A.
Pengertian Trafficking
Trafficking adalah salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap anak dan juga perempuan, yang menyangkut kekerasan fisik,mental dan atau seksual. Trafficking merupakan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun memberi atau menerima bayaran atau manfaat, untuk tujuan eksploitasi seksual, perbudakan atau praktik-praktik lain, pengambilan organ tubuh. Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa proses trafficking adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan (penyekapan), penerimaan.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan trafficking sebagai:
Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang,
dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain,
penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari
orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.
Sedangkan Global Alliance Against Traffic in Woman (GAATW) mendefinisikan
trafficking sebagai semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan,
pembelian, penjualan, transfer, pengiriman, atau penerimaan seseorang dengan
menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk pengunaan ancaman kekerasan atau
penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan
atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja yang tidak
diinginkan dalam kerja paksa atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu
lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan,
tekanan atau lilitan hutang pertama kali[1].
Perdagangan orang merupakan kejahatan yang keji terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM), yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas, tidak disiksa,
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak
diperbudak, dan lainnya. Anak dan perempuan adalah yang paling banyak menjadi
korban perdagangan orang (trafficking in persons), menempatkan mereka pada
posisi yang sangat berisiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya baik
fisik maupun mental spritual, dan sangat rentan terhadap tindak kekerasan,
kehamilan yang tak dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS.
Kondisi anak dan perempuan yang seperti itu akan mengancam kualitas ibu bangsa
dan generasi penerus bangsa Indonesia.
B.
Faktor-Faktor pendorong terjadinya perdagangan manusia
Faktor utama maraknya trafficking terhadap
perempuan dan anak perempuan adalah kemiskinan. Saat ini 37 juta penduduk
indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Sejumlah 83% keluarga perkotaan dan
99% keluarga pedesaan membelanjakan kurang dari Rp 5.000 /hari[2].
Faktor lain adalah:
1.
Pendidikan, 15% wanita dewasa buta huruf dan
separuh dari anak remaja tidak masuk sekolah memberikan peluang untuk menjadi
korban trafficking.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak banyak diketahui hubungan antara kekerasan dalam rumah tanggga dan kekerasan seksual. Tetapi, sekitar separuh, dari anak-anak yang dilacurkan pernah mendapatkan kekerasan seksual sebelumnya
Kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak banyak diketahui hubungan antara kekerasan dalam rumah tanggga dan kekerasan seksual. Tetapi, sekitar separuh, dari anak-anak yang dilacurkan pernah mendapatkan kekerasan seksual sebelumnya
2.
Kondisi
sosial budaya keluarga dan masyarakat Indonesia
sebagian besar yang patriarkhis. Eksploitasi seksual anak merupakan hal
yang sulit apabila sdah terperangkap akan sulit untuk keluar. Menjerumuskan
anak pada eksloitasi seksual hanya membutuhkan waktu singkat dan relatif murah
tetapimemulihkan mereka dari situasi tersebutmembutuhkan waktu yang lama dan
biaya yang besar, terlebih lagi mereka yang mengalami trauma. Anak-anak yang
telah memperoleh stigma buruk, sulit diterima masyarakat.
3.
Perubahan globalisasi dunia, Indonesia tidak
luput dari pengaruh keterbukaan dan kemajuan diberbagi aspek teknologi,
politik, ekonomi, dan sebagainya. Dan kemajuan tersebut membawa perubahan
pula dari segi-segi kehidupan sosial dan budaya dipacu oleh berbagai kemudahan
informasi. Berkaitan dengan perkembangan tersebut Indonesia menjadi sasaran
perdangangan seks terhadap perempuan dan anak perempuan. Hal ini disebabkan
tingkat kesadaran masyarakat masih rendah sehingga peraturan dan hokum lebih
lemah untuk menghapuskan eksploitasi seks terhadap perempuan dan anak perempuan[3].
C.
Bentuk-Bentuk Perdagangan Manusia
Ada beberapa bentuk trafiking manusia yang terjadi pada perempuan
dan anak-anak. Dan ini seringkali menjadi alasan utama trafficking.
1.
Kerja
Paksa Seks & Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun di wilayah
Indonesia. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja
sebagai buruh migran, PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau
pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa bekerja pada
industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, berapa
perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka ditipu
dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak
diperbolehkan menolak bekerja[4].
2.
Pembantu
Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. PRT baik yang di
luar negeri maupun yang di Indonesia di trafik ke dalam kondisi kerja yang
sewenang-wenang termasuk: jam kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan
ilegal, upah yang tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena jeratan
hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi
makan atau kurang makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah
untuk melanggar agamanya[5].
3.
Bentuk
Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. Meskipun
banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnnya dijanjikan
mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran,
industri cottage, atau toko kecil. Beberapa dari buruh migran ini ditrafik ke
dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit
atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja
seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan, atau kekerasan.
4.
Penari,
Penghibur & Pertukaran Budaya, terutama di luar negeri. Perempuan dan anak
perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi, atau
penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini
dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip
perbudakan.
5.
Pengantin
Pesanan, terutama di luar negeri. Beberapa perempuan dan anak perempuan yang
bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan
perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru
ini untuk bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau
menjual mereka ke industri seks[6].
6.
Beberapa
Bentuk Buruh atau Pekerja Anak, terutama di Indonesia. Beberapa (tidak semua)
anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai
seperti jermal, dan bekerja di perkebunan telah ditrafik ke dalam situasi yang
mereka hadapi saat ini.
7.
Trafiking/penjualan
Bayi, baik di luar negeri ataupun di Indonesia. Beberapa buruh migran Indonesia
(TKI) ditipu dengan perkawinan palsu saat di luar negeri dan kemudian mereka
dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal. Dalam kasus yang lain,
ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang melarikan bayi
ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap[7].
D.
Contoh-Contoh Perdagangan Manusia
1.
Di
Maluku Utara misalnya, anak-anak yatim yang menjadi korban kerusuhan, dangan
kedok akan disekolahkan ke pondok pesantren, ternyata setiba di tempat tujuan
justru di jual dan di perkerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Bagi
keluarga yang menginginkan anak-anak itu, mereka harus menebus 175 ribu dengan
alasan sebagai pengganti biaya perjalanan dari Pulau ke Ternate[8].
2.
Pada
tahun 2012, Aceh sempat digemparkan dengan kabar tujuh remaja aceh menjadi
korban trafficking yang sebagian besarnya perempuan berusia sekitar 14 sampai
16 tahun. Dalam kasus ini, modus yang dilakukan oleh pelaku adalah, menawarkan
wisata ke luar negeri dan kemudian untuk dijadikan pekerja seks komersial.
Namun polisi telah berhasil menangkap pelaku dan menyerahkannya kepada
kejaksaan dan pengadilan[9].
3.
Komnas
Perlindungan Anak juga mensinyalir, sebagian anak-anak pengungsi dari Atambua
ternyata diperdagangkan untuk diperkerjakan menjadi PSK (pekerja seks
komersail). Sementara itu, di Sulawesi Tengah, seorang ibu dilaporkan tega
menjual anak kandungnya yang masih berusia 7 bulan seharga 500 ribu hanya
karena alasan ekonomi dan keinginan untuk membeli tape recorder.
E.
Dampak-Dampak Perdagangan Manusia
Para korban perdagangan manusia mengalami
banyak hal yang sangat mengerikan. Perdagangan manusia menimbulkan dampak
negatif yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan para korban. Tidak jarang,
dampak negatif hal ini meninggalkan pengaruh yang permanen bagi para korban.
Dari segi fisik, korban perdagangan manusia
sering sekali terjangkit penyakit. Selain karena stress, mereka dapat
terjangkit penyakit karena situasi hidup serta pekerjaan yang mempunyai dampak
besar terhadap kesehatan. Tidak hanya penyakit, pada korban anak-anak
seringkali mengalami pertumbuhan yang terhambat.
Sebagai contoh, para korban yang dipaksa dalam
perbudakan seksual seringkali dibius dengan obat-obatan dan mengalami kekerasan
yang luar biasa. Para korban yang diperjual-belikan untuk eksploitasi seksual menderita
cedera fisik akibat kegiatan seksual atas dasar paksaan, serta hubungan seks yang
belum waktunya bagi korban anak-anak. Akibat dari perbudakan seks ini adalah
mereka menderita penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual,
termasuk diantaranya adalah HIV / AIDS. Beberapa korban juga menderita cedera
permanen pada organ reproduksi mereka[10].
Dari segi psikis, mayoritas para korban
mengalami stress dan depresi akibat apa yang mereka alami. Seringkali para
korban perdagangan manusia mengasingkan diri dari kehidupan sosial. Bahkan,
apabila sudah sangat parah, mereka juga cenderung untuk mengasingkan diri dari
keluarga. Para korban seringkali kehilangan kesempatan untuk mengalami
perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Sebagai bahan perbandingan, para
korban eksploitasi seksual mengalami luka psikis yang hebat akibat perlakuan
orang lain terhadap mereka, dan juga akibat luka fisik serta penyakit yang
dialaminya. Hampir sebagian besar korban “diperdagangkan” di lokasi yang
berbeda bahasa dan budaya dengan mereka. Hal itu mengakibatkan cedera
psikologis yang semakin bertambah karena isolasi dan dominasi. Ironisnya,
kemampuan manusia untuk menahan penderitaan yang sangat buruk serta terampasnya
hak-hak mereka dimanfaatkan oleh “penjual” mereka untuk menjebak para korban
agar terus bekerja. Mereka juga memberi harapan kosong kepada para korban untuk
bisa bebas dari jeratan perbudakan.
F.
Upaya-Upaya Penanganan Perdagangan Manusia
Perdagangan
orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak kejahatan yang kompleks,
tentunya memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu. Tidak hanya
dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional, namun juga pengumpulan dan
pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesama aparat penegak hukum
seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak-pihak lain yang
terkait yaitu lembaga pemerintah (kementerian terkait) dan lembaga non
pemerintah (LSM) baik lokal maupun internasional. Semua pihak bisa saling
bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan masing-masing
dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal pencegahan, namun juga penanganan
kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya
pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan secara terpadu. Hal ini
bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan hak atas perlindungan dalam
hukum[11].
Dalam pemberantasan tindak pidana tersebut, pemerintah juga
dituntut untuk berperan aktif agar praktek perdagangan manusia bisa dihapuskan
dan mampu mengangkat harga diri manusia yang seharusnya tidak untuk diperjual
belikan. Berikut merupakan upaya pemerintah dalam upaya pencegahan dan
mengatasi human trafficking:
1.
Berpedoman
pada UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(PTPPO).
2.
Memperluas
sosialisasi UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO.
3.
Perlindungan
anak (UU No. 23 Tahun 2003).
4.
Pembentukkan
Pusat Pelayanan Terpadu (PP No. 9 Tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme
pelayanan terpadu bagi saksi atau korban TPPO).
5.
Pemerintah
telah menyusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Anak (Kepres No.
88/2002).
6.
Pembentukkan
Gugus Tugas PTPPO terdiri dari berbagai elemen pemerintah dan masyarakat
(PERPRES No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO).
7.
Penyusunan
draft Perda Trafficking.
8.
Memberikan
penyuluhan kepada warga-warga yang rentan dengan human trafficking.
9.
Memberantas
kemiskinan dan memajukan ekonomi masyarakat dipedesaan dengan memberikan
pinjaman-pinjaman keuangan kepada masyarakat pedesaan sebagai modal usaha.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trafficking merupakan permasalahan klasik yang sudah ada sejak
kebudayaan manusia itu ada dan terus terjadi sampai dengan hari ini. Penyebab
utama terjadinya trafficking adalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan
serta keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat terutama mereka yang berada di
pedesaan, sulitnya lapangan pekerjaan selain itu juga masih lemahnya pelaksanaan
hukum di Indonesia tentang perdagangan orang. Situasi ini terbaca oleh pihak
calo untuk mengambil manfaat dari keadaan ini dengan mengembangkan praktek trafficking
di tempat-tempat yang diindikasikan mudah menjerat para korbannya.
Untuk memberantas dan mengurangi trafficking memerlukan juga kerja
sama lintas Negara serta peningkatan kualitas pendidikan dan keterampilan.
Selain itu penyedian perangkat hukum yang memadai untuk skala internasional,
regional bahkan lokal juga penegakan hukum oleh apart hukum untuk menghambat
laju pergerakan jaringan trafficking. Bahkan tindakan pemberian sanksi yang
berat terhadap pelaku trafficking dan perlindungan terhadap korban juga harus
diperhatikan. Dan yang tak kalah pentingnya dengan sosialisasi isu tentang
perdagangan anak dan perempuan terhadap semua komponen masyarakat sehingga
masalah ini mendapat perhatian dan menjadi kebutuhan yang mendesak untuk
diperjuangkan dan mendapatkan penanganan yang maksimal dari semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Sumardi.
Mulyanto, Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. ( Jakarta: Rajawali 1982)
Winarno Budi, Isu-Isu
Global Kontemporer, (Yogyakarta: PT. Buku Seru, 2002)
Komnas
Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, (Jakarta: Ameepro,
2002)
Luhulima, Achie
Sudiarti.. Pemahaman Bentuk- Bentuk tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan
Alternatif Pemecahannya. (Jakarta: PT. Alumni, 2000)
Syafaat, Rachmad, Dagang Manusia-Kajian Trafficking Terhadap
Perempuan dan Anak di Jawa Timur. (Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama, 2002)
Rachmat Rejeki
.Bisnis Mafia Perdagangan Anak, ( Surabaya: Media PressOctober 1998)
Ihroni Tapi
Omas, Hak Azasi Perempuan
Instrumen Hukum untuk Mewujudkan
Keadilan Gender, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005)
Mangku, Made
Pastika, Mudji Waluyo, Arief Sumarwoto, dan Ulani Yunus, pecegahan Narkoba
Sejak Usia Dini, (Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia,
2007),
[1] Syafaat,
Rachmad, Dagang Manusia-Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak di
Jawa Timur. (Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama, 2002), hlm 4
[2] Sumardi. Mulyanto, Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. (
Jakarta: Rajawali 1982), hlm, 21
[3] Winarno Budi,
Isu-Isu Global Kontemporer, (Yogyakarta: PT. Buku Seru, 2002), hlm, 46
[4] Luhulima,
Achie Sudiarti.. Pemahaman Bentuk- Bentuk tindak Kekerasan Terhadap
Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. (Jakarta: PT. Alumni, 2000), hlm 87
[5] Ihroni Tapi
Omas, Hak Azasi Perempuan
Instrumen Hukum untuk Mewujudkan
Keadilan Gender, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005) , hlm73
[6]
Komnas Perempuan, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia,
(Jakarta: Ameepro, 2002), hlm 74
[7] Rachmat Rejeki
. Bisnis Mafia Perdagangan Anak, ( Surabaya: Media PressOctober 1998)
hlm 36
[8]
www.liputan6.com
[9]http://www.voaindonesia.com/content/tujuh_anak_aceh_diduga_jadi_korban_human_trafficking/254516.html
[10] Mangku, Made
Pastika, Mudji Waluyo, Arief Sumarwoto, dan Ulani Yunus, pecegahan Narkoba
Sejak Usia Dini, (Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia,
2007), hlm 67