BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sunnah
Sunnah (Arab, al-sunnah, bentuk pluralnya al-sunan) secara etimologis mengandung
makna “cara dan jalan hidup”,baik
yang berkualitas baik maupun buruk. Makna demikian terlihat pada penggunaan kata
sunnah dalam sabda Nabi Saw :
Barangsiapa mewujudkan cara dan
jalan hidup yang baik maka ia memperoleh pahala (perbuatannya itu) dan pahala
orang-orang yang mengikuti melakukan hal tersebut tanpa dikurangi pahala mereka
sedikit pun; dan barangsiapa mewujudkan cara dan jalan hidup yang buruk maka ia
memperoleh dosa (perbuatannya itu) dan dosa orang-orang yang mengikuti
melakukan hal tersebut tanpa dikurangi dosa mereka sedikitpun. (HR. Mulim dan Ibnu Majah).
Secara terminologis, term al-sunnah digunakan untuk beberapa makna,
yaitu:[1]
a. Mitra
dari Al-Qur’an.
b. Lawan
dari bid’ah.
c. Bagi
kalangan ulama ahli hadis, sunnah berarti segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi
Saw.
d. Bagi
kalangan ulama fiqh, term sunnah merupakan salah satu kualitas hukum.
e. Bagi
kalangan ulama ushul fiqh, term sunnah berarti segala sesuatu selain Al-Qur’an yang muncul dari Nabi Saw baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir.[2]
B. Kategori Sunnah
a. Sunnah
qauliyyah.
b. Sunnah
fi’liyyah.
c. Sunnah
taqririyyah.
d. Sunnah
yang materinya berupa penggambaran sikap Nabi Saw.
e. Sunnah
yang materinya berupa penggambaran citra fisik Nabi Saw.
C. Kedudukan Sunnah
Para ulama bersepakat
bahwa sunnah itu merupakan hujjah syar’iyah dan sumber serta dalil hukum
Islam. Dalam kaitan ini, mereka
mengajukan argument berupa Al-Qur’an ijma’ dan pertimbangan rasional.
Adapun argument Al-Qur’an yang mereka
ajukan adalah[4]
a. Surah
Al-Najm (53): 3-4:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
b. Surah
Al-Hasyr (59):7:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.
c. Surah
An-Nisa’ (4): 80:
Barang siapa menaati Rasul maka sungguh
ia telah menaati Allah.
Adapun argument ijma’ (sahabat
Nabi) dapat dikemukakan bahwa para sahabat tidak mendistriminasikan antara
hukum yang bersumber dari Al-Qur’an
dan hukum yang bersumber dari sunnah; mereka justru menerima keduanya dengan
sepenuh hati. Dengan demikian, ini merupakan ijma’ yang terjadi diantara
mereka.[5]
Adapun pertimbangan rasional dapat
dikemukakan, yakni bahwa Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban yang mesti
ditunaikan umat manusia.
D. Posisi Sunnah dan Relasinya dengan Al-Qur’an
Para ulama berbeda
pendapat mengenai posisi sunnah dalam struktur sumber hukum Islam. Pendapat
pertama mengatakan bahwa sunnah mempunyai kedudukan yang sederajat dan setara
dengan Al-Qur’an.
Pendapat kedua
menyatakan bahwa dalam struktur sumber hukum Islam, posisi sunnah setingkat di
bawah Al-Qur’an.
Dalam
pada itu, golongan penganut pendapat pertama yang memandang sunnah dapat
menasakh Al-Qur’an mengemukakan 5 contoh sunna, yang diklaim mereka menasakh
ayat Al-Qur’an. Akan tetapi, dengan mengkaji secara mendalam dan saksama
terbukti bahwa tidak ada satu pun sunnah yang telah menasakh Al-Qur’an; yang
paling mungkin ialah sunnah memberi
bayan (keterangan/penjelasan) terhadap ayat yang mujmal atau men-taqyid
ayat yang mutlaq atau men-takhsis ayat yang ‘amm.
Relasi
sunnah dengan Al-Qur’an sehubungan dengan penciptaan hukum Islam tidak melibihi
dari 4 kemungkinan, yaitu:[6]
1.
Sunnah
mengonfirmasi norma hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an.
Contohnya:
a.
Perihal
wajibnya shalat fardu, zakat, puasa Ramadhan, dan haji.
b.
Perihal
haramnya menghilangkan nyawa manusia kecuali yang dibenarkan menurut hukum.
2.
Sunnah
mengeksplanasi norma hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an. Eksplanasi sunnah
terhadap Al-Qur’an ini mengambil 4 format kemungkinan, yaitu:
a.
Operasionalisasi
(tafsil) norma hukum yang mujmal.
b.
Spesifikasi
(takhsis) norma hukum yang ‘amm.
c.
Determinasi
(taqyid) norma hukum yang mutlaq.
d.
Derivasi
(tafri’) atas norma hukum pokok.
e.
Konkretisasi
(taudih) norma hukum yang jumbuh, sulit dipahami (musykil).
f.
Eliminasi
(nasakh) norma hukum yang sudah aplikatif.
3.
Sunnah
menambah/melengkapi (suplementasi) norma hukum yang dikandung Al-Qur’an.
4.
Sunnah
menciptakan (kosntitusi) norma hukum yang tidak dinyatakan Al-Qur’an.
5.
Implikasi
Tasyri’iy dari Perbuatan Rasulullah
Sebelum mengurai lebih jauh soal implikasi tasyri’iy dari
perbuatan Rasulullah, perlu dijelaskan lebih dahulu 2 hal, yaitu (1) perihal
kekhususan hukum yang berlaku pada Rasulullah, dan (2) perihal arti sikap
meneladani Rasul dan mengikuti jejak hidup beliau.
Mengenai kekhususan hukum yang berlaku pada Rasulullah,
terdapat tiga macam hukum, yaitu:[7]
a.
Perihal
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada Rasulullah.
Contohnya:
1.
Kewajiban
melakukan shalat tahajud pada tiap malam.
2.
Kewajiban
memberikan hak pilih (antara hidup bersama beliau atau tidak) kepada
istri-istri beliau.
b.
Perihal
keharaman-keharaman sehubungan dengan kehidupan Rasulullah.
Contohnya:
1.
Keharaman
menikahi istri-istri yang ditinggal wafat oleh beliau.
2.
Keharaman
memakan makanan yang berbau tidak sedap.
c.
Perihal
kebolehan-kebolehan yang ditetapkan bagi Rasulullah.
Contohnya:
1.
Beliau
boleh mengambil porsi sebanyak 0,4% dari keseluruhan harta rampasan perang
jenis ghanimah yang diperoleh pasukan kaum muslim.
2.
Beliau
boleh mengambil porsi sebanyak 1/5 dari keseluruhan harta rampasan perang jenis
fai’ yang diperoleh pasukan kaum muslim.
3.
Tidur
tidak membatalkan wudhu.
4.
Berpuasa
dengan cara wisal (puasa wisal).
5.
Beristri
lebih dari empat orang.
Mengenai arti sikap meneladani Rasulullah (al-ta’assiy)
dapat dikemukakan bahwa sikap tersebut bisa dalam arti aktif dan bisa pula
dalam arti pasif.
Mengenai arti sikap mengikuti Rasulullah (al-mutaba’ah)
dapat dikemukakan bahwa sikap tersebut bisa berupa perkataan, bisa berupa
perbuatan aktif, dan bisa pula perbuatan pasif.
Adapun sikap menyesuaikan diri dengan Rasulullah (al-muwafaqah)
lebih luas lagi cakupannya daripada sikap mengikuti dan sikap meneladani karena
sikap menyesuaikan diri itu bisa dalam bentuk perkataan, perbuatan aktif,
perbuatan pasif, atau keyakinan, apa pun faktor pendorongnya.[8]
Sehubungan dengan isu implikasi tasyri’iy yang
dikandungnya, perbuatan Rasulullah dapat dibedakan menjadi 5 macam:[9]
a.
Perbuatan
yang didorong oleh tuntutan biologis-jasmaniah.
b.
Perbuatan
yang didasari oleh pengalaman, keahlian, dan keterampilan personal.
c.
Perbuatan
yang merupakan kekhususan hukum hanya bagi Rasulullah.
d.
Perbuatan
yang merupakan bayan tafsil (operasionalisasi) atas norma hukum yang mujmal
di dalam Al-Qur’an.
e.
Perbuatan
yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari keempat macam di atas. Perbuatan
semacam ini dapat dibedakan menjadi 2 macam:
1)
Perbuatan
yang nyata-nyata dimaksudkan sebagai al-qurbah (wujud hubungan vertikal
kepada Allah).
2)
Perbuatan
yang nyata-nyata tidak dimaksudkan sebagai al-qurbah (wujud hubungan
vertikal kepada Allah).
6.
Pembagian
Sunnah dari Segi Wurud-nya
Dari
segi wurud-nya, sunnah menurut jumhur ulama dapat dibedakan menjadi 2
macam: (1) sunnah mutawatirah; dan (2) sunnah ahad.
Sedangkan kalangan utama Hanafiyyah menambahkan satu macam lagi, yakni sunnah masyhurah.[10]
Sunnah
mutawatirah adalah sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok besar orang pada
setiap lapisan sanadnya, sejak awal lapisan sanad hingga akhir lapisannya, yang
tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berdusta, misalnya, sabda Nabi Saw.
:
Barangsiapa yang berdusta terhadapku, bersiap-siaplah
masuk neraka. (HR. Muttafaq
‘alaih)
Kualitas
ke-mutawatir-an itu dibedakan menjadi 2 macam: Mutawatir lafziy
dan Mutawatir Ma’nawiy. Adapun mutawatir lafziy terjadi apabila
kualitas ke-mutawatir-annya tidak hanya terletak pada sanad, tetapi juga
pada tataran redaksionalnya (matn).
Sedangkan
mutawatir ma’nawiy terjadi apabila kualitas ke-mutawatir-annya hanya terletak
pada sanad, dan ungkapan redaksionalnya (matn) berbeda antara satu perawi
dengan perawi lain, tetapi semuanya memiliki titik kesatuan dan kepaduan makna
pokok.
Adapun
sunnah ahad adalah sunnah yang diriwayatkan oleh
orang-perseorangan atau sejumlah kecil orang, baik pada setiap lapisan sanadnya
maupun sebagian lapisan sanadnya. Sunnah atau hadis ahad
dibedakan menjadi 3 varian, yaitu hadis sahih, hadis
hasan dan hadis dha’if.
Sementara,
hadis masyhur dalam pandangan golongan ulama Hanafiyyah adalah hadis
yang pada masa sahabat Nabi diriwayatkan oleh orang-perseorangan atau sejumlah
orang, kemudian diriwayatkan oleh sejumlah besar orang pada masa tabi’in
dan tabi’i al-tabi’in.
7.
Kedudukan
Hadis Mursal
Terdapat
perbedaan pandangan antara ulama ushul fiqh dan ulama hadis mengenai pengertian
hadis mursal. Hadis mursal adalah hadis yang di dalamnya terdapat
indikasi yang menunjukkan perawi tabi’iy langsung meriwayatkan hadis
dari Rasulullah Saw. Manakala sesuatu diriwayatkan secara demikian, itulah yang
disebut hadis mursal, menurut pandangan ulama hadis.[11]
Para
ulama hadis membedakan hadis mursal dengan hadis munqati’ dan
hadis mu’dal; hadis munqati’ adalah hadis yang di dalam sanadnya
gugur satu orang perawi atau lebih tanpa berturut-turut, sedang hadis mu’dal
adalah hadis yang di dalam sanadnya gugur dua orang perawi atau lebih pada satu
lapisan sanad saja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap mu’dal pasti
munqati’, tetapi tidak setiap munqati’ adalah mu’dal.[12]
Mengenai
posisi hadis mursal dalam struktur sumber hukum Islam, para ulama
berbeda pendapat. Kalangan ulama Hanafiyyah dan ulama Malikiyyah berpandangan
bahwa hadis mursal itu mempunyai posisi hujjah syar’iyyah, baik mursal
sahabiy, mursal tabi’iy, maupun mursal tabi’i al-tabi’in.[13]
Kalangan
ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa hadis mursal dibedakan menjadi 2 macam: mursal
sahabiy dan mursal gair sahabiy.
Kalangan
ulama Hanabilah berpandangan bahwa hadis mursal itu merupakan hujjah
syar’iyyah, tetapi dengan pengertian mursal yang berbeda dengan yang
dianut mayoritas ulama ushul fiqh.[14]
Perbedaan
opini hukum para ulama sebagai implikasi dari perbedaan pandangan tentang hadis
mursal tersebut dapat dilihat pada masalah meng-qada puasa bagi
orang yang membatalkan puasa sunnah. Menurut kalangan ulama Hanafiyyah dan
ulama Malikiyyah, meng-qada wajib hukumnya bagi orang sengaja
membatalkan puasa sunnahnya.
8. Hadis
Ahad yang Bertentangan dengan Qiyas
Para ulama berbeda
pendapat perihal kehujahan hadis ahad yang bertentangan dengan qiyas
yang ‘illah-nya diistinbat dari kaidah hukum yang qat’iy.
Kalangan ulama
Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa hadis ahad tersebut
harus lebih diutamakan dan diprioritaskan daripada qiyas, baik perawi
hadis itu ahli hukum (faqih) maupun bukan; akan tetapi, dengan catatan
ia (perawi) merupakan orang yang adil dan dabit.[15]
Kalangan utama
Hanafiyyah berpendapat bahwa hadis ahad tersebut harus dimenangkan dan
diprioritaskan daripada qiyas manakala perawi hadis itu ahli hukum (faqih);
dan sebaliknya, qiyas harus dimenangkan dan diprioritaskan daripada
hadis ahad tersebut manakala perawi hadis itu bukan ahli hukum (faqih).
Sedangkan kalangan ulama Malikiyyah berpandangan bahwa qiyas harus lebih
diutamakan dan diprioritaskan daripada hadis ahad itu secara mutlak.[16]
Pendapat yang terkait (rajih)
ialah pendapat kalangan ulama Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah yang menyatakan
bahwa hadis ahad tersebut harus dimenangkan dan diprioritaskan daripada qiyas,
baik perawi hadis itu ahli hukum (faqih) maupun bukan, tetapi dengan
catatan ia orang yang adil dan dabit. Hal ini didasarkan pada
argument-argumen berikut ini.[17]
a.
Khalifah Umar bin al-Khathab
mengeluarkan kebijakan penetapan kadar diyat atas pelukaan jari tangan
berdasar daya guna tiap-tiap jari.
b.
Khalifah Umar juga berpandangan bahwa diyat
itu milik keluarga korban dan seorang istri tidak dapat mewarisi diyat
suaminya, sesuai dan sejalan dengan kaidah al-kharaj bi al-daman (ada
kerugian, ada biaya).
c.
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah
bahwa dua orang perempuan suku Hudzail cekcok yang berakibat terbunuhnya salah
satu dari keduanya, masing-masing mempunyai suami dan anak laki-laki; lalu,
Rasulullah menetapkan diyat korban yang terbunuh itu agar dibayar oleh
keluarga si pelaku pembunuhan tersebut, dan beliau membebaskan suami dan
anaknya dari ikut menanggung kewajiban diyat
itu.
Kebijakan dan putusan hukum yang diambil
Khalifah Umar berdasarkan pertimbangan rasional, yang kemudian ditarik kembali
sesudah mengetahui adanya hadis yang terkait, dan kemudian tidak ada satu pun
sahabat yang mengingkari hal tersebut, menunjukkan adanya kesepakatan di antara
mereka (ijma’) mengenai keharusan lebih mengutamakan dan memprioritaskan
hadis sahih ketimbang pertimbangan rasional dan qiyas.
d.
Pada pokoknya, hadis itu melahirkan
keyakinan karena sabda Rasulullah itu sumbernya wahyu yang tidak mungkin salah;
dan kemungkinan adanya kelemahan (syubhah) itu terletak hanya pada periwayatan,
bukan pada substansi hadis itu sendiri.
Perbedaan opini hukum
para ulama, sebagai implikasi dari perbedaan pandangan tentang masalah ini,
dapat dilihat pada kasus jual beli misrah, yakni transaksi jual beli
unta atau domba, unta atau domba itu akan diperas kantong air susunya pada
jangka waktu tertentu agar tetap penuh sehingga konsumen/pembeli tertarik
membelinya.
Menurut mayoritas
ulama, dalam akad jual beli semacam ini berlaku hak khiyar, yaitu si
pembeli berhak mengembalikan hewan tersebut berikut satu sha’ kurma
sebagai kompensasi air susu yang telah diperasnya.
Terkait dengan kedudukan
hadis ahad, kiranya perlu diperbincangkan perihal lupanya perawi atas
hadis yang diriwayatkannya atau perilaku perawi yang bertentangan dengan
kandungan pesan hadis yang diriwayatkannya.
Mayoritas ulama
berpandangan bahwa hadis ahad yang demikian tetap merupakan hujjah
syar’iyyah. Kalangan ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa hadis ahad yang
demikian bukanlah hujjah syar’iyyah.[18]
Pendapat yang terkuat (rajih)
ialah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa hadis ahad yang
demikian tetap merupakan hujjah syar’iyyah. Hal ini didasarkan pada argumen-argumen
berikut ini.[19]
1. Perihal
lupanya Suhail bin Abu Shalih atas hadis yang diriwayatkannya, yang ternyata
tidak diingkari oleh seorang pun dari kalangan tabi’iy.
2. Ali
bin Umar al-Daruquthni menulis satu jilid kitab hadis, lalu ia lupa, tetapi ia
meriwayatkan kembali hadis-hadis itu dari orang yang pernah menerima hadis
tersebut dari dirinya.
3. Kematian
lebih dahsyat daripada lupa; maka, sebagaimana tidak punah kebaikan orang yang
telah mati, begitu pula tidak punah kebaikan orang yang lupa.
4. Adapun
argumen bagi penerimaan hadis ahad meskipun sang praktik perawi
bertentangan dengannya ialah bahwa perkataan Rasulullah itu hujjah
syar’iyyah, sedang perkataan dan perbuatan si perawi itu bukan hujjah
syar’iyyah maka tidak dibolehkan beralih dari orang yang perkataannya
sebagai hujjah kepada orang yang perkataan dan perbuatannya bukan hujjah.
Perbedaan
opini hukum para ulama sebagai implikasi dari perbedaan pandangan tentang
masalah ini, dapat dilihat pada kasus-kasus ini.[20]
1. Proses
peradilan dengan alat bukti berupa keterangan satu orang saksi beserta sumpah.
2. Pernikahan
tanpa wali
Kedudukan Hadis Ahad Sehubungan dengan Perkara ‘Umum
al-Balwa
Golongan ulama
Hanafiyyah berpandangan bahwa hadis ahad yang demikian bukanlah hujjah
syar’iyyah. Golongan mayoritas ulama (jumhur) berpendapat bahwa
hadis ahad yang demikian merupakan hujjah syar’iyyah.
Pendapat yang terkuat (rajih)
ialah pendapat mayoritas ulama (jumhur) yang menyatakan bahwa hadis ahad
yang demikian merupakan hujjah syar’iyyah. Hal ini didasarkan pada
argumen-argumen berikut ini.[21]
1. Surat
al-Taubah (9) : 122
2. Sejumlah
sahabat Nabi menarik kembali pendapatnya yang menyatakan bertemunya dua alat
kelamin (penis dan vagina) yang tidak mengeluarkan sperma , tidak mewajibkan
mandi.
3. Sejumlah
sahabat Nabi juga menarik kembali pendapatnyayang menyatakan bolehnya akad mukhabarah
dan muzaraah.
4. Sebagaimana
wajib mengamalkan hadis ahad menyangkut urusan non-‘umum al-balwa,
begitu juga wajib mengamalkan hadis ahad
yang menyangkut urusan ‘umum al-balwa karena periwayatan masing-masing
merupakan periwayatan orang yang adil dan dabit (tsiqah).
5. Sekiranya
hadis ahad yang menyangkut urusan ‘umum al-balwa itu tidak dapat
diterima, tidaklah mungkin para ulama Hanafiyyah menyatakan wajibnya shalat
witir, dibacanya dua kali lafal-lafal iqamah, dan batalnya wudhu
lantaran tertawa dalam shalat.
Kalangan ulama
Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa sunnah hukumnya mengangkat
kedua tangan ketika hendak ruku’ dan ketika bangun darinya dalam shalat.
Kalangan ulama
Hanafiyyah berpendapat bahwa tidak disunnahkan mengangkat kedua tangan ketika hendak ruku’ dan ketika bangun darinya
dalam shalat.
Kalangan ulama Malikiyyah mempunyai pendapat yang sama
dengan yang dikemukakan oleh golongan ulama Hanafiyyah, dan hadis Ibnu Umar di
atas tidak sampai kepada mereka sehingga mereka tidak mengetahuinya, seperti
diakui oleh Imam Malik: “Saya tidak mengetahui hadis tentang mengangkat kedua
tangan ketika hendak ruku’ dan ketika bangun darinya dalam shalat, kecuali
ketika mengucapkan takbiratul ihram.[22]
[1] Lihat ibnu Al-Najjar, Syarh al_Kaukab al Munir, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.th.), Juz ke-2, hlm. 159.
[2] Lihat Muhibbullah bin Abdul
Syakur, Musallam al-Tsubut, (Kairo:
Dar Ihya’ Al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th.), Juz ke-2, hlm.97.
[3]
Lihat Musthafa al-Siba’iy, al-Sunnah wa
Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islamiy, (t.tp: Dar al-Qaumiyyah, 1966), hlm.
53.
[4] Lihat Muhammad bin Idris
al-Syafi’I (selanjutnya disebut al-Syafi’i), Kitab al-Risalah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hlm. 73-75. Lihat
juga Ibnu Hazm, al-Ihkam fi Usul
al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), Juz ke-1, hlm.108-110.
[6] Lihat Muhammad Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadits, ‘Ulumuhu
wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990).
[7] Lihat Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Af’al al-Rasul wa Dilalatuha ‘ala
al-Ahkam al-Syar’iriyyah, (Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islamiyyah, 1978).
[10] Lihat Mahmud al-Thahhan, Taisir Mustalah al-Hadits, (Beirut: Dar
Al-Qur’an, 1399 H/1979 M), hlm. 43.
[12] Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Qawa’id al-Tahdits min Funun Mustalah
al-Hadits, (t.tp.: Isa al-Bab al-Halabiy, 1380 H/1961 M).
[13] Musthafa Sa’id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah
fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, t.thlm.), hlm.
397-403.
[14] Musthafa Sa’id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah
fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 397-403.
[15] Musthafa Sa’id al Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah
fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 411.
[16] Musthafa Sa’id al Khinn, Atsar al-Ikhtilaf
fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 411.
[17] Musthafa Sa’id al Khinn, Atsar al-Ikhtilaf
fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 411.
[18] Musthafa Sa’id al Khinn, Atsar al-Ikhtilaf
fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 436.
[19] Musthafa Sa’id al Khinn, Atsar al-Ikhtilaf
fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 437.
[20] Musthafa Sa’id al Khinn, Atsar al-Ikhtilaf
fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 443.
[21] Musthafa Sa’id al Khinn, Atsar al-Ikhtilaf
fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, hlm. 426-430.
[22] Malik ibn
Anas, al-Mudawwanah, Juz ke-1, hlm. 68.
Tags:
MAKALAH