati merupakan bentuk pidana yang mana terpidana ditembak oleh satu peleton
brimob dengan mata tertutup. Di Prancis terpidana dipotong lehernya (Quilotine). Di negara Arab dikenakan
hukuman qishash.
Dalam konsep KUHP (RUU) pidana mati yang termasuk pidana khusus ini dicantumkan
dalam pidana mati Pasal 61, Pasal 80 sampai Pasal 83. Sedangkan dalam KUHP
(WvS) termasuk bagian pidana pokok.[9]
B. TINDAKAN
1.
Tindakan Bagi Orang Dewasa
Dalam pengenaan tindakan, pelaku tindak pidana dibagi dua
kelompok yaitu tidak dapat dan kurang dapat dipertanggung jawabkan. Terhadap
yang tidak dapat dipertanggung jawabkan maka tidak dapat dijatuhi pidana.
Terhadap yang kurang dapat dipertanggung jawabkan, pidananya dapat dikurangi
atau dikenakan tindakan. Adapun penyebab tidak dapat dan kurang dapat
dipertanggung jawabkan tersebut adalah sama yaitu menderita gangguan jiwa, penyakit
jiwa atau retardisi mental (vide Pasal 41, 42 Rancangan KUHP).[10]
Bagi orang
yang tidak atau kurang mampu bertanggung jawab tindakan dijatuhkan tanpa
pidana. Diantara bentuk-bentuk tindakan yang tercantum dalam konsep KUHP (RUU)
adalah:
1.
Perawatan
di rumah sakit jiwa (Pasal 96)
2.
Penyerahan
kepada pemerintah (Pasal 97)
3.
Penyerahan
kepada seseorang (Pasal 98)
Adapun bentuk-bentuk tindakan bagi
orang pada umumnya yang mampu bertanggung jawab maka dijatuhkan bersama-sama
dengan pidana sesuai dengan konsep KUHP (RUU) ayat (2) Pasal 103 yang
menyebutkan:
1.
Pencabutan
surat izin mengemudi
2.
Perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
3.
Perbaikan
akibat-akibat tindak pidana
4.
Latihan
kerja
5.
Rehabilitas
6.
Perawatan
disuatu lembaga[11]
Dari rumusan Pasal 105-112 Rancangan KUHP dapat
diketengahkan hal-hal pokok sebagai berikut:
1.
Tindakan
Perawatan di Rumah Sakit Jiwa
a. Dijatuhkan setelah pembuat tindak pidana
dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan yang bersangkutan masih dianggap
berbahaya berdasarkan surat keterangan dari dokter ahli.
b. Pembebasan dari tindakan perawatan di
rumah sakit jiwa dikenakan, jika yang bersangkutan dianggap tidak berbahaya
lagi dan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut berdasarkan surat keterangan
dokter ahli.
2. Tindakan Penyerahan Kepada Pemerintah
atau Seseorang
a. Tindakan penyerahan ini dapat dikenakan,
baik kepada pembuat tindak pidana dewasa atau anak-anak.
b. Tindakan penyerahan ini, bagi orang
dewasa dilakukan demi kepentingan masyarakat. Bagi anak dilakukan demi
kepentingan anak yang bersangkutan.
c. Tindakan Pencabutan Surat Izin Mengemudi
Hal-hal
yang harus dipertimbangkan dalam tindakan pencabutan surat izin mengemudi:
a. Keadaan yang menyertai tindak pidana
yang dilakukan,
b. Keadaanyang menyertai pembuatan tindak
pidana, ayau
c. Kaitan pemilikan surat izin mengemudi
dengan usaha mencari nafkah di wilayah negara Indonesia.
Apabila
surat izin mengemudi dikeluarkan oleh negara lain maka pencabutan dapat diganti
dengan larangan menggunakan surat izin tersebut di wilayah negara Indonesia.
Jangka
waktu pencabutan surat izin mengemudi berlaku antara satu sampai lima tahun.
3. Tindakan Perampasan Keuntungan
a. Segala keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana, baik berupa uang, barang, atau keuntungan lain dirampas.
b. Jika keuntungan tersebut tidak berupa
uang maka pembuat tindak pidana dapat mengganti dengan yang jumlahnya
ditentukan oleh hakim.
4.
Tindakan
Perbaikan
Tindakan
perbaikan akibat tindak tindak pidana dapat berupa perbaikan, penggantian, atau
pembayaran harga kerusakan sebagai akibat tindak pidana tersebut.
5.
Tindakan
Latihan Kerja
a. Dalam penanganan tindakan latihan kerja,
yang wajib dipertimbangkan adalah
:
1.
Kemanfaatan
bagi pembuat tindak pidana
2. Kemampuan pembuat tindak pidana, dan
3. Jenis latihan kerja.
b. Hal yang wajib diperhatikan dalam
penanganan tindakan latihan kerja adalah pengalaman kerja yang pernah dilakukan
dan tempat tinggal pembuatan tindak pidana.
6.
Tindakan
Rehabilitasi
a. Pengenaan tindakan rehabilitasi
dijatuhkan kepada pembuat tindak pidana yang kecanduan alkohol, obat bius, obat
keras, narkotika, yang mengidap kelainan seksual, atau yang mengidap kelainan
jiwa.
b. Rahabilitasi dilaksanakan di dalam suatu
lembaga pengobatan dan pembinaan, baik swasta maupun pemerintah.
7.
Tindaka
Perawatan
a. Perawatan di dalam suatu lembaga dapat
dikenakan terhadap pembuat tindak pidana dewasa atau anak-anak.
b. Tindakan perawatan kepada pembuat tindak
pidana orang dewasa harus didasarkan atas sifat berbahayanya perbuatan
melakukan tindak pidana tersebut sebagai suatu kebiasaan. Tindak perawatan
kepada pembuat tindak pidana terhadap anak dimaksudkan untuk membantu orang tua
dalam mendidik anak yang bersangkutan.
2.
Tindakan Bagi Anak Nakal
Beberapa
tindaka yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal (Pasal 24 ayat (1) ialah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997) adalah:
1.
Mengembalikan
kepada orang tua, wali, atau orang tua asu
2. Menyerahkan
kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja, atau
3. Menyerahkan
kepada departemen sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak
dibidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Selain tindakan tersebut, Hakim
dapat memberi teguran dan menetapkan syarat tambahan. Teguran adalah peringatan
dari Hakim baik secara langsung terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun
secara tidak langsung melalui orang tua, wali, atau orang tua asuhnya agar anak
tersebut tidak mengulangi perbuatan. Syarat tambahan itu misalnya kewajiban
untuk melapor secara periodik kepada pembimbiing kemasyarakatan. (vide
penjelasan Pasal 24 ayat (2).
Penjatuhan tindakan oleh Hakim dilakukan kepada kepada
anak yang melakukan pembuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut
perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain. Namun terhadap anak
yang melakukan tindak pidana, Hakim menjatuhkan pidana pokok dan atau pidana
tambahan atau tindakan.
Dalam segi usia, pengenaan tindakan terutama bagi anak
yang masih berumur 8 (delapan) tahun samapi 12 (dua belas) tahun. Terhadap anak
yang telah melampaui umur 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun
dijatuhkan pidana. Hal itu dilakukan mengingat pertumbuhan dan perkembangan
fisik, mental, dan sosial anak.
Jenis tindakan yang dapat dijatuhkan kepda anak berdasar
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 24 ayat (1) ternyata lebih sempit
(sedikit) apabila dibandingkan dengan rumusan Rancangan KUHP baru. Rumusan
pengenaan tindakan terhadap anak (Pasal 132 Rancangan KUHP) adalah:
a.
Pengembalian
kepada orang tua, wali atau pengasuhnya
b.
Penyerahan
kepada pemerintah atau seseorang
c.
Keharusan
menngikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta
d.
Pencabutan
surat izin mengemudi
e.
Perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
f.
Perbaikan
akibat tindak pidana
g.
Rehabilitasi
dan atau,
h.
Perawatan
di dalam suatu lembaga[12]
KASUS PEMBUNUHAN DI PASAR BINTAN CENTRE
Tersangka : A Hiang/ Kie Hai/ Apek koboy
Korban : A bak/ Tjia Mei
Waktu : 4 Oktober 2010 sekitar pukul
04.00 WIB.
Tempat : Pasar Bestari Bintan Center
Modus : cek-cok mulut dan rasa kesal yang
berkepanjangan
- Kronologi Kasus
Kejadian diawali dengan cekcok mulut
saat dagangan mulai dipersiapkan. Ketika itu, A Hiang sedang duduk di kedai
kopi. Dari kejauhan A Hiang melihat Tjiang Ming alias A Bak sedang memindahkan
kayu untuk menggantung kantong plastik miliknya.
A Hiang mendatangi A Bak dan
menanyakan tentang pemindahan gantungan kantong plastik tersebut, A Bak mengungkapkan
bahwa gantungan kantong plastik itu mengenai gantungan plastik miliknya. Cekcok
mulut pun terjadi hingga A Bak mengeluarkan bahasa kotor dalam bahasa Cina.
Mendengar bahasa kotor tersebut, A
Hiang naik darah dan mengambil parang yang berada di dekatnya dan mendaratkan
ke batang leher sebelah kiri A Bak hingga mengeluarkan darah segar.
A Bak berusaha melarikan diri dengan
membalikkan badannya. Tapi tebasan kedua kalinya hinggap di kepalanya dan lalu
tersungkur di lantai. Setelah menebas leher A Bak dan meninggalkannya dalam
kondisi bersimbah darah, A Hiang mendatangi Polsek Tanjungpinang Timur yang
berada di depan Pasar Bestari.
A Hiang mengatakan ke petugas jaga
bahwa ia baru saja membunuh orang dengan parang yang masih berada di tangannya.
- Analisa Kasus
Berdasarkan kasus di atas kami menganalisis bahwa tersangka A
Hiang/ Kie Hai/ Apek koboy, melakukan pembacokan sebanayk dua kali terhadap korban
A bak/ Tjia Mei, bacokan pertama tidak menyebabkan kematian karena hanya
mengenai leher dari korban sedangkan bacokan kedua yang dilayangkan oleh
tersangka terhadap korban telah menyebabkan korban meninggal di tempat kejadian
perkara (TKP) karena mengenai kepala dari si korban.
Pembunuhan
yang dilakukan oleh tersangka masuk dalam Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan.
“Barang
siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”
Dari Pasal di atas jika dikaitkan dengan kasus, maka sudah
jelas bahwa tersangka memang dengan sengaja ingin menghilangkan nyawa korban
(membunuh) korban, karena pada saat korban sudah terkena bacokan yang pertama
yaitu di lehernya, korban masih bisa bangun dan melarikan diri dari tersangka
tetapi tersangka malah mengejar korban dan kembali membacok korban di kepalanya
sehingga korban jatuh ke lantai dan bersimbah darah dan korban seketika itu
meninggal di tepat kejadian perkara.
Setelah melakukan pembunuhan tersebut tersangka langsung
pergi ke kantor polisi terdekat untuk menyerahkan dirinya ke pihak yang
berwajib dengan menceritakan semua yang telah tersangka lakukan yaitu tersnagka
telah melakukan pembunuhan. Dari tindakan yang dilakukan oleh tersangka yaitu
dia langsung menyerahkan diri kepada pihak yang berwajib dapat dikatagorikan
sebagai tindakan yang tepat dan dapat meringankan hukuman yang akan dijatuhkan
terhadap tersangka, tetapi dalam UU hal tersebut memang tidak diatur.
Dengan tindakan yang dilakukan oleh tersangka yang telah
menghilangkan nyawa seseorang maka hal ini dapat di kategorikan sebagai jenis
pidana pokok, jenis pidana pokok di sini ada lima, tetapi dalam kasus di atas
maka jenis pidana yang dapat di jatuhkan kepada tersangka adalah pidana
penjara.
Bentuk dari pidana
penjara ini merupakan jenis pidana di mana terpidana harus dimasukkan dalam
Lembaga Permasyarakatan (LP) yang sudah disediakan seperti halnya dengan KUHP juga
menganut pola pidana penjara seumur hidup dan penjara untuk waktu tertentu.
Dalam hal ini tersangka
memang harus di masukkan ke dalam LP karena telah melakukan pembunuhan dan
harus dihukum penjara kurang lebih lima belas tahun (15 tahun) dan dapat
berubah sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh Hakim yang mengadili.
BAB III
PENUTUP
Hukum merupakan suatu pedoman yang
mengatur pola hidup manusia yang memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan
ketentraman hidup bagi masyarakat. Oleh karena itulah, hukum mengenal adanya
adagium ibi societes ibi ius.
Dalam hal pemidanaan,
KUHPidana telah mengklasifikasikan beberapa jenis Pidana yang terdapat pada
Pasal 10, yang berupa :
A. Pidana pokok terdiri dari:
1.
Pidana Mati
2.
Pidana Penjara
3.
Pidana Kurungan
4.
Pidana Denda
B. Pidana Tambahan terdiri dari:
1.
Pencabutan Hak-hak Tertentu
2.
Perampasan Barang-barang Tertentu
3. Pengunguman Putusan Hakim
Sebuah
pro dan kontra atau pertentangan pendapat yang masih terus berlangsung dalam
domain hukum pidana
sebagaimana tersebut di atas ialah mengenai keberadaan lembaga pidana mati baik
dalam kedudukan sebagai hukum positif maupun dalam upaya pembaharuan hukum
pidana sebagai bagian dari hukuman (pidana).
Sebagaimana diketahui eksistensi lembaga pidana pidana mati
DAFTAR PUSTAKA
Chamzawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: Grafindo Persada, 2005
Darmodiharjo, Darji, Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia, Jakarta: P.T.
Gramedia Pustaka Utama,
, 1995.
Moeljatno,
Kitab Undang Undang Hukum Pidana,
Bumi Aksara, Jakarta, 2005
Sahetapy, J.E., Pidana Mati dalam Negara Pancasila, Bandung: P.T. Citra
Aditya Bakti, 2007.
Syaifullah,
Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana. 2004.
Waluyo, Bambang, Pidana dan
Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
[1]
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok
Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 73.
[3]
J.E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara
Pancasila,( Bandung: P.T. Citra
Aditya Bakti, 2007), h. 5-6.
[4] Adami Chamzawi, Pelajaran
Hukum Pidana 1 (Jakarta: Grafindo Persada, 2005), h. 32.
[5] Syaifullah, Buku Ajar Konsep
Dasar Hukum Pidana. 2004, h. 42-43
[6] Bambang Waluyo, Pidana dan
Pemidanaan (jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 18-19.
[7] Adami Chamzawi, Pelajaran
Hukum Pidana , h. 43-44.
[8] Bambang Waluyo, Pidana dan
Pemidanaan, h. 12-13.
[9] Syaifullah, Buku Ajar Konsep
Dasar Hukum Pidana. 2004, h. 45.
[10] Bambang
Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar grafika, 2004) h. 23
[11] Saifullah, Buku
Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana, (Malang, 2004) h. 45