A.
Pencatatan Perkawinan
Tuntutan perkembangan zaman, merubah suatu hukum dengan berbagai pertimbangan
kemaslahatan yang pada mulanya Syari’at Islam itu tidak mengatur secara
kongkret tentang adanya suatu pencatatan perkawinan. Namun, hukum Islam di
Indonesia mengaturnya. Pencatatan perekawinan bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban perkawinan dalam masyarakat agar martabat dan kesucian suatu
perkawinan itu terlindungi. Melalui pencatatan perkawinan tersebut yakni yang
dibuktikan oleh akta nikah, apabila terjadi suatu perselisihan diantara mereka
atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya
hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena melalui
akta nikah, suami isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah
mereka lakukan.
Perkawinan selain merupakan akad yang suci, ia juga mengandung
hubungan keperdataan. Hal tersebut dapat dilihat dalam Penjelasan Umum
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 2 ayat 2 dinyatakan
bahwa: “ tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku “
1. setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat ditempat pewrkawinan yang akan dilangsungkan
2.
Pemberitahuan
tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan
3.
Pengecualian
terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu alasan yang
penting, diberikan oleh camat (atas nama) bupati daerah setempat.
Dengan pernyataan diatas Kompilasi Islam menjelaskan dalam pasal 5
akan halnya tentang pencatatan perkawinan yakni:
1.
Agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap Perkawinan harus
di catat.
2.
Pencatatan
Perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 1954.
Adapun teknis dari pelaksanaannya, dijelaskan dalam pasal 6. ayat :
1.
untuk
memenuhi ketentuan dakam pasal 5 , setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan
dan dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah
2.
perkawinan
yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai
kekuatan hukum
Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum diatas yang mengatur
tentang pencatatan perkawinan dapat dipahami bahwa pencatatan tersebut adalah
Syarat Administratif. Pencatatan diatur dikarenakan tanpa pencatatan suatu
perkawinan tidak mempunyai ketentuan hukum. Akibatnya apabila salah satu pihak
melalaikan kewajiban nya maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum,
karena tidak memiliki bukti-bukti yang sah dan otentik dari perkawinan yang
dilangsungkannya.
Selain itu, Pencatatan juga memiliki manfaat preventif, yakni untuk
menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan
syarat-syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaanya itu,
maupun menurut perundang-undangan.
Adapun tata cara atau prosedur melaksanakan perkawinan sesuai
urutannya sebagai berikut :
1.
Pemberitahuan
Dalam pasal 5 disebutkan bahwa tata cara pemberitahuan rencana
perkawinan itu dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai
atau oleh orang orang tua atau wakilnya dan pemberitahuan tersebut ditentukan
paling lambat 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Adapun hal yang
diberitahukan yakni nama, umur, agama, pekerjaan, alamat, dan apabila salah
satu atau keduanya pernah kawin, maka disebutkan pula nama isteri atau
suaminya.
2.
Penelitian
Dalam Hal ini, Pegawai Pencatat Nikah harus meneliti asal usul
kedua mempelai termasuk status perkawinannya masing-masing. Sebagaimana yang
tertera dalam Pasal 6; ayat 1
"Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-sayart perkawinan telah
dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang."
Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1),
Pegawai Pencatat nikah juga diwajibkan melakukan penelitian sebagaimana dalam
pasal 6 ayt (2) terhadap :
1.
Kutipan
Akta Kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta
kelahiran atau surat kenal lahir dapat dipergunakan surat keterangan yang
menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa
atau yang setingkat dengan itu;
2.
Keterangan
mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal orang tua calon
mempelai;
3.
Izin
tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan
(5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;
4.
Izin
Pengadilan sebagi dimaksud pasal 14 Undang-undang; dalam hal calon mempelai
adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;
5.
Dispensasi
Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
6.
Izin
kematian isteri atau suami yang terdahuluatau dalam hal perceraian surat
keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
7.
Izin
tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah
satu calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;
8.
Surat
kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan Pegawai Pencatat, apabila
salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena
sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Kemudian hasil penelitiuan dari Pegawai Pencatatan kemudian ditulis
dalam suatu daftar yang diperuntukan untuk itu sebagaimana disebutkan pada
pasal 7 ayat 1. Akan tetapi apabila hasil dari penelitiannya menunjukkan adanya
yang halangaan perkawinan sebagai dimaksud Undang-Undang dan belum terpenuhi
persyaratannya seperti di atur dalam pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah,
Pegawai memberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau
wakilnya hal ini diatur dalam pasal 7 ayat 1.
3.
Pengumuman
Setelah masalah tersebut selesai maka Pegawai Pencatat
menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinannya dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang
ditetapkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan, ditempel pada suatu tempat yang
sudahditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan pengumuman tersebut harus
ditandatangani oleh Pegawai Pencatat hal ini dicantukan dalam pasal 8, kemudian
mengenai isi yang dimuat dalam pengumuman itu menurut pasal 9 peraturan
pemerintah tersebut berbunyi :
a.
Nama,
umur, agama/ kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman Dari calon mempelai,
apbila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama istri dan
(atau) suami mereka terlebih dahulu
b.
Hari,
tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan
Kemudian jika syarat-syarat telah terpenuhi seperti tertera diatas
maka pernikahan dapat dilaksanakan sebagaimana semestinya.
Adapun tujuan pengumuman tersebut, bertujuan agar masyarakat umum
mengetahui siapakah orang-orang yang hendak menikah. Selanjutnya dengan adanya
pengumuman itu apabila ada pihak yang keberatan terhadap perkawinan yang hendak
dilangsungkan maka yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada kantor
pencatatan nikah.
B.
Dasar-dasar Pencatatan perkawinan
Perkawinan selanjutnya disebut pernikahan, merupakan sebuah lembaga
yang memberikan legimitasi seorang pria dan wanita untuk bisa hidup dan
berkumpul bersama dalam sebuah keluarga. Ketenangan atau ketenteraman sebuah
keluarga ditentukan salah satunya adalah bahwa pernikahan itu harus sesuai
dengan dengan tuntutan syariat Islam (bagi orang Islam). Selain itu, ada aturan
lain yang mengatur bahwa pernikahan itu harus tercatat di Kantor Urusan
Agama/Catatan Sipil.
Pencacatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar dalam
keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap isteri maupun anak
dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain.
Dalam hal nikah siri atau perkawinan yang tidak dicatatkan dalam
administrasi Negara mengakibatkan perempuan tidak memiliki kekuatan hukum dalam
hak status pengasuhan anak, hak waris, dan hak-hak lainnya sebagai istri yang
pas, akhirnya sangat merugikan pihak perempuan
Pada kesempatan ini perlu kami sampaikan beberapa dasar hukum
mengenai pencacatan perkawinan/pernikahan, antara lain:
1.
Adanya
undang-undang tentang no 22 tahun 1946. Mengatakan:
Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut
nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama
atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut
agama Islam selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai
Pencatat Nikah.
Pasal ini memberitahukan legalisasi bahwa supaya nikah, talak, dan
rujuk menurut agama Islam supaya dicatat agar mendapat kepastian hukum.
Dalam Negara yang teratur segala hak-hak yang bersangkut pada
dengan kependudukan harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan, kematian, dan
sebagainya lagi pada perkawinan perlu di catat ini untuk menjaga jangan sampai
ada kekecauan.
2.
Adanya
Undang-undang No I tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat 2 menyatakan:
"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku."
C.
Manfaat Adanya Pencatatan Dalam Nikah
Ada beberapa manfaat pencatatan pernikahan:
1.
Mendapat
perlindungan hukum
Bayangkan, misalnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Jika sang istri mengadu kepada pihak yang berwajib, pengaduannya sebagai istri
yang mendapat tindakan kekerasan tidak akan dibenarkan. Alasannya, karena sang
isteri tidak mampu menunjukkan bukti-bukti otentik akta pernikahan yang resmi.
2.
Memudahkan
urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan
Akta nikah akan membantu suami isteri untuk melakukan kebutuhan
lain yang berkaitan dengan hukum. Misalnya hendak menunaikan ibadah haji,
menikahkan anak perempuannya yang sulung, pengurusan asuransi kesehatan, dan
lain sebagainya.
3.
Legalitas
formal pernikahan di hadapan hukum
Pernikahan
yang dianggap legal secara hukum adalah pernikahan yang dicatat oleh Petugas
Pencatat Nikah (PPN) atau yang ditunjuk olehnya. Karenanya, walaupun secara
agama sebuah pernikahan yang tanpa dicatatkan oleh PPN, pada dasarnya illegal
menurut hukum.
4.
Terjamin
keamanannya
Sebuah pernikahan yang dicatatkan secara resmi akan terjamin
keamanannya dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kecurangan lainnya.
Misalnya, seorang suami atau istri hendak memalsukan nama mereka yang terdapat
dalam Akta Nikah untuk keperluan yang menyimpang. Maka, keaslian Akta Nikah itu
dapat dibandingkan dengan salinan Akta Nikah tersebut yang terdapat di KUA
tempat yang bersangkutan menikah dahulu.
D.
Akta Nikah
Setelah pengumuman kehendak melangsungkan perkawinan ditempel dan
tidak ada keberatan dari pihak yang terkait dengan rencana calon mempelai, maka
perkawinan dapat dilangsungkan. Adapun ketentuan dan tata caranya diatur dalam
pasal 10 (PP No. 9/1975).
Pada saat akan dilangsungkannya perkawinan, Pegawai Pencatat telah
menyiapkan akta nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai hal-hal yang
diperlukannya, seperti yang diatur dalam pasal 12 (PP. 9/1975) , Selain hal-hal
tersebut, dalam Akta Nikah dilampirkan naskah perjanjian perkawinan yaitu teks
yang dibaca suami setelah akad nikah sebagai perjanjian kesetiaannya terhadap
isteri. Setelah dilangsungkan akad nikah, kedua mempelai menandatangani Akta
Nikah yang sudah dibuat dalam rangkap 2 helai, pertama disimpan pada panitra
pengadilan dalam wilayah kantor pencatatan perkawinan itu berbeda dan
salinannya yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang
berlaku, kemudian diberikan kepada mempelai.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Perkawinan
adalah akad yang sangat kuat untuk menaati perinta Allah dan melaksanakanyya
merupakan ibadah
2.
Adapun
tata cara atau prosedur melaksanakan perkawinan sesuai urutannya sebagai
berikut :
a. Pemberitahuan
b. Penelitian
c. Pengumuman
d. Pelaksanaan
3.
Adapun
beberapa manfaat pencatatan pernikahan:
a.
Mendapat
perlindungan hukum
b.
Memudahkan
urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan
c.
Legalitas
formal pernikahan di hadapan hukum
d.
Terjamin
keamanannya
4.
Akta
Nikah adalah suatu buku bukti atas berlangsungnya suatu pernikahan
B.
Saran
Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang turut andil dalam penulisan makalah ini, semoga makalah
ini dapat bermanfaat. Dan taklupa kami menyadari bahwa dari penulisan makalah
ini jauh dari kesempurnaan, dari itu saran dan kritik yang membangun selalu
kami tunggu dan perhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
Nuruddin, Amir. 2000. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
PT. Gema Insani Press
Rafiq, Ahnad.1995. Hukum Islam Di Indonesia. Cetakan keenam.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
TentangPerkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam. 2009. Cetakan ketiga. Bandung: PT.
Citra Umbang
Tags:
MAKALAH