Knowledge Is Free: METODOLOGI STUDI ISLAM

Hot

Sponsor

Tampilkan postingan dengan label METODOLOGI STUDI ISLAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label METODOLOGI STUDI ISLAM. Tampilkan semua postingan

Senin, 08 Februari 2016

MAKALAH PENGERTIAN METODOLOGI STUDI ISLAM

Februari 08, 2016




BAB DUA
PEMBAHASAN
I.    Pengertian

Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau lanhkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.

Menurut istilah (terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading mengatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik riset.
Metode adalah suatu ilmu yang memberi pengajaran tentang sistem dan langkah yang harus ditempuh dalam mencapai suatu penyelidikan keilmuan. Dalam berbagai penelitian ilmiah, langkah-langkah pasti harus ditempuh agar kelogisan penelitian ilmiah benar-benar nyata dan dapat dipercaya semua masyarakat. Metode juga dapat diartikan sebagai cabang logika yang merumuskan dan menganalisis prinsip-prinsip yang tercakup dalam menarik kesimpulan logis untuk membuat konsep.[1]
II.    Kegunaan Metode Pemahaman ajaran Islam
Sejak kedatangan Islam pada abad ke-13 M hingga saat ini, fenomena amat variatif . Kondisi ini terjadi diberbagai negara termasuk Indonesia. Walau keadaan amat variatif , namun tidak keluar dari yang terkandung dalam alqur’an dan sunnah serta sejalan dengan data-data historis yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pada tahap berikutnya, yang menjadi primadona masyarakat Islam adalah ilmu teologi (kalam) sehingga setiap masalah yang dihadapi selalu dilihat dari paradigma teologi. Lebih dari itu tologi yang dipelajarinya hanya berpuast pada paham Asy’ari dan Sunni. Paham lain dianggap sesat, akibatnya tidak terjadi dialog, keterbukaan, dan saling mengahargai.
Pada tahap selanjutnya, muncul paham keIslaman bercorak tasawuf yang mengambil bentuk tarikat terkesan kurang menampilkan pola hidup yang seimbang antara urusan dunia dan urusan ukhrawi. Dalam tasawuf kehidupan dunia terkesan diabaikan. Umat terlalu mementingkan akhirat, urusan dunia menjadi terbengkalai. Akibatnya keadaan umat mundur dalam bidang keduniaan, materi dan fasilitas. Dari contoh pemahaman keIslaman di atas diperoleh kesan bahwa hingga saat ini pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial, belum utuh dan belum komprehensif. Sekalipun dijumpai adanya pemahaman Islam yang sudah utuh baru diserap sebagian sarjana yang membaca karya modern dengan sikap terbuka.
Proses pengajaran Islam hingga saat ini belumtersusun secara sistematis dan belum disampaikan menurut prinsip , pendekatan dan metode yang direncanakan dengan baik. Namun untuk kepentingan akademis,membuat slam lebih responsif dan fungsional dalam memandu perjalanan umat Islam diperlukan metode yang dapat menghasilkan pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif.
Pada abad pertengahan, Eropa dalam keadaan stagnasi dan masa bodoh dalam waktu seribu tahun. Tetapi stagnasi dan masabodoh tersebut kemudian menjadi kebangkitan revolusioneryang multifaset dalam bidang sains, seni, dan kehidupan sosial. Revolusi yang mendadak dalam pemikiran manusia ini menghasilkan peradaban kebudayaan. Kita harus bertanya kepada diri kita mengapa orang mandeg sampai seribu tahun, dan apa yang terjadi pada dirinya yang menyebabkan perubahan mendadak, ia bangkit dan bangun, sehingga dalam waktu 300 tahun Eropa menemukan kebenaran-kebenaran yang tidak mereka peroleh dalam seluruh waktu seribu tahun.
Ali syari’ati (1933-1977), seorang sarjana Iran yang meninggal di rantau yaitu di Inggris menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan kemandegan dan stagnasi dalam pemikiran , perdaban dan kebudayaan yang berlangsung hingga seribu tahun di Eropa pada abad pertengahan adalah metode pemikiran analogi dari Aristoteles. Di kala cara melihat masalah objek itu berubah, dan sebagai akibatnyakehidupan manusia juga berubah. Dengan demikian kita dapat mengetahui dan memahami tentang pentingnya metodologi sebagi faktor fundamental dalam renaisans.[2]
Begitu pentingnya peranan metode pemahaman ajaran Islam dalam kemajuan dan kemunduran pertumbuhan ilmu. Mukti ali mengatakan bahwa yang menentukan dan membawa stagnasi adalah metode yang digunakan. Sebagai contoh pada abad ke 14-16 M, Aritoteles lebih jenius bila Francis Bacon. Namun mengapa justru bacon menjadi orang yang kejeniusannya lebih rendah dibanding dengan Aristoteles. Ali Mukti menjawab bahwa karena orang yang yang biasa-biasa saja seperti Bacon dapat menemukan metode berpikir yang benar dan utuh.
Hal demikian tidak untuk merendahkan orang-orang jenius. Akan tetapi, kejeniusan saja tidak cukup , namun harus dilengkapi dengan ketepatan dalam memilih metode yang digunakan untuk kerjanya dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada dasarnya metode digunakan untuk mencapai tujuan dalam mencari kebenaran ilmu dan menggali kebenaran ilmu pengetahuan.
III.  Metode Memahami Islam
Memahami berasal dari kata paham yang artinya mengerti, memaklumi dan mengetahui sesuatu hal yang sedang diamati, didengarkan, dikerjakan ataupun sesuatu hal yang sedang terjadi.[3]
Metode dalam memahami Islam harus dilihat dari berbagai dimensi. Dalam hubungan ini, jika kita meninjau Islam dari satu sudut pandang saja, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi saja dari gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin kita berhasil melihatnya secara tepat, namun tidak cukup bila kita ingin memahaminya secara keseluruhan. Buktinya ialah Alqur’an sendiri. Kitab ini memiliki banyak dimensi, sebagiannya telah dipelajari oleh sarjana-sarjana besar sepanjang sejarah. Satu dimensi, misalnya, mengandung aspek-aspek linguistik dan sastra Alqur’an. Para sarjana sastra telah mempelajarinya secara terperinci. Dimensi lain terdiri atas tema-tema filosofis dan keimanan Alqur’an yang menjadi bahn pemikiran bagi para filosof serta para teolog.[4]
Ali Syari’ati lebih lanjut mengatakan, ada berbagai cara memahami Islam. Salah satu cara adalah dengan mengenal Allah dan membandingkan-Nya dengan sesembahan agama-agama lain. Cara lainnya adalah dengan mempelajari kitab Alqur’an dan membandingkannya dengan kitab-kitab samawi lainnya. Tetapi ada lagi cara lain, yaitu dengan mempelajari kepribadian rasul Islam dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh besar pembaharuan yang pernah hidup dalam sejarah. Akhirnya, ada satu cara lagi, ialah dengan mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan membandingkannya dengan tokoh-tokoh utama agama maupun alairan-aliran pemikiran lain. Seluruh cara yang ditawarkan Ali Syari’ati itu pada intinya adalah metode perbandingan (komparasi). Dapat dimaklumi, bahwa melalui perbandingan dapat diketahui kelebihan dan kekuranganyang terdapat diantara berbagai yang dibandingkan itu. Namun, sebagaimana diketahui bahwa secara akademis suatu perbandingan memerlukan persyaratan tertentu. Perbandingan menghendaki objektivitas, tidak ada pemihakan, tidak ada pra konsepsi dan semacamnya. Pendekatan komparasi dalam memahami agama baru akan efektif apabila dilakukan oleh orang yang bru mau beragama.[5]
Metode lain untuk memahami Islam yang diajukan Mukti Ali adalah metode tipologi. Metode ini oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topic dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Dalam hal agama Islam, juga agama-agama lain, yaitu:
1) Aspek ketuhanan
2) Aspek kenabian
3) Aspek kitab suci
4) Aspek keadaan waktu munculnya nabi, orang-orang yang di dakwahinya, dan individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu.[6]
Selain menggunakan pendekatan komparasi, Ali Syari’ati juga menawarkan cara memahami Islam melalui pendekatan aliran. Dalam hubungan ini, ia mengatakan bahwa tugas intelektual hari ini ialah mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehidupan manusia, perseorangan, maupun masyarakat, dan bahwa sebagai intelektual dia memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih baik. Dia harus menyadari tugas ini sebagai tugas pribadi dan apa pun bidng studinya dia harus senantiasa menumbuhkan pemahaman yang segar tentang Islam dan tentang tokoh-tokoh besarnya, sesuai dengan bidangnya masing-masing.[7]  
Selanjutnya, terdapat pula metode memahami Islam yang dikemukakan oleh Nasruddin Razzak. Ia mengajarkan metode pemahaman Islam secara menyeluruh. Cara tersebut digunakan untuk memahami Islam paling besar agar menjadi pemeluk agama yang mantap dan untuk menumbuhkan sikap saling menghormati terhadap pemeluk agam lain. Metode tersebut juga di tempuh dalam rangka menghindari kesalahfahaman yang menimbulkan sikap dan pola hidup beragama yang salah.
Untuk memahami Islam secara benar, terdapat empat cara yang tepat menurut Nasruddin Razzak, yaitu sebagai berikut:
1. Islam harus dipelajari dari sumbernya yang asli, yaitu Alqur’an dan sunnah Rasul.
2.  Islam harus dipelajari secara integral atau secara keseluruhan.
3. Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar, kaum zu’ama, dan sarjana Islam.
4. Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis dalam Alqur’an kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris dan sosologis.
Dari beberapa metode tersebut terdapat dua metode dalam memahami Islam secara garis besar, yaitu:
1. Metode komparasi, yaitu metode memahami Islam dengan membandingkan seluruh aspek Islam dengan agama lainnya agar tercapai pemahaman Islam yang objektif dan utuh. Dalam komparasi tersebut terlihat jelas bahwa islam sangat berbeda dengan agama-agama lain. Intinya Islam mengajarkan kesederhanaan dalam kehidupan dan dalam berbagai bidang.
2. Metode sintesis, yaitu metode memahami Islam dengan memadukan metode ilmiah dengan metode logis normatif.[8]
IV. Metode Studi Ilmu Keislaman
Studi islam, yaitu ajaran-ajaran yang berhubungan dengan islam. Studi islam sangat berperan dan berfungsi dalam masyarakat. Studi islam bertujuan untuk mengubah pemahaman dan penghayatan keislaman masyarakat inter dan antar agama. Adapun perubahan yang diharapkan adalah formalisme kepahaman menjadi substantive keagamaan dan sikap enklusivisme menjadi sikap universalisme.[9]
Metode studi ilmu keislaman diharapkan dapat melahirkan suatu komunitas yang mampu melakukan perbaikan intern dan ekstern. Secara intern, komunitas itu diharapkan dapat mempertemukan dan mencari jalan keluar dari konflik intra agama islam. Secara ekstern, studi islam diharapkan dapat melahirkan suatu masyarakat yang siap hidup toleran dalam pluralitas agama. Pada segi normative, studi islam bersifat memihak, romantis, apologis, dan, subjektif. Jika dilihat dari segi histori, islam tampak sebagai disiplin ilmu.
Perbedaan dalam melihat islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan islam itu sendiri. Jika islam dilihat dari sudut normative, islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan muamalah. Sedangkan ketika dilihat dari sudut histori atau sebagaimana yang tampak dalam masyarakat, islam lebih tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).[10]
Selanjutnya, ada pula yang disebut Sains Islam. Menurut Hussein Nasr, sains islam adalah sains yang dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad islam kedua, yang keadaannya sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban Islam. Sains Islam mencakup berbagai pengetahuan modern seperti kedokteran, astronomi, matematika, fisika, dan sebagainya yang dibangun di atas arahan nilai-nilai Islami.[11]
Dari ketiga kategori ilmu keislaman tersebut, maka muncullah apa yang dikenal dengan MI, MTs, MA, dan Institut Agama Islam yang di dalamnya diajarkan studi islam yang meliputi Tafsir, Hadits, Teologi, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Pendidikan Islam. Kemudian muncul pula Universitas Islam yang di dalamnya diajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern yang bernuansa Islam (Sains Islam).[12]
IV.     Metode pemahaman ajaran Islam di Indonesia
Masyarakat indonesia yang pluralistik dalam bidang agamanya sangat menunggu-nunggu hasil kajian-kajian keilmuan dan penelitian-penelitian dalam bidang agama serta pemikiran-pemikiran keagamaan yang bersifat positif-konstruktif untuk menopang keterlibtan bersama seluruh pengikut agama-agama di tanah air dalam membina dan memupuk Kerukunan hidup antar umat beragama.
Seiring dengan pemekaran wilayah pemahaman dan penghayatan keagaman, yang diantara lain disebabkan oleh transparanya sekat-sekat budaya sebagai akibat luapan arus informasi dalam era IPTEK, masyarakat Indonesia pada khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya, membutuhkan masukan-masukan dari kajian-kajian keagamaan yang segar yang tidak lagi selalu bersifat “teologis-normatif”, tetapi juga menginginkan masukan-masukan dari kajian keaagamaan yang bersifat historis-kritis.
Posisi mayoritas umat Islam di Negara kesatuan Republik Indonesia, dalam hubungannya dengan persoalan pluralitas agama, memang sangat unik. Pengalaman umat Islam Indonesia secara kolektif dalam hubungannya dengan penghayatan pluralitas agama ini juga tidak dapat dihayati oleh umt Islam Turki dengan menganut paham kenegaraan sekuler. Predikat “sekuler” disini memang tidak mempunnyai konotasi dengan pluralitas agama seperti yang dihayati oleh umat Islalm Indonesia. Dengan memperhatikan kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang begitu majemuk keberagamaannya serta politik di luar negeri, studi agama di Indonesia terasa sangat urgen dann mendesak untuk dikembangkan.
Kerukunan umat beragama yang selama ini berjalan dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia memang sudah menjadi telaah, bahkan kekaguman, bagi para pengamat luar negeri. Kerukunan umat beragama di Indonesia telah berjalan wajar meskipun belum dilandasi dengan studi agama yang bersifat akademik-kritis. Di Indonesia kerukunan umat beragama tidak boleh dilepaskan dari peran pemerintah menciptakan situasi yang kondusif untuk kerukunan hidup beragama-bandingkan dengan program pemerintah. Departemen agama, untuk menggalang dan membina tiga kerukunan: “kerukunan umat beragama dengan pemerintah, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar intern umat beragam”.[13]
Dalam keberagamaan umat islam Indonesia ajaran-ajaran sedikit banyak telah kehilangan nilai kearabannya. Dengan demikian, menjadikan wajah islam Indonesia berbedadengan wajah islam di dunia manapun. Selain karena faktor kelonggaran atau keterbukaan, beberapa faktor lain juga turut mendukung tersebarnya islam secara luas dikalangan masyarakat di Indonesia. Menurut sejarawan, Tasawuf merupakan faktor paling dominan dalam keberhasilan penyebaran islam di Indonesia.[14]






BAB TIGA
PENUTUP
I.     Kesimpulan
Metode adalah ilmu yang memberi pengajaran tentang sistem dan langkah yang harus ditempuh dalam mencapai suatu penyelidikan keilmuan. Dengan metode yang tepat mempermudah tujuan pencapaian kelogisan penelitian dan kebenarannya. Ada dua metode dalam memahami Islam yaitu metode komparasi dan metode sintesis (metode memahami Islam dengan memadukan metode ilmiah dengan metode teologis normatif).
Dalam memahami Islam secara komperehensif dengan berpedomen kepada semangat dan isi ajaran al-qur’an yang diketahui banyak aspek. Berbagai metode dapat dipakai untuk memahami ajaran islam. Membandingkan Allah dengan sesembahan non muslim, membandingkan dengan kitab-kitab lain, membandingkan kepribadian Rasul SAW dengan tokoh-tokoh agama lain.

II.    Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami tulis. Kami sadar masih banyak kekurangan dalam makalah ini, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca yang budiman, demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini berguna dan memberikan manfaat bagi pembaca dan pembuatnya. Pada akhirnya selamat membaca, memahami dan mampu mengamalkannya. Amin.






[1] Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, 2006, Jakarta: Amzah, Hlm. 147
[2] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 2009, Jakarta: Rajawali Pers,, hlm. 152-153
[3] Ibid, hlm. 149

[4] Ibid, hlm. 152-153
[5] Ibid, hlm. 153-154
[6] Yatimin Abdullah, Op. cit., hlm. 150
[7] Abuddin Nata, Op. cit., hlm. 154

[8] Yatimin Abdullah, Op. cit., hlm. 150-151
[9] Nasution, M.A, Pengantar studi islam, 2009, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, hlm. 197

[10] Abuddin Nata, Op.cit, hlm. 151
[11] Ibid., hlm. 151-152

[12] Ibid., hlm 152
[13] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, 1996 , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 4-8
[14] Ajid Tohir, Studi Kawasan Dunia Islam, 2009. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 399
Read More

Senin, 09 November 2015

Makalah Pengertian Metodologi Studi Sejarah Islam

November 09, 2015 0





A.    Pengertian Studi Sejarah Islam

            Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta mengatakan sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi. Definisi tersebut terlihat menekankan kepada materi peristiwanya tanpa mengaitkan dengan aspek lainnya. Sedangkan dalam pengertian yang lebih komprehensif suatu peristiwa sejarah perlu juga dilihat siapa yang melakukan peristiwa tersebut, di mana, kapan, dan mengapa peristiwa tersebut terjadi. Dengan kata lain, di dalam sejarah terdapat objek peristiwanya (what), orang yang melakukannya (who), waktunya (when), tempatnya (where), dan latar belakangnya (why). Seluruh aspek tersebut selanjutnya, disusun secara sistematik dan menggambarkan hubungan yang erat antara satu bagian dengan bagian yang lainnya.


            Dari pengertian demikian kita dapat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sejarah Islam adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh terjadi yang seluruhnya berkaitan dengan agama Islam. Selanjutnya, karena agama Islam itu luas cakupannya, sejarah Islam pun menjadi luas pula cakupannya. Di antara cakupannya itu ada yang berkaitan dengan sejarah proses pertumbuhan, perkembangan dan penyebarannya, tokoh-tokoh yang melakukan pengembangan dan penyebaran agama Islam tersebut, sejarah kemajuan dan kemunduran yang dicapai umat Islam dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ilmu pengetahuan agama dan umum, kebudayaan, arsitektur, politik pemerintahan, peperangan, pendidikan dan ekonomi. Penelitian yang berkenaan dengan berbagai aspek yang terdapat dalam sejarah Islam tersebut telah banyak dilakukan baik oleh kalangan umat Islam sendiri, maupun para sarjana dari Barat.
            Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sejarah Islam adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dalam berbagai aspek. Dalam kaitan ini, maka muncullah berbagai istilah yang sering digunakan untuk sejarah ini, diantaranya Sejarah Islam, Sejarah Peradaban Islam, Sejarah dan Kebudayaan Islam.


B.     Sejarah Pra-Islam

            Kondisi sosiokultural masyrakat Arab pra-Islam, terutama pada masyarakat Makkah dan Madinah sangat memengaruhi pola pendidikan periode Rasulullah di Makkah dan Madinah. Secara kuantitas orang-orang yang masuk Islam pada fase Makkah lebih sedikit daripada orang-orang yang masuk Islam pada fase Madinah. Hal tersebut di antaranya disebabkan oleh watak dan budaya nenek moyang mereka sedangkan masyarakat Madinah lebih mudah dimasuki ajaran Islam karena saat kondisi masyarakat, khususnya Aus dan Khazraj, sangat membutuhkan seorang pemimpin untuk melenturkan pertikaian sesama mereka dan sebagai “pelindung” dari ancaman kaum Yahudi, di samping sifat penduduknya yang lebih ramah yang diatarbelakangi kondisi geografis yang lebih nyaman dan subur.
            Kondisi sosial kemasyarakatan di kalangan bangsa Arab, terdapat beberapa kelas masyarakat, berbeda antara satu dengan lainnya. Bangsa Arab sangat mendewakan tuan dan menghina budak. Bahkan tuan berhak atas semua harta rampasan dan kekayaan, dan hamba diwajibkan membayar dendan dan pajak, budak laksana ladang bercocok tanah menghasilkan banyak kekayaan. Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah sistem diktator. Banyak hak yang hilang dan terabaikan. Para budak tidak bisa melakukan perlawanan sedikit pun, banyak di antara mereka yang merasa kelaparan, penderitaan, dan kesulitan yang tidak jarang merenggut nyawanya, dengan sia-sia. Kondisi ekonomi mengikuti kondisi sosial, yang bisa dilihat dari jalan kehidupan bangsa Arab. Perdagangan merupakan sarana yang paling dominan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jalur-jallur perdagangan tidak bisa dikuasai begitu saja kecuali jika sanggup memegang kendali keamanan dan perdamaian. Sementara kondisi yang aman seperti ini tidak terwujud di jazirah Arab kecuali bulan-bulan suci. Pada saat itulah dibuka pasar-pasar Arab yang terkenal, seperti Ukadz, Dzil-Majaz, Madinah, dan lain-lainnya. Mereka tidak menguasai perindustrian dan kerajinan.
            Kebanyakan hasil kerajinan yang ada di Arab, seperti jahit menjahit, menyamak kulit dan lain-lainnya berasal dari rakyat Yaman, Hijrah, dan pinggiran Syam. Sekalipun begitu di tengah jazirah ada pertanian dan pengembalaan hewan ternak. Sedangkan wanita-wanita Arab cukup dengan pemintalan. Tetapi, kekayaan-kekayaan yang dimiliki bisa mengandung pecahnya peperangan. Kemiskinan, kelaparan dan orang-orang yang telanjang merupakan pemandangan yang biasa di tengah masyarakat. Kondisi kehidupan beragam snagat ironis sekali. Orang-orang musyrik orang khufarat tumbuh subur berimbas kepada kehidupan sosial politik dan agama. Orang-oramg yahudi berubah menjadi orang-orang yang angkuh, sombong. Pimpinan-pimpinan mereka menjadi sesembahan selain Allah. Sedangkan agama Nasrani berubah menjadi agama peganisme yang sulit dipahami dan menimbulkan pencampuradukan antara Allah dan manusia. Dari segi akhlak, mereka adalah orang-orang yang berlomba-lomba dan membanggakan diri dalam masalah kedermawaan dan kemurahan hati, orang yang menepati janji, kemuliaan jiwa dan keengganan menerima kehinaan dan kedzaliman, pantang mundur, kelemahan lembutan atau menolong orang lain, kesederhanaan pola kehidupan badui.


C.     Periode Pengembangan

            Pengembangan ajaran Islam sulit dilakukan di Makkah, maka Nabi, atas perintah Allah, berangkat ke Madinah dan di sanalah ia melakukan pengembangan ajaran mulia ini yang meliputi berbagai aspek. Pembentukan dan pentingnya pengembangan pendidikan dapat dilihat dalam surat At-Taubah ayat 122 :






Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
            Pada sisi lain dapat dilihat pula corak perbedaan pendidikan dan materinya yang didapati di Makkah dengan materi pendidikan yang berlangsung di Madinah. Perbedaan ini diuraikan sebagai berikut:
a. Pelaksanaan pendidikan di Makkah
            Allah Maha Bijaksana, sebagai calon panutan umat manusia, Muhammad ibn Abdullah sejak “awal sekali” telah disiapkan Allah, dengan menjaganya dari sikap-sikap jahiliah. Dengan akhlaknya yang terpuji, syarat dengan nilai-nilai humanisme dan spiritualisme di tengah-tengah umat yang hampir saja tidak berperikemanusiaan, Muhammad ibn Abdullah, masih sempat mendapat gelar penghargaan tertinggi, yaitu Al-Amiin. Ibn Abdullah, seseorang yang teguh mempertahankan tradisi Nabi Ibrahim, tabah dalam mencari kebenaran hakiki, menjatuhkan diri dari keramaian dan sikap hedoisme dengan berkontemplasi (bertahannust) di gua hira. Pada tanggal 17 Ramadhan turunlah wahyu Allah yang pertama, surat Al-Alaq ayat 1-5 sebagai fase pendidikan Islam Makkah.
            Muhammad adalah orang yang sudah mendapat pembentukan kepribadiannya dari Allah sejak ia belum menjadi Rasul. Walaupun ia hidup di tengah-tengah penyembahan berhala, tapi ia sendiri dan sebahagian orang lain juga, tidak pernah menyembah berhala, ia tidak minum arak, tidak berjudi dan perbuatan keji lainnya. Ia sangat terkenal sebagai orang yang jujur, terpercaya, berkata benar, santun dan lemah lembut. Ia terkenal sangat adil dalam mengambil keputusan dan bijak dalam menyelesaikan peristiwa-peristiwa yang terjadi  di tengah-tengah kaumnya.
            Ketika Muhammad dewasa ia mulai bertahannuts (merenung) baik di rumahnya ataupun ia pergi ke gua Hira’ pada bulan-bulan tertentu seperti di bulan Ramadhan. Tradisi ini memang merupakan tradisi dari sisa-sisa agama Ibrahim. Merenung, berfikir di tempat yang sunyi sambil berdoa dengan mengharapkan agar dilimpahkan sesuatu oleh Allah kepadanya.
            Pola pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah sejalan dengan tahapan-tahapan dakwah yang disampaikannya kepada kaum Quraisy. Dalam hal ini ada tiga tahapan, yaitu:
Tahap Pendidikan Islam Secara Rahasia dan Perorangan
            Pada awal turunnya wahyu pertama (the first revelation) Al-Quran surat 96 ayat 5, pola pendidikan yang dilakukan adalah secara sembunyi-sembunyi, mengingat kondisi sosial-politik yang belum stabil, dimulai dari dirinya sendiri dan keluarga dekatnya. Mula-mula Rasulullah mendidik istrinya, Khadijah untuk beriman kepada dan menerima petunjuk dari Allah, kemudian diikuti oleh anak angkatnya Ali Ibn Abi Thalib (anak pamannya) dan Zaid bin Haritsah (Seorang pembantu rumah tangganya yang kemudian diangkat menjadi anak angkatnya). Kemudian sahabat karibnya Abu Bakar Siddiq secara berangsur-angsur ajakan tersebut disampaikan secara meluas, tetapi masih terbatas di kalangan keluarga dekat dari suku Quraisy saja, seperti Usman bin Affan, Zubair ibn Awan, Sa’ad ibn Abi Waqas, Abdurrahman ibn Auf, Thalhah ibn Ubaidillah, Abu Ubaidillah ibn Jahrah, Arqam ibn Arqam, Fatimah binti Khatab, Said ibn Zaid, dan beberapa orang lainnya, mereka semua tahap awal ini disebut Assabiquna al aqqalun, artinya orang-orang yang mula-mula masuk Islam. Sebagai lembaga pendidikan dan pusat kegiatan pendidikan Islam yang pertama pada era awal ini adalah rumah Arqam ibn Arqam.
Tahap Pendidikan Islam Secara Terang-terangan
            Pendidikan secara sembunyi-sembunyi berlangsung selama tiga tahun, sampai turun waktu berikutnya, yang memerintahkan dakwah secara terbuka dan terang-terangan. Ketika wahyu tersebut turun, beliau mengundang keluarga dekatnya untuk berkumpul dibukit shafa, menyerukan agar berhati-hati terhadap azab yang keras di kemudian hari (hari kiamat) bagi orang-orang yang tidak mengakui Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan Muhammad sebagai utusannya. Seruan tersebut dijawab Abu Lahab, Celakalah kamu Muhammad! Untuk inikah kami mengumpulkan kamu? Saat itu turun wahyu menjelaskan perihal Abu Lahab dan istrinya.
            Perintah dakwah secara terang-terangan dilakukan oleh Rasulullah, seiring dengan jumlah sahabat yang semakin banyak dan utnuk meningkatkan jangkauan seruan dakwah, karena diyakini dengan dakwah tersebut banyak kaum Quraisy yang akan masuk agama Islam. Di samping itu, keberadaan rumah Arqam ibn Arqam sebagai pusat dan lembaga pendidikan Islam sudah diketahui oleh kuffar Quraisy.
Tahap Pendidikan Islam untuk Umum
            Hasil seruan dakwah secara terang-terangan yang terfokus kepada keluarga dekat, kelihatannya belum maksimal sesuai dengan apa yang diharapkan. Maka, Rasulullah mengubah strategi dakwahnya dari seruan yang terfokus kepada keluarga dekat beralih kepada seruan umum, umat manusia secara keseluruhan. Seruan dalam skala “internasional” tersebut didasarkan kepada perintah Allah, surat Al-Hijr ayat 94-95. Sebagai tindak lanjut dari perintah tersebut, pada musim haji Rasulullah mendatangi kemah-kemah para jamaah haji. Pada awalnya tidak banyak yang menerima, kecuali sekelompok jamaah haji dari Yastrib, kabilah Khazraj yang menerima dakwah secara antusias. Dari sinilah sinar islam memancar ke luar Makkah.
            Penerimaan masyarakat Yastrib terhadap ajaran Islam secara antusias tersebut dikarenakan beberapa faktor: (1) Adanya kabar dari kaum Yahudi akan lahirnya seorang Rasul; (2) Suku Aus dan Khazraj mendapat tekanan dan ancaman dari kelompok yahudi; (3) Konflik antara Khazraj dan Aus yang berkelanjutan dalam rentang waktu yang sudah lama, oleh karena itu mereka mengharapkan seorang pemimpin yang mampu melindungi dan mendamaikan mereka.
            Berikutnya, di musim haji pada tahun kedua belas kerasulan Muhammad SAW Rasulullah didatangi dua belas orang laki-laki dan seorang wanita utuk berikrar kesetiaan, yang dikenal dengan “Bai’ah al-Aqabah I” mereka berjanji tidak akan menyembah selain kepada Allah SWT, tidak akan mencuri dan berzina, tidak akan membunuh anak-anak dan menjauhkan perbuatan-perbuatan keji serta fitnah, selalu taat kepada Rasulullah dalam yang benar, dan tidak mendurhakainya terhadap sesuatu yang mereka tidak inginkan.
            Berkat semangat yang tinggi yang dimiliki para sahabat dalam mendakwahkan ajaran Islam, sehingga seluruh penduduk Yastrib masuk Islam kecuali orang-orang Yahudi. Musim haji berikutnya 73 orang jamaah haji dari Yastrib mendatangi Rasulullah SAW dan menetapkan keimanan kepada Allah dan Rasulnya di tempat yang sama dengan pelaksanaan “Bai’ah al-Aqabah I” tahun lalu, yang dikenal dengan “Bai’ah al-Aqabah II” dan mereka bersepakat akan memboyong Rasulullah ke Yastrib.
            Muhammad setelah menjadi Rasul mengemban tugas untuk memperbaiki ummat dalam semua aspek, demikianlah tugas setiap rasul. Aspek-aspek yang diperbaiki ketika ia berada di Makkah meliputi:
1) Pendidikan Aqidah
            Ayat yang pertama turun jelas sekali menyatakan agar Muhammad membaca dengan nama Tuhannya Yang Mencipta. Tuhan di sini bukanlah patung ataupun benda-benda mati lainnya. Ayat yang kedua juga didapati kata-kata “NEB” yang bermakna “Tuhanmu”. Demikian juga ayat-ayat yang lain yang turun di Makkah lebih banyak menyatakan tentang ketuhanan, keagamaan dan hari akhirat. Dengan kata lain ayat-ayat di Makkah lebih menekankan pada pemantapan aqidah.
            Intisari ajaran aqidah yang dimantapkan di Makkah adalah menyangkut dengan kekuasaan Allah sebagai Pencipta, Pemberi nikmat, tempat meminta segala bantuan dan pertolongan, Pemberi petunjuk pada jalan yang benar dan Raja Yang Maha Adil dan Maha Perkasa di hari kiamat.
            Menyangkut dengan cara Nabi mendidik ummat terhadap aqidah ini adalah dengan memberi kesadaran yang tinggi dan mengajak berfikir yang jernih untuk menemukan realita pada segala sesuatu sebagaimana adanya. Patung dan berhala yang dipahat oleh manusia jelas tidak dapat memberi manfaat dan mudarat apa-apa bagi manusia. Tukang tenung dan ahli firasat bukanlah orang-orang yang terpercaya yang dapat terjamin kebenaran ramalan ataupun ucapan mereka. Memang telah menjadi tradisi orang Arab pada masa itu setelah mempercayai berhala dan patung, mereka sangat meyakini pada ucapan tukang tenung dan ramalan ahli firasat. Sebagian suku Arab yang hidup di daerah Selatan percaya pada tukang tenung yang jika dikatakan bahwa anak perempuan seseorang akan membawa aib bagi keluarga, maka anak itu pasti dikuburkan hidup-hidup oleh orangtuannya. Praktik demikian mengingkari kekuasaan Allah dan sangat dibantah oleh Al-Quran sebagaimana dinyatakan dalam surat At-Takwir ayat 8 dan 9:






Artinya: Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh.

2) Pengajaran Al-Quran
            Setiap wahyu yang diterima Nabi dibacakan di hadapan sahabat-sahabatnya dan mereka menghafalnya tanpa tertinggal satu hurufpun daripadanya. Bagi orang yang ummi (buta huruf), menghafal adalah perkara yang lebih mudah bagi mereka karena mereka tidak dapat menyalin untuk disimpan kapan-kapan diperlukan. Memang ketika itu, ada sejumlah orang yang pandai menulis dan membaca, tapi jumlah mereka sangat sedikit. Zuhairini dengan mengutip pernyataan Mahmud Yunus menyebutkan nama-nama mereka adalah: Umar bin Al-Khatab, Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Thalhah, Yazid bin Abu Sufyan, Abu Hudzaifah bin Utbah, Abu Sufyan bin Harb, Muawiyah bin Abu Sufyan dan dari kalangan wanita dikenal nama-nama Hafsah binti Umar bin Al-Khatab, Ummi Kultsum binti Uqbah, Aisyah binti Sa’ad, Al-Syifak binti Abdillah Al-Adawiyah dan Karimah binti Miqdad. Dengan demikian dipahami bahwa cara sahabat memelihara Al-Quran sebagai Kitab pedoman hidup mereka adalah dengan menghafalnya dan sebagian mereka menulis agar terpelihara dengan baik bagi generasi kemudian.
            Dalam periode Makkah Nabi Muhammad menggunakan rumah Al-Arqam untuk mengajar hafalan Al-Quran serta bacaan yang benar dan menjelaskan isi kandungan ayat-ayat yang dibaca tersebut. Para sahabat berkumpul di sana untuk mengulang-ulangi dan mengkaji lagi maksud-maksud kandungan isi Al-Quran. Sebagaimana yang telah masyhur dicantumkan dalam sejarah Islam, Umar menyatakan keislamannya di hadapan Nabi di rumah Al-Arqam ini. Di sini ia menekuni ajaran ini dan dia mengajak Nabi serta semua pengikutnya supaya ajaran Islam disampaikan secara terang-terangan di hadapan khalayak ramai. Ia menunjukkan kebenaran ajaran Islam dengan membentuk dua barisan lalu melakukan pawai sambil bertakbir di Kota Makkah dan sekaligus dia bersama dengan Hamzah adalah orang yang berjalan di hadapan dalam barisan tersebut.
            Setelah Nabi hijrah ke Madinah pelajaran agama diajarkan di masjid-masjid dan Kuttab (tempat anak-anak belajar menulis dan membaca). Ada riwayat yang menyatakan bahwa Kuttab sudah terlebih dahulu ada waktu itu atau sejak zaman Jahiliyah.
            Al-Quran sebagai pegangan utama ajaran Islam tidak boleh berubah sedikitpun, maka Nabi sering mengulang-ulangannya di hadapan sahabat-sahabatnya dan menyuruh mereka menghafal di hadapannya sehingga semua mereka menghafalnya secara beragam tanpa berubah katanya, kecuali sedikit saja dalam dialek bacaan.
            Suatu hal yang perlu diketahui bahwa bangsa Arab waktu itu, bahasa mereka terpecah-pecah dalam berbagai dialek. Dalam hal ini Nabi membenarkan untuk membaca Al-Quran menurut dialek mereka masing-masing. Maka sampai sekarang dikenal berbagai macam qira’at berkembang di tengah-tengah kaum muslimin.

3) Pendidikan Akhlak
            Ini merupakan tujuan utama daripada diturunkan agama bagi manusia sebagaimana Rasul sendiri menyatakannya:




Artinya: Hanya sanya saya diutuskan untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.
            Bangsa Arab pada saat itu memiliki corak hidup yang saling bermusuhan antara kabilah-kabilah. Mereka saling bertikai antara satu kabilah dengan kabilah lain bahkan antara satu ‘asyirah yang lain. Mereka terdiri dari suku-suku yang suka berperang, minum minuman keras, merampok kafilah-kafilah pedagang dan perbuatan-perbuatan buruk lainnya. Dalam masalah ikatan perkawinan sebagian besar mereka sangat menghormati corak perkawinan yang bermoral dan benar sebagaimana lazimnya pada masa kita sekarang, tapi ada sebgaian mereka melakukan perkawinan dengan cara-cara yang tidak bermoral. Misalnya di tengah-tengah bangsa Arab Jahiliyah berkembang nikah Syighar (ganti). Corak pernikahan ini seseorang tidak perlu membayar mahar karena ia melakukan ganti dengan adiknya. Caranya adalah, misalnya si A ingin mengawini adik si B maka sebagai ganti mahar si B langsung mengawinkan adiknya kepada si A tanpa membayar apa-apa, karena adiknya telah dikawini olehnya. Bentuk perkawinan yang lain, misalnya ada wanita yang rela menerima laki-laki yang datang ke rumahnya dengan cara memberi isyarat tertentu di pintu rumah. Setelah melahirkan anak, ia memanggil pria-pria yang pernah datang menggaulinya dan ia menentukan ayah dari anak yang dilahirkan di antara pria-pria tersebut dan pria yang ditentukan itu tidak dapat menolak pernyataan wanita itu. Contoh lain dari dekadensi moral di kalangan mereka adalah ibu tiri dari sebagian kepala suku dapat saja diwarisi oleh anak laki-lakinya yang tertua untuk dijadikan isterinya. Begitulah sebagian contoh-contoh praktik yang tidak bermoral pada sebagian bangsa Arab pada waktu itu.
            Selain tiga aspek pendidikan sebagaimana disebutkan di atas, pendidikan periode Makkah juga meliputi dasar-dasar pengetahuan keagamaan, menanam sifat kemurahan hati serta kedermawanan dan pendidikan bela diri.

b. Pelaksanaan pendidikan pada periode Madinah
            Kedatangan Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimin Makkah, disambut oleh penduduk Madinah dengan gembira dan penuh rasa persaudaraan. Maka, Islam mendapat lingkungan baru yang bebas dari ancaman para penguasa Quraisy Makkah, lingkungan yang dakwahnya, menyampaikan ajaran Islam dan menjabarkannya dalam kehidupan sehari-hari. Wahyu secara beruntun selama periode Madinah kebijaksanaan Nabi Muhammad SAW dalam mengajarkan AL-Quran adalah menganjurkan pengikutnya untuk menghafal dan menuliskan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana diajarkannya. Beliau sering mengadakan ulangan-ulangan dalam pembacaan Al-Quran dalam shalat, dalam pidato-pidato dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain kesempatan.
            Corak pendidikan periode Madinah lebih ditekankan pada pembinaan sosial dalam arti yang luas dan cara berpolitik secara Islami. Maka aspek-aspek yang ditekankan dalam periode Madinah adalah sebagai berikut:
1) Pembentukan Pendidikan Sosial Masyarakat
            Bangsa Arab pada masa belum berkembang Islam, masalah sistem kehidupan sosial mereka tunduk pada kepala-kepala suku tertentu ataupun bergabung pada kepala suku atau ‘asyirah yang terkuat. Mereka tidak memiliki seorang raja yang memiliki kerajaan yang luas. Mereka tidak memiliki sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Peraturan mereka adalah sejumlah aturan yang disepakati oleh pemuka-pemuka mereka di kalangan suku tersebut. Mereka bermusyawarah untuk memutuskan sesuatu, tapi mereka tidak memiliki undang-undang tertentu ataupun kitab pegangan tentang undang-undang hukum yang dipatuhi bersama. Cara-cara memelihara aturan yang berkembang di tengah-tengah mareka adalah dengan cara mengingatkan dan mewariskan kepasa generasi selanjutnya.
            Setelah Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah, langkah pertama yang dilakukan adalah membentuk suatu masyarakat yang besar. Ia membentuk masyarakat Madinah yang terdiri dari tiga golongan komunitas besar ketika itu; yaitu orang Anshar (penduduk asli Madinah yang terdiri dari dua kabilah besar yaitu Aus dan Khazraj), orang-orang Muhajirin (orang-orang muslim yang pindah ke Makkah), dan orang-orang yahudi. Ketiga golongan ini diakui sebagai warga Madinah dan wajib menjaga serta memelihara ketertiban keamanan untuk kalangan sendiri, demikian pula kehidupan bersama antar tiga golongan ini sehingga terbentuk suatu masyarakat yang lebih besar. Perjanjian bersama ini dikenal dalam istilah sekarang dengan “Piagam Madinah”. Hanya saja Yahudi kemudian melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama. Pada hal sebelumnya telah wujud pembentukan sebuah negara bersama untuk dipertahankan secara bersama-sama. Oleh karena itu, dengan terpaksa golongan ini diperangi oleh ummat Islam sehingga mereka harus meninggalkan wilayah Madinah, kecuali sebagian mereka yang tunduk kepada aturan negara Islam yaitu tidak memusuhi ummat Islam dan rela membayar jizyah (pajak jiwa) sebagai jaminan perlindungan hidup mereka. Di sini nampak semua komunitas dapat hidup di tengah-tengah ummat Islam.
            Setelah Nabi berada di Madinah, pekerjaan yang pertama-tama dilakukan adalah membangun masjid. Masjid adalah tempat berkumpul ummat Islam sebanyak lima kali dalam satu hari untuk beribadah kepada Allah. Masjid digunakan juga sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyampaikan dan mengembangkan ilmu agama Islam dan ini adalah yang amat penting dalam membentuk pribadi manusia.
            Uraian di atas menunjukkan bahwa Nabi telah menampakkan sifat pembentukan suatu masyarakat yang tidak dilandaskan pada asal-usul, ras, etnis dan dasar agama yang dipeluk. Semua manusia dapat hidup dengan aman dalam sebuah negara walaupun negara itu disebut Negara Islam atau agama resmi negara tersebut agama Islam. Orang-orang yang berlainan agama dalam Negara Islam dapat melaksanakan ibadah menurut kepercayaan dan keyakinan mereka dengan aman dan tidak boleh diganggu oleh umat Islam. Demikianlah masyarakat muslim pertama yang dididik oleh Nabi.

2) Pendidikan Sosial Politik Dan Kewarganegaraan
            Di Madinah Nabi menerapkan pendidikan sosial sesuai dengan penegasan-penegasan wahyu yang diturunkan kepadanya. Segi-segi pendidikan yang ditekan dalam bidang ini adalah:
- Persaudaraan
            Nabi mendidik semua ummat Islam dengan menyatakan bahwa sesama warga negara adalah bersaudara dan tidak boleh saling memusuhi antara yang satu dengan yang lainnya. Rasulullah bersabda:



Artinya: Orang Islam adalah saudara orang Islam maka tidak sewajarnya ia mendzaliminya dan menganiayanya. Barangsiapa (memenuhi) kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya.
            Adapun hak non muslim pada orang muslim tetap tidak hilang sebagaimana dinyatakan oleh Nabi dari hadits Jabir:








Artinya: Jiran ada tiga golongan, yaitu; (1) jiran yang mempunyai satu hak yaitu orang musyrik, baginya memilki hak jiran, (2) jiran yang memiliki dua hak yaitu orang muslim, baginya hak jiran dan hak keseagamaan Islam dan (3) jiran yang memiliki tiga hak yaitu jiran yang memiliki hubungan kerabat, baginya hak keseagamaan Islam, hak kerabat dan hak jiran (H.R.Thabrani).
            Dari segi pendidikan kewargaan negara, Islam menghormati hak non muslim dalam Negara Islam asalkan mereka mentaati aturan negara. Setiap muslim diharapkan agar menghormati dan manghargai orang lain. Kalau hidup bertetangga diharapkan mereka ssupaya saling bekerjasama dan ini yang disebut dengan hak jiran seperti yang dinyatakan hadits di atas.
- Kesejahteraan Sosial
            Ayat-ayat yang turun di Madinah banyak yang mengandung ketetapan-ketetapan hukum dalam berbagai aspek kehidupan. Di antara ketetapan hukum ini adalah penegasan wajib zakat bagi kaum muslimin dan ketentuan-ketentuan damai sesama muslim dan dengan non muslim. Hal ini penting, karena setelah Nabi berada di Madinah, secara spontan terbentuk suatu masyarakat besar yang bernuansa sebuah negara sehingga memerlukan kesejahteraan rakyat dan keamanan bersama. Kalau ketika di Makkah belum ada ketegasan wajib zakat serta kadar jumlahnya, namun pemungutannya dilakukan dalam kategori sedekah ikhlas secara pribadi dan kemurahan hati seseorang. Nilai zakat ini disebutkan sendiri oleh Al-Quran dalam surat At-Taubah ayat 103:




Artinya: Ambillah zakat dar sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
            Mengeluarkan zakat bermakna membersihkan muzakki dari kekikiran serta kecintaan yang berlebihan pada harta benda. Sementara zakat itu sendiri menanam dan menumbuhkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka melalui banyak tangan. Artinya pembayaran zakat melalui amil yang ditunjuk memberi makna nilai pendidikan sosial yang luas cakupannya, tanpa terbatas pada lingkup keluarga sendiri atau lingkungan sendiri, tapi dapat diatur untuk semua pihak yang membutuhkan bantuan.
            Dari sudut mengatasi masalah sosial masyarakat melalui zakat, Al-Quran menegaskan dalam surat At-Taubah ayat 60:







Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
            Dalam penunaian zakat terdapat nilai jaminan sosial karena yang berhak menerima zakat ialah: 1. Orang fakir; orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. Orang miskin; orang-orang yang tidak mencukupi biaya hidupnya dan selalu dalam keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat; orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat dan dia bagaikan pegawai pemerintah. 4. Muallaf; orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah, sehingga dengan adanya bantuan zakat akan tertampung biaya hidupnya kalau ia ditinggalkan oleh saudaranya. 5. Memerdekakan budak; mencakup juga untuk melepaskan muslim yan ditawan oleh orang-orang kafir. 6. Orang berhutang; yaitu orang yang berhutang untuk kepentingan dan kebutuhan hidup sehari-hari bukan karena hidup berfoya-foya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam seperti membantu orang yang membayar qishash hutangnya juga dibayar dengan bantuan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. Pada jalan Allah (fi sabilillah); yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fi sabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalamu kesengsaraan karena kehabisan hartanya dalam perjalanan. Delapan golongan yang disebutkan di atas adalah mereka yang sulit untuk mendapatkan lapangan pekerjaan atau tidak sempat mengurusnya.
            Dengan adanya ketegasan pemungutan zakat, banyak masalah sosial dapat di atasi. Fakir miskin memperoleh haknya yang tertentu, ‘amil yang bekerja pada lembaga ini juga mendapat haknya, demikian juga orang yang berhutang, orang-orang yang kehabisan belanja dalam perjalanan dan orang-orang yang ikut menegakkan agama Allah yang lazim disebut dengan fi sabilillah. Semua kelompok ini tidak mempunyai kesempatan yang wajar untuk mencari rezeki. Fakir miskin tidak memiliki modal dalam upaya membuka usaha atau melakukan pengembangannya.
- Kesejahteraan Rumah Tangga
            Islam mengatur bentuk pendidikan yang perlu diberikan dan diterapkan dalam keluarga. Isteri mendapat haknya dari suami dan ia berkewajiban melaksanakan tugas-tugasnya. Suami memiliki hak dari isterinya dan ia menanggung sejumlah beban yang wajib dipikulnya untuk seluruh anggota keluarga. Anak-anak mempunyai hak dari kedua orangtuanya dan ia juga berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap orangtuanya. Di antara yang dinyatakan Al-Quran tentang hak kewajiban ini adalah surat Al-Baqarah ayat 233:
















Artinya: Para ibu hendaklah menysyukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seoran ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
            Ayat ini menjelaskan salah satu aspek bimbingan hidup dalam keluarga; yang meliputi pentingnya seorang ibu menyusui bayinya selama dua tahun penuh. Sementara suami pelru menjaga isterinya yang sedang menyusui dengan menyediakan makanan yang cukup dan pakaian yang memadai sesuai dengan kemampuannya. Baik ayah ataupun ibu bayi tersebut tidak boleh sekali-kali membuat bayinya menderita karena tanpa mendapatkan asi yang cukup sehingga mnenjadi anak kekurangan gizi. Seandainya ibu bayi tersebut tidak memiliki asi atau tidak sangggup menyusuinya karena ada halangan tertentu, dapat saja anak itu disapih secara baik-baik dengan cara menambahkan makanan lain atau bahkan mengupahkan ibu lain menyusui bayi mereka. Perhatian demikian tidak saja ditujukan kepada ayah dari bayi itu juga kepada walinya, jika ayahnya telah tiada atau ada sebab lainnya walilah yang bertanggung jawab agar generasi mendatang hidup sehat dan cerdas.
- Pendidikan Kewarganegaraan
            Islam tidak memaksa penganut agama lain untuk memeluk agama Islam, tapi bagi pemeluk Islam diwajibkan untuk mentaati ajaran-ajaran yang telah mereka anuti itu. Non muslim dapat saja hidup dengan damai di tengah-tengah kaum muslimin asalkan saja mereka tidak menunjukkan permusuhan pada umat Islam. Menyangkut dengan sikap bangsa negara Islam terhadap negara lain tidak boleh sama sekali memusuhinya, tapi jika dianggap negara itu memusuhi negara kaum muslimin, semua warga bertanggung jawab untuk mempertahankan diri, negara dan agama dari serangan mereka. Islam hanya mengharapkan memberi penjelasan dakwa Islamiyah di tengah-tengah masyarakat yang belum sampai dakwah kepada mereka. Dakwah dimaksudkan bukan dalam bentuk menyerang apalagi melakukan terror terhadap ummat lain. Tidak ada pemaksaan untuk memeluk agama dapat dilihat dalam surat Al-Baqarah ayat 25:






Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (golongan yang melampau batas) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada huhuk tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
            Karena menghadapi berbagai kemungkinan buruk dalam menghadapi wilayah lain, Nabi membina pendidikan jasmani dalam rangka mempertahankan dan membela negara. Nabi melatih pemuda dan remaja cara-cara membela diri, berupa gulat, menggunakan panah, cara lempar lembing dan menunggang kuda. Ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 60 dan 61:










Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
            Jadi tujuan pendidikan jasmani dalam Islam tidak terlepas dari kepentingan agama dan kepentingan umat Islam secara umum. Membela negara adalah bagian dari membela agama, karena negara dalam Islam berfungsi mangatur urusan agama.
- Materi Pendidikan Untuk Tingkat Anak-Anak
            Tidak lama setelah Nabi berada di Madinah, jumlah masjid telah dibangun di sana sebanyak sembilan buah. Aktifitas masjid antara lain adalah mengajar anak-anak agar mereka mampu membaca dan menulis Al-Quran dan mengerti dasar-dasar pengetahuan agama Islam. Hal ini sangat penting dilakukan demi generasi yang akan datang mampu meneruskan kesinambungan ajaran ini. Allah memperingatkan kaum muslimin dalam firmannya:









Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkannya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
            Menurut Zuhairini garis-garis besar materi-materi pendidikan yang dicontohkan oleh Nabi untuk pengajaran anak-anak meliputi:
-> Pendidikan tauhid, yaitu menanam keimanan kepada Allah
-> Pendidikan shalat yang mulai diajarkan kepada anak-anak semenjak berumur 7 tahun dan dipaksa mereka untuk membiasakannya setelah berumur 10 tahun

-> Sopan santun dalam keluarga yaitu cara-cara berterimakasih kepada orangtua dan adab-adab meminta izin masuk ke dalam kamar orangtua
-> Sopan santun dalam masyarakat yaitu tata cara bergaul dengan teman-teman termasuk cara berjalan, cara berbicara dan cara-cara memandang orang lain dan lain-lain yang menyangkut dengan tata cara bergaul yang baik
-> Pembinaan kepribadian yang tangguh agar anak menyelami ajaran Islam dengan baik serta mengagumi agamanya























BAB III

Penutup

A.    Kesimpulan

            Pola pendidikan Islam periode Rasulullah SAW fase Makkah-Madinah belum semuanya penulis bisa termuat dalam makalah. Paing tidak dari pembahasan tersebut akan ditemukan benang merah bahwa pola pendidikan fase Makkah dan Madinah memiliki persamaan dan perbedaan, fase Makkah ada dua lembaga pendidikan yaitu rumah Arqam ibn Arqam dan Kuttab, sedangkan di Madinah lembaga pendidikan rumah para sahabat dan masjid yang multifungsi.
            Materi pendidikan di Madinah adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan ukhuwah (persaudaraan) antara kaum muslimin
b. Pendidikan kesejahteraan sosial
c. Pendidikan kesejahteraan keluarga kaum kerabat
d. Pendidikan hankam (pertahanan dan keamanan) dakwah Islam
            Kurikulum yang dipakai Makkah dan Madinah adalah sama, yaitu Al-Quran yang dijelaskan dengan Hadis Nabi Muhammad SAW yang diturunkan secara berangsur-angsur, hanua kurikulum di Madinah lebih komplit, seirama dengan bertambahnya wahyu yang duturnkan kepada Rasulullah SAW.


B.     Saran

            Sudah selayaknya kita sebagai bagian dari orang-orang yang menganut agama Islam dapat mempelajari dan mengetahui lebih dalam mengenai studi sejarah Islam agar tidak banyaknya perbedaan pendapat yang menimbulkan banyak perdebatan karena suatu masalah yang dikarenakan belum adanya studi terhadap masalah tersebut. Dengan adanya penjabaran tentang studi sejarah Islam ini, diharapkan para pembaca dapat memahami dan menerapkan tentang sejarah Islam dalam pemerintahan agama kita, agama Islam. Dan semoga penjabaran ini dapat bermanfaat bagi kita semua.








Daftar Pustaka

1.      Nizar, Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:Putra Grafika
2.      Nata, Abuddin.

3.      Husen, Usman. Sejarah Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ranirry Press
Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot