A. Pengertian Hadhanah
Hadhanah secara bahasa, berarti meletakkan sesuatu di
dekat tulang rusuk atau di pangkuan, karena Ibu waktu
menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan Ibu disaat
itu melindungi dan memelihara anaknya sehingga “Hadhanah” dijadikan istilah yang
maksudnya ; pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir dari lahir sampai
sanggup berdiri sendiri, yang dilakukan oleh kerabat anak itu sendiri.
Para Ulama’ Fiqih mendifinisikan
;Hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik
laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar tetapi belum Mumayyiz,
menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikanya, menjaganya dari sesuatu yang
menyakiti, mendidik jasmani dan rohani, agar mampu berdiri sendiri serta bisa
mengemban tanggung jawab.[1]
B. Dasar Hukum Hadhanah
Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena
anak yang masih memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak
mendapatkan pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak
sampai membahayakan. Selain itu ia
juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat
merusaknya
Dasar hukum ini
disebutkan dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim, sebagaimana firman Allah yang
berbunyi;
ياايهاالدين
امنو اقواانفسكم واهليكم ناراوقودهاالناس والحجارة.
artinya;
hai orang-orang
yan beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu. (QS. Al-Tahrim: 6).
Sudah jelas kiranya dalam ayat ini para orang tua
diperintahkan Allah SWT. untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan
berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan
perintah-perintah tuhan dan menjauhi larangannya, dan dalam ayat ini yang
disebut keluarga adalah seorang anak.[2]
Seorang
Hadhanah (Ibu) yang Menangani dan Menyelenggrakan Kepentingan Anak Kecil yang
Diasuhnya, yaitu Kecakapn dan Kecukupan.
Kecukupan dan
kecakapn juga memerlukan syarat-syarat tertentu.Jika syarat-syarat tertentu ini
tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan Hadhanahnya.
C. Syarat-syarat
Hadhinah dan Hadhin
1. Berakal
Sehat, jadi bagi orang yag kurang akal seperti gila, keduanya tidak boleh
menangani Hadhanah. Karena mereka tidak dapat mengurusi dirinya sendiri, sebab
itu ia tidak boleh diserahi mengurusi orang lain. Sebab orang yang punya
apa-apa tentulah ia tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada orang lain.
2. Dewasa,
sebab anak kecil sekalipun Mumayyiz, tetapi ia tetap membutuhkan orang lain
yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya, karena itu dia tidak boleh menangani
urusan orang lain.
3. Mampu
Mendidik, karena itu tidak boleh menjadi pengasuh orang yang buta atau rabun,
sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus kepentingan
anak kecil, tidak berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri juga perlu diurus oleh
orang lain.
4. Amanah
dan Berbudi, sebab orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan tidak dapat
dipercaya akan dapat menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan nantinya si
anak dapat meniru atau berkelakuan seperti orang yang curang itu.
5. Islam,
anak Muslim tidak boleh diasuh oleh orang yang bukan Muslim, sebab Hadhanan
adalah masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan orang mukmin
dibawah perwalian orang kafir. Hal ini berdasar pada firman Allah dalam surat
Annisa’ ayat 141:
ولن يجعل الله
للكافرين على المؤمنين سبيلا.
“ dan Allah tidak akan memberikan
jalan kepada orang orang kafir menguasai orang orang mukmin. (QS. Annisa’:
141).
Dalam riwayat lain juga ditegaskan
dalam sebuah Hadist:
كل مولوديولدعلى
الفطرةإلاأن ابويه يهودانه اوينصرانه اويمجسانه.
'‘setiap anak dilahirkan dalam
keadaan Fitrah, hanya ibu bapaknyalah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani,
atau Majusi.’’
6. Ibunya
tidak kawin lagi, jika si ibu telah kawin lagi dengan laki-laki lain.
7. Merdeka,
sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan tuannya,
sehingga ia tidak punya kesempatan untuk mengasuh anak kecil.[3]
D. Yang
Berhak Dalam Hadhanah
Para Ulama’
berbeda pendapat tentang siapa yang berhak terhadap Hadhanah, apakah yang
berhak itu Hadhin atau Mahdhun (anak). Sebagian pengikut Madzhab Hanafi
berpendapat bahwa Hadhanah itu merupakan hak anak, sedangkan menurut Syafi;i,
Ahmad, dan sebagian pengikut Madzhab Maliki berpendapat bahwa yang berhak
terhadap Hadhanah itu adalah Hadhin.
Jika
memerhatikan maksud ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist, maka dapat dipahami bahwa,
Hadhanah itu disamping hak Hadhin, Hadhanah juga merupakan hak Mahdhun (anak).
Dari itu Hadhin berhak mendapatkan pahala dari anaknya meskipun ia telah
meninggal dunia, jika ia berhasil mendidik anaknya menjadi orang yang taqwa
dikemudian hari.
Dasarnya adalah
Hadist sbegai berikut;
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم:اذامان الإسنان إلفتطع عمله إلامن ثلاث.صدقةجاريةاوعلم ينتفع
به وولدصابح يدعواله (رواه مسلم)
Rasululla SAW.
Bersabda “apabila seorang manusia meninggal dunia putuslah amalnya,
kecuali tiga perkara, pahala dari shadaqah jariyah, atau pahala dari ilmu yang
bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakan”(HR. Muslim).[4]
Dasar urutan orang yang berhak
melakukan Hadhanah dari empat Madhab adalah;
·
Kalangan
Madzhab Syafi’i
berpendapat bahwa hak anak asuh
dimulai dari
1.
Ibu
kandung.
2.
Nenek
dari pihak ibu.
3.
Nenek
dari pihak ayah.
4.
Saudara
perempuan.
5.
Bibi dari pihak
ibu.
6.
Anak perempuan
dari saudara laki-laki.
7.
Anak perempuan
dari saudara perempuan.
·
Kalangan
Madzhab Hanafi
berpendapat bahwa orang yang
palin berhak mengasuh anak adalah
1.
Ibu kandungnya
sendiri.
2.
Nenek dari
pihak ibu.
3.
Nenek dari
pihak ayah.
4.
Saudara
perempuan (kakak perempuan).
5.
Bibi dari pihak
ibu.
6.
Anak perempuan
saudara perempuan.
7.
Anak perempuan
saudara laki-laki.
8.
Bibi dari pihak
ayah.
·
Kalangan
Madzhab Maliki
berpendapat bahwa urutan hak anak
asuh dimulai dari
1.
Ibu kandung.
2.
Nenek dari
pihak ibu.
3.
Bibi dari pihak
ibu.
4.
Nenek dari
pihak ayah.
5.
Saudara
perempuan.
6.
Bibi dari pihak
ayah.
7.
Anak perempuan
dari saudara laki-laki.
8.
Penerima
wasiat.
9.
Dan kerabat
lain (ashabah) yang lebih utama.
·
Kalangan
Madzhab Hanbali
1.
Ibu kandung.
2.
Nenek dari
pihak ibu.
3.
Kakek dan ibu
kakek.
4.
Bibi dari kedua
orang tua.
5.
Saudara
Perempuan Se Ibu.
6.
Saudara
perempuan seayah.
7.
Bibi dari ibu
kedua orangtua.
8.
Bibinya ibu.
9.
Bibinya ayah.
10.
Bibinya ibu
dari jalur ibu.
11.
Bibinya ayah
dari jalur ibu.
12.
Bibinya ayah
dari pihak ayah.
13.
Anak perempuan
dari saudara laki-laki.
14.
Anak
perempuan dari paman ayah dari pihak ayah.
15.
Kemudian
kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.
Urutan yang berhak dalam Hadhanah ini memang lebih dekat
kepada seorang ibu atau wanita berdasarkan sabda Rasulullah yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim, yang bercerita bahwa seorang wanita
telah datang mengadukan masalahnya kepada Rasulullah SAW. Perempuan itu berkata, “saya telah diceraikan oleh suami saya, dan
anak saya akan diceraikannya dari saya.”
Sabda Rasulullah SAW. Kepada
perempuan itu ;
انت احق به مالم
تنكحي (رواه ابوداودوالحاكم)
“engkaulah yang lebih berhak untuk
mendidik anakmu selama engkau belum menikah dengan dengan orang lain.” (riwayat
abu dawud dan hakim).[6]
Dan
kenapa pengasuhan anak lebih di utamatan adalah seorang ibu, ini
didasarkan pada Hadits Nabi yang berbunyi:
الام اعطف والطف
وارحم واحني واخيروارأف وهي احق بولدها.
“ibu lebih lembut kepada anaknya,
lebih halus, lebih pemurah, lebih baik dan lebih penyayang. Ia lebih berhak
atas anaknya selama ia masih belom menikah dengan laki-laki lain.[7]
E. Masa
Hadhanah
Dalam masalah masa atau waktu ini dalam Al-Qur’an tidak
dijelaskan secara jelas, hanya saja terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan
ayat tersebut, sehingga para Ulama’ berijtihad sendri-sendiri dalam menetapkan
dengan berpedoman kepada isyarat itu. Seperti menurut Imam Hanafi, masa
Hadhanah anak laki-laki berakhir ketika anak itu tidak lagi memerlukan
penjagaan dan dapat mengurus keperluannya sehari-hari, seperti makan, minum,
mengatur pakaian, dan lain sebagainya.Sedangkan untuk perempuan berakhir
apabila sudah baligh atau telah datang haid pertama.
Sedangkan pengikut pada generasi akhir menetapkan bahwa masa Hadhanah itu
berakhir umur 19 tahun bagi anak laki-laki. Dan 11 tahun untuk seorang
perempuan.
Menurut Imam Syafi’i berpendapat bahwa masa Hadhanah itu berakhir setelah
anak itu sudah Mumayyiz, yakni berumur 5 tahun dan 6 tahun. Dengan berdasar pada Hadits:
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: خيرغلامابين ابيه وامه كماخيربنتابين ابيهاوامها
Rasulullah SAW bersabda:”anak
ditetapkan antara bapak dan ibunya sebagaimana anak(anak yang belum mumayyiz)
perempuan ditetapkan antara ibu bapaknya.
Akan tetapi menurut undang-undang
mesir tidak ada masalah dalam masa Hadhanah selagi anak tersebut berada di
antara ibu bapaknya, hanya saja masa Hadhanah itu terjadi apabila terjadi
perceraian dan terdapat perbedaan pendapat antara keduanya, maka masa Hadhanah
diserahkan kepada kebijakan hakim dengan ketentuan minimal 7 tahun
dan maksimak 9 tahu, akan tetapi meskipun demikan kemaslahatan anak itu lebih
diutamakan. [8]
Lain halnya dengan batas hadhanah menurut KHI pasal 98 yang menjelaskan
bahwa batas usia berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak
itu tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.[9]
F. Upah Hadhanah
Seorang ibu tidak berhak menerima upah Hadhanah dan
menyusui, selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama
masih dalam masa Iddah. Karena dalam
keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai istri atau nafkah masa
Iddah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 233:
والوالدت يرضعن اولاد هن حولين كاملين لمن اراد ان يتم الرضاعة.وعلى
المولودله رزقهن وكسوتهني بالمعروف.(البقرة:233)
Artinya
: para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS. AL-Baqarah: 233).[10]
Adapun
sesudah masa Iddahnya, maka ia berhak atas upah itu seperti haknya kepada upah
menyusui, Allah SWT, berfirman dalam surat At-Thalaq ayat 6:
فاتوهن اجورهن وأتمروابينكم بمعروف وان تعاسرتم فسترضع له
اخرى.(الطلاق:6)
Artinya: maka berikanlah upah
kepada merreka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu)
dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan anak itu, untuknya. (QS. AT-Thalaq)[11]
Karena wanita yang
sudah sampai masa Iddahnya, disamakan dengan seorang yang bekerja untuk orang lainnya,
dan ayah dari anak itu berkewajiban untuk membayar upah tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak adalah seorang yang wajib untuk dilindungi dari segala yang dapat
menyulitkan dirinya, untuk dapat memberikan suatu kebaikan yang
dilakukna oleh kedua orang tuanya, dan dengan adanya Hadhanah sangat
penting kiranya Hadhanah ini diserahkan kepada pihak ibu, karena Hadhanah ini
merupaka pekerjaan yang membutuhkan sangat tanggung jawab dan ketelatenan dalam
melakukannya..
Dan kenapa sebabnya perempuan itu lebih berhak daripada laki-laki, karena
perempuan lebih pantas dalam hal urusan ini.Lebih pandai, lebih sabar dan lebih
cinta kepada anak-anaknya, sesuai dengan sabda-sabda Nabi yang telah dijelaskan
diatas. Dan semua yang tersebut diatas adalah apabila anak itu belum baligh
yaitu umur 15 tahun, apabila ia sudah baligh, maka lebih baik segala urusannya
diserahkan kepada dirinya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid,Sulaiman H : Fiqh Islam,
Sinar Baru, Algensindo, 1994
Prof, Dr, H M A Tihami, dan Drs
Sohari, MM M.H :Fikih Munakahat, Raja wali Pers, Jakarta 2010
Sabiq, Sayid: Fiqh
Sunnah, Jilid 8, PT Al Ma’arif, Bandung 1980
Rafiq, Ahmad ; Hukum Islam Di
Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta 1998
Tags:
MAKALAH