A.
Pengertian Harta Bersama
Harta bersama adalah harta yang dikumpulkan selama berlangsungnya perkawinan sehingga menjadi milik bersama suami dan istri. Mengenai harta bersama suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya[2].
Harta bersama dalam kamus besar bahasa Indonesia terdiri dari dua
kata yaitu harta dan bersama. Harta artinya barang-barang, baik yang berwujud
maupun tidak berwujud, yang mengandung nilai didalamnya. Jadi, harta bersama
adalah harta yang diberdaya gunakan secara bersama-sama demi kepentingan
bersama[3].
Pendapat lain menyebutkan bahwa, harta gono-gini adalah harta
kekayaan yang didapatkan selama ikatan pernikahan terjalin dan diluar harta
waris dan hadiah. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa, harta yang didapat
selama terjalinnya ikatan pernikahan baik yang didapat secara bersama-sama
ataupun sendiri-sendiri disebut harta bersama[4].
Selanjutnya Abdul Manan dalam bukunya berpendapat bahwa harta
bersama adalah harta yang di peroleh selama ikatan perkawinan berlangsung,
tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa. Harta gono-gini dalam perspektif
hukum disebut dengan harta bersama. Harta bersama meliputi harta yang bergerak
(mobil, motor, saham dan lain-lain) dan harta tetap (tanah, rumah, dan
lain-lain). Sedangkan warisan, hadiah, dan hibah dari orang tua tidak termasuk
harta bersama melainkan harta bawaan[5].
B.
Konsep Fiqih Dan Kompilasi Hukum Islam Terhadap Harta Bersama
Pembicaraan atau kajian tentang gono-gini
atau harta bersama tidak kita jumpai dalam kitab-kitab fiqh klasik. Masalah
harta gono-gini atau harta bersama
merupakan persoalan hukum yang belum disentuh atau belum terpikirkan (ghair
al-mufakkar) oleh ulama-ulama fiqh terdahulu
karena masalah harta gono-gini baru muncul dan banyak dibicarakan dalam
masa modern ini.
Menurut M. Yahya Harahap, bahwa
perspektif hukum Islam tentang harta bersama sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Muhammad Syah bahwa pencaharian bersama suami istri mestinya
masuk dalam rub’u mu’amalah, tetapi ternyata tidak dibicarakan
secara khusus. Hal mungkin disebabkan karena
pada umumnya pengarang
kitab-kitab fiqh adalah orang Arab yang tidak mengenal adanya pencaharian
bersama suami istri. Tetapi ada dibicarakan tentang kongsi yang dalam bahas
Arab disebut syirkah[6].
Zahri
Hamid dalam bukunya
Pokok-Pokok Hukum Perkawinan
Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia
menyatakan, hukum Islam mengatur sistem terpisahnya harta suami dan
harta istri sepanjang yang bersangkutan tidak
menentukan (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Hukum Islam
juga memberikan kelonggaran kepada mereka berdua untuk membuat perjanjian
perkawinan sesuai dengan keinginan mereka berdua, dan perjanjian tersebut
akhirnya mengikat mereka secara hukum[7].
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang berlaku di Indonesia pengaturan tentang harta bersama ini, antara
lain terdapat pada pasal:
1. Pasal 85 yang menyatakan harta bersama
dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing
suami istri.
2. Pasal 86 ayat (2), harta istri tetap
menjadi hak istri yang dikuasai penuh olehnya demikian juga harta suami tetap
menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
3. Pasal 87 ayat (1), harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri yang di proleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
lain menentukan dalam perjanjian perkawinan.
4. Pasal 87 ayat (2), suami atau istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing
berupa hibah, hadiah sadaqah atau lainnya[8].
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan juga mengatur tentang harta kekayaan antara lain dalam
pasal:
1. Pasal 35 ayat (1), menyatakan harta benda
yang diperoleh sepanjang perkawinan menjadi harta bersama
2. Pasal 35 ayat (2), menyebutkan harta
bawaan dari masing-masing suami atau istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lainnya.
3.
Pasal 35 ayat (1), menyebutkan harta bersama suami
dan istri dapat berpindah atas persetujuan diua belah pihak.
4.
Pasal37 ayat (1),
bila mana perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing[9].
C.
Pengertian Nikah Siri
Kata “siri” dalam istilah nikah siri
berasal dari Bahasa Arab, yaitu “sirrun” juga berarti rahasia juga berarti
sembunyi-sembunyi dan dapat disimpulkan bahwa nikah siri merupakan ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk
membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa yang dilakukan
dengan sembunyi-sembunyi atau dirahasiakan yaitu dengan tidak mencatatkan
perkawinan tersebut kepada dinas catatan sipil yang ada.
Secara umum nikah sirri adalah sebuah
perbuatan dalam melakukan pernikahan sesuai aturan agama namun karena berbagai
hal yang menghalanginya menjadikan tidak terjadinya pencatatan secara sah atau
legal oleh pemerintah. Nikah sirri dalam konteks masyarakat sering dimaksudka
dalam beberapa pengertian:
1.
Nikah
yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain
dari keluarga mempelai. Kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor
Urusan Agama (KUA) sehingga nikah mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam
hukum positif di indonesia sebagaimana yang diatur dalam UU perkawinan. Banyak
faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan penikahannya di lembaga
pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya (tidak mampu membayar
administrasi pencatatan), ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan
melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu, dan lain
sebagainya.
2.
Nikah
yang dilakukan sembunyi-sembunyi oleh sepasang laki-laki dan perempuan tanpa
diketahui oleh kedua pihak keluarganya sekalipun. Bahkan benar-benar
dirahasiakan sampai tidak diketahui siapa yang menjadi wali dan saksinya.
3.
Pernikahan
yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena
takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu
pernikahan sirri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa
seseorang untuk merahasiakan pernikahannya[10].
D.
Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap Nikah Siri
Nikah siri bukanlah sesuatu yang
asing bagi masyarakat Indonesia.Nikah siri dalam presepsi masyarakat dipahami
dengan 2 bentuk pernikahan :
1.
Nikah tanpa wali yang sah dari pihak wanita.
2.
Nikah
di bawah tangan, artinya tanpa adanya pencatatan dari lembaga resmi negara
(KUA).
Nikah siri dengan pemahaman yang
pertama, statusnya tidak sah, sebagaimana yang ditegaskan mayoritas ulama.
Karena di antara syarat sah nikah adalah adanya wali dari pihak wanita. Di
antara dalil yang menegaskan haramnya nikah tanpa wali adalah:
1.
Hadis
dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لَا نِكَاحَ
إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah (batal), kecuali
dengan wali.” (HR. Abu Daud, turmudzi, Ibn Majah, Ad-Darimi,IbnAbi Syaibah,
thabrani, dsb.)
2.
Hadis
dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ
نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah tanpa
izin wali, maka nikahnya batal.” (HR. Ahmad, Abu daud, dan baihaqi)
Kemudian, termasuk kategori nikah
tanpa wali adalah pernikahan dengan menggunakan wali yang sejatinya tidak
berhak menjadi wali. Beberapa fenomena yang terjadi, banyak di antara wanita
yang menggunakan wali gadungan atau pegawai KUA, bukan atas nama lembaga, tapi
murni atas nama pribadi. Sang wali gadungan dalam waktu hitungan menit, didaulat
untuk menjadi wali si wanita, dan dilangsungkanlah pernikahan.
Jika nikah siri dipahami sebagaimana
di atas, maka pernikahan ini statusnya batal dan wajib dipisahkan. Kemudian,
jika keduanya menghendaki untuk kembali berumah tangga, maka harus melalui proses
pernikahan normal, dengan memenuhi semua syarat dan rukun yang ditetapkan
syariah.
Selanjutnya, jika yang dimaksud
nikah siri adalah nikah di bawah tangan, dalam arti tidak dilaporkan dan
dicatat di lembaga resmi yang mengatur pernikahan, yaitu KUA maka status
hukumnya sah, selama memenuhi syarat dan rukun nikah. Sehingga nikah siri
dengan pemahaman ini tetap mempersyaratkan adanya wali yang sah, saksi,
ijab-qabul akad nikah, Hanya saja, pernikahan semacam ini sangat tidak
dianjurkan, karena beberapa alasan:
1.
pemerintah telah menetapkan aturan agar semua
bentuk pernikahan dicatat oleh lembaga resmi, KUA. Sementara kita sebagai kaum
muslimin, diperintahkan oleh Allah untuk menaati pemerintah selama aturan itu
tidak bertentangan dengan syariat. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah
kepada Rasul, dan pemimpin kalian.” (QS. An-Nisa: 59).
Sementara kita semua paham, pencatatan nikah sama sekali tidak
bertentangan dengan aturan Islam atau hukum Allah.
2.
Adanya
pencatatan di KUA akan semakin mengikat kuat kedua belah pihak. Dalam Alquran,
Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang kuat (مِيثَاقًا غَلِيظًا), sebagaimana yang Allah tegaskan di surat
An-Nisa: 21. Dimana pasangan suami-istri setelah akad nikah akan lebih terikat
dengan perjanjian yang bentuknya tertulis. Terlebih kita hidup di zaman yang
penuh dengan penipuan dan maraknya kezhaliman. Dengan ikatan semacam ini, masing-masing
pasangan akan semakin menun-jukkan tanggung jawabnya sebagai suami atau sebagai
istri.
3.
Pencatatan
surat nikah memberi jaminan perlindungan kepada pihak wanita. Dalam aturan
nikah, wewenang cerai ada pada pihak suami.Sementara pihak istri hanya bisa
melakukan gugat cerai ke suami atau ke pengadilan. Yang menjadi masalah,
terkadang beberapa suami menzhalimi istrinya berlebihan, namun di pihak lain
dia sama sekali tidak mau menceraikan istrinya. Dia hanya ingin merusak
istrinya. Sementara sang istri tidak mungkin mengajukan gugat cerai ke
pengadilan agama, karena secara administrasi tidak memenuhi persyaratan. Jadilah
sang istri terkatung-katung, menunggu belas kasihan dari suami yang tidak
bertanggung jawab itu.
4.
Memudahkan
pengurusan administrasi negara yang lain. Sebagai warga negera yang baik, kita
perlu tertib administrasi. Baik KTP, KK, SIM dst. Bagi Anda mungkin semua itu
terpenuhi, selama status Anda masih mengikuti orang tua dan bukan KK
sendiri.Lalu bagaimana dengan keturunan Anda. Bisa jadi anak Anda akan
menjumpai banyak kesulitan, ketika harus mengurus ijazah sekolah, gara-gara
tidak memiliki akta kelahiran[11].
E. Dampak Yang Diakibatkan
Oleh Nikah Siri Bagi Istri
Dikarenakan
pernikahan siri tidak tercatatkan didalam pemerintahan, maka nikah siri sangat
berdampak bagi istri apabila terjadi percekcokan didalam rumah tangga. Baik
dari segi hak asuh anak, warisan dan harta bersama.
Pernikahan
yang tidak dianggap sah didalam pemerintah, apabila terjadi seng-keta yang
terjadi antara kedua belah pihak sehingga ingin bercerai, maka pengadilan tidak
dapat mengabulkan gugatan cerai tersebut, dikarenakan pernikahannya tidak
dicatatkan di awal.
Dari
sisi lain, apabila dilihat dari penyelesaian masalahnya, maka semua
permasalahan yang terjadi didalam pernikahan tersebut tidak dapat diselesaikan
melalui jalur peradilan dikarenakan mereka tidak dapat memenuhi syarat
administrasi seperti buku nikah, kartu keluarga, dan lain sebagainnya.
Apabila
dilihat dari sisi hukum, maka pernikahan siri berdampak seperti, tidak
dianggapnya istri siri tersebut sebagai istri yang sah, istri siri tidak berhak
atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia dikarenakan
pengadilan tidak bisa menyelesaikan perkara tersebut, sebelum pernikahan mereka
diakui oleh negara, kemudian, istri siri
tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum
perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi[12].
F. Kedudukan Harta Bersama Dalam Nikah Siri
Berdasarkan
pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, wanita yang dinikahi secara
sirri, maka dia tidak berhak atas harta bersama yang diperoleh selama melakukan
pernikahan. Hal ini disebabkan, pernikahan tersebut tidak tercatat secara resmi
oleh Negara dan permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan didalam
pengadilan. Sebagaimana yang telah disebutkan didalam pasal 5 ayat (1) KHI
bahwa pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sah perkawinan; tetapi sebagai
alat untuk menciptakan ketertiban perkawinan. Oleh karena itu, pernikahan yang
tidak tercatat tidak memiliki kekuatan hukum sehingga keabsahannya diragukan.
Menghadapi
permasalahan nikah siri, dalam pasal 7 ayat (3) KHI telah diatur mengenai
itsbat nikah bagi perkawinan tidak tercatat. Dengan kata lain, perkawinan tidak
tercatat adalah sah, tetapi kurang sempurna. Apabila pernikahan sudah di
istbatkan, maka persoalan persoalan yang ada didalam pernikahan tersebut
menjadi mudah karena sudah di resmikan oleh negara.
Suatu
perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk menuntut secara
hukum. Dengan kata lain, wanita yang dinikaho tersebut tidak mendapat
perlindungan hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek
kesetaraan jender. Karena itu menurut M. Quraish Shihab, perkawinan yang tidak
tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat
menghilangkan hak-hak perempuan[13].
Permasalahannya
jika perkawinan harus tercatat maka kaum pria merasa keberatan terutama pria
yang sudah memiliki istri, karena untuk pologami prosedurnya dianggap terlalu
memberatkan. Sebaliknya bagi kaum wanita perkawinan tidak tercatat bukan saja
merugikan yaitu tidak memiliki hak menuntut harta gono-gini, juga akan
kehilangan hak-haknya untuk menuntut kewajiban suami. Kondisi ini dianggap
dilematis, disebelah pihak keharusan pencatatan perkawinan memberatkan kaum
pria, dilain pihak perkawinan tidak tercatat merugikan kaum wanita dan anak.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Harta bersama adalah harta yang dikumpulkan selama berlangsungnya
perkawinan sehingga menjadi milik bersama suami dan istri. Mengenai harta
bersama suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak,
sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing suami istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Didalam kitab-kitab fiqh klasik, kita
tidak menjumpai pembahasan tentang harta bersama, akan tetapi permasalah nikah
siri sudah di bahas didalam kompilasi hukum Islam dan aturan Undang-Undang no.1
tahun 1974.
Nikah sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan
orang banyak. Secara umum nikah sirri adalah sebuah perbuatan dalam melakukan
pernikahan sesuai aturan agama namun karena berbagai hal yang menghalanginya
menjadikan tidak terjadinya pencatatan secara sah atau legal oleh pemerintah
Sedangkan dampak hukum yang dialami
istri apabila pernikahan mereka tidak dicatatkan, maka istri tidak dianggap
sebagai istri yang sah, dan istri siri tidak berhak atas nafkah dan warisan
dari suami jika ia meninggal dunia dikarenakan pengadilan tidak bisa
menyelesaikan perkara tersebut, kemudian,
istri siri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan,
karena secara hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi.
Daftar
Isi
Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1965)
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum
Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999)
http://kbbi.web.id/
(diakses pada hari senin tanggal 18 Januari 2016 pukul 14.32)
Ali Sibra Malisi, Praktik Pembagian Harta
Gono-Gini, Jurnal Studi Islam Ulul Albab, 1 (Januari-Juni,2013)