Knowledge Is Free: MAKALAH

Hot

Sponsor

Tampilkan postingan dengan label MAKALAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH. Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 Februari 2021

Makalah Sejarah Perkembangan Hadist dari Zaman Rasulullah hingga Sahabat (doc)

Februari 24, 2021 0


Sejarah Perkembangan Hadist dari Zaman Rasulullah hingga Sahabat, Makalah Ulumul Hadist 

Hadits  telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi. Sesunggunhya semasa hidup Rasulullah adalah wajar sekali jika kaum muslimin (para sahabat r.a.) memperhatikan apa saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau, terutamas sekali yang berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari peramal mereka dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari seorang yang mereka akui sebagai seorang Rasul Allah.

Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh masyarakat. Selanjutnya dalam kapasitasnya sebagai apa saja (Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah tanggal, teman) maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam. Beliau sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud secara kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada kesempatan Nabi memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hak itu untuk lebih mendalami ajaran Islam.
Hadis Nabi yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan ada pula yang dicatat. Sahabat yang banyak mengahafal hadis dapat disebut misalnya Abu Hurairah, sedangkan sahabat Nabi yang membuat catatan hadis diantaranya ; Abu Bakar Shidiq, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abdullah bin Abbas.
Minat yang besar dari para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadis disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : Pertama, Dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam al-Qur’an, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka.
Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan. Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berusaha memperoleh pengetahuan yang banyak, yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabi sendiri.
Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah ini telah mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.

B. Rumusan masalah
  • Sejarah Perkembangan Hadits
  • Periode Pertama: Perkembangan Hadis pada Masa Rasulutlah SAW.
  • Periode Kedua: Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa' Ar-Rasyidin (11 H-40 H)
  • Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
  • Periode Keempat: Perkembangan Hadis pada Abad II dan III Hijriah
  • Fase Pengumpulan dan Penulisan Hadits

C. Tujuan dan Kegunaan
Dalam setiap penelitian apapun bentuknya senantiasa di barengi dengan tujuan tertentu,oleh karena itu sebagai kelengkapan penjelasan penulis mengenai tujuan dan kegunaan penelitian yaitu untuk mengetahui Sejarah Hadist baik dari zaman Rasulullah hingga zaman Sahabat dan Tabi'in.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah di harapkan agar para pelajar mampu mengkaji tentang periwayatan hadist, baik pada masa Rasulullah SAW hingga pada masa sahabat.   

BAB II   
Pembahasan

Sejarah Perkembangan Hadits

Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.[1] Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa timbulnya/lahirnya di zaman Nabi SAW meneliti dan membina hadis, serta segala hal yang memengaruhi hadis tersebut. Para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadis dalam beberapa periode. Adapun para`ulama penulis sejarah hadis berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadis. Ada yan membagi dalam tiga periode, lima periode, dan tujuh periode.[2]

Periode Pertama: Perkembangan Hadis pada Masa Rasulutlah SAW.

Periode ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan AI-Quran untukmenegakkansyariat. 
Para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. mennheri ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh nabi ke daerah daerah atau utusan daerah yang datang kepada nabi.
Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi mene¬kankan untuk menghapal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadis dalam amalan sehari- hari, serta mentablighkannya kepada orang lain. 
Nabi Muhammad SAW menjadi pusat perhatian para sahabat apa pun yang di datangkan oleh Nabi Muhammad SAW baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan merupakan referensi yang di buat pedoman dalam kehidupan sahabat.

Setiap sahabat mempunyai kedudukan tersendiri dihadapan Rasulullah SAW adakalanya disebut dengan “al-sabiqun al-awwalin” yakni para sahabat yang pertama masuk islam, seperti khulafaur rasyidin dan Abdullah Bin Mas’ud.Ada juga sahabat yang sungguh- sungguh menghafal hadist misalnya Abu Hurairah. Dan ada juga yang usianya lebih panjang dari sahabat yang lain yang mana mereka lebih banyak menghafalkannya seperti annas bin malik. Demikian juga ada sahabat yang dekat sama rasulullah seperti Aisyah, Ummu Salamah, dan khulafaur rasidin semakin erat dan lama bergaul semakin banyak pula hadist yang diriwayatkan dan validitasnya tidak diragukan.
Namun demikian sahabat juga adalah manusia biasa, harus mengurus rumah tangga, bekerja untuk memenuhi kebuthan keluarganya, maka tidak setiap kali lahir sebuah hadist di skasikan langsung oleh seluruh sahabat, sehingga sahabat mendegar sebagian hadist dari mendengar kepada sahabat yang lainnya atau langssung dari rasulullah SAW. Apalagi Sahabat nabi yang berdomisili di daerah yang jauh dari madinah seringkali hanya memperoleh hadist dari sesama sahabat.[3]
Rasul membina umatnya selama 23 Tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus di wurudkannya hadist. Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman nabi SAW berikut ini penulis akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan:

1. Cara Rasulullah menyampaikan hadist

Rasulullah dan para sahabat hidup bersama tanpa penghalang apapun, mereka selalu berkumpul untuk belajar kepada Nabi Saw. di masjid, pasar, rumah,dalam perjalanan dan di majelis ta’lim. Ucapan dan perilaku beliau  selalu direkam dan dijadikan uswah (suri tauladan) bagi para sahabat dalam urusan agama dan dunia. Selain para sahabat yang tidak berkumpul dalam majelis Nabi Saw. untuk memperoleh patuah-patuah Rasulullah, karena tempat tingal mereka berjauhan, ada di kota dan di desa begitu juga profesi mereka berbeda, sebagai pedagang, buruh dll. Kecuali mereka berkumpul bersama Nabi Saw. pada saat-saat tertentu seperti hari jumat dan hari raya. Cara rasulullah menyampaikan tausiahnya kepada sahabat kemudian sahabat menyampaikan tausiah tersebut kepada sahabat lain yang tidak bisa hadir (ikhadz) 

2. Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadist 

Kebiasaan para sahabat dalam menerima hadits  bertanya langsung kepada Nabi Saw. dalam problematika yang dihadapi oleh mereka, Seperti masalah hukum syara’ dan teologi. Diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitabnya dari ‘Uqbah bin al-Harits tentang masalah pernikahan satu saudara karena  radla’ (sepersusuan). Tapi perlu diketahui, tidak selamanya para sahabat bertanya langsung. Apa bila masalah biologis dan rumah tangga, mereka bertanya kepada istri-istri beliau melalui utusan istri mereka, seperti masalah suami mencium istrinya dalam keadaan puasa.
            Telah kita ketahui, bahwa kebanyakan sahabat untuk menguasai hadist Nabi Saw., melalui hafalan tidak melalui tulisan, karena difokuskan untuk mengumpulkan al-Quran dan dikhawatirkan apabila hadist ditulis maka timbul kesamaran dengan al-Quran. [4]

3. Larangan menulis hadis dimasa nabi Muhammad SAW

Hadis pada zaman nabi Muhammad saw belum ditulis secara umum sebagaimana al-Quran. Hal ini disebabkan oleh dua factor ;
para sahabat mengandalkan kekuatan hafalan dan kecerdasan otaknya, disamping alat-alat tulis masih kuarang. karena adanya larangan menulis hadis nabi.
Abu sa’id al-khudri berkata bahwa rosululloh saw bersabda:
Janganlah menulis sesuatu dariku selain al-Qua’an, dan barang siapa yang menulis dariku hendaklah ia menghapusnya. ( H.R Muslim )
Larangan tersebut disebabkan karena adanya kekawatiran bercampur aduknya hadis dengan al-Qur’an, atau mereka bisa melalaikan al-Qua’an, atau larangan khusus bagi orang yang dipercaya hafalannya. Tetapi bagi orang yang tidak lagi dikawatirkan, seperti yang pandai baca tulis, atau mereka kawatir akan lupa, maka penulisan hadis bagi sahabat tertentu diperbolehkan.

4. Aktifitas menulis hadist

Bahwasanya sebagian sahabat telah menulis hadist pada masa Rasulullah, ada yang mendapatkan izin khusus dari Nabi Saw.,hanya saja kebanyakan dari mereka yang senang dan kompeten menulis hadist menjelang akhir kehidupan Rasulullah. [5]
Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi Saw. penulis akan mengutip satu hadist hadist yang lebih shahih dari hadist tentang larangan menulis. Rasulullah Saw. bersabda:

لاتكتبو اعنّى شيئا غير القران فمن كتب عنىّ شيئا غير القر ان فليمحه.

” jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”.(HR. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry)
Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, hadist yang diceritakan oleh Abdullah bin Amr, Nabi Saw. bersabda

اكتب فو الذى نفسى بيده ما خرج منه الاالحق

” tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku kecuali yang hak”.(Sunan al-Darimi)
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:
  • Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-Quran. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Quran, maka hukum larangan menulisnya telah dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
  • Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
  • Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tidak kuat hafalannya. 

Periode Kedua: Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa' Ar-Rasyidin (11 H-40 H)

Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis,dan  sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran. Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni:
  • Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hapal benar lafazh dari Nabi.
  • Dengan maknanya saja; yakni mereka merivttayatkan maknanya karena tidak hapal lafazh asli dari Nabi SAW.

Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin

Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis).[6] Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.
Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi SAW diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikiari, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi ramai.
Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadis di berbagai daerah di seluruh negeri.

Adapun lembaga-lembaga hadis yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan,dan  pengembangan hadis terdapat di:
  • Madinah,
  • Mekah,
  • Bashrah,
  • Syam,
  • Mesir,
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi'ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang ‘Ali, dan golongan Mu'awiyah, dan ketiga; golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).

Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu dan   menyebarkannya kepada masyarakat.

Periode Keempat: Perkembangan Hadis pada Abad II dan III Hijriah

Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisandan  pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW
Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H,[7] Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukandan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma'mar- Al-Laits, Al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan hadis Rasul yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn `Ades, seorang ahli fiqh, murid `Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh.

Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits. Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas anjuran Khalifah.
Pembukuan seluruh hadist yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadist pada masanya.
Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukulcan hadist atas anjuran Abu `Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.
            Berikut tempat dan nama-nama tokoh dalam pengumpulan hadits :
  • Pengumpul pertama di kota Mekah, Ibnu Juraij (80-150 H)
  • Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
  • Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi' Ibrl Shabih (w. 160 H)
  • Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.)
  • Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i (w. 95 H)
  • Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104-188 H)
  • Pengumpul pertama diYaman, Ma'mar al-Azdy (95-153 H)
  • Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
  • Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
  • Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa'ad (w. 175 H).
Semua ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari ahli-ahli pada abad kedua Hijriah.
Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang rnasyhur di kalangan ahli hadis adalah:
  • Al-Muwaththa', susurran Imam Malik (95 H-179 H);
  • Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
  • Al-jami', susunan Abdul Razzaq As-San'any (211 H)
  • Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjaj (160 H)
  • Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn 'Uyainah (198 H)
  • Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H)
  • Al-Mushannaf, susnan Al-Auza'i (150 H)
  • Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
  • Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy.
  • A1-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
  • Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
  • Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i (204 H).
  • Mukhtalif Al-Hadis, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i.
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik,Yahya ibn Sa'id AI-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.

Fase Pengumpulan dan Penulisan Hadits

a. Pengumpulan Hadis

Pada abad pertama Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW., Khulafaar Rasyidin,dan  sebagian besar masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindahdan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah Umar bin Khaththab (w. 23 H/644 M). Namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin.Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama Hijriah, yakni tahun 99 Hijriah, datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadist. Umar bin Abdul Azis terkenal sebagai seorang khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal adil dan wara' sehingga dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan  sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadist dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan  dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Tergeraklah hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm untuk membukukan hadis-hadis Nabi dari para penghapal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm, yaitu,"Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan menin,;galnya ulama, dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW., dan hercdaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orzng yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan."
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian, Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perintah khalifah tersebut sehingga menjadi salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.
Setelah generasi Az-Zuhri, pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H.), Ar-Rabi' bin Shabih (w. 160 H), dan masih banyak lagi ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempurna. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H, dilakukan upaya penyempunaan. Sejak saat itu, tampak gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuandan  penulisan hadis-hadis Rasul SAW Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang dan sampai kepada kita, antara lain Al-Muwatha' oleh Imam Malikdan  Al-Musnad oleh Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H). Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh imam-imam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain.
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam, yaitu Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan An-Nasal, dan At-Tirmizi. Tidak sedikit pada masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar pada Kutubus Sittah tersebut beserta kitab Muwatha' dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya.[8]

b. Penulisan Hadis

Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan membaca dan menulis. Mereka lebih dikenal sebagai bangsa yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menulisdan  membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat sejumlah orang yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa Arab dalam surat yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orangYahudi juga mengajari anak-anak di Madinah untuk menulis Arab. Kota Mekah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang yang mampu membaca. Sebagaimana dinyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan menulis di kota Mekah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksud bahwa orang Arab adalah bangsa yang ummi.[9]
Banyak akhbar yang menunjukkan bahwa para penulis lebih banyak terdapat di Mekah daripada di Madinah. Hal ini dibuktikan dengan adanya izin Rasulullah kepada para tawanan dalam Perang Badar dari Mekah yang mampu menulis untuk mengajarkan menuiis dan membaca kepada 10 anak Madinah sebagai tebusan diri mereka.
Pada masa Nabi, tulis-menulis sudah tersebar luas. Apalagi Al-Quran menganjurkan untuk belajardan  membaca. Rasulullah pun menga-lgkat para penulis wahyu hingga jumlahnya mencapai 40 orang. Nama-nama mereka disebut dalam kitab At-Taratib Al-Idariyyah. Baladzuri dalam kitab Futuhul Buldan menyebutkan sejumlah penulis wanita, di antaranya Ummul Mu'minin Hafshah, Ummu Kultsum binti Uqbah, Asy-Syifa' binti Abdullah Al¬Qurasyiyah, `Aisyah binti Sa'ad, dan Karimah binti AI-Miqdad.
Para penulis semakin banyak di Madinah setelah hijrah setelah Perang Badar. Nabi menyuruh Abdullah bin Sa'id bin ‘Ash agar mengajar menulis di Madiah, sebagaimana disebutkan Ibnu Abdil Barr dalam Al-Isti'ab. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa nama asli `Abdullah bin Sa'id bin Al-'Ash adalah Al-Hakam, lalu Rasulullah memberinya nama `Abdullah,dan  menyuruhnya agar mengajar menulis di Madinah.
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam sependapat bahwa Al-Quran Al-Karim telah memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan  para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabat untuk menghapalkan Al-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, batu, dan  sebagainya.
Oleh karena itu, ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Seluruh ayat suci Al-Quran pun telah lengkap ditulis, tetapi belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi karena tidak diperintahkan oleh Rasul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SAW.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Jadi pada masa Nabi SAW. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh Rasulullah SAW. Dalam menyampaikan suatu hadits yaitu :
  • Melalui majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jemaah.
  • Dalam suatu kesempatan Rasulullah juga biasa menyampaikan haditsnya kebeberapa sahabat yang sempat hadir dan bertemu pada beliau, yang kemudian hadits yang didapat itu kemudian sahabat menyampaikannya lagi kepada sahabat lain yang belum sempat atau yang pada saat itu tidak hadir dihadapan Rasulullah.
  • Untuk hal-hal yang sensitif, seperti hal-hal yang berkaitan dengan soal keluarga dan biologis, dan yang terutama soal yang menyangkut hubungan suami istri, Rasulullah menyampaikan melalui istri-istrinya, jadi pada hal-hal yang sensitif Nabi SAW. Dibantu untuk menyelesaikan masalah tersebut oleh istri-istri beliau.
  • Melalui hadits yang telah Rasulullah sampaikan kepada para sahabat,kemudian para sahabat yang di percaya di sebarkan lagi kepada masyarakat sehingga hadits-hadits tersebut cepat tersebar di kalang masyarakat pada saat itu.

B.    Saran

Diakhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa saran kepada pembaca:
  • Dalam memahami Islam hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah pemikiran tentang segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai tuntunan perubahan zaman.
  • Hendaknya setiap orang tetap bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan system pendidikan yang ada. Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual dan wawasan kependidikan bagi semua.
  • Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi segenap pembaca terutama kepada penulis . Amin yaa Rabbal Alamiin.

DAFTAR PUSTAKA


Endang soetari,ilmu hadist: kajian riwayahdan dirayah. Bandung ;Mimbar Pustaka.2005
Ahmad, Muhammad, dkk. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. 2005
Manna’ Al- Qattan Tarkh al tashyri al islami  kairo: Maktabah wahbah 1989
Ulum al hadist wal mustalahu, Beirut. Dar al-ilmi li Al Malayin,1997
Al-Qaththan. Mabahits fi `Ulum Al-Hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005








[1] Endang soetari,ilmu hadist: kajian riwayahdan dirayah. Bandung ;Mimbar Pustaka.2005, halaman 29
[2] Ibid, halaman 30
[3] Muh.Zuhri, hadist nabi telaah historis dan metodologis (cet 11 yogyakarta tiara yogya 2009) hal 29
[4]  Manna’ Al- Qattan Tarkh al tashyri al islami  kairo: Maktabah wahbah 1989, hlm 106
[5] Ulum al hadist wal mustalahu, Beirut. Dar al-ilmi li Al Malayin,1997 hlm 23
[6] Ketujuh Fuqaha Madinah adalah AI-Qasim, `Urwah Ibn Zubair, Abu Bakr Ibn Abdir Rahman, Sa'id Ibn Musavyab, Abdillah Ibn Abdullah Ibn `Utbah Ibn Mas'ud, Kharijah Ibn Zaid IbnTsabit, dan Sulaiman IbnYassar. LihatAsh-Shidieqy. hlm. 79.
[7] Az-Zuhri menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Sahel ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud Ibn al-Rabi’, Said Ibn Musaiyab, dan Abu Umamah ibn Sahel
[8] Muhammad Ahmad, dkk. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. 2005. Hlm. 29-31.
[9] Al-Qaththan. Mabahits fi `Ulum Al-Hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005.
Read More

Cara Mendownload Gratis di BOSSMAKALAH.COM

Februari 24, 2021 0

  • KLIK TOMBOL DOWNLOAD YANG BERADA DALAM KOTAK HITAM (atau tulisan "klik disini untuk download")
  • KLIK TOMBOL FREE DOWNLOAD (DALAM KOTAK MERAH)
  • SILAHKAN TUNGGU 10 DETIK KEMUDIAN KLIK TOMBOL "CONTINUE TO PAGE" DALAM KOTAK HIJAU
*SETELAH 10 DETIK

  • SILAHKAN UPLOAD 3 FILE MAKALAH DALAM FORM YANG TELAH KAMI SEDIAKAN

  • SETELAH SUBMIT FILE, KLIK TAUTAN KONFIRMASI SETELAH FORM DI SUBMIT








Read More

Cara Melakukan Download Berbayar di BOSSMAKALAH.COM

Februari 24, 2021 0

  • KLIK TOMBOL DOWNLOAD YANG BERADA DALAM KOTAK HITAM (atau tulisan "klik disini untuk download")
  • KLIK TOMBOL FAST DOWNLOAD (DALAM KOTAK HIJAU TOSKA)
  • PILIH METODE PEMBAYARAN, TRANSFER KEMUDIAN KIRIMKAN BUKTI TRANSFER DENGAN MENGKLIK TOMBOL KONFIRMASI

  • KAMI MEREKOMENDASIKAN OPSI: GOPAY, LINK AJA DAN PULSA KARENA BISA TRANSFER DIBAWAH 10.000









Read More

Cara Copy / Paste Di BOSSMAKALAH.COM

Februari 24, 2021 0

 

Hai Sobat BOSS..!

Mohon Maaf..!😢

Dahulu blog ini memang kami dedikasikan untuk mahasiswa dengan cuma-cuma dan kami hanya berharap donasi seikhlasnya dari sobat mahasiswa untuk kami bisa menyambung hidup.

Akan tetapi setelah berjalan 3 tahun, tidak ada 1 Rp pun yang memberikan donasi kepada kami.

Oleh karena itu kami memutuskan memberikan opsi lainnya yaitu dengan cara mendownloadnya.

Kalian bisa memilih 2 opsi download.

  1. DOWNLOAD Cepat (Cukup Rp. 4.500,- Per Judul Makalah)
  2. Download GRATIS (Dengan Mengirimkan 3 Makalah Kepada Kami

Read More

Minggu, 21 Februari 2021

Makalah Tafsir Muqarrin (doc)

Februari 21, 2021 0



Pengertian Tafsir Muqarrin

Secara etimologi tafsir berasal dari akar  kata al-fasr yang berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata at-tafsir berarti  menyingkap maksud sesuatu lafadz yang musykil. Dan menurut istilah banyak pendapat ulama dalam mendefinisikannya diantaranya adalah:

Al-Zarkasy dalam Al- Burhan mendefinisikan tafsir sebagai berikut :

اﻋﻟﻢ ﯦﻌﺭﻑ ڊﻪ ﻔﻬﻡ ﻜﺗﺍﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻠﻣﻧﺯﻞﻋﻟﻰ ﻧﺑﻴﮫ ﻣﺤﻣد ﺼﻟﻰ ﺍﻠﻟﮫ ﻋﻟﻳﮫ ﻮﺴﻟﻢ
ﻮبيان معاﻧﻴﮫ  واستخراج احكامه و حكمه.

“Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah ( Al-Quran )  yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad Saw serta menerangkan makna Alquran dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.”
Al – Jurjaniy berkata:

التفسير في الاصل الكشف والاظهار, وفي الشرعي توضيخ معني الاية, شأنها
وقصّتها والسبب الذي نزلت فيه بلفظ او يدل عليه دلالة ظاهرة.

“Tafsir pada asalnya adalah membuka dan menzahirkan. Pada istilah syara’ ialah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya dan sebab yang karenanya diturunkan ayat, dengan lafaz yang menunjuk kepadanya secara jelas.”

Secara etimologis kata muqarin adalah merupakan bentuk isim al-fa’il dari kata qarana, maknannya adalah membandingkan antara dua hal. Jadi dapa dikatakan tafsir muqarin adalah tafsir perbandingan. Secara terminologis adalah menafsirkan sekelompok ayat Al Qur’an atau suatu surat tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, atau atara ayat dengan hadits, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.


Dari segi bahasa metode barasal dari dua kata yaitu meta dan hodos. Meta berati melalui dan hodos berarti cara atau jalan. Dalam bahasa inggris kata metode (method) dan dalam bangsa Arab menerjemahkannya dengan tariqat dan manhaj. Sedangkan dalam kamus besar bahasa indonesia yakni cara teratur yang dilakukan untuk melakukan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelakasanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.

Tafsir dapat dibagi menjadi tiga jenis:

Tafsir riwayat

Tafsir riwayat sering juga disebut dengan istilah tafsir naql atau tafsir ma'tsur. Cara penafsiran jenis ini bisa dengan menafsirkan ayat al-Quran dengan ayat al-Quran lain yang sesuai, maupun menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan nash dari as-Sunnah. Karena salah satu fungsi as-Sunnah adalah menafsirkan al-Quran

Tafsir dirayah

Tafsir dirayah disebut juga tafsir bi ra'yi. Tafsir dirayah adalah dengan cara ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat.

Tafsir dirayah bukanlah menafsirkan al-Quran berdasarkan kata hati atau kehendak semata, karena hal itu dilarang berdasarkan sabda nabi:

"Siapa saja yang berdusta atas namaku secara sengaja niscaya ia harus bersedia menempatkan dirinya di neraka, dan siapa saja yang menafsirkn al-Quran dengan ra'yunya (nalar) maka hedaknya ia bersedia menempatkan diri di neraka." (HR. Turmudzi dari Ibnu Abbas)

"Siapa yang menafsirkan al-Quran dengan ra'yunya kebetulan tepat, niscaya ia telah melakukan kesalahan." (HR. Abi Dawud dari Jundab).

Hadis-hadis di atas melarang seseorang menafsirkan al-Quran tanpa ilmu atau sekehendak hatinya tanpa mengetahui dasar-dasar bahasa dan syariat seperti nahwu, sharaf, balaghah, ushul fikih, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, tafsir dirayah ialah tafsir yang sesuai dengan tujuan syara', jauh dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami teks al-Quran.

Mufassir

Seorang mufassir adalah seorang yang mengartikan sebuah ayat dalam arti yang lain/arti yang mirip.
Read More

Sabtu, 13 Februari 2021

Makalah Ragam Bahasa Indonesia (doc)

Februari 13, 2021 0


Ragam Bahasa Indonesia

Ragam bahasa pada hakikatnya adalah variasi penggunaan bahasa oleh para penutur bahasa itu. Dalam kehidupan sosial dan sehari-hari masyarakat Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan, menggunakan berbagai bahasa daerah termasuk dialeknya, bahasa Indonesia atau bahasa asing. Bahasa Indonesia telah digunakan sejak lama oleh beragam komunitas di berbagai wilayah dan pulau. Kondisi itulah yang menyebabkan munculnya variasi atau ragam bahasa Indonesia.
Bahasa diartikan sebagai suatu sistem lambang bunyi yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi. Bahasa merupakan fasilitas komunikasi yang efektif oleh masyarakat atau kelompok sosial yang saling bekerja sama. Bahasa berfungsi sebagai sarana untuk berkomunikasi,sarana integrasi dan adaptasi, sarana untuk berekspresi, dan sebagai sarana kontrol sosial. Keanekaragaman penggunaan bahasa Indonesia itulah yang dinamakan ragam bahasa.

Ragam bahasa merupakan bermacam-macam bahasa menurut pemakaian, berbeda-beda menurut topik tertentu, hubungan pembicara dengan lawan bicara, orang yang dibicarakan, serta media pembicaranya. Ragam bahasa berdasarkan topik pembicaraan mengacu pada penggunaan bahasa dalam hal dan bidang tertentu seperti bidang pemerintahan, kesusastraan, dan jurnalistik. Berdasarkan hubungan pembicara dengan lawan bicara ragam bahasa dapat dikategorikan dalam situasi formal ataupun nonformal. Ragam bahasa berdasarkan media pembicaraan dikategorikan dalam bahasa lisan dan tulis.

Ragam bahasa tidak serta merta terjadi dengan  sendirinya. Ada beberapa faktor penyebab terjadinya keberagaman dalam bahasa yaitu:
Interferensi
Interferensi adalah masuknya unsur serapan kedalam  bahasa lain yang bersifat melanggar kaidah gramatika bahasa yang menyerapnya.
Integrasi
Integrasi adalah unsur bahasa lain yang terbawa masuk dan sudah dianggap, diperlukan dan dipakai sebagai bagian dari bahasa yang menerima atau yang memasukinya.
Alih kode dan campur kode
Alih kode adalah beralihnya suatu kode (bahasa atau ragam bahasa tertentu) kedalam kode yang lain (bahasa lain). Campur kode adalah dua kode atau lebih digunakan bersama tanpa alasan, dan biasanya terjadi dalam situasi santai. 
Bahasa gaul
Bahasa gaul merupakan salah satu variasi dari bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk pergaulan. Istilah ini muncul pada tahun 1980-an. Pada saat itu bahasa gaul dikenal dengan bahasanya para anak jalanan.
Ragam bahasa Indonesia :
Berdasarkan Waktu Penggunaan
a. Ragam Bahasa Indonesia Lama
Ciri ragam bahasa Indonesia lama masih dipengaruhi oleh bahasa Melayu. Digunakan sejak zaman kerajaan sriwijaya hingga dicetuskan Sumpah Pemuda.  Alasan bahasa Melayu menjadi 
bahasa Indonesia:
Bahasa Melayu berfungsi sebagai lingua franca 
Bahasa Melayu sederhana karena tidak mengenal tingkatan bahasa
Keikhlasan suku daerah lain
Bahasa Melayu berfungsi sebagai kebudayaan
b. Ragam Bahasa Indonesia Baru
Penggunaan bahasa Indonesia baru dimulai sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 sampai dengan saat ini melalui pertumbuhan dan perkembangan bahasa yang beriringan dengan pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia. 
Berdasarkan Media
Ragam Bahasa Lisan
Kebahasaan lisan lazimnya hadir dalam aktivitas lisan seperti bertelepon, berdiskusi, berseminar, berwawancara, dan 
aktivitas kebahasaan lisan lainnya. Ragam bahasa lisan memerlukan kehadiran orang lain, terikat ruang dan waktu, dipengaruhi tinggi rendahnya suara, unsur gramatikal tidak dinyatakan secara lengkap.
 Ragam bahasa lisan terbagi 2, yaitu:
Ragam Bahasa Lisan Baku
Bahasa lisan baku biasanya digunakan saat seseorang melakukan aktivitas formal seperti berpidato, ceramah, seminar, dan lainnya. 
Ragam Bahasa Lisan Tidak Baku
Bahasa lisan tidak baku biasanya digunakan saat mengobrol santai ataupun dalam transaksi jual beli di pasar, atau aktivitas non formal.
Ragam Bahasa Tulis
Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang hanya tepat muncul dalam konteks tertulis. 
Ragam bahasa tulis harus sangat cermat dalam pemakaian tanda bacanya, ejaan, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan 
seterusnya. Ragam bahasa tulis tidak memerlukan kehadiran orang lain, tidak terikat ruang dan waktu, dipengaruhi oleh tanda baca dan unsur gramatikal dinyatakan secara lengkap. 
Ragam Bahasa Sosial dan Fungsional
Ragam Bahasa Sosial
Ragam sosial, yaitu ragam bahasa yang sebagian norma dan kaidahnya didasarkan atas kesepakatan bersama dalam lingkungan sosial yang lebih kecil dalam masyarakat. Ragam bahasa yang disunakan dalam keluarga atau persahabatan dua orang yang akrab merupakan ragam sosial tersendiri.    
Ragam Bahasa Fungsional
Ragam fungsional, yang kadang-kadang disebut juga ragam profesional, adalah ragam bahasa yang dikaitkan dengan profesi, lembaga, lingkungaan kerja, atau kegiatan tertentu lainnya. Ragam fungsional juga dikaitkan dengan keresmian keadaan penggunanya. Dalam kenyataan, ragam fungsional menjelma sebagai bahasa negaraa dan bahasa teknis keprofesianm, seperti bahasa dalam lingkungan keilmuan/teknologi, kedoktern, dan keagamaan.
Ragam Bahasa Resmi dan Tidak Resmi
Ragam Bahasa Resmi
Bahasa resmi lazimnya digunakan dalam forum kedinasan, berkotbah, surat menyurat atau korespondensi resmi, membuat laporan,atau bisa dikatakan dalam situasi yang resmi. Ragam bahasa resmi menggunakan unsur gramatikal secara konsisten, menggunakan imbuhan lengkap, menggunakan kata ganti resmi, menggunakan EYD, menggunakan kata baku, serta menghindari unsur kedaerahan.

Ragam Bahasa Tidak Resmi

Bahasa tidak resmi muncul dalam situasi tidak resmi seperti mengobrol dengan tetangga di pos ronda, tawar menawar di pasar, dan lainnya. Ragam bahasa tidak resmi  ciri-cirinya adalah kebalikan dari ragam bahasa resmi dan digunakan dalam situasi nonformal.
Ragam bahasa Indonesia berdialek:
a). Dialek Regional: bahasa yang digunakan masyarakat atau komunitas di daerah tertentu seperti dialek Banyumas, dialek Betawi, dialek Medan dan lain-lain.
b). Dialek Temporal: bahasa yang digunakan oleh suatu komunitas pada kurun waktu tertentu sesuai masanya, seperti dialek Melayu kuno, dialek tahun 1970-an, dialek Melayu zaman Sriwijaya
c). Dialek Sosial: dialek yang digunakan oleh kelompok sosial tertentu baik dalam bidang ekonomi, pekerjaan, pendidikan dan kedudukan.
Bahasa Indonesia Yang Baik Dan Benar
Bahasa yang baik adalah yang sesuai dengan situasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa harus dapat efektif menyampaikan maksud kepada lawan bicara. Ada lima ragam bahasa yang dapat digunakan sesuai situasi sebagai berikut:
Ragam beku (frozen); digunakan dalam situasi hikmat
Ragam resmi (formal); digunakan dalam situasi resmi
Ragam konsulatif (consulative); digunkan dlam pembicaraan yang terpusat pada transaksi atau pertukaran imformasi
Ragam santai (casual); digunakan dalam suasana tidak resmi
Ragam akrab (intimate); digunakan antara orang yang memiliki hubungn sngat akrab.
Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa baku, baik kaidah untuk bahasa baku tertulis maupun baku lisan.
Karakteristik Ragam Bahasa Indonesia 
Cendikia, mampu digunakan secara tepat untuk mengungkapkan hasil 
yang logis. 
Lugas dan jelas, mampu menyampaikan gagasan dengan  jelas dan tepat.
Menghindari kalimat fragmentaris, yaitu kalimat yang belum selesai.
Bertolak dari gagasan, artinya penonjolan diadakan pada gagasan atau hal 
yang akan diungkapkan dan tidak pada penulis.
Formal, bahasa yang digunakan dalam komunikasi ilmiah bersifat formal.
Objektif, bahasa ilmiah bersifat objektif dalam menempatkan gagasan.
Ringkas dan padat.
Konsisten, terhadap unsur bahasa, tanda baca dan tanda-tanda lain dalam 
bahasa tulis ilmiah.
Kelebihan dan Kelemahan Ragam Bahasa
Ragam Bahasa Lisan
a). Kelebihan: merupakan bahasa primer, dapat disesuaikan dengan keadaan atau situasi, dan lebih ekspresif.
b). Kelemahan: dipengaruhi oleh waktu dan kondisi, apa yang dibicarakan belum tentu bisa dipahami oleh pendengarnya.
Ragam Bahasa Tulisan
a). Kelebihan: penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide, dapat digunakan sebagai penyampai informasi, tidak terkait dengan kondisi dan waktu.
b). Kelemahan: sering terjadi salah pengertian, perlu pemahaman yang baik, tidak bertemu secara langsung.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan 
Ragam bahasa pada hakikatnyaa adalah variasi penggunaan bahaasa oleh para penutur bahasa itu. Dalam kehidupan sosial dan seharihari masyarakat Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan, menggunakan berbagai bahasa daerah termasuk dialeknya, bahasa Indonesia atau bahasa asing. Ragam bahasa Indonesia : berdasarkan waktu penggunaan (ragam bahasa indonesia lama dan ragam bahasa indonesia baru), berdasarkan media (ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis), ragam bahasa sosial dan fungsional, ragam bahasa resmi dan tidak resmi, ragam bahasa Indonesia berdialek (dialek regional, temporal dan sosial).
Saran
Sebaiknya dalam proses pembuatan makalah di sertai ke fokusan sebagai wadah untuk lebih menyempurnakan makalah secara menyeluruh agar makalah ini mampu menjadi bahan ajar yang bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA
Ermanto, dkk. 2014. Bahasa Indonesia Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Padang: UNP Press Padang. 
Faizah, Hasnah. 2012. Bahasa Indonesia. Pekanbaru: Cendikia Insani.
Mawardi, Siti Sarah. 2018. Karakteristik Ragam Bahasa Hukum dalam Teks Qanun Aceh. Master Bahasa, 6(2), 184-186.
Rahardi, Kunjana. 2009. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: 
Penerbit Erlangga.
Read More

Makalah Proses Diturunkan Al-Quran dan Hikmahnya (doc)

Februari 13, 2021 0



Proses Turunnya Al-Qur’an

Mengenai turunnya al-qur’an para ulama’ berbeda-beda pendapat. Dari perbedaan pendapat tersebut dibagi menjadi tiga golongan:
  • Kelompok yang berpendapat bahwa Al-Qur’an diturunkan sekaligus pada malam lailatul qadr. Kemudian diturunkan secara bertahap selama 20,23,atau 25 tahun. Perbedaan jumlah tahun ini karena adanya perbedaan mengenai berapa lama Rasulullah Saw tinggal di Makkah setelah kenabian. 
  • Golongan yang berpendirian bahwa setiap datang malam lailatul qadr pada bulan Ramadhan, bagian-bagian tertentu Al-Qur’an diturunkan kelangit dunia sekedar kebutuhan selama satu tahun sampai malam lailatul qadr berikutnya. 
  • Kelompok yang mengklaim bahwa Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada malam lailatul qadr, kemudian diturunkan secara bertahap dalam berbagai waktu sesuai kebutuhan. 
akan tetapi mayoritas ulama’ lebih mengunggulkan pendapat yang pertama.
Menurut Az-Zarqani ada tiga tahapan dalam penurunan Al-Qur’an yaitu:
  • Al-Qur’an diturunkan langsung oleh Allah SWT ke lauh al-mahfuzh.     berdasarkan firman Allah Swt:
فِي لَوْحٍ مَحْفُوظ,بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ,

“bahkan yang mereka dustakan itu adalah Al-Qur’an yang mulia,yang tersimpan di lauhil mahfuzh (al buruj 21- 22) 
  • Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul qadr sebagai pemberitahuan kepada malaikat tentang umat Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang telah dimuliakan oleh Allah Swt dengan datangnya risalah sebagai petunjuk untuk menjadi umat yang paling baik. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt: 
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan”   (Al- Qadr 1)
  • Al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama 20,23 atau 25 tahun sebagaimana firman Allah Swt: 
 إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلا
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu (Muhammad) Al-Qur’an, dengan beransur-ansur” (Al-insan 23).

Bukti Historis Turunnya Al-Qur’an Secara Bertahap

Di dalam sejarah ada beberapa peristiwa yang bisa kita jadikan dalil tentang turunnya Al-Qur’an secara bertahap antara lain:
  • Malaikat jibril datang membawakan wahyu untuk pertama kali pada tanggal 21 ramadhan yaitu surah al-alaq ayat 1-5.  Saat itulah Muhammad Saw diangkat sebagai seorang nabi.

  • Malaikat jibril datang membawakan wahyu untuk kedua kalinya setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengalami masa terputusnya wahyu. Ayat tersebut adalah surah al-mudatstsir ayat 1-5.  Setelah turunnya ayat tersebut barulah Nabi Muhammad Saw diangkat sebagai seorang rasul untuk menyampaikan risalah kenabian.
  • Surah almaidah ayat 3 turun menjadi ayat terakhir. 
Itulah beberapa peristiwa sejarah yang bisa kita jadikan bukti turunnya al-qur’an secara bertahap. Dan banyak lagi peristiwa-peristiwa lain yang tidak bisa disebutkan didalam karya ilmiah ini.

Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an Secara Bertahap

Hikmah-hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap ialah sebagai berikut :
  • Memantapkan hati Nabi. (al furqan ayat 32)
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا

“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).”
  • Lebih mudah dihafal dan dipahami. (thaha ayat114)
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

"Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan"
  • Meringankan tugas nabi dalam menyampaikan dan mengajarkan Al-Qur’an.
  • Menyesuaikan dengan permasalahan yang timbul. (Al isra’ ayat 106)
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلا
“Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.”
  • Membuktikan bahwa al-qur’an turun dari Allah yang maha bijaksana. 

Pengertian Asbabun Nuzul

Secara bahasa asbabun nuzul terdiri dari dua kata yaitu asbab (jamak dari sabab) yang berarti sebab atau latar belakang dan Nuzul yang berarti turun. sedangkan di dalam istilah menurut manna’ al qatthan adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya Al-Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi,baik berupa satu kejadian ataupun pertanyaan yang diajukan kepada nabi. 

Urgensi Mempelajari Asbabun Nuzul

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memahami pesan pesan al-Qur’an adalah dengan mempelajari asbabun nuzul. Al-Wahidi menuturkan bahwa tidak mungkin seseorang mengetahui maksud pesan dan tafsir suatu ayat al-Qur’an tanpa mengetahui kisah dan penjelasan mengenai turunnya ayat tersebut.
Dari pernyataan diatas dapat kita pikirkan betapa pentingnya mempelajari tentang asbabun nuzul,selain itu ada beberapa manfaat yang bisa kita peroleh dengan mempelajari asbabun nuzul antara lain :
  • Kita dapat mengetahui hikmah dibalik syari’at yang diturunkan melalui sebab tertentu. 
  • Kita bisa tahu bahwa Allah Swt selalu memberikan perhatian khusus kepada Rasulullah dan selalu bersama para hambanya.
  • Seseorang dapat menentukan apakah suatu ayat mengandung pesan khusus atau umum. Selain itu, pengetahuan asbabun nuzul akan membuat mufasir mampu memahami keadaan ayat tersebut mesti diterapkan.
  • Mengetahui asbabun nuzul akan membantu seseorang dalam memahami suatu ayat, sebab pengetahuan asbabun nuzul akan melahirkan pengetahuan tentang akibat.
       Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa asbabun nuzul merupakan faktor penting yang harus dikuasai seseorang untuk dapat memahami pesan-pesan suatu ayat dalam al-Qur’an. Meski demikian tidak semua tokoh memiliki pandangan yang sama mengenai keharusan memahami asbabun nuzul untuk menafsirkan al-Qur’an. 

BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Al-Qur’an diturunkan langsung oleh Allah Swt ke lauh al-mahfuzh. Lalu Allah Swt menurunkannya sekaligus pada malam lailatul qadr kelangit dunia.Kemudian diturunkan secara bertahap selama 20,23,atau 25 tahun. Perbedaan jumlah tahun ini karena adanya perbedaan mengenai berapa lama Rasulullah Saw tinggal di Makkah setelah kenabian. Seperti firman Allah pada surah Al Insan ayat ayat 23. Allah Swt menurunkan al-qur’an secara bertahap agar memudahkan nabi dalam menyebarkan syari’at islam dan menghadapi orang-orang kafir. Dan juga untuk membantu umat muslim dalam menghafal dan memahaminya.
Asbabun nuzul secara etimologi berasal dari 2 suku kataa yaitu asbab (bentuk jama’ dari kata sabab)berarti sebab-sebab atau latar belakang, dan nuzul yang artinya turun. Sedangkan menurut terminologi adalah sebab-sebab atau latar belakang turunnya suatu ayat. Alasan kita harus mempelajari tentang asbabun nuzul adalah agar kita dapat memahami tentang isi atau makna yang terkandung dalam suatu ayat. Dan kita dapat mengetahui hikmah dibalik syari’at yang diturunkan melalui sebab tertentu,juga menentukan apakah suatu ayat mengandung pesan khusus atau umum. 

DAFTAR PUSTAKA

Suma, Muhammad Amin. Ulumul qur'an. Depok: Rajawali Pers,2019.
Shafiyurrahman, Syaikh. Sirah Nabawiyah terj. Fathur Suhaidi. Jakarta: Al-Kautsar,2013.
Zaid, Nasir Hamid Abu. Tektualitas Al-Qur’an kritik terhadap ulumul qur’an" terj. Khoiron Nahdliyin. Yogyakarta:LKiS,2013.
Raihandi, Arief. makalah pengertian asbabun nuzul – ulumul qur’an" dalam https:knowledgeisfree.blogspot.com. diakses pada 4 oktober 2020
Read More

Makalah Pengertian Delik Pengulangan Syarat dan Macam-Macamnya (doc)

Februari 13, 2021 0


Pengertian Delik Pengulangan (Recidive)

Recidive dalam Kamus Hukum diartikan sebagai ulangan kejahatan, kejadian bahwa seseorang yang pernah dihukum karena melakukan suatu kejahatan, melakukan lagi suatu kejahatan.
Recidive  adalah kelakuan seseorang yang mengulangi perbuatan pidana sesudah dijatuhi pidana dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap karena perbuatan pidana yang telah dilakukanya lebih dahulu. Seseorang yang sering melakukan perbuatan pidana, dan karena dengan perbuatan-perbuatanya itu telah dijatuhi pidana bahkan lebih sering dijatuhi pidana, disebut  residivist. Kalau residive menunjukkan pada kelakuan mengulangi perbuatan pidana, maka  residivist  menunjuk kepada orang yang melakukan pengulangan perbuatan pidana.
Jadi,  recidive  itu terjadi apabila seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi dengan putusan hakim yang tetap. Putusan tersebut telah dijalankan akan tetapi setelah ia selesai menjalani pidana dan dikembalikan kepada masyarakat, dalam jangka waktu tertentu setelah pembebasan  tersebut ia kembali melakukan perbuatan pidana.

Apabila orang yang telah dijatuhi pidana itu kemudian melakukan lagi perbuatan pidana, maka orang itu telah membuktikan tabiatnya yang kurang baik. Meskipun ia telah dipidana tetapi karena sifatnya yang kurang baik itu, ia kembali melakukan perbuatan pidana. Oleh karena sifatnya yang demikian itu, maka residivis perlu dijatuhi pidana lebih berat lagi meskipun ia telah dididik dalam Lembaga Pemasyarakatan agar mereka kemudian setelah kembali ke dalam masyarakat dapat hidup normal sebagai warga masyarakat lainya. Namun bilamana dia melakukan perbuatan pidana lagi maka terhadapnya dapat dikenakan pasal mengenai recidive dengan ancaman pidana yang lebih berat.
Pola pemberatan pidana dalam Buku II dan Buku III KUHP memiliki pola yang berbeda dengan pola pemberatan pidana dalam Buku I KUHP. Ada dua kategori pola pemberatan pidana dalam Buku II dan Buku III yakni kategori yang seragam dan kategori yang tidak seragam. Kategori seragam ini terdapat pada delik pengulangan (recidive) di mana ancaman pidana diperberat dengan penambahan sepertiga dari ancaman pidana pokok.Ancaman pidana juga diberatkan karena adanya kualitas khusus pelaku (subjek delik), misalnya karena sebagai pegawai negeri. Selain itu, ancaman pidana juga diberatkan karena kualifikasi khusus dari objek delik, seperti penganiayaan yang dilakukan terhadap ibu, bapak, istri atau anak pelaku, yang pidananya ditambah sepertiga dari maksimum khususnya.[ ]

Pengulangan tindak pidana diatur dalam:
1. Pasal 486
Pidana penjara yang dirumuskan dalam Pasal 127, 204 ayat pertama, 244-248, 353-260bis, 263, 264, 266-268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua sepanjang disitu ditunjuk kepada ayat kedua dan ketiga pasal 365, pasal  369, 372, 374, 375, 378, 380, 381-383, 385-388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425, 432, ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan 481, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang diancam menurut pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua,  sepanjang disitu ditunjuk kepada ayat keempat pasal 365, dapat ditambah dengan sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari pasal 140-143, 
145-149, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.
2.   Pasal 487
Pidana penjara yang ditentukan dalam pasal 131, 140 ayat pertama, 141, 170, 213, 214, 338, 341, 342, 344, 347, 348, 351, 353-355, 438-443, 459, dan 460, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang diancam menurut pasal 104,130 ayat kedua dan ketiga, pasal 140, ayat kedua dan ketiga, 339, 340, dan 444, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan belum lewat lima tahun sejak m menjalani untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari pasal 106 ayat kedua dan ketiga,107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, sejauh kejahatan yang dilakukan itu atau perbuatan yang menyertainya menyebabkan luka-luka atau kematian, pasal 131 ayat kedua dan ketiga, 137, dan 138 KUHP Tentara, atau sejak  pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebutbelum daluwarsa.
3.   Pasal 488
Pidana yang ditentukan dalam Pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-321, 483 dan 484, dapat  ditambah sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya karena salah satu kejahatan yang diterangkan padapasal itu, atau sejak pidana  tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa. 
Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  Tahun 2012 pada paragraf 6 pasal 24 disebutkan  tentang pengulangan yaitu:
Pengulangan tindak pidana terjadi,  apabila  orang yang sama melakukan tindak pidana lagi dalam waktu 5 (lima) tahun sejak:
a.  menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;
b.  pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
c.  kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan daluwarsa.

Macam-macam Recidive

1.  Recidive Umum (Algemene recidive atau Generale recidive)
Recidive  umum terjadi apabila seseorang yang telah melakukan delik kemudian terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi pidana oleh hakim serta menjalani pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Setelah selesai menjalani hukumannya, bebas dan kembali ke dalam masyarakat, akan tetapi dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan undang-undang orang tersebut melakukan lagi perbuatan pidana yang perbuatan pidananya tidak sejenis.
2.  Recidive Khusus (Speciale Recidive)
Recidive  tersebut terjadi apabila seseorang  melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi pidana oleh hakim. Setelah dijatuhi pidana dan pidana tersebut dijalaninya, kemudian kembali ke masyarakat, akan tetapi pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
yang ditetapkan oleh undang-undang kembali lagi melakukan perbuatan pidana yang sejenis dengan perbuatan pidana yang terdahulu.
3.  Tussen Stelsel (recidive tengah)
Tussen stelsel  adalah apabila seseorang melakukan perbuatan pidana dan terhadap perbuatan pidana itu ia telah dijatuhi pidana oleh hakim. Tetapi setelah ia menjalani pidana dan kemudian dibebaskan, orang tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah ditentukan oleh undang-undang melakukan perbuatan pidana dan perbuatan pidana yang dilakukan itu merupakan golongan tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Yaitu ditentukan tenggang waktunya tapi pengulangannya tidak tidak harus perbuatan pidana yang sama namun harus sejenis.
Pengulangan tindak pidana dalam KUHP diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik yang berupa kejahatan dalam buku II maupun yang berupa pelanggaran dalam buku III. 

Syarat-syarat Recidive

Adapun syarat-syarat  recidive  untuk tiap-tiap tindak pidana, baik terhadap kejahatan maupun pelanggaran, dibicarakan berturut-turut dibawah ini.
1. Recidive Kejahatan
Dengan dianutnya sistem  recidive  khusus, maka  recidive kejahatan menurut KUHP adalah  recidive  kejahatan-kejahatan tertentu. Mengenai  recidive  kejahatan-kejahatan tertentu ini KUHP membedakan antara lain:
a.  Recidive  terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang sejenis diatur secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu buku II KUHP yaitu dalam pasal 137 (2), 144 (2), 155 (2), 157 (2),  161 (2), 163 (2), 208 (2), 216 (3), 321 (2), 393 (2), dan 303 bis (2). Dengan demikian di dalam sistem recidive kejahatan sejenis ini hanya ada 11 jenis kejahatan yang dapat merupakan alasan pemberatan pidana. Persyaratan  recidive  disebutkan dalam masing-masing pasal yang bersangkutan, yang pada umumnya mensyaratkan sebagai berikut:
1)  Kejahatan yang diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan yang terdahulu;
2)  Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus sudah ada keputusan hakim  berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan tetap;
3)  Si pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu menjalankan pencaharianya (khusus pasal 216, 303 bis dan 393 syarat ini tidak ada);
4)  Pengulanganya dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yang disebut dalam pasal-pasal yang bersangkutan yaitu:
a)  Dua tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321), atau
b)  Lima tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 155, 157, 161, 163 dan 393).

b.  Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam satu kelompok jenis diatur dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP. 

Adapun persyaratan  recidive  menurut ketentuan pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau yang terdahulu. 
Kelompok jenis kejahatan yang dimaksud ialah:
a)  Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 486  KUHP  yang pada umumnya mengenai kejahatan terhadap harta  benda dan pemalsuan misalnya:
Pemalsuan mata uang (244-248 KUHP), pemalsuan surat (263-264  KUHP), pencurian (362, 363, 365  KUHP), pemerasan (368  KUHP), pengancaman (369  KUHP), penggelapan (372, 374, 375  KUHP), penipuan (378KUHP), kejahatan jabatan (415,  417, 425, 432  KUHP), penadahan (480,481 KUHP).
Dalam pasal 486  KUHP  mengatur tentang pidana maksimum dari beberapa kejahatan dapat ditambah 1/3 karena  recidive. Dalam pasal tersebut, kejahatan-kejahatan yang digolongkan terdiri dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan yang tidak halal ataupun yang dilakukan seseorang dengan melakukan tipu muslihat. Hal tersebut 
yang dijadikan dasar untuk memperberat pidana dengan 1/3 dengan syarat:
1.  Terhadap kejahatan yang dilakukan harus sudah dipidana dengan putusan hakim yang tidak dapat dirubah lagi dan dengan hanya pidana penjara.
2.  Harus dalam jangka waktu lima tahun terhitung dari saat selesainya menjalani pidana penjara dengan saat ia melakukan perbuatan pidana untuk kedua kalinya.

b)  Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 487  KUHP  pada umumnya mengenai kejahatan terhadap orang misalnya penyerangan dan makar terhadap Kepala Negara (131, 140, 141  KUHP), pembunuhan biasa dan berencana (338, 339, 340  KUHP), pembunuhan  anak (341, 342  KUHP), euthanasia (344  KUHP), abortus (347, 348  KUHP), penganiayaan biasa/berat dan penganiayaan berencana (351, 353, 354, 355  KUHP), kejahatan pelayaran yang berupa pembajakan (438-443  KUHP) dan insubordinasi (459-460 KUHP).
Dalam pasal tersebut terdapat segolongan kejahatan-kejahatan tentang perbuatan pidana yang dilakukan seseorang dengan menggunakan kekerasan terhadap orang 
lain yaitu pembunuhan dan penganiyaan. Kejahatan yang diatur dalam pasal 487 KUHP yang memungkinkan pidananya ditambah 1/3, asal saja memenuhi syarat-syarat seperti yang diatur dalam pasal 486 KUHP karena hanya pidana penjara dari kejahatan tersebut di dalamnya boleh ditambah dengan 1/3nya karena recidive tersebut.

c)  Kelompok jenis kejahatan dalam pasal 488  KUHP  pada umumnya mengenai kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbitan atau percetakan, misalnya penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden (134-137  KUHP), penghinaan terhadap Kepala Negara sahabat (142-144  KUHP), penghinaan terhadap orang pada umumnya (310-312  KUHP), dan kejahatan penerbitan atau 
percetakan (483,484 KUHP).
Pidana yang ditentukan dalam pasal 488  KUHP  dapat ditambah sepertiga jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau  sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal tersebut, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut kadaluwarsa. Syarat agar pidana maksimum dapat ditambah 1/3 karena recidive menurut pasal 488 KUHP, adalah:
1.  Dalam pasal 488 KUHP tersebut tidak ditentukan harus dengan penjara yang harus dilakukan berhubung dengan kejahatan pertama. Dalam pasal tersebut hanya menyebutkan pidananya, bukan pidana penjara saja. Hal tersebut berarti pidana kurungan dan denda dapat merupakan dasar pemberatan tersebut.
2.  Sama dengan syarat kedua dalam pasal 486 atau 487 KUHP.

      2. Recidive Pelanggaran
Recidive dalam pelanggaran ada 14 jenis tindak pidana, yaitu :
Pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.
Syaratnya disebutkan dalam pasal yang bersangkutan.
Contoh tindak pelanggaran adalah: 
Anak tetangga kita setiap malam bersama teman-temannya duduk tepat di depan rumah kita dan selalu merokok dan bermain gitar bersama temannya. Otomatis asap rokoknya masuk ke dalam rumah kita dan sangat bahaya apabila dihirup oleh keluarga kita dan sangat berisik dengan suara gitarnya. Dia marah ketika kita melarangnya duduk di depan rumah kita karena menurutnya dia hanya duduk di depan tidak di dalam rumah, jadi bebas melakukan apa saja.
Atas hal ini dia dapat dikenakan pasal 489 ayat 1 KUHP 
“Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian  atau kesusahan, diancam dengan pidana denda paling banyak 
Rp 225.000.”
Batasannya adalah :
1. Kenakalan itu bukan merupakan sarana untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan kenakalan itulah tujuan sebenarnya. Misalnya melempar-lempar rumah orang untuk mengganggunya, bukan untuk mengelabui penghuni rumah agar temannya yang mencuru ayam tidak diketahui.
2. Kenakalan itu merupakan suatu perwujudan yang bergelora dalam hatinya. 
3. Kenakalan itu mengganggu keamanan orang tetapi belum sampai pada perumusan delik lainnya seperti perusakan barang pasal 406 KUHP. 

Dalam pasal 489 ayat 2 :
jika pada waktu melakukan pelanggaran itu belum lalu satu tahun sejak ketetapan putusan hukuman yang dahulu bagi si tersalah karena pelanggaran seru itu juga,maka denda itu dapat diganti dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 hari.
    
Kesimpulan
1. Delik pengulangan adalah melakukan kembali kejahatan yang pernah dilakukan setelah adanya keputusan hakim dan masih belum lebih dari 5 tahun setelah kejahatan sebelumnya terjadi, hal ini dapat memberatkan hukuman si tersalah karena dia dianggap mempunyai tabi’at yang tidak baik dan dapat membahayakan ketertiban dalam masyarakat apabila dibebaskan.
2. Jenis delik pengulangan ada 3 yaitu umum, khusus dan tussen stelsel
3. Tindak pidana pengulangan diatur dalam pasal 486, 487 dan 488
4. Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat itu ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun. 
5. Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau mengurangi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik. 
6. Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat, tapi harus diperhatikan pula, atau harus dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan. Hal itu menjadi tugas dari setiap kita, karena kita adaIah bagian dari masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
eprints.walisongo.ac.id/3841/4/102211051_Bab3.pdf
http://www.aifis-digilib.org/uploads/1/3/4/6/1234665004/1._mahrus-uii.pdf
R. Soesilo.1995. KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal. Cetakan kesepuluh. Bogor: Poelita. hal 318-319

Read More

Post Top Ad

Your Ad Spot